Nightmare [Boneka Abdi]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warna hitam yang membentang luas dipenuhi oleh ribuan kerlap-kerlip cahaya indah berbentuk titik-titik kecil itu, membuatku tak hentinya mengagumi keindahan yang Tuhan ciptakan. Siliran angin menerpa kulit wajahku, sehingga mengibarkan helaian demi helaian yang menempel di kulit kepalaku. Netraku terpejam menikmati kesunyian malam ini, hingga derap langkah seseorang menyentakku dari kemenungan. Indra penglihatku terbuka seketika, tapi suara itu lenyap entah ke mana, bagai terbang terbawa angin, pergi begitu saja tertelan kesunyian. Keningku mengernyit, sejauh mata memandang, setajam mata melihat di sebuah hamparan ilalang ini, hanya ada aku sendiri. Lalu, langkah kaki siapa tadi?

Aku berdiri dari dudukku yang nyaman. Badan ini berputar membentuk bulatan secara perlahan untuk mencari seseorang tadi. Namun, tetap saja tak ada sosok selain diriku yang kutemukan. Tak lama terdengar rintihan pilu dari arah belakangku. Shit! Umpatku dalam hati. Selalu saja seperti ini! Padahalkan aku sudah lama tidak pernah mengalami ini lagi.

Kelopak bernetra hitam miliku tertutup dengan cepat. Kedua tanganku pun sontak menutup indra pendengaran dengan paksa. Perlahan-lahan, rintihan pilu itu tak terdengar, digantikan oleh lengkingan tawa yang mengerikan tepat di sebelah kanan telingaku. Kemudian disusul oleh suara tawa dan ocehan anak-anak kecil yang berkejaran ke sana-ke mari. Getaran hebat menjalari seluruh tubuhki dari ujung kaki hingga ubun-ubun, memgakibatkan buliran-buliran bening nan dingin keluar dari sela-sela kulitku.

Astagah! Ada yang menarik-narik ujung kaos yang kukenakan. Lututku terasa semakin lemas saja karena ulah si penarik, tarikan itu semakin dipaksa. Mau tidak mau kelopak netraku terbuka, tatapanku tertuju begitu saja pada mata ... astaga! Tubuhku tiba-tiba kaku seperti patung, aku tidak sanggup melihatnya. Mat-ma-mata itu hanya ada satu di balik kelopak, sedangkan kelopak yang satunya lagi hanya menyisakan lubang, di mana pemilik kelopak itu? Waj-wajahnya dipenuhi oleh cairan warna merah berbau anyir.

Oh Tuhan! Perutku mulai bergejolak seperti hendak mengeluarkan isinya lewat kerongkongan, tepi terasa sulit sekali mengeluarkannya. Gadis kecil itu tersenyum sambil menatapku, senyum tawar terbit dari mulut sobeknya. Demi Tuhan! Senyumannya itu sungguh mengerikan. Tangan kecilnya terulur ke hadapanku, menunjukan boneka teddy bear berukuran sedang yang sama-sama terlumuri cairan merah, hingga warna aslinya tak nampak. Tiba-tiba mulutnya bergumam lirih, menyanyikan tiap bait yang tak kumengerti isi liriknya. Namun, aku tahu bahasa itu. Ya, kalau tidak salah ingat itu adalah lirik lagu bahasa sunda.

Abdi tèh ayeuna....
Gaduh hiji boneka....
Tèu kinteun, saèna....
Sareng lucuna....

Ku abdi diacukan....
Acukna saè pisan....
Cik mangga, tinggali....
Boneka abdi....

Seperti sebuah lagu pemanggil, karena setelah lagu itu selsai dinyanyikan, tiba-tiba saja kumpulan anak kecil muncul antah-berantah, berhamburan ke sana-ke mari. Kehadiran mereka membuat perutku terasa seperti diaduk-aduk, masih mending kalau lucu. Lah, ini? Mereka datang dengan anggota tubuh yang tak lengkap, ada yang tidak memiliki kaki, tak memiliki tangan, ada yang setengah badan dengan usus yang melambai ke mana-mana, ada yang kepalanya saja tanpa badan dengan organ tubuh yang bergelantungan. Ugh! Itulah sebabnya, pertku terasa mulai. Kondisi mereka lebih mengerikan dari seorang anak kecil yang tadi bernyanyi di hadapanku.

Netraku terpejam sekejap saat sebuah benda lembek dan dingin terlempar mengenai pipi sebelah kanan lalu terjatuh tepat di kakiku. Pandanganku tertuju pada benda tersebut. It-itu, benda lembek itu berseimutkan cairan merah yang kumaksud tadi. Dan itu adalah ... ginjal. Ewh, ya ampun! Tanganku sontak mempekap rongga wajahku saat hendak berteriak. Cairan bening satu per satu lolos membasahi pipi tembamku, tubuh agak berisi milikku semakin bergetar hebat karena ketakutan.

Lalu, anak kecil yang bernyanyi tadi menyeringai ke arahku saat aku menatapnya. Sebelah tangannya menarik paksa tangan yang tadi memegang sebuah boneka hingga putus. Netraku membeliak membuat pusat peredaran darahku mencelos hingga perut lalu darahku berdesir dari ujung kaki hingga ubun-ubun, bulu-bulu halus yang menempel di kulitku meremang karenannya. Dan, dilemparnya tangan itu kearahku mengenai dada.

Lalu, tangannya mencokel benda bulat dalam kelopak yang tersisa miliknya, dilempar lagi mengenai leherku. Di susul oleh alat pencernaan dalam perut yang bentuknya seperti pembuluh panjang berlingkar-lingkar dari ujung akhir lambung sampai dubur, yang hinggap di kepalaku, benda itu turun dari kepala berlambai-lambai tepat di wajahku, menyisakan jejak berwarna merah bau anyir di seluruh pemukaan wajahku Kemuadian pusat peredaran darah yang masih berdenyut, sudah dalam genggamanku. Di ikuti oleh organ tubuh lainnya yang mengujani tubuhku.

Aku ingin berteriak. Namun, suaraku tertahan di saluran napas. Aku ingin berlari. Namun, anggota badan yang menopang tubuhku dan dipakai untuk berlari, seperti sudah menyatu dengan bumi. Yang bisa kulakukan hanya menangis. Bahkan menggelengkan kepala untuk menyingkirkan sesuatu yang hinggap di kepalaku saja rasanya payah sekali. Ya Allah! Batinku terus berdoa melantunkan ayat-ayat dari surat yang kuhafal. Perlahan namun pasti, mulutku bisa berteriak lirih.

"Tidak...."

"Tidak ... tolong ... tolong a-aku. Kumohon tolong...," aku terus saja berteriak hingga seten-setan kecil itu menyeriangai lalu melangkah maju mendekatiku.

bagian tubuh yang di atas leherku menggeleng cepat saat mereka semakin dekat. "Tidak ... Ya Allah ... tolong aku ... Ya Allah ... be-bebaskan a-aku dari mereka...."

"Ara!" Ibu! Itu suara ibu, Ya Allah itu ibu. Di mana dia?

Pandanganku berkeliling menelusuri hamparan ilalang yang kini sesak, untuk memcari keberadaan ibu. Namun, netraku tidak menangkap kehadirannya, yang ada di hadapanku kini hanyalah setan-setan kecil tanpa anggota tubuh yang lengkap.

"Ara!!" Teriakan ibu kembali terdengar.

"Ara bangun!" lagi!

Tunggu! Apa katanya? Bangun? Itu artinya, artin-

"Zahra, bangun, Nak. Bangun!"

"Bismillahirahmanirahim."

Byurrr

🐭🐭*

Air yang disemburkan ke wajahku membuatku terbangun seketika. Napasku terengah seperti habis bermaraton ria. Air yang keluar melalui pori-pori tubuhku membanjiri seluruh badan.

"Alhamdulillah." Terdengar suara beberapa orang mengucap hamdalah.

Empuku menoleh ke arah itu, netraku bertemu dengan mata teduh milik ibu, senyum seribu kelegaan terbit dari bibir miliknya.

Ibu mendesah lega kemudian berkata, "Kamu ketiduran, Nak. Pasti belum berdoa. Makanya mimpi buruk kayak tadi." Suara itu terdengar seperti nada yang mengalun lembut menyapa indra pendengarku.

"Lain kali, jangan buat ibu khawatir seperti ini lagi ya, Nak." Kekhawatiran terpancar jelas di wajahnya yang dipenuhi guratan-guratan senja dimakan usia. Aku menyesal 'lah membuatnya khawatir. Diriku berjanji tak akan membuatnya cemas lagi. Kubalas ucapannya dengan senyum kecil lalu mengangguk patuh.

Ibu berkata lagi, "Kamu belum shalat isya, Nak. Ambil wudhu lalu shalat dan minta ampun pada Gusti Allah karena telah melalaikan perintahnya, agar kejadian ini tidak menimpamu kembali."

"Baik, Bu," balasku lalu turun dari ranjang kecil milikku. Kakiku melangkah keluar kamar menuju kamar mandi yang berada di luar ruang istirahatku. Letaknya tepat di sebelah televisi yang menyatu dengan ruang tamu. Orang-orang yang tadi berada di dalam ruang tidurku pun ikut keluar menuju ruang tamu untuk menonton televisi.

Setelah selsai ambil wudhu, aku kembali menuju kamar. Namun, langkahku terhenti saat indra pendengaranku menangkap suara seorang reporter warta acara yang ada dalam layar selebar 14' dan netraku terfokus pada benda yang menayangkan berita kecelakaan sebuah gerbong kereta api yang terguling, mengakibatkan seluruh penumpang tewas di tempat. Rata-rata penumpangnya adalah anak kecil.

Seketika indra penglihatanku terbelalak saat melihat lokasi kecelakaan tersebut. Lokasi tersebut tepat berada di hamparan ilalang yang ada dalam mimpiku tadi. Ya ampun! Kenapa aku tidak menyadari kalau di sana ada jalur rel kereta api?

Masih dalam acara tersebut. Tak lama kemudian, seorang relawan berhasil tubuh kecil yang terhimpit gerbong. Tunggu! Itu kan ... tubuh kecil berbalut kain berpotongan A-line berwarna merah, yang menutupi warna aslinya yang sebenarnya adalah putih, tangannya memegang sebuah boneka teddy bear yang sama-sama berwarna merah tak asli. Itu adalah dia, anak kecil yang kujumpai dalam mimpi tadi, walau aku tidak melihat wajahnya dengan jelas. Namun, aku masih bisa mengingat pakaian yang ia kenakan.

Ya Allah ... apa arti dari mimpiku tadi? Entahlah. Aku sendiri tidak tahu, lebih baik aku pergi bersembahyang menunaikan apa yang kulalaikan dan berdoa untuk anak itu. Semoga saja gadis kecil tak berdosa itu mendapatkan tempat dalam keridhoan-Mu.

Éntosan ...

🐭🐭🐭

1278 words. Huhu harusnya ini teh publisnya dari jam dua malaman cuma karena belum selsai mengetak, akhirnya terbitnya pagi menjelang siang.

Tiba-tiba saja terlintas ide di tengah malam untuk menulis cerita ini, setelah dalam hati bernyanyi 'Boneka Abdi' akhirnya kususun kata-kata hingga menjadi kalimag yang ditulis di buku cacatan dan di ketik ke gejet alias hape alias entahlah aku tak tau. Ha ha😅

Mengetaknya melewati beberapa rintangan, dari perut berbunyi minta diisi, mata berat minta dipejam sampai ketiduran dan lanjut mengetak jam setengah dapan tadi 😂😂

Tanpa melalui edit-edit entah ada typo atau kata yang tidak dimengerti, langsung kupublis. Maafkan kemampuan otakku yang membuat kata-kata yang tidak jelas menjadi sebuah susuan kalimat yang sukar dimengerti. Hiyaaat//flip table 😅😅

Bodo ah da, malah curhat iyey mah 😁😂

Ha ha nikmati sajalah tulisan absurd ini, yang bagusnya ambil yang jeleknya buang 😅

Terimakasih buat yang sudah menyempatkan membaca.

Di bawah kolong langit, di atas bumi pertiwi tepatnya di Cibogo Indah. Bandung.

-2 februari 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro