2) Zacky Yang Malang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SPACE

Singa bar-bar mulai meledakkan amukannya. Begitu tandas, tegas, dan ngegas. Dari pojok kiri---tepat di sebelah stan milik Bang Cendol---hingga ke pojok kanan---tempat di mana geng-geng resek nan gesrek berkumpul, suara Gwen yang sama persis seperti TOA masjid memenuhi ruangan itu. Kata-kata laknat, hujatan, hingga nama-nama saudaranya yang tinggal di kebun binatang pun tak luput ia lontarkan, membuat mayoritas penghuni kantin menutup telinga mereka.

"Kalian, tuh, ya! Sehariiii aja nggak gangguin gue bisa nggak, sih?!"

Gwen berkacak pinggang, memandangi tiga cowok paling usil yang pernah dia temui di dunia ini. Siapa lagi kalau bukan Zidan, Zen, dan Zacky---deskmate-nya sendiri?

"Ya maap, Qaqa," ucap Zen Tanudiredja---salah satu classmate Zacky yang sok polos dan jujur parah. Cowok itu menekuk bibir bawahnya lalu menunjuk Zacky yang berdiri tak jauh dari pintu masuk. "Lagian, tuh, Si Zacky, katanya pengen balas dendam ke lo. Ya udah kita tinggal---"

"Lah? Ngapa jadi gue terus yang kena?!" Zacky yang baru saja mengambil ancang-ancang untuk kabur, kini mengurungkan niatnya dan beralih memelototi Zen yang duduk santuy menghadap ke sandaran kursi.

Sementara Gwen? Tentu saja dia masih diam di tempatnya. Kesal, marah, keinginan untuk menerkam, frustrasi, dan geregetan bercampur jadi satu di kepalanya.

"Wah, parah, lo. Masih bocah dah pikun ae." Zen menggelengkan kepalanya sambil berdecak prihatin. "Tadi pagi lo bilang apa, hah? Katanya lo pingin balas dendam ke tuyul bar-bar ini karena capek diatur-atur?"

Sontak Gwen melotot. Bersamaan dengan gerakannya memajukan posisi, tangannya langsung menggampar pipi Zen sampai memerah.

"SIAPA YANG LO BILANG TUYUL TADI, HAH?!" teriak Gwen penuh kecaman, membuat Zen langsung meringis sekaligus malu-malu anjing.

Kini, netra tajam Gwen pun beralih. Menatap Zacky nyalang.

"Dan lo?" Gwen melangkah maju, tersenyum picik dengan gurat alis yang menukik menghadap Zacky sambil berkacak pinggang. "Lo, kan, yang ngasih ide ke mereka buat ngusilin gue pake permen karet? Lo, kan, yang naruh permen sialan itu di bangku gue dan nyuruh Zidan ngalihin perhatian gue dari lo?! Iya, kan?!"

"Bukan gue, astaghfirullah. Selaknat itukah gue di mata lo?!" seru Zacky tidak terima. Pasalnya ide sialan yang mereka realisasikan tadi pagi adalah ide dari Zidan, bukan dia.

"Alah, alasan!" cibir Gwen. "Jujur aja lo! Nggak usah pake ditutup-tutupin lagi!"

Kok gue jadi kayak orang yang ketauan selingkuh? Zacky membatin.

Berhubung sudah tidak ada pilihan lagi, akhirnya cowok itu pun memberanikan diri mengangkat tangannya.

"Denger, ya, Gwen. Tadi pagi gue, tuh, cuma ML-an di belakang kelas, nggak ikut campur sama sekali!" Zacky berusaha agar wajahnya terlihat meyakinkan di mata Gwen. "Yang ngasih ide itu bukan gue, tapi Zidan! Zidan, Gwen. Zidan!"

Zacky menunjuk Zidan yang sejak tadi bersandar pada dinding, duduk meringkuk dengan lutut yang tertekuk. Alih-alih mencari jalan untuk kabur, Zidan justru tampak pasrah. Pandangan Gwen pun kembali terpancang pada sosoknya, termasuk netra semua orang yang masih tertarik dengan pertunjukan ini.

"Apa salahku?" tanya Zidan seraya mendongak, mendramatisir.

Zen pun angkat bicara. "Jujur aja, Bre."

Langsung saja Zidan menendang kaki kursi yang Zen duduki hingga membuatnya terhuyung ke belakang. "Anj---"

"Orang gue nggak salah!" sergah Zidan lantang. Lalu tanpa dia duga, tiga detik setelah itu sebuah ide brilian tiba-tiba saja terbesit dalam pikirannya.

Senyuman Zidan kontan melebar, membuat Gwen menaikkan alisnya curiga.

"Wei, Cil! Ucil! Iya, lo! Lo itu yang gendut itu!" Seseorang yang dipanggil Zidan menoleh, dia adik kelas gemesin yang punya pipi chubby.

"A-apa, Kak?" tanya cewek itu bingung. Gwen pun tertarik untuk melihat sosok itu di belakangnya.

"Batagor Bi Inem DISKON SERATUS PERSEN, kan, ya?"

Mata Gwen langsung berbinar cerah. "WAH, SERIUSAN?! KATA SIAPA? KATA SIAP---"

Dan tepat saat itu pula Triple Z saling pandang. Senyumnya sontak merekah, hingga akhirnya ...

"TAPI BOONG, hahahahahaha----KABUUUUUUUUR!!!"


🍀🍀🍀

Menghabiskan waktu istirahat di kantin memang menyenangkan, namun bagi Aina Gadis Paramita bermain game cacing itu lebih baik daripada ikut desak-desakan. Ya, seperti yang saat ini dia lakukan. Duduk di depan kelas dan bermain ponsel memang mempunyai arti tersendiri baginya.

"Main game itu mulu, ish. Udah nggak jaman tahu," celetuk Bagas Yoga Pramudya---sahabat Aina yang entah sejak kapan sudah duduk manis di sampingnya.

"Masalah buat lo?" tanya Aina sengit tanpa melirik sedikit pun ke arahnya.

"Yee ... B aja kali jawabnya." Air muka Bagas berubah cemberut, namun hanya sebentar, hingga dia kembali mengingat suatu hal.

"Eh, Na. Liat, deh, gue dapat view estetik, lho." Bagas mengotak-atik kameranya, mencari potret-potret aesthetic yang dia dapat saat berangkat sekolah tadi pagi.

Dia pun menyodorkan benda itu pada Aina. "Nih, liat!"

Namun seperti biasa, Aina menolak. "Entar elah, score cacing gue udah mau satu juta, nih. Kalo kalah sayang tau."

Tentu saja Bagas kecewa. Setiap hari pemandangan dan perlakuan yang dia dapatkan dari Aina selalu saja seperti ini. Ingin rasanya dia melemparkan ponsel itu ke laut agar Aina berhenti memainkannya. Tapi, ya, begitulah ... risikonya terlalu besar. Bisa-bisa cowok itu akan didiamkan selama sebulan penuh olehnya.

Dan kalian tahu? Itu sangat menyiksa bagi Bagas!

"Yaelah, sebentar aja." Bagas mengharap suatu keajaiban---atau setidaknya seekor cacing kecil yang datang tiba-tiba agar cacing Aina mati. "Tiga detik aja, deh."

"Ogah," tolak Aina cepat.

"Bentar doang, Na," pinta Bagas sekali lagi.

Namun Aina lagi-lagi berseru, "Entaran elah!"

"Tapi kelamaan tau!" Bagas berteriak frustasi. "Segitu sukanya lo sama cacing? Lo nggak mau liat wajah gue yang imut ini, hm?"

Bagas berusaha mengambil perhatian Aina agar cewek itu mau meliriknya. Namun belum ada tiga detik aksinya terlaksana, tampolan keras tahu-tahu menyerang wajahnya detik itu juga.

"Najis, Bwang!" hujat Aina sadis yang sentak membuat Bagas melotot.

"Ck, ah. Nggak asyik lo!"

Saat Bagas mengedarkan pandangannya, dia tidak sengaja melihat tiga sosok yang tengah berlari kencang dari arah kantin. Dari perawakan dan suaranya, cowok itu tahu pasti siapa mereka.

"Ngapain lagi mereka, tuh?" tanya Bagas yang entah kepada siapa.

"Jangan ikut-ikut," sergah Aina cepat namun fokusnya masih terpusat pada layar ponsel.

"Siapa juga yang mau ikutan," balas Bagas sembari terkekeh. "Malu-maluin aja."

Tepat setelah Bagas selesai menuntaskan kata-kata terakhirnya, mereka pun lewat.

"Halo, kalian!" sapa Zacky dan Zidan yang tengah berlari. Namun belum ada dua meter mereka menjauh, Zidan tiba-tiba saja berbalik lagi. "Eh, Tabung Gas! Entar kalo ada Gwen bilang aja kalo kita lari ke perpus, ya!"

Zidan menunjuk ke arah lain yang tentu saja berlawanan dengan jalan yang dia pilih. Bagas pun mengangguk, mengiakan saja.

"I-iya."

Entah kenapa saat dia melihat Triple Z yang kembali berulah, Bagas selalu berlagak bodoh dan pura-pura tidak mengenal mereka.


🍀🍀🍀


"Seenggaknya kita udah aman sekarang." Zen menghela napas lega lalu menyandarkan punggungnya pada pintu kelas XI Bahasa 2.

Zacky dan Zidan yang tampak lebih kelelahan itu mengiakan saja. Mereka lalu meringsut ke bawah meja dan tiduran layaknya ikan asin yang dikeringkan.

Saking leganya, Zen bahkan baru menyadari bahwa kini dialah yang menjadi sasaran pelototan tajam dari beberapa orang di kelas itu.

"Ngapain lo, woi?!" teriak salah satu dari mereka.

Zen terkekeh. "Sans, Bre. Gue minjem kelasnya cuma sebentar, kok."

Tak jauh dari tempatnya berada, ada seorang cewek bernama Sora Auristella yang terlihat risi melihat kelakuan mereka barusan. Dia yang awalnya sibuk menggoreskan pensil pada sebuah kertas, kini mulai tidak fokus.

"Dasar nggak ada akhlak."

Sembari memberikan efek shadow pada karyanya, cewek itu mendongak untuk sekadar melihat jam. Namun siapa sangka, Zen justru menangkap manik matanya detik itu juga.

Sial.

Sora mengumpat dalam hati lalu kembali melanjutkan aktivitasnya yang tertunda. Namun hal itu hanya berlangsung beberapa detik saja, hingga ...

"Kafe?"

Sora tersentak begitu suara itu terdeteksi oleh indra pendengarannya. Alih-alih menoleh, alangkah terkejutnya dia saat mendapati seseorang yang hanya berjarak puluhan senti saja dari wajahnya.

"Lo suka ngedesain, ya?" tanya Zen yang sedang mengamati setiap detail goresan yang Sora buat.

Sora mengangguk kecil.

"Bagus banget, anjir. Lo belajar dari mana?" tanya Zen lagi sembari membalikkan posisi kursi agar menghadap pas ke arah Sora, tentu dengan gerakan yang di-gas alias nggak bisa santai.

Sora yang melihat itu tentu saja langsung melotot. Pasalnya baru kali ini ada cowok yang mau berbicara banyak dengannya.

"G-gue belajar sendiri." Cewek itu menjawab dengan canggung.

"Kaku amat, sih." Zen berujar tanpa berpikir dahulu yang tentu saja membuat Sora langsung membatin.

Sabarrr.

"BTW, lo hobi nggambar, ya?"

"Iya," balas Sora singkat. Seharusnya sudah jelas, bukan?

"Lo suka nggambar sejak kapan? Orok? TK? SD? SMP?" tanya Zen lagi.

"Dari kecil," balas Sora, Zen hanya mengangguk-angguk.

Pandangan Zen kini terjatuh pada sebuah benda yang tergeletak di atas meja. Bentuknya seperti kemasan make up dengan ujung yang pipih dan tutup bundar di bawahnya. Zen pun meraih benda itu.

"Apa, nih? Pelembab wajah, ya?" tanya Zen yang membuat kelopak mata Sora kian melebar.

"Eh, eh---jangan!"

Sora yang baru saja menyadari sesuatu tentu saja langsung histeris begitu melihat Zen yang tengah memuncratkan semua isi cat akriliknya tanpa berpikir lebih dulu.

"Eh?" Zen melongo polos, menatap cengo tangannya yang kini lengket terkena cairan hitam. Tiga detik kemudian barulah dia sadar, matanya pun melotot. "WEEEH?! INI CAT?! KENAPA LO NGGAK BILANG?!"

"Kan, udah jelas ada tulisannya!" teriak Sora ikut panik, tangannya pun refleks meraih tangan Zen lalu membersihkannya.

"Kalo mau lihat-lihat, dibaca dulu napa," ujar Sora yang masih belum menyadari perilakunya.

Zen tersenyum. "Iya, iya, maaf."


🍀🍀🍀


"Eh, Gwen? Kok belum pulang?"

Suara itu sontak membuat Gwen terkejut. Dia pun berbalik dan mendapati Andromeda yang tengah tersenyum kepadanya.

Saat ini mereka berada di lobby SMA Antares. Niatnya mau pulang, tapi Gwen ingat bahwa ada sesuatu yang harus dia selesaikan lebih dulu.

"Oh, elo, Da. Ngagetin aja, ish!" Gwen bersungut kesal. Dia lalu kembali melanjutkan aktivitasnya, memastikan bahwa roknya sudah bersih seperti awal dia datang ke sekolah. "Gue lagi bersihin rok gue, nih. Masih kotor nggak?"

"Enggak, kok," jawab Andromeda yang kemudian dibalas Gwen dengan dengusan lega.

"Ah, syukur. Jadinya gue nggak dimarahin Nyokap hari ini." Gwen mengikat jaketnya pada pinggang, lalu bersiap untuk pulang. "Lo sendiri, kok, belum pulang?"

Andromeda yang tampak kebingungan melihat gerak-gerik Gwen pun berusaha memusatkan fokusnya lagi pada obrolan mereka. "O-oh, itu ... tadi ada rapat ekskul dadakan di aula."

"Yaelah, ngapain juga didatengin. Ngerepotin aja. Mending langsung balik ke rumah, rebahan." Gwen memejamkan mata tiba-tiba, membayangkan bagaimana rasanya tiduran di kasur ditemani laptop, secangkir teh, dan camilan.

"Maunya, sih, gitu. Tap---"

"Eh, Da. Besok gue pesen bunga krisan dong. Satu iket. Jangan sampe kehabisan lagi, okay?" pinta Gwen memotong ucapan Andromeda barusan.

Namun belum sempat Andromeda menjawab, ucapannya kembali terpotong.

"Bunga krisan?"

Gwen dan Andromeda sontak terdiam kala sebuah suara terdeteksi oleh pendengaran mereka. Tidak butuh waktu lama untuk menyadari siapa dia, Gwen langsung berbalik. Dan ya ... sesuai dugaannya pemilik suara berat itu adalah Satriya Bagas Wijaya---Ketua OSIS mereka.

"Weh, Satriyol. Ngapain lo?" tanya Gwen pada cowok misterius itu.

Satriya mengabaikan Gwen dan tetap bertanya, "Siapa yang jualan bunga?"

"Eh?" Mata Gwen terbelalak sesaat, kaget. "Lo suka bunga?"

"Berisik," tajam Satriya.

"Yaelah, Bang. Santai napa!" Gwen bersungut. Dia lalu menarik lengan Andromeda agar berhadapan langsung dengan Satriya. "Nih, yang jualan, namanya Andromeda. Dia punya toko bunga bercabang-cabang, lho! Koleksi bunganya juga lengkap! Wangi-wangi pula. Kalo minat, cus dah di-order! Sebelum kehabisan!"

"Napa jadi lo yang promosi?" tanya Satriya datar, membuat Gwen spontan melotot.

"Yee ... gue tu mewakili dia tau! Emang kenapa? Nggak boleh?" Gwen berkacak pinggang, menatap kesal Satriya yang justru mengabaikannya beberapa saat kemudian.

Gwen tentu saja langsung melongo. Dia tak menyangka ada cowok yang tega meninggalkannya begitu saja tanpa membalas sepatah kata pun.

Gwen menggertak, "Woi, kacang! Kacang lima ratus perak! Dasar muka tembok. Awas lo, ya!"


🍀🍀🍀


"Mbak ... Mbak!" panggil seorang pelanggan kepada seorang pelayan Red Valley Cafe. Tangannya melambai agar Si Pelayan dapat melihatnya.

Dia Zidan, Zidan Saputra lebih tepatnya.

"Mau pesen apa?" tanya pelayan itu yang merupakan seorang gadis ketika sampai di meja Zidan. Ekspresinya datar, bertolak belakang dengan air muka pelayan kebanyakan.

Kedua tangannya memegang buku kecil dan pulpen, siap menulis pesanan dari pelanggan.

"Pesen cintamu, ada?" tanya Zidan seraya terkekeh.

Gadis itu berdecak. Ekspresi wajahnya semakin datar. "Jangan bercanda!"

"Gue nggak bercanda, Fan," ucap Zidan.

Gadis bernama Fanya Kina Sahila itu menghela napasnya lalu berucap, "Jika tidak ada yang dipesan, saya pergi dulu."

Fanya pun balik badan, siap melangkah meninggalkan meja Zidan. Namun baru satu langkah ia berjalan, Zidan bersuara.

"Es teh dua!"

Ya, Zidan menyukai es teh. Entah kenapa, saat air teh itu menjelajahi tenggorokannya, ia merasakan kesegaran yang luar biasa di sana. Rasa teh yang khas membuat Zidan tak pernah bosan meminumnya.

"Mohon ditunggu, pesanan akan siap dalam sepuluh menit."

Fanya pergi ke dapur untuk membuatkan es teh pesanan Zidan. Khusus es teh untuk Zidan yang membuat harus Fanya karena menurutnya, es teh buatan Fanya memiliki sensasi berbeda ketika di mulut.

Sepuluh menit kemudian, Fanya datang membawakan dua cangkir es teh. Zidan yang melihat itu tentu saja langsung bahagia.

Fanya meletakkan pesanan Zidan ke mejanya. "Ini pesanannya, selamat menikmati."

"Eh, Fanya, tunggu."

Baru selangkah Fanya menjauh, Zidan tahu-tahu memegang pergelangan tangannya.

"Jangan pegang-pegang tangan gue sembarangan." Fanya menepis tangan Zidan dengan gestur risi. "Lo mau apa lagi?"

"Lo duduk di sini," balas Zidan kemudian.

"Hah?" Namun Fanya masih tidak mengerti.

"Duduk di sini, Fanya. Temenin gue."

"Sorry, gue nggak punya waktu," balas Fanya tak mau diganggugugat. Seharusnya kata-kata itu sudah cukup untuk membungkam siapa pun yang berhadapan dengannya, namun jika dilihat dari sini Zidan mungkin akan jadi pengecualian.

"Kalo nggak mau, gue laporin ke Zen, nih, biar lo dipecat," ancam Zidan setelah terdiam selama beberapa detik.

"Lo? Ngelaporin gue yang nggak salah apa-apa?" Fanya tertawa sinis. "Haha, mana bisa."

"Wah, jelas bisa dong! Secara, kan, Zen temen deket gue." Zidan menyunggingkan senyum manisnya yang secara tidak langsung membuat Fanya mengumpat dalam hati.

"So? Lo pikir gue peduli?" tanya Fanya berusaha setenang mungkin.

"Oh, lo pikir gue nggak punya alasan ngelaporin lo ke dia, hm?"

For your information gaes, Zidan ini tipe cowok yang punya banyak ide cemerlang. Meskipun otaknya sedikit berbelok, sih.

"Sikap lo itu, gue pikir alasan itu masuk akal buat dikomplain."

Mata Fanya memincing. "Jangan coba-coba."

"Nah, mulai takut, kan, lo?" Zidan tertawa. "Makanya duduk di sini temenin gue."

Fanya terdiam cukup lama.

"Fanya, duduk sini. Temenin gue," ulang Zidan ramah. Kali ini dia langsung menarik tangan Fanya dan menyuruhnya duduk manis tanpa penolakan lagi. "Nah, pinter."

"Bagooos, diem-diem udah jadian aja. Pajaknya mana, nih?"

Tiba-tiba seseorang dengan suara yang sangat familiar mengagetkan mereka. Di sana, tepat di seberang meja, Gwen duduk sambil menopang dagu dengan senyum merekah.

Zidan baru saja ingin membalas, namun Zacky yang baru saja datang tiba-tiba menyela.

"Sirik tanda tak mampu!" cibirnya yang sontak membuat Gwen melotot.

"Eh, sembarangan kalo ngomong!" seru Gwen tidak terima yang otomatis menarik perhatian beberapa orang di kafe itu.

Oh, ya, kalian tahu kenapa mereka berdua ada di sini sekarang? Tentu saja untuk mengerjakan PR Kimia dan Fisika!

Untuk menebus segala dosa yang dia perbuat, termasuk ulah Triple Z tadi siang dan juga saat-saat di mana Gwen kepleset kemarin, Zacky terpaksa harus menuruti semua permintaan cewek itu.

Merepotkan memang.

"Lah, emang bener, kan?" Zacky menarik kursi di depan Gwen lalu meletakkan bukunya di atas meja.

"Dasar jomblo ngenes, haha."


🍀🍀🍀


白菊
Shiragiku
Krisan Putih

Kebenaran, kata sederhana
namun mengancam dan mencekam.
Kesungguhan, untuk menerima akan menghapus segala yang suram.

Krisan putih, lembut dan suci.
Menandakan kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi.

AN:

Kon'nichiwa!

Akhirnya chapter 2 up! Gimana menurut kalian?

Semoga suka, ya!

Chap. 1 dan 2 adalah perkenalan para couple buatan author-author kece kami yang selanjutkan akan difokuskan pada tokoh utama cerita ini, yakni Zacky dan Gwen.

styakna, character maker Zacky dan Gwen.

Ismisbrin, character maker Alveno dan Verissa.

ikeeayu, character maker Zen dan Sora.

achacamarica, character maker Satriya dan Andromeda.

KimTaeri04, character maker Revan dan Keira.

Mona_TML, character maker Bagas dan Aina. Yang kemudian akan diceritakan lebih lanjut oleh IkaDoloksaribu

fani_ast, character maker Zidan dan Fanya.

Jadi, siapa couple favoritmu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro