2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ibu, bukankah Duyung itu hanya dongeng belaka?" ujarku pada Ibu di suatu malam, ketika adik-adikku sudah terlelap. Ketika tidak ada yang menemani kami selain dari keheningan malam di teras rumah dan deburan ombak di kejauhan dari pantai. Kami berdua duduk di beranda dengan Ibu menyalakan sebuah lentera dan aku membacakan sebuah buku untuk kami berdua.

Matsyan

Hanya satu kata tertulis di judul buku itu, Tidak seperti banyak buku yang sudah aku baca dengan adik-adik, buku ini tampak lusuh, kertas-kertas isinya berhamburan kala aku membukanya dan jika saja tidak menjepitnya baik-baik, niscaya semua kertas kuning itu sudah terbawa angin laut entah ke mana. Rasanya seolah buku ini sudah dibaca berulang kali entah oleh siapa, oleh berapa banyak orang, disentuh oleh ebrapa banyak tangan, selama entah berapa lama, sampai lembar-lembarnya jadi demikian usang dan tidak terawat.

Pastinya bukan buku Ibu. Buku-buku Ibu semuanya terawat dengan baik. Aku yang merawatnya dengan baik. Juga adik-adikku. Judul-judulnya pun panjang dengan tinta bersepuh emas yang indah. Yang ini pasti bukan buku kami.

Tapi jika bukan buku kami lantas buku ini dari siapa?

Kenapa Ibu memilikinya? Kenapa Ibu memberikannya kepadaku? Kenapa Ibu membacakannya dan memintaku membacanya hampir setiap malam?

Padahal buku ini isinya hanya bualan dan dongeng semata.

"Mereka cukup nyata." Ibu mengoreksi. "Sama seperti kamu. Sama seperti Ayah. Dan sama seperti Ibu. Mereka sama nyata. Dan mereka hidup di luar sana. Menyamar. Menunggu."

"Menunggu?" kata itu membuatku heran. "Menunggu siapa, Bu?"

"Bukan siapa, Sayang. Tapi apa." Kemudian Ibu menaruh telunjuknya di depan bibir. "Sssh, diam dan dengarkan. Seharusnya kamu bisa mendengarnya sekarang."

Aku menuruti kata-kata Ibu dan mendengarkan. Lantunan angin malam terdengar di sekeliling kami. Daun-daun mendesau dan beberapa jangkrik berbunyi. Hari ini sudah masuk musim panas jadi tonggeret dan bunyi-buni capit kepiting yang bersarang bisa samar-samar terdengar di tengah kesunyian desa kami.

Tapi di tengah suasana yang biasa-biasa saja, suasana normal yang selalu aku dengar setiap hari sejak aku kecil itu, aku mendengar suara baru.

"H-hah?" Aku menoleh ke berbagai arah, mencoba mencari sumber suara itu, tapi tak kunjung menemukannya.

Aku mendadak jadi gelisah. Aku bangun. Berdiri. Pandanganku menoleh dengan liar ke sembarang arah, berputar tak tentu arah, mencoba mencari, mencai, dan mencari.

Di mana?

Di mana suara iu berasal?

Dari mana dia?

Di mana dia?

Aku perlu mendengarnya!

Aku perlu mencarinya!

Aku—aku peru—

"Mira." Tangan Ibu tiba-tiba menggenggam tanganku, menahanku. Menghalangiku. Mataku mendelik, hendak mengomelinya. Beraninya dia menghalangiku! Beraninya wanita manusia ini mengganggu takdirku!

Tapi sorot mata Ibu yang lembut membuatku terjaga dan terhempas kembali ke kenyataan. Aku langsung jatuh lemas.

Oh, Dewa.

Oh, Hyang widhi!

Apa yng sudah aku pikirkan?

Apa ... apa tadi aku ... aku baru saja membenci Ibu?

Tanpa sadar, isakan keluar dari bibirku. Air mataku mengalir menuruni pipi. "I-ibu..."

"Sssh... Mira, tidak apa-apa. Tidak apa-apa, Sayang." Ibu langsung memelukku. Berlawanan dari kelembutan suaranya, pelukannya sangat erat. Seperti sedang memberiku kerangkeng agar aku tidak pergi. Menjagaku agar tidak menghilang. Aku tidak protes. Pikiran tadi menakutkan. Aku ketakutan. Aku tidak mau memikirkannya lagi. Aku tidak mau mendengarkannya lagi.

Aku langsung menutup telinga.

"Mira mau masuk saja, Bu. Ampun. Mira mau tidur. Mira takut..."

"Ya, kita tidur sekarang, ya, Sayang." Aku merasakan Ibu naik dan membawaku pergi. Aku memeluk Ibu kuat-kuat, mencoba menenggelamkan diri ke dalam pelukannya sambil masih menutup kuping, tapi sia-sia. Dengan tubuh seperti ini, usaha secuil tanpa daya seperti itu hanya sia-sia belaka. Nyanyian itu berhasil menembus pertahanan lemahku, kembali berdengung di telinga dan jiwaku.

Tapi kali ini, aku tidak terperdaya. Aku ketakutan.

Suara itu seperti memainkan sesuatu dalam diriku. Seperti mengacaukan pikiranku dan membuat gambaran-gambaran aneh muncul di benakku: lautan, biru, kedalaman, sosok-sosok aneh yang menari dan menyanyi di tengah pusaran air, semuanya ... semuanya...

"Mira, kamu tidak boleh lupa apa yang kamu dengar hari ini, ya. Tidak boleh diulangi tanpa ada Ibu dan Ayah. Dan jaga adik-adikmu dari suara yang sama." Ibu mengelus rambutku saat kami masuk ke rumah dan menutup pintu. Mengakhiri teror suara itu. Suara yang bahkan masih bergema di telingaku ketika kayu sudah meredamnya menjadi sunyi. Suara lembut itu ... suara merdu mematikan itu... aku merinding ketakutan.

"Suara apa itu tadi, Ibu?" tanyaku, sambil terisak. "Mira takut. Mira tidak suka..."

"Ingat-ingat suara itu, ya, Sayang. Itu akan berguna suatu hari nanti." Ibu bicara. "Ingat suara itu dan jangan lupa. Itulah suara para Duyung ketika memikat manusia menuju kematian mereka."

***

Aku memandangi mata bermotif lautan penuh bintang itu. Jujur aku akui, para Matsyan memang atraktif, baik pria maupun wanitanya. Tapi karena aku wanita, aku tak menemukan keanggunan apa pun selain yang biasa-biasa saja dari para Matsyan wanita.

Tapi para Matsyan pria ... para pejantan mereka yang seharusnya hanya berisikan monster-monster buas haus darah yang mengandalkan kekuasaan dan kekuatan untuk mencari mangsa, beberapa di antara mereka memiliki fitur ibu mereka terlalu banyak dan akibatnya, mengundang perhatian yang tidak diinginkan dari mata-mata manusia yang kehausan dan terobsesi pada kecantikan.

Meski aku bukan termasuk kedua kategori itu, mataku masih bisa melihat mana yang cantik dan yang tidak. Aku punya selera untuk membedakan mada pria yang tampan, dan mana yang bukan.

Dan Matsyan anak baru ini, jelas termasuk golongan yang sangat tampan.

Wajahnya adalah wajah-wajah para rupawan yang digambarkan fiksi dan puisi para sastrawan dengan tulang pipi yang tajam dan ramping, imut seperti khas anak SMA, tapi berhiaskan mata yang tajam dengan sorot dalam yang menghipnotis.

Oh, aku menyadari. Bulu matanya lentik sekali. Seperti seorang gadis.

Ah, kalau dilihat-lihat lagi dia memang ... cantik. Seperti laki-laki yang cantik.

Sekali saja ada satu siswi terjerat pesona pemuda ini, aku yakin dia tidak akan bisa lepas. Tidak perlu dikatakan lagi, tipe seperti ini adalah tipe yang hidupnya tidak akan tenang. Aku turut berduka cita.

"Bisa berdiri?" Aku menawarkan bantuan. "Kalau kamu butuh bantuan, aku akan siap membantu. Tapi kalau kamu cuma mau narik tangan aku atau ngerjain aku biar jatuh ke kolam ini sama kamu, aku bakalan langsung aduin ke ketua OSIS dan wakepsek kalau kamu melakukan tindakan kurang menyenangkan ke kakak kelasmu sendiri. Apa itu sudah cukup jelas?"

"Sa—saya...." Kata-kata pertama yang keluar dari mulut pemuda itu adalah satu kata yang terputus menjadi dua karena dia tergagap di hadapanku. Oh, yang benar saja. Sungguh suatu kejutan.

"Ya?" Aku menuntut, dengan nada sabar. Tapi jelas siapa pun yang mendesak seperti ini, emosinya berada jauh dari batas sabar.

"Saya tersesat."

Lalu siswa itu berpaling. Tidak lagi bicara apa-apa. Dalam hati, aku mencoba mendorong rasa kesalku, memupuk sabar berkali-kali sambil menggerutu dalam hati: kenapa nggak dari tadi?

Kenapa juga dia harus bicara selambat dan selembut itu, oh, Tuhan? Apa dia ini laki-laki yang perangainya seperti orang putri?

Beruntung, kesabaranku tidak sebegitunya sia-sia. Tidak lama, pemuda itu melepaskan tanganku. Pegangannya yang kencang tadi mengendur, tapi tidak begitu saja lepas. Aku menganggap dia melakukannya karena memang butuh bantuanku, jadi aku pun kembali menyarungkan pisau dan membantunya berdiri.

Pemuda itu rupanya tidak berniat merepotkanku lebih jauh. Ia berdiri dengan senang hati dan mempermudah pekerjaanku.

"Fiuh, akhirnya." Aku mengembuskan napas lega setelah kami sama-sama berdiri. Tapi sadar tanganku masih digenggamnya, aku pun menjauhkan tangan itu, melepaskan kontak fisik apa pun antara kami berdua dan aku buru-buru mengelap tangan ke belakang baju. "jadi ... kamu mau ke ruang Aula Utama, kan?"

Pemuda itu mengangguk samar dan aku melihatnya. Aish, kenapa juga dia harus malu-malu begitu? Dia, kan, pakai baju. Lagipula dia tampan. Kenapa harus malu? Aku rasa akan ada banyak perempuan yang justru senang melihatnya basaj kuyub datang ke aula. Tapi tentu saja, datang dalam keadaan seperti ini bukan memori yang bagus untuk dikenang.

"Mungkin kamu mau ke ruang OSIS sebentar? Aku rasa ada beberapa seragam koperasi cadangan di sana. Tapi harus pakai nota. Aku akan minta bantuan Dika untuk mengeluarkan nota tembusan ke Koperasi Sekolah agar—

"Apa..."

Aku terdiam dan menoleh. Ketika aku menatapnya, pemuda itu langsung buang muka. Tampak malu. Aku langsung berkacak pinggang.

"Apa? Ayo, lanjutkan saja. Aku mendengarkan." Bukannya aku sakit hati karena dia menukasku. Lagipula suaranya pelan sekali tadi, tapi suara yang sebegitu pelannya seperti itulah yang justru menarik perhatianku. Semakin pelan suara, biasanya semakin dalam rahasia yang ingin disembunyikan, atau ingin dikatakan.

Kemudian aku sadari mata pemuda itu tertuju ke lengan bajuku. Tempatku menyembunyikan pisau tadi.

"Saya ... tidak tahu ada penyambutan seperti itu di sini." Sekarang siswa itu bicara dengan lebih jelas. "Apa itu suatu ... kewajaran?"

"Tidak," jawabku jujur. "Tentu tidak boleh diguankan kepada sesama Manusia."

Pemuda itu membelalak lagi. Ketika dia kaget, kilatan serupa pelangi melintas di mata birunya yang indah. Aku tersenyum.

"Salam kenal," ujarku. "Aku salah satu pemilik Lisan Pratiwi di sekolah ini. Kakak kelasmu mulai hari ini: Mira Santika."

Kemudian aku menunduk, melihat namanya sudah tercantum di badge. Lalu aku tersenyum. "Mulai sekarang mohon kerja samanya, ya, Kalya,"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro