Tacenda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


(Things better left unsaid; matters to be passed over in silence)
________

Januari 2009; 4 SD

      “Gua ‘kan udah cariin gambarnya, udah bikin materi sama kemungkinan pertanyaan, kalian tinggal kasih keterangan terus kliping, masa gara-gara nggak masuk nama gua dimerahin, sih!”

      Denaya terus mempertanyakan mengapa hari ini semesta tidak membuat paginya terasa baik seperti sebelumnya. Dia dibangunkan oleh alarm makian dari luar kamar, teriakan-teriakan memekakan telinga, pecahan dan bantingan barang yang mungkin sudah berubah menjadi kepingan yang mustahil utuh seperti semula. Bahkan meski musik telah mengalun, suaranya masih menyusup diantara gema musik. Suara sumbang yang biasanya terjadi di siang atau malam hari.

      “Aku udah bilang, itu cuma temen, kenapa harus dicurigain! Kamu nggak percaya sama aku? Aku harus bangun banyak relasi sebelum mulai usaha!”

      Kenapa harus kalimat lengkap yang masuk ke lorong telinga Denaya? Suara papanya sangat sember membuatnya muak.

      Kenapa musik yang dia putar rasanya tidak bermain di kamar melainkan di suatu tempat agak jauh dari kamarnya? Kenapa dia lebih jelas mendengarkan pertengkaran orang tuanya dibandingkan musik yang sudah dia maksimalkan suaranya? Dan, kenapa sang Kepala Rumah Tangga lupa caranya mengambil alih setir emosi? Apa sedang terjadi rem blong atau karena keseringan dipakai hingga rem itu rusak dan kehilangan kendalinya?

      Kenapa harus sekarang? Kenapa bukan nanti saja setelah Denaya berangkat sekolah?

      Denaya membuka pintu kamar, melongoh ke bawah. Ruang tamu sudah macam kapal karam, banyak barang berbahaya yang rusak dan berserakan, mustahil bagi Denaya turun tanpa terluka. Keduanya bertengkar hebat, Mama mengacungkan HP Papa ke udara, cahaya HP menyala seolah menunjukkan isi di dalamnya.

      “Denaya, lu harus datang atau gua merahin nama lu!” ancam Teguh di seberang sana. Denaya sampai lupa dia masih terhubung dengan teman kelasnya.

      Dia kembali ke kamar. Melirik jam dinding yang menggantung di atas pintu, tersisa sepuluh menit sebelum bel berbunyi. Jelas dia terlambat dan hukuman hanya akan memperparah suasana hati.

      “Terserahlah.” Dia matikan sepihak telepon yang masih tersambung. Jujur saja, dia peduli pada nilai, dia takut ditegur guru karena dianggap tidak membuat tugas dan terlebih, jika benar-benar dilakukan, dia merasa dikhianati kelompoknya sendiri dan merasa dimanfaatkan.

      Jantung Denaya tersentak mendengar teriakan mamanya disertai sebuah barang terbuat dari kaca yang dibanting dan pecah. Denaya bisa mengimajinasikannya dengan jelas lewat suara yang menggema. Keadaan di bawah mungkin sudah seperti rumah yang terkena bencana alam. Denaya memutuskan kembali tidur, meredam keributan di luar dengan bantal dan musik yang belum lelah menemaninya.

      Kenapa, kenapa harus ada perempuan lain yang mengirimi papanya pesan? Kenapa mamanya harus memiliki kecemburuan yang tinggi? Kenapa harus di pagi hari?

      “Kalau kamu nggak bisa setia lebih baik kita pisah!”

      Dan, kenapa kalimat itu yang menjadi penghantar tidurnya?

12.30 WIB.

      Kepalanya pusing bukan main, dia terlalu memaksakan diri untuk tidur, memikirkan banyak hal sampai matanya tertutup, terbangun karena perut yang membelit lapar. Hening. Tidak ada lagi makian dan bantingan di luar, benar-benar hening sebagaimana mestinya.

      Denaya menjejakkan kaki ke lantai, melepas earphone dan keluar kamar, berniat membasuh muka untuk mendapatkan kesegaran kembali. Beberapa kali disapa air dan meyakini diri apa yang didengarnya tadi pagi adalah hal lumrah yang terjadi dalam rumah tangga dan tidak benar-benar terjadi. Dia berharap itu hanya emosi belaka.

      Langkahnya menuruni anak tangga secara perlahan, sisa-sisa pertengkaran sama sekali tidak dirapikan dan Denaya enggan menyentuh kaca yang sudah tercerai-berai. Batinnya merutuki setangkai bunga yang terbuat dari kaca ikut menjadi pelampiasan emosi orang dewasa, itu pajangan kesukaannya. Total ada delapan tangkai bunga kaca berbagai warna yang mestinya berdiri elegan di dalam vas yang juga terbuat dari kaca berwarna lawn green dan semuanya ‘mati’ karena ulah kemarahan orang tuanya.

      Suasana hati Denaya makin memburuk waktu menemukan meja makan kosong dan tidak ada persediaan makanan beku di kulkas, bahkan satu butir telur pun. Dia benar-benar kelaparan setelah menguras tenaga menangis dalam tidur. Mau tidak mau dia harus ke taman kota, membeli banyak jajanan sampai perutnya terisi penuh. Untung saja dia sudah membawa HP dan earphone juga uang saku yang masih setia di dalam kantong.

      Di taman, tidak ada makanan yang membuatnya berselera, atau mungkin nafsu makannya sudah terlanjur hilang? Di bawah pohon ceri di perempatan jalan taman kota ada sebuah toko es krim, Denaya mampir ke sana membeli es krim vanila dengan taburan keju dan oreo yang dihancurkan, dia membeli dua gelas besar sekaligus. Es krim selalu membuatnya tenang.

      Dua tangannya menenteng es krim ditemani musik yang masih setia mengalun di lorong telinganya. Dia masuk ke taman yang mulai diramaikan anak sekolah, duduk di bagian paling dalam taman, tempat yang banyak ditumbuhi tanaman dan pepohonan tinggi menjulang dan lebat.

      Ada sebuah panggung kecil terbuat dari semen yang belum diberi lapisan, di bawahnya terdapat danau buatan dengan teratai yang tumbuh sehat. Denaya melepas sendal dan duduk di sana, mengayunkan kaki di udara menikmati dinginnya es krim yang mengalir di dalam tenggorokkan. Tidak dia pedulikan orang-orang yang melintas dan sesekali melirik padanya.

      Denaya sedang ingin menikmati ke sendirian. Tetap saja, pikirannya sesekali melayang pada kejadian pagi tadi. Pantulan diri yang dia lihat dari permukaan danau membuatnya agak miris. Mata sembap dan bengkak, hidung merah, dia lupa memakai masker. Denaya penasaran dengan isi kepala orang-orang yang melihat keadaan dirinya.

      “Kenapa nggak sekolah?” Denaya terkejut dan nyaris melepas gelas es krim yang dipegangnya. Dia enggan menoleh, matanya lebih suka menebak pantulan laki-laki pada permukaan danau.

      Itu Gavin.

      “Males.” Tidak ada lagi ketenangan untuk diri sendiri. Gavin tidak akan meninggalkannya sendiri.

      “Gua tahu kok, Bunda bilang, nggak sengaja denger, soalnya sampe keluar suaranya.” Baguslah, lagi pula mulutnya masih terkunci dan malas bersuara. Kaset suaranya sedang bersembunyi di suatu tempat entah di mana.

      Es krimnya ... apakah perlu berbagi dengan Gavin? Tetapi dia masih butuh sesuatu yang dingin dan menyegarkan. Matanya melirik pada es krim di samping tubuhnya, bagian dasar es krim mulai mencair terpapar matahari, tidak akan senikmat ketika masih beku. Dia masih bisa beli lagi nanti. Denaya memutuskan berbagai, menyodorkan es krim yang belum disentuh pada Gavin.

      “Yakin? Nggak kurang?” Denaya menggeleng. Mulutnya benar-benar kaku untuk sekedar melakukan gerakan kecil. Denaya bersyukur Gavin bukan laki-laki cerewet yang memaksanya berbicara dengan memasang banyak umpan. Dia langsung mengambilnya dan duduk di sebelah Denaya. Selagi tidak menganggu, bukan masalah besar bagi Yashi.

      “Muka lu bengkak, tuh, kayak Chipmunk, harusnya dikompres dulu pake es batu biar berkurang. Ngomong-ngomong, makasih es krimya, nanti gua beliin lagi.” Denaya menggeleng, mungkin satu es krim untuk hari ini cukup.

      “Kalau ada apa-apa cerita aja, ke gua atau Bunda, walaupun baru deketnya pas kita sekelas, tapi ‘kan tetanggaannya udah dari kecil.”

      “Ada beberapa makanan yang lebih baik dikunyah sendiri dari pada di bagi-bagi," balas Denaya.

      “Wih, bahasa lu kayak bukan anak SD, dapat dari mana?”

      “Iqra’, bacalah!”

      Sial, bukan begini! Rencana Denaya seharusnya diam untuk waktu yang lama, mungkin sampai kedua orangtuanya berbaikan, anggap saja sebagai bentuk protes. Tetapi kedatangan Gavin yang tidak terduga menghancurkan rencananya sekaligus, agak menolak sebenarnya mengakui hal ini, Gavin berhasil merubah suasana hatinya cukup banyak.

      “Oh iya, Teguh bilang dia cuma bercanda, nama lu aman kok. Dia maksa lu masuk soalnya lu yang nguasaiin materinya, mereka parnoan.” Syukurlah. Tetapi ancamannya sama sekali tidak lucu, kenapa tidak berterus terang saja? Denaya bisa memberikan poin penting yang harus ditampilkan sehingga materinya menjadi padat dan mengurangi celah pertanyaan.

      “Mau makan siang bareng, nggak? Gua tau lu belum makan dan males pulang. Bunda bikin sayur sop, tempe goreng, ayam goreng sama sambel terasi, loh.” Ah, reseh! Godaannya terlalu berat. Denaya gengsi dan malu makan di rumah orang, tetapi menunya tidak terbantahkan ditambah es krim tidak membuatnya kenyang.

      “Ayo, ah! Kebanyakan mikir, laper! Tapi beli es krim dulu, ya.”

-------------

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro