WAY BACK HOME

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Songlit : Shaun ft. Connor Maynard - Way Back Home
Penulis : Yuyu 

Kuinjakkan kakiku lagi di Jakarta kemarin, setelah lebih dari dua belas tahun tinggal di Amerika. Rencana awal adalah aku dan ibu hanya akan hadir pada hari H pernikahan adikku―Michael Hadinata―kemudian segera kembali ke Amerika. Namun terjadi sesuatu, Mike meminta tolong padaku untuk menggantikan Leo ketika sang groomsmen tiba-tiba harus dioperasi akibat kekonyolannya melakukan bungee jumping di Arizona dan berakhir dengan tulang yang terlepas dari sendi.

Kota yang sedang berjuang untuk berangkat dari keterbelakangan teknologi transportasi bergelut dengan hingar bingar macet di sana-sini serta polusi udara. Akhirnya mobil jemputanku berhasil menerobos keramaian lalu lintas Jakarta untuk sampai di Ritz Carlton Hotel, SCBD. Satu hari sangat cepat berlalu, besok ada serangkaian jadwal yang harus kuikuti sebagai pengganti Leo.

Dari ketinggian lantai 33, kulihat warna-warni lampu mobil dan jalanan terlukis jauh di bawah sana. Awalnya aku menolak kembali, Jakarta menyimpan banyak sekali kenangan singkat yang terlalu manis sekaligus pahit. Kata orang, semua yang diawali dengan kata terlalu tidak akan berakhir baik.

Aku memiliki seorang kekasih di sini, seseorang yang dulu kupikir hanya cinta monyet. Kepindahan kami sekeluarga ke Amerika―tepat setelah tamat SMA―membuatku terpaksa memutuskan hubungan dengan Katarina, takkan kubiarkan gadis itu tersiksa dengan menunggu walaupun kukatakan padanya dengan tegas, aku akan pulang untuk mencarinya.

Selama berada di Amerika, komunikasi dengannya tetap terjalin, komunikasi satu arah. Semua pesan singkatku hanya dijawab dengan dua buah centang biru yang tak terbalas. Sampai suatu hari aku lelah dan berhenti mengirimkan pesan singkat padanya, namun tidak sehari pun kulewati tanpa memikirkan Katarina. Sedang apa dia sekarang? Dengan siapa? Di mana?

Pikiran gila menguasaiku, tapi tidak ada salahnya mencoba. Jemariku mengetikkan pesan singkat setelah bertahun-tahun tidak melakukannya. Aku di Jakarta, bisakah kita bertemu? Sama seperti sebelumnya―hanya dua buah centang biru terlihat―tidak ada jawaban. Aku menggeram kesal.

Hari berjalan cepat, Michael sudah mengatur beberapa jadwal pertemuan yang harus kuikuti. Pada pagi hari, aku menemaninya mencicipi pilihan menu yang akan dihidangkan. Kemudian di sore hari aku harus mengepas seragam resepsi yang mana tidak biasa. Mike pasti sudah gila, pikirku, karena mengambil dress code untuk resepsi bertema Victorian Era. Tema yang mengerikan, di mana para lelaki diharuskan menggunakan pakaian berlapis-lapis dari kemeja dengan hiasan cravat di atas kerah kaku, rompi, jas berbuntut belum lagi ... celana ketat!

Tidak bisakah seorang lelaki langsung membopong mempelainya setelah pemberkatan selesai dan bersembunyi di suatu tempat selama berbulan-bulan―hanya menikmati satu sama lain―di mana tidak seorangpun dapat menemukan mereka? Kurasa ini lebih romantis ketimbang mengadakan pesta besar-besaran dengan kerepotan yang luar biasa, hanya demi satu hari yang grande di menara Ritz Carlton.

Aku juga baru tau, pada malam harinya dan selama tiga hari berturut-turut sejak sekarang, rombongan pengapit yang terdiri dari delapan pasang bridesmaid dan groomsmen harus mengikuti les dansa ala Victorian. Itu termasuk aku. Mike sampai menyewa aula kecil di hotel yang sama untuk kami berlatih. Aku jadi berpikir jelek, jangan-jangan Leo bukannya kecelakaan, tetapi dia sudah merencanakan untuk melarikan diri dari pesta mengerikan ini. Licik sekali dia!

Sudah lebih dari satu jam aku berdiri dan berputar-putar di ballroom, menari bersama rombongan pengapit dalam pakaian ala bangsawan abad 18. Ketika waktu menjelang malam, pandanganku mulai panik dan berkeliling mencari pintu exit. Aku tidak tahan lagi, ini lebih menguras energi daripada memimpin perusahaan multinasional sekelas Hadinata Group.

Sesuatu mencuri perhatian dan membuat pandanganku kembali pada sosok wanita dalam gaun kurung berwarna biru gelap dengan bahu terbuka, roknya indah dengan lipitan bertingkat dari pinggul hingga ke ujung. Entah apakah aku terlalu lelah hingga berhalusinasi, tetapi wanita itu tampak mirip dengan Katarina. "Kat, kaukah itu?" panggilku.

Wanita itu menoleh dan ...,"Maaf, rupanya aku salah orang."

Ketika membalikkan badan, tanpa sengaja tubuhku menabrak seseorang. Aku mencari wajah yang barusan mengaduh untuk meminta maaf, tetapi apa yang kulihat membuat mata terpana. "Oh ...." Sebuah kata yang lolos dari bibirku terdengar seperti helaan napas, rasanya jantungku barusan tergelincir dari cangkangnya dan turun ke lambung, melihat wanita yang kutabrak barusan, "Kat?"

"Ya, ada yang bisa kubantu, Pak?" Dengan alis terpaut, matanya menelusuri wajahku.

Pak? Apakah gara-gara kostum ini dia tidak mengenaliku lagi? Ataukah dia menderita schizophrenia, seperti sinetron Korea yang sering ibu tonton?

"Aku Josh ... Josh Hadinata."

Bak melihat hantu ganteng, giliran wanita di depanku memucat, mata indah dengan bulu mata lentik membelalak, sementara bibir yang berulas pewarna pink membentuk huruf O yang sama denganku barusan. Kalau begitu, pasti jantungnya juga sekarang berada di lambung. Aku tidak dapat menahan diri untuk tersenyum lebar, "Apa kabar, Kat?"

Sama seperti dalam pesan singkat, wajah mulus berbingkai rambut kecokelatan sebahu itu tidak menjawab, lebih parah lagi dia melarikan diri sekarang. Aku tidak bisa tidak mengejarnya, sekali ini saja berikanku kesempatan mengulang semuanya dengan benar ... jika kesempatan itu masih ada.

"Kat, berhenti! Jangan melarikan diri lagi!" teriakku menyusul langkahnya hingga ke gedung parkir. Katarina berlari cepat sekali seperti dikejar seorang psycho, namun aku tidak menyalahkannya. Barusan ketika melewati deretan kaca mobil sepanjang parkiran, aku sempat melihat pantulan diri―dengan rompi dan cravat, serta celana ketat berikut kaos kaki sebetis―aku tampak sama gilanya dengan seorang psycho. Tidak peduli, kupercepat langkah dan berhasil menyusulnya. Tanganku terulur menarik dan memasung tangan Katarina dalam genggaman.

"Kau yang melarikan diri! Bukan aku!" semburnya di wajahku sambil terengah. Matanya berkaca-kaca, dia mungkin benci dan ingin segera menyingkirkanku. Rasa pahit tersirat dalam mata yang menatap nyalang. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Josh. Semua sudah selesai ketika kau memutuskanku sehari sebelum kepergianmu." Didorongnya kasar tubuhku untuk melepaskan diri namun tidak berhasil.

"Kau belum menikah," gumamku ketika menatap jemarinya tanpa cincin. Mata yang barusan menatap nyalang sekarang seperti mengeluarkan kobaran api. Bukan maksudku menyinggung, tapi aku terlalu senang melihat tidak ada cincin atau bekas cincin yang melingkar di jari manisnya. Kemudian api itu meredup, digantikan air mata yang jatuh satu per satu. Katarina memberontak lepas, aku tidak menahannya ketika dia bergegas pergi dengan VW Golf berwana kuning.

Waktu ... aku hanya memiliki waktu dua hari lagi ditambah hari H untuk merebut hatinya. Jika beruntung, mungkin aku tidak akan pulang ke Amerika sendirian.

*****

Sebagai ganti cerita masa laluku, Estelle--calon istri Mike--menginformasikan bahwa Katarina adalah pemilik Wedding Organizer yang digunakan Mike dan Estelle untuk pernikahan mereka, aku bahkan diberi alamat kantornya. Latihan dansa yang menakutkan kini malah menjadi aktifitas yang kunantikan, karena di sini aku bisa bertemu dengannya, walaupun Katarina berusaha menghindar dengan seribu satu jurusnya. Aku menjadi salah satu yang cepat mahir berdansa dalam pakaian aneh ini, kuharap dia memperhatikan itu.

Kubuntuti Katarina yang pulang paling malam. Ketika pintu lift itu tinggal lima sentimeter lagi menutup, jemariku menghentikannya. Dengan tenang aku berjalan masuk untuk berdiri di sampingnya. "Kuantar kau pulang ya?" tanyaku pada angin lalu karena dia tidak menjawab dan hanya menatap lurus ke depan.

Beruntung lift memiliki efek cermin sehingga aku bisa menatapnya tidak langsung. Pandanganku merangkum keseluruhan gadis yang telah menjadi seorang wanita dewasa yang kuat sekaligus rapuh. Jika dia tau, dari dulu aku selalu menunggu satu kata darinya, satu kata yang memintaku pulang, maka aku akan segera bergegas terbang ke sisinya, di mana pun dia berada. Sekarang aku tau bahwa Katarina adalah rumah bagi hatiku, karena hanya dengan melihat diriku berdiri di sisinya, hatiku berdebar dengan cara yang menyenangkan.

Di otakku tergambar dua buah centang biru ketika hingga lift terbuka, Katarina tetap berdiam diri. Dia bergegas keluar sambil menarik kunci mobil dari dalam tas, kusambar benda itu cepat, "Josh, kembalikan!" Teriakannya menggema di lapangan parkir yang sudah sepi.

Aku menyeringai ketika wanita itu berusaha mencuri kunci mobilnya dari tanganku dan menggapai-gapai ketika kunci itu kunaikkan tinggi di atas kepala, kemudian tawaku menjadi tak tertahankan. "Tidak lucu, Josh. Kembalikan cepat!"

"Ingin pulang cepatkah? Apakah seseorang menunggumu di rumah?" godaku pada wajahnya yang bersemu.

"Ya."

Tawaku langsung hilang mendengar jawabannya, aku cemburu. "Kalau begitu aku harus menemuinya."

"Josh!!!" Dengan langkah panjang kubuka pintu VW Golf kuning dan masuk ke kursi pengemudi sementara Katarina berdiri di depan mobil tanpa niat untuk masuk. Suara klakson yang menggema membuat Katarina meloncat terkejut dan membuatku tertawa lagi. Oh, betapa menyenangkan melihatnya masih selugu dulu. Dengan marah, Katarina masuk ke kursi penumpang dan membanting kasar pintunya. Bibir ranumnya memberenggut sementara tangannya terlipat di dada.

"Show me the way, Milady," tanyaku sopan yang dijawab dengan lirikan tajam dan dengkusan kasar.

Berbelok ke arah Jelambar, aku memperlambat laju mobil. Pandanganku menatap rumah sederhana yang terlihat gelap, yang dulu sering kukunjungi setiap malam minggu meski harus bermacet-macetan membelah jarak antara Menteng - Jelambar. "Apa kabar ayah dan ibumu?"

"Ayah dan ibu sudah lama tiada," jawab Katarina lemah. "Sekarang, kembalikan kunciku dan pulanglah Josh."

"Kutemani kau masuk, siapa tau ada kucing garong yang akan mencelakaimu," candaku berhasil membentuk senyum tipis di bibirnya. "Aku selalu menunggu balasanmu, Kat. Menunggu hingga tertidur. Menunggu hingga aku sendiri lelah menunggu." Hembusan nafasku terasa berat, rasanya aku ingin mencurahkan perasaanku semuanya, tapi aku khawatir itu hanya akan membuatnya ketakutan.

"Aku minta maaf. Kurasa kau sudah bahagia sekarang, adikmu mengatakan kau sudah menikah dengan seorang artis Amerika dan memiliki lima anak."

WHAT THE F**K!!! makiku dalam hati, mataku hampir saja lolos dari ceruknya. Mike gila! Aku akan membunuhnya di hari pernikahan. "Dan kau percaya itu?"

Katarina menoleh, kelembutan yang sama kutemukan di sana. Aku yakin sekarang, perasaannya padaku belum berubah. "Sulit untuk tidak, kau populer sejak SMA," tawanya tidak tergambar di bibir, tawa itu terpancar di matanya yang berkilat.

"Apakah kau mau memaafkanku?"

"Tidak akan pernah."

"Ah ... tentu saja." Aku menoleh ke depan menatap kegelapan malam dan sepi lalu lalang jalan. "Kau tau, kita telah melalui banyak perubahan dan tumbuh dewasa, tapi perasaanku padamu tidak berubah."

Katarina berdeham, mengusir kabut romantis yang mulai terbentuk, "Kurasa sudah waktunya kau pulang."

"Ya, kupikir begitu. Sampai ketemu besok, Kat."

Kuserahkan kunci mobil ke tangannya, namun tidak secara gratis. Kutarik kepalanya mendekat dan mencium pipinya cepat sebelum keluar dari mobil dan berlari menjauh. Menengadah ke atas, aku berdoa pada langit agar Katarina mengerti potongan-potongan perasaan yang kuberikan padanya sedikit demi sedikit.

Kuhela napas panjang, waktuku tinggal besok dan hari H. Tidak lama hujan turun, apakah ini pertanda baik? Yang jelas aku kebasahan sebelum sampai di hotel, tanpa uang dan tempat berteduh.

*****

Sudah kukatakan aku tidak akan melewatkan latihan dansa―seberapa pun konyolnya itu―walaupun suhu tubuhku terasa panas. Hari ini tarianku tidak tercela, jika ini adalah sebuah perlombaan, aku pasti menjadi keluar sebagai juara. Terduduk di salah satu kursi ketika latihan selesai, kuperhatikan Katarina yang mondar mandir dan tidak henti menelepon. Pasti dia stress karena besok adalah hari H. Bisa jadi karena tubuhku kurang fit, rasanya aku ingin bermanja-manja, semoga hari ini aku bisa mengantarnya pulang seperti kemarin. Pikiran itu terlintas sebelum pandanganku menjadi kabur.

"Josh, bangun. Oh, tidak ... kau panas! Apakah kau baik-baik saja? Perlu kupanggilkan seseorang? Di mana tempat tinggalmu, kuantar kau pulang sekarang." Pertanyaannya timbul tenggelam di telingaku.

"Aku tidak apa-apa, Kat. Jangan khawatir," ujarku menenangkannya, tetapi tubuhku berkata lain. Begitu aku berdiri, dunia berputar―putarannya seperti ketika aku berdansa tadi―dan aku terduduk kembali.

"Kau bahkan tidak bisa berdiri dengan baik, bagaimana mungkin kau akan berdansa besok?"

"Kurasa aku seperti Leo yang melarikan diri di saat-saat terakhir," candaku terdengar seperti orang mabuk.

"Di mana kau tinggal? Di rumah lamamu di Menteng?"

"Aku tinggal di kamar 3313."

"Kau tinggal di sini? Kau tinggal di sini dan kau mengantarku pulang kemarin?" Aku tidak dapat melihat dengan baik, pandanganku berkabut. Tetapi Katarina terdengar kesal dan mendengkus keras beberapa kali.

"Kau marah."

"Tidak."

"Kenapa tidak marah saja kalau kau memang marah, Kat?" Aku menepis tangannya yang akan membantuku berdiri. "Aku bisa sendiri."

"Kuantar kau ke atas."

"Benarkah?" Dengkusan keras terdengar lagi, tetapi aku merasa senang sekali. Kurasa aku tidak sakit, mungkin hanya mabuk. Mabuk kasmaran.

*****

Aku sulit bangun, sehingga aku menyetel alarm berlapis. Alarm pertama menyala, menunjukkan jam 02.30. Tersentak bangun dan melihat kesekeliling ruangan, rupanya bukan mimpi ketika aku melangkah masuk ke kamar hotel bersama Katarina. Tetapi bagian setelahnya dipastikan hanya mimpi, karena aku masih berpakaian lengkap ala Duke of Hartington.

Tarikan napas halus membuatku mencari sumber suara, seonggok yang tampak seperti gunungan kain berada di atas sofa. Katarina tidak pulang!

Aku menyeringai girang mengetahui dia masih peduli padaku. Perlahan kudekati sofa itu untuk memastikan dan mengangkat tubuh rampingnya dengan hati-hati ke atas ranjang. Katarina lebih membutuhkan ranjang ini dariku. Beberapa jam lagi dia harus bekerja mengatur sebuah pernikahan anak kedua tycoon internasional dari Hadinata Group.

*****

"Josh, bangun," bisik lembut membelai telinga dan membuatku terjaga―luar dan dalam―aku tidak memerlukan alarm lagi jika Katarina bersedia membangunkanku setiap hari. Senyumnya merekah, lebih indah dari mentari pagi. Menyenangkan sekali, jika hal pertama yang kau lihat ketika matamu terbuka adalah wajah seseorang yang kau cintai tersenyum padamu, rasanya seperti menghirup oksigen murni dari alam yang membuat detak jantungmu bukan lagi berbunyi dag-dig-dug, namun setiap degupan meneriakkan namanya.

Aku ingin menahannya, merengkuhnya dalam pelukan tetapi yang terjadi aku hanya menatap punggungnya menghilang di balik pintu. Katarina harus segera turun, ada tugas besar menantinya. Tanpa panggilan dua kali, aku segera bangun dan membasuh tubuh, tidak lupa menggosok gigi.

Sebelum pergi, kutatap sekali lagi bayangan diriku dalam balutan resmi ala Victorian Era. Pantulan di cermin membuatku mengagumi diri sendiri, bagaimana mungkin aku setampan ini dan masih jomlo? Kemudian kutunjuk bayanganku di cermin, Kau! Kau harus bisa mendapatkannya. Jika tidak, sebaiknya kau mengebiri dirimu. Percuma tampan tetapi jomlo, sementara lelaki yang lebih jelek memiliki lebih banyak selir. Kata-kata terakhir membuatku tertawa geli. Aku segera turun mencari Katarina dan tidak menemukannya. Jam menunjukkan pukul 07.30. Di mana dia?

"Josh!" panggil ibu ketika kakiku baru menginjak dalam ballroom.

Oh tidak, ini buruk. Ibu tidak menyukai Katarina sejak awal pertemuan, katanya Katarina tidak berkelas dan bukan dari kalangan atas. Aku menerima kata-katanya dulu namun tetap melakoni kisah cinta dengan Katarina di belakang ibu. Sekarang, aku tidak akan tinggal diam jika ibu akan melemparkan lagi kata-kata itu pada Katarina. Buru-buru kuhampiri dan kutarik ibu ke gudang kecil di belakang ballroom, tempat menyimpan kursi dan barang-barang pesta.

"Ibu, ada yang perlu kusampaikan."

"Ya?"

"Katarina di sini, dia wedding organizer pernikahan Mike. Aku tidak mau ibu melakukan hal aneh dan membuatnya marah atau sedih, okay? Dia telah berhari-hari mengatur acara pernikahan Mike dengan susah payah, kurasa paling tidak kau harus menghargai usahanya," jelasku. Tanpa sadar tanganku memegang kedua lengan ibu dan mengguncangnya lembut, seakan memberi pengertian pada seorang gadis kecil. "Kumohon, Bu."

"Apa yang kau bicarakan, Josh? Di mana dia? Panggil dia kemari," tanya ibu bertubi-tubi membuatku panik seketika.

"Tidak! Jika ibu tidak mau berjanji akan bersikap baik padanya, aku akan ... aku akan ...," jedaku sambil berpikir, akan apa? Berpikir Josh! "menguncimu di ruang janitor!"

"Oh ...!" Tangannya terangkat menutupi bibir keriput yang berulas merah maroon.

"Ya, Bu! Aku akan menguncimu di sana dan mengatakan pada semua orang bahwa kau sekarat dan tidak bisa hadir di resepsi."

"Kau anak kurang ajar ... berani-beraninya kau!" Ibu meronta-ronta dalam kungkungan tanganku. Dia memukul, meninju, sebelum mengeluarkan jurus terakhirnya, mencubitku tepat di dada dan membuatku melolong.

Cengkramanku pada lengannya yang lepas tiba-tiba membuat ibu terhuyung ke samping. Sebelum ibu jatuh, aku buru-buru menangkap agar tulang-tulang rapuhnya tidak berserakan di lantai. Ibu jatuh tepat di atasku. Kudengar tawanya meledak di atas dadaku, terkikik geli hingga air mata keluar dari sudut matanya.

"Kau baik-baik saja, Bu?"

"Aku baik-baik saja," jawabnya di sela kikikan yang belum berhenti bahkan setelah lutut tua itu berdiri tegak. "Kau mencintainya?"

"A-aku ...." Aku tidak tau harus menjawab apa. Yang kutakuti adalah jawabanku akan membuat ibu bertindak ekstrim untuk mengusir Katarina dari hidupku―kali ini mungkin untuk selamanya.

"Jujur padaku, Nak. Kau telah sangat baik pada keluargamu, mengorbankan apa pun untuk adik-adikmu, bahkan masa mudamu terbuang dengan membantuku memimpin Hadinata Group."

"Aku tidak minta banyak, Bu. Aku hanya ingin kau tidak mencampuri urusanku dengan Katarina."

"Kau belum menjawab pertanyaanku, apakah kau mencintainya?" Ibu menatapku lurus meminta kejujuran―tidak menggurui dan tidak menuntut―bagai orang dewasa satu ke yang lain.

Kutatap mata tuanya yang sedikit biru berselaput katarak dan menjawab tanpa keraguan, "Ya, Bu. Aku mencintainya."

Hanya ada keringanan hati setelah pengakuan itu keluar, sekarang tinggal bagaimana reaksi ibu terhadap Katarina. Jika memang terpaksa aku harus mundur dari jabatan sebagai CEO Hadinata Group demi bersama Katarina, aku bersedia. Aku telah membangun banyak rumah dan bangunan tinggi di mana-mana, namun itu tidak ada artinya jika aku tidak bisa membangun rumah untuk hatiku. Hari ini hari terakhirku, jika tidak bisa bersamanya ...

Cheers!!! Denting gelas bersentuhan dalam ballroom yang sudah ditinggalkan oleh para undangan. Acara pernikahan itu sangat meriah dan luar biasa, hujan pujian dan ucapan terima kasih tak hentinya disampaikan pada kedua mempelai. Jangankan berbicara, bertatap muka dengan Katarina hari ini saja belum kulakukan karena mengisi kekosongan kursi di samping ibu―menggantikan posisi ayah―di atas panggung. Ini membuatku sedikit gusar.

Kini, ballroom hanya berisi segelintir orang yang terdiri dari mempelai, keluarga mempelai, rombongan pengapit serta anggota wedding organizer yang membantu kelancaran jalannya pemberkatan pagi ini hingga pesta pernikahan yang diadakan malam hari. Aku memperhatikan Katarina tidak berkata banyak, partner biro wedding organizernya yang lebih vokal bersosialisasi. Apakah karena ibu?

Tidak lama kemudian, Katarina menghampiri Estelle dan Mike, mereka membicarakan sesuatu yang tidak dapat didengar dari tempat dudukku di samping ibu. Dia tersenyum pada Mike, kemudian menggeleng dan berbalik pergi. Aku segera bangkit dari tempatku untuk mengejar sosoknya yang menjauh, hatiku berteriak, jangan pergi!

"Katarina Wijaya, di mana dia?" Pengeras suara berkumandang di tengah ballroom. Aku berhenti melangkah dan menoleh cepat kepada sumber suara. Dengan horor kulihat ibu berdiri memegang mic, Oh, tidak ... ibu jangan lakukan itu!

Katarina ikut menoleh―sama denganku―wajahnya pucat pasi seakan gravitasi telah menyerap turun aliran darah. Ketika Katarina berjalan menghampiri meja tempat ibu berada, aku mengejarnya. Ditepisnya genggamanku yang bermaksud memberikan dukungan, dan meneruskan langkahnya ke meja ibu tanpa menatapku.

Kami seperti berada di persidangan, hanya saja meja di depanku berbentuk bulat. Duduk di hadapan kami, ibu dan kedua mempelai, sementara di belakang mereka berdiri deretan pengapit dan petugas wedding organizer.

"Sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih atas kerja kerasmu membuat pesta pernikahan Mike dan Estelle malam ini ... tak terlupakan," ujar ibu diplomatis. Mic sudah diturunkan sejak tadi, tetapi suara ibu terdengar membahana. Katarina membungkuk hormat sebagai balasan atas ucapan terima kasihnya. "Aku ingin menyewa jasamu lagi untuk merancang pernikahan Josh."

Gumaman berdengung terdengar seperti lebah berkerumun. Jika mereka saja terkejut apalagi aku sebagai calon mempelai pria yang dimaksud. Katarina tidak menoleh sama sekali, tatapannya terkunci erat dengan tatapan tajam ibu. "Kami terima pekerjaan itu, kapan kiranya akan dilaksanakan?"

"Sekarang."

"Sekarang?" tanyaku dan Katarina berbarengan. Rasanya aku akan pingsan, apa-apaan ibu ini? Apakah champagne dalam gelas telah membuatnya mabuk? Seingatku, ibu tidak segampang itu mabuk.

"Kau memiliki keberatan?" Ibu memajukan tubuhnya, kedua tangannya bertumpu ke atas meja, mengintimidasi.

"Sama sekali tidak."

Katarina berbohong―aku tau itu―kuperhatikan batang lehernya yang naik turun menelan gumpalan yang tak kasat mata. Dulu gadis remaja itu hanya mengangguk dan pergi ketika ibu mencelanya, sekarang Katarina dewasa berbicara dengan ketegasan yang sama dengan wanita yang dulu menghardiknya.

"Bagus! Apakah kau mencintai anakku? Karena aku akan ...."

"Cukup, Bu! Kupikir aku telah mengatakan dengan jelas aku tidak mau ibu ...," potongku kasar, berusaha menghentikan ibu sebelum suasana menjadi keruh.

"... menikahkanmu dengannya," lanjut ibu.

"Ya, aku mencintainya," jawab Katarina.

"... mencampuri urusanku dengan Katarina!"

Suasana menjadi hening seketika. Barusan rasanya aku mendengar kata cinta dan nikah diucapkan berbarengan. Apakah hati kecilku berharap ibu mengatakan itu, ataukah ibu memang mengatakan itu? Kurasa pikiranku mulai meracau. Tak lama gumaman di sekelilingku mulai berdengung lagi, meyakinkan bahwa mereka juga mendengarnya.

"Apa yang barusan ibu katakan?" tanyaku.

Ibu tidak menjawabku, dia menatap Katarina dengan dagu terangkat, "Dengar Katarina, jika dulu aku sempat mengkonfrontasi hubungan kalian, aku minta maaf. Aku sangat menyayangi putraku, kau harus tau itu. Kulihat pagi ini Josh berbeda, aku takut dia akan bertindak nekat jika aku berkeras memisahkan kalian, jadi akan kuijinkan Josh menikahimu. Aku juga melihat sesuatu yang jauh lebih penting, kaulah rumah untuk Josh―jiwa dan raga."

Sebulir air mata Katarina jatuh dan disusul isaknya, kudekap erat tubuh Katarina dengan mata berkaca-kaca. Ibu merealisasikan ucapannya, Pak Pendeta yang ternyata belum pulang dipanggil kembali untuk melakukan pemberkatan saat itu juga.

Pernikahanku mungkin bukan yang paling meriah dan grande seperti Mike, tetapi pernikahan inilah yang kuinginkan. Malam itu juga, aku membopongnya naik ke lantai 33, bersembunyi di bawah bed cover dan saling menikmati hingga waktu yang belum ditentukan.

Oh ya ... aku masih berhutang cincin pada Katarina.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro