Nadeleine

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(meaning : a ray of hope)
_____________

      Malam ini Denaya mendapat undangan bermain berkedok belajar dari tetangga depan rumahnya, salah satu penghuni rumah itu adalah Gavin, laki-laki malas belajar yang memiliki segudang ide licik agar tetap bisa bermain saat sedang ujian. Denaya juga malas belajar, maka dari itu dia tidak ragu menerima tawaran tersebut.

      Rumahnya sepi begitu pintu kamar terbuka. Kedua orang tuanya sedang pergi tanpa memberitahu tempat tujuan mereka. Tidak masalah bagi Denaya, membiarkan keduanya menikmati waktu bersama merupakan hal yang baik bagi hubungan yang belakangan ini sedang diombang-ambing prahara. Denaya justru senang bila kedua orang tuanya menghabiskan waktu bersama.

      Sebelum ke rumah Gavin, selain membawa satu buku dan pensil yang terselip di dalamnya, Denaya juga butuh dua lembar keju untuk menemaninya di sana. Denaya tidak peduli apa yang akan dilakukannya bersama Gavin nanti, keju harus selalu ada untuk mengawali langkah berikutnya.

      Namun langkah yang sudah bergerak menjauh beberapa senti dari dapur mesti berhenti melihat pintu kamar kedua orang tuanya setengah terbuka.

      Tumben, pikirnya. Sudah lama Denaya tidak menapaki diri ke kamar sakral itu. Ada rasa rindu merebahkan diri sambil menonton dan menemani mama atau papanya bekerja. Kakinya mengambil langkah berikutnya memasuki kamar, mendapati sebuah HP tergeletak di kasur dalam keadaan layar menyala, menampilkan banyak SMS yang masuk.

      Itu HP papanya dan hatinya tergerak ingin melihat isi HP papanya, sumber masalah dari ketegangan kedua orang tuanya.

      “Bales, dong! Aku dicuekin mulu!” Pesan paling bawah dan paling baru masuk begitu Denaya mengoperasikan HP papanya. Denaya membuka SMS dari nama kontak seorang perempuan. Membacanya pelan-pelan sekaligus mencari kebenaran dari mulut papanya yang bilang orang ini hanya sekedar rekan.

      Ada banyak pesan yang menurut Denaya masih berada di batas wajar. Bertanya dan menjawab. Pertanyaan seputar pengalaman memulai bisnis, apa yang harus diwaspadai ketika membangun bisnis hingga sampai membahas kehidupan pribadi yang mendasar. Pertanyaan sudah makan dan lagi apa tidak luput masuk ke dalam pembicaraan mereka. Tetapi satu hal yang bisa ditangkap Denaya, perempuan itulah yang menggoda papanya.

      “Tolong hubungi aku pas bahas bisnis aja, di luar itu aku rasa gak perlu ada obrolan. Aku gak mau istri aku salah paham dan anak-anakku jadi korbannya.”

      Itu balasan terakhir dari papanya. Setelah itu, hanya si perempuan yang terus mengirim pesan tanpa ada sahutan lagi. Denaya bangga pada papanya dan mungkin lain kali akan ikut memberi pengertian pada mamanya.

      Baru ingin meletakkan HP papanya, perempuan itu menelpon, Denaya tidak ragu mengangkat.

      “Perempuan gatel kek Anda tolong berhenti ganggu keluarga saya. Anda itu gak ada apa-apanya dibanding mama saya, mama saya jauh lebih cantik dan terhormat, nggak kek Anda murahan! Kalau masih hubungin papa,  saya nggak akan segan bikin hidup Anda menderita, Anda nggak tahu sedang bersinggungan sama keluarga macam apa! Ini peringatan! Ah, iya, perempuan murahan macam Anda pasti nggak akan nolak kalau ada laki-laki ngetuk pintu rumah, kan? Saya akan pantau Anda, kalau meremehkan saya ... lima laki-laki per hari nggak masalah, kan? Bye, perempuan murahan! Selamat menikmati!”

      Selagi Denaya berbicara, perempuan diseberang sana bersumpah serapah, namun terdiam begitu ancaman dilontarkan. Itu hanya gertakan yang terinspirasi dari film yang pernah ditontonnya. Denaya hanya berniat membuat perempuan itu takut dan untuk membuat perempuan itu takut Denaya mesti terdengar seperti gadis kejam yang tidak tanggung-tanggung memberikan ancaman.

      Dan, berkat hal tersebut hatinya kini lebih lapang dan ringan. Sebelum meletakkan HP papanya kembali ke kasur, Denaya sempatkan mengirim pesan ancaman sekali lagi pada perempuan itu. Denaya bangga pada dirinya yang terbiasa menakuti dan menjahili orang. Dia keluar dari kamar kedua orang tuanya dengan riang. Sengaja tidak menghapus pesan agar papanya tahu perbuatan dirinya.

      “Lama banget!” kesal Gavin yang duduk di teras rumah bersama secangkir minuman yang asapnya masih mengudara. “Rumah lu dalem banget kayaknya sampe selama ini.”

      “Ada urusan bentar tadi. Mau di mana? Di kamar apa di sini?”

      “Kamar aja, kalau di sini rencana gua gagal nanti.” Anak itu mengedipkan satu mata. Maka artinya tidak ada belajar bersama malam ini, digantikan bermain. Denaya penasaran permainan macam apa yang mau dilakukan laki-laki itu. Denaya tidak akan ikutan, dia tidak suka bermain permainan yang memiliki unsur cerita, memakan waktu lama dan menumbuhkan rasa penasaran hingga mengalahkan kantuk dan mengabaikan waktu.

      “Nggak bisa main PS, mau main monopoli aja nggak?”

      Monopoli ... tidak buruk, Denaya menyanggupi dari pada nanti melamun atau hanya jadi penonton.

      “Tapi aku nggak lihat ada Ayah sama Bunda, ke mana?”

      “Di rumah nenek, ada acara.” Gavin mulai menyusun kartu-kartu sesuai tempatnya, memisah nominal uang agar mudah di ambil dan kartu-kartu hak milik. Sepertinya anak itu sudah merencanakan ini sejak awal, permainan itu sudah ada di atas meja belajarnya sehingga mudah digapai sambil duduk.

      “Berarti bisa kalau mau main PS, dong?”

      “Nggak, ada Godzilla di kamar sebelah.”

      Denaya tidak bisa menahan diri untuk tidak menjahili Gavin, “Bang Davin!” teriaknya, “Sejak kapan Bang Davin jadi Godzilla?”

      “Siapa yang ngatain gua Godzilla?” Teriakan itu dibalas dari luar.

      “Gavin, Bang.” Denaya mendapat tatapan sinis dari Gavin, tatapan yang bersiap menerkam dirinya beberapa detik lagi.

      “Kalo gua Ultramen, yang Godzilla lagi main monopoli.”

      Denaya dan Gavin sama-sama menatap. Bagaimana si Sulung di keluarga ini tahu Gavin sedang bersiap-siap melempar dadu memulai permainan monopoli, sedangkan pintu kamar tertutup rapat.

      “Jangan bilang gua kagak tahu, ye, isi otak lu berdua.” Ini mengerikan, Gavin sendiri sampai meringis ketahuan tidak belajar. “Tapi berhubung gua lagi baik, main aja, nggak bakal gua laporin. Lagian percuma kalo belajar tapi terpaksa, nggak bakal fokus juga.”

      Senyum Gavin terbit lebih cepat dari Denaya. Keduanya berteriak mengucapkan terima kasih pada laki-laki yang mungkin sedang berada di kamarnya.

-------

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro