To Make You Feel My Love

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Laki-laki itu tampak cool dengan kacamata yang bertengger mesra di hidungnya. Dia menatapku dengan senyum manis terukir di bibir tebalnya, ditambah dengan lesung pipi di kedua pipinya yang sedikit gempal. Tatapan di balik kacamatanya padaku mampu menghipnotis dan membuat kupu-kupu mengepakkan sayapnya di perutku, rasanya benar-benar tak keruan.

Langit Biru. Setiap kali mulutku menggumamkan namanya, hatiku luluh lantak bak diterjang tsunami. Lebay? Aku tidak peduli, aku akui hipotesaku memang lebay. Tak apa, suka-suka aku dong!

Terdengar kursi berderit karena ditarik oleh laki-laki yang tadi menatapku. Dia duduk tepat di hadapanku dengan senyum yang masih terukir jelas, senyumnya mampu membawa kebahagiaan dalam hatiku. Aaaaa, aku ingin berteriak sekarang juga untuk memberitahu bahwa laki-laki di hadapanku ini adalah mi-eh, belum masih calon. Haish, kata 'calon' itu membuat hatiku nyeri seperti ada ribuan jarum yang menusuk-nusuk hati ini. Oke, hentikan pikiran hiperbolaku. Sekarang fokuslah pada dia yang kini tengah menatapku dengan senyum manis yang mengembang.

"Hey!" tegurnya membuatku tersentak, "ngelamunin apaan dah, pake senyam-seyum kaya onta," sambungnya sambil menahan tawa.

Sialan! Dia malah menghinaku, untung aja aku suka sama dia, coba kalau enggak, aku bakalan tenggelamin dia di rawa-rawa seperti Hayati yang ada di fi—film apa, ya? Lupa lagi. Ah, lupakan!

"Enak aja loe bilang gue kaya onta, gini-gini juga gue cantik tau!" balasku sewot.

Dia tergelak lalu mencubit gemas kedua pipiku yang chubby. "Iya, iya. Adikku yang satu ini emang paling cantik."

Jleb!

Batinku tertawa miris saat mendengarnya mengatakan bahwa aku ini adiknya, ha ha adik satu rahim aja bukan, ewh.

"Ha ha adik?" ucapku memasang wajah bodoh dan menaikan sebelah alis.

"Iya adik, Galuh kan adik gue yang paling ucuuuuul, u nya banyak," ucapnya sambil mencubit pipiku lagi. Hish, dia pikir dicubit seperti itu tidak sakit apa.

"Kurang ajar! Sakit tauk pake ka." Aku memukul lengannya yang masih mencubit pipiku. Ouh, sepertinya itu pilihan yang salah karena pipiku sekarang malah bertambah sakit.

Aku mengerucutkan bibirku sambil mengusap pipi yang sepertinya memerah akibat cubitan laki-laki gila di hadapanku, "Enak aja lo panggil gue adik, serahim aja enggak," ucapku sambil menyipitkan mata.

"Iya, kita emang nggak serahim, tapi kita adik kakak ketemu gede," katanya sambil tergelak.

"Nggak, gue ini perempuan. Pe-rem-pu-an," geramku sambil menekankan kata 'perempuan,' pada ucapanku, "gue aja anggap loe laki-laki kok, bukan kakak. Jadi mulai sekarang anggap gue pe-rem-pu-an bukan adik, oke."

Langit mengangguk-nganggukan kepalanya seperti anjing yang di simpan di dashboard mobil sambil terbahak memegangi perutnya.

"Ngapain ketawa! Emang ada yang lucu, ya?" kesalku sambil mencondongkan badan dan memukul bahunya.

"Enggak, nggak pa-pah," jawabnya sambil sedikit terbahak.

"Ish nyebelin!"

Kesal sih, pasti. Mau marah, tapi percuma. Mau gimana lagi? Toh, dia hanya menganggapku sebagai adik. Namun, di sisi lain, aku senang dapat melihatnya tertawa seperti itu. FYI, dia itu hanya bisa tertawa di hadapan orang-orang terdekatnya, termasuk diriku. Kalau di depan orang yang nggak dikenal atau baru dikenal, dia itu kaku kaya maneken yang berjejer di etalase-etalase mal, senyum aja nggak pernah apalagi tertawa. Jadi, aku termasuk orang yang beruntung, 'kan karena membuatnya tertawa.

Lama terhanyut dalam pikiranku, sampai-sampai tidak menyadari kalau Langit menendang-nendang pelan kakiku. Sontak aku terkejut dengan aksinya itu, aku hendak memakinya. Namun, urung kulakukan saat melihat dia meletakan jari telujuk di bibirnya, tanda agar aku tidak berbicara. Matanya terus melirik ke arah belakangku, aku mengernyit lalu mengikuti arah pandangnya. Dalam kebisuan, aku memgangguk mengerti dengan apa yang dilihatnya. Kupaksakan senyum mengembang di bibirku.

"Samperin gih," ucapku padanya, tetapi dia menggeleng lemah.

"Kenapa?" tanyaku padanya, padahal tanpa bertanya pun aku sudah tahu jawabannya.

"Susah ya, deketin cewek populer kaya dia, udah cantik, bisa nyanyi, wakil ketos, pinter, ramah dan terakhir ... banyak fans," katanya tanpa mengindahkan pertanyaanku.

"Ya, lo bener. Dia itu cewek terperfect di sekolah ini, sampai-sampai cowok yang gue suka aja, suka sama dia," balasku sambil tersenyum miris.

Dia menatapku dengan tatapan iba dan bertanya, "Betewe, gimana kabar cowok yang lo suka ... itu? Udah peka?"

"Entah," aku menjawab sambil mengedikkan bahu, "gue aja gak tau, dia peka apa enggak. Tapi, kayanya enggak deh, soalnya cowok yang gue suka sekarang malah lirik cewe lain."

Laki-laki yang menyukai sepak bola itu mengangguk paham. "Lo sabar aja yah, mungkin sekarang, Tuhan belum bukain hatinya buat bisa liat cinta lo."

"Udah sabar banget gue, mah," jawabku sambil tertawa hampa dan mengibas-ngibaskan telapak tangan kananku.

Setelah mendengar jawabanku tadi, dia geming dan tidak bertanya atau pun mengeluarkan sepatah kata pun. Ya, ada benarnya juga kata-katanya tadi, mungkin untuk sekarang Tuhan masih menutup pintu hatinya untukku. Jadi, aku harus bersabar mungkin sedikit lagi pintu itu akan terbuka untukku.

                         💘💘💘

"Dia nyalahin gue, dia nggak mau ketemu gue lagi. Gue harus gimana?"

Pernah nggak sih, kalian berpikir gimana perasaan kalian saat mendengar orang yang kalian suka bercerita atau curhat tentang orang yang dia suka? Ngerti nggak sih, yang kumaksud? Nggak yah? Oke, gini.

Misal, kamu suka sama cowok, terus cowok yang kamu suka itu malah curhat tentang cewek yang dia suka ke kamu, gimana perasaan kamu? Sakit 'kan? Itulah perasaan yang kurasakan kini. Jujur, aku lelah dengan semua ini. Tapi, kembali lagi pada tujuan awalku, aku tidak akan menyerah sampai mendapatkan apa yang kuharapkan selama ini.

Langit, laki-laki yang aku harapkan selama ini untuk menjadi milikku dan aku berharap waktu itu akan segera tiba. Laki-laki itu kini sedang bersedih, aku tidak tahu kenapa, karena dia belum bercerita. Hmm ....

"Kenapa lagi?" tanyaku padanya.

"Gue ungkapin perasaan gue, ke dia," jawabnya lesu.

"Terus?"

"Dia nyalahin gue. Katanya, gara-gara gue ungkapin perasaan gue ke dia, para fans-nya pada ilang dan dia bilang, dia nggak mau ketemu gue lagi," jawabnya sambil berlutut di bawah guyuran air hujan malam ini.

Dasar cewek lebay! Cuma karena fans yang ilang, dia membuat Langit sampai sekacau ini. Coba kalau aku ada di posisinya, tanpa pikir panjang pun, aku akan menerima pernyataan cinta Langit. Namun, aku tidak ada di posisi itu. Miris! 

Di bawah langit hitam yang tengah menangis memancarkan kesedihan yang teramat sangat. Seperti sang pemilik hati yang tengah patah dan meratapi nasib cintanya. laki-laki itu terus tersedu, aku sungguh tak tahan lagi melihatnya bersedih seperti itu. Mungkin ini saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku.

Aku melangkah maju dan berdiri tepat di hadapannya yang sedang berlutut.  Dia mendengak dan menatapku. Tanganku terulur untuk mengusap wajahnya yang terkena air hujan. Sebelum mengungkapkan tentang perasaanku, aku menguatkan hati terlebih dahulu dan memaksakan bibirku untuk tersenyum.

When the rain is blowing in your face...
and the whole world is on your case...
i could offer you a warm embrace...
to make you feel my love...

Saat air hujan membasahi wajahmu, tanganku terulur untuk mengusap air itu. Bahkan di saat kamu kedinginan membutuhkan pelukan hangat, akulah yang ada untuk menghangatkan tubuhmu. Namun, tetap saja hanya dia yang mampu mengisi hatimu, tapi aku masih bisa bertahan. Apa kamu tahu, untuk apa aku melakukan itu semua? Tentu saja untuk membuatmu merasakan cintaku.

When the evening shadows and the stars appear...
and there is no one there to dry your tears i could hold you for a million years...
to make you feel my love...

Kala senja tiba dan bintang mulai menampakkan kilaunya, kamu sedang menangis dan tidak ada seorang pun yang menghapus air matamu, aku berada di sisimu untuk menghapus air matamu, bahkan untuk menggenggammu selama sejuta tahun pun aku sanggup melakukannya. Untuk apa? Untuk membuatmu merasakan cintaku.

I know you haven't made your mind up yet but I will never do you wrong...
I've known it from the moment that we met, no doubt in my mind where you belong. I'd go hungry. I'd go black and blue and I'd go crawling down the avenue. No, there's nothing that I wouldn't do to make you feel my love.

Aku tahu kamu tak pernah memikirkan bahwa di antara kita akan ada yang saling mencintai lebih dari seorang sahabat, tetapi di saat pertemuan pertama kita, aku sudah sangat nyaman berada di sisimu.

Aku rela menahan lapar, kesakitan dan merayap di tengah jalan untukmu. semua rela aku lakukan, tidak ada yang tidak akan kulakukan demi mendapatkan cintamu yang kau berikan padanya.

The storms are raging on the rolling sea,
and on the highway of regret,
though winds of change are blowing wild and free,

you ain't seen nothing like me yet,
i could make you happy,

make your dreams come true nothing that I wouldn't do go to the ends of the earth for you to make you feel my love, to make you feel my love.

Meski suatu saat kau menolak perasaanku. Akan terus berada di sampingmu sampai kau bisa mencintaiku, seperti aku yang mencintaimu.

"Gue tau ini salah, tapi ... gue nggak mau nahan ini lebih lama lagi, kayanya ini saat yang tepat buat gue ngomong semuanya ke elo ...," lirihku, suaraku terendam oleh gemericik air hujan yang lumayan deras.

Dia mengerutkan keningnya lalu berdiri. Air matanya tak tampak lagi, kesedihannya kini tergantikan oleh raut muka bingung yang terpampang jelas di wajahnya akibat ucapanku. Aku mengulang lagi perkataanku barusan, kebingungan itu semakin kentara di parasnya.

"Maksud lo? gue nggak ngerti." Dia menggeleng pelan dan mengusap wajahnya yang terkena air hujan.

"Gue ... gue, se-sebenarnya gue. Gue su-suk-su ...." Lidahku tiba-tiba terasa kelu, bahkan untuk mengucapkan apa yang ada dalam hatiku saja rasanya sulit sekali.

Langit mencengkram pelan pundakku lalu berkata, "Apa yang mau lo omongin? Ayo, jangan bikin gue penasaran kaya gini." Sebalah tangannya sesekali mengusap wajahnya yang terhalangi oleh air hujan.

"Gue suka sama lo." Mataku membeliak saat kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Lega, karena kalimat yang kupendam selama ini, akhirnya dapat aku keluarkan. Pun gelisah, karena takut ucapanku dianggap angin lalu olehnya.

Kini aku benar-benar takut, dia tidak mengucapkan sepatah pun. Dia tetap tergeming, matanya menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.

Jantungku terasa mencelus hingga ke perut, saat dia melepaskan kedua tangannya dari pundakku lalu berbalik melangkah sedikit menjauhiku. Sedih, marah, kecewa, itu yang kurasakan saat ini. Tanggul yang sejak tadi kubendung, kini runtuh, membuat aliran yang sangat deras melewati kedua pipiku. Napasku tersekat, menyebabkan sesak yang teramat di dada hingga sulit bernapas.

Aku melihatnya berlutut lalu menjambak rambut frustrasi. "AAARGH!!" Kemudian berteriak. Suaranya terdengar putus asa ....

Tiba-tiba dia berdiri dan berjalan ke arahku lalu mengguncang tubuhku. "Kenapa? Kenapa lo lakuin ini? Kenapa?!" sentaknya membuatku terperanjat.

Matanya mengilat menahan amarah menatapku. Aku ketakutan. Tubuhku gemetar, bukan disebabkan oleh dinginnya air hujan yang mengguyurku. Namun, disebabkan oleh tatapan penuh amarahnya padaku. Aku takut ... benar-benar takut ... tidak biasanya dia seperti ini.

"Kenapa, Gal? Kenapa ...." Suaranya melemah, ia melepaskan tangan yang mencengkeram tubuhku kemudian tangannya beralih mengangkat daguku, membuatku mendengak menatapnya. Dia mendaratkan dahinya di dahiku, hidung kami bersatu sangat dekat, wajah pucatnya terlihat sangat jelas.

"Kenapa lo buat gue ngerasa jahat? Lo ... kenapa nggak dari dulu lo bilang ini? Kenapa gue harus nyakitin lo dulu, baru lo bilang perasaan lo? Kenapa ...?" bisiknya padaku lalu menghela napas pelas. Hembusan napasnya menerpa kulit wajahku. Mataku memicing sambil menahan diri agar tak terisak.

"Karena gue ... gue takut ... lo bakal jauhin gue ...," jawabku dengan suara yang sangat pelan, aku nggak tahu dia dengar atau enggak.

"Bodoh ... bego ... tolol ... Gal, lo ... gue, nggak mungkin gue jauhin lo, Gal. Nggak mungkin, gue nggak bisa jauhin lo Gal, gak bisa ...." Entah kenapa, hatiku terasa hangat mendengar ucapannya. Namun, terbesit rasa khawatir karena dia belum menanggapi perasaanku.

"Soal perasaan gu—"

"Sssttt, Galuh. Sorry, karena gue bersikap pengecut kaya ginih. Maap, karena gue buat lo sakit, gara-gara nggak peka sama perasaan lo. Gue ... gue, akan coba buat tumbuhin perasaan sayang gue ke elo, jadi perasaan yang lebih. Lo mau 'kan ajarin gue? Kita mulai semuanya dari awal," ungkapnya lalu memelukku dengan erat.

Tuhan ... boleh nggak aku teriak? Aaaaa, ini bukan mimpi 'kan? Astaga, aku ... aku. Oh Tuhan, aku benar-benar bahagia saat ini. Akhirnya, penantiaanku selama ini tak sia-sia. Terima kasih Tuhan ..., aku sangat bahagia.

Memang benar. Jika kita memiliki perasaan terhadap seseorang, tapi kita tidak memberitahu orang itu. Sampai mati pun orang itu tidak akan pernah tahu. Namun, bila kita ungkapkan perasaan kita, dia akan tahu. Paling, hanya akan ada dua keputusan yang kita dapat, saat dia mengetahuinya. Pertama, dia akan mencoba menerima dan menjalaninya, seperti yang dilakukan Langit padaku. Atau yang kedua, dia akan menolakmu dan menjauhimu. Kita hanya perlu siapkan diri untuk menerima keputusannya.

Ingatlah, usaha yang kita lakukan tidak akan pernah sia-sia.


The end

💘💘💘

2066 words, whoaaaaaaaa akhirnya selsai juga ni cerpen huahahaha.

Maapkeun kalo nggak dapat feelnya hahaha

Mamah Gaaaps kupinjam namamu, ya. Hehehe

Oh, iya. Cerita ini juga terispirasi darimu, tengkyu peri mac 😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro