3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keberadaan Matsyan seharusnya adalah rahasia.

Kalya mengetahui fakta itu sejak dia masih kecil. Sejak dia masih menjelajahi lautan terdalam hanya untuk bersenang-senang dan bermain dengan para Kraken hanya untuk membuat para raksasa itu jengkel.

Dia jauh dari Manusia. Dia bahkan tidak mengenal Manusia selain dari kisah-kisah yang dituturkan para Matsyan dewasa kepada anak-anak, mengantar mimpi-mimpi buruk tepat ke hadapan mereka di malam-malam penuh badai.

Tapi Kalya tidak banyak memusingkan semua kisah itu. Baginya, semua kisah soal Manusia itu tak lebih baik dari dongeng.

Untuk apa? Toh pada akhirnya mereka tidak akan bisa masuk ke lautan dan dia tidak akan bisa naik ke daratan. Untuk apa memusingkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat atau mustahil terjadi? Lebih baik menghabiskan waktu untuk sesuatu yang lebih berguna.

Jadi, semasa kecil, Kalya menghabiskan masa kecil di palung terdalam, jauh dari mata makhluk apa pun kecuali ikan-ikan dan beberapa makhluk besi aneh yang menyelam ke dalam kegelapan, sangat menyenangkan untuk dimainkan sesekali.

Itulah pertama kalinya Kalya bertemu kapal selam Manusia.

Kalya mengamatinya dengan penasaran, hati-hati pada matanya yang menyala. Kalya mencoba mengecek kapal selam itu dengan gelombang suara.

Tidak ada Manusia. Tidak ada apa pun di dalam sana.

Kalya mengamati besi itu dengan penasaran.

Besi. Lautan mengenal besi dari lava dan magma yang ditempa. Tapi Manusia membuat beragam besi. Jauh lebih beragam. Luar biasa di satu sisi, sangat payah di banyak sisi. Daripada memfokuskan diri membuat sesuatu yang indah dan berguna, mereka fokus membuat sesuatu yang aneh dan tidak berguna dan hanya jadi sampah. Jutaan besi-besi itu terdampar di lautan, berkarat, dan dimakan oleh anak-anak Baruna sampai tak bersisa. Sebuah pelajaran berharga bagi Kalya dan semua anak-anak lainnya untuk jangan jadi sebodoh Manusia.

Kalya beberapa kali memainkan lempengan besi itu sambil tertawa-tawa, menghina kebodohan Manusia bersama Matsyan cilik lainnya, perlahan-lahan kehialngan ketakutan dan kepercayaan bahwa Manusia itu berbahaya.

Tidak, mungkin para Matsyan dewasa ada benarnya.

Para Manusia itu berbahaya, tapi bukan karena mereka kuat atau pintar.

Mereka berbahaya karena mereka bodoh luar biasa dan menghancurkan segalanya.

***

Hanya beberapa tahun kemudian, Kalya mengetahui satu hal baru: bangsanya. Matsyan, bisa naik ke daratan dengan cara khusus. Sebuah obat yang sering dikatakan ke dalam dongeng sebagai sebuah mantra, nyatanya ada dan benar bisa digunakan dengan aman tanpa risiko. Tanpa harus menumbalkan suaramu atau akal sehatmu demi cinta yang tak masuk akal itu.

Hal itu adalah salah satu penemuan sekaligus kegembiraan terbesar Kalya seumur hidupnya.

Namun seperti saat kecil dulu, rupanya aturan tetap tidak berubah. Matsyan yang naik ke daratan harus menyembunyikan diri dari Manusia untuk berbaur di tengah mereka tanpa menyebabkan keributan.

Agar mereka aman.

"Kenapa?" Kalya bertanya suatu hari. "Kita bisa menyerang mereka. Kita lebih kuat dari mereka. Tinggal tarik mereka ke lautan saja dan kita akan—

"Jumlah mereka lebih banyak, Sayang." Ibunya memberitahu. "Selain itu, bagi manusia, Matsyan itu tidak pernah ada. Di mata Manusia, kita hanya dongeng belaka dan Manusia sangat mudah ketakutan oleh dongeng yang tiba-tiba menjadi nyata."

Saat itulah, Kalya mengetahui, bahwa seperti dirinya saat kecil dulu yang tidak percaya pada Manusia, para Manusia di atas sana juga tidak percaya adanya Matsyan.

Tapi tidak seperti Matsyan yang tahubahwa Manusia itu nyata, tidak seperti Kalya yang belajar bahwa Manusia itu bukan dongeng semata, Manusia tidak pernah belajar. Mereka terus menganggap Matsyan hanya dongeng di kala tidur. Sebuah buku pernah selamat di kedalaman dan Kalya membacanya.

Isinya omong kosong semua.

Matsyan bukan hal nyata, katanya.

Matsyan hanyalah dongeng pengantar tidur anak-anak.

Lebih buruk lagi, Manusia menganggap Matsyan tidak pernah ada. Murni hanya dongeng tanpa ada kemungkinan untuk muncul dan memangsa mereka semua dalam satu malam.

Saat umurnya tiga belas tahun, Kalya menyadari Manusia itu payah. Mereka hanya menang di jumlah yang terlalu banyak, berkembang biak terlalu cepat di atas daratan. Mereka sedikit cerdas, tapi kecerdasan itu justru mereka gunakan menginvasi lautan yang jelas-jelas bukan wilayah mereka, melanggar secara sepihak perjanjian yang memisahkan daratan dan lautan sejak awal mula. Dengan sombongnya mereka berniat untuk menjadikan lautan sebagai rumah kedua mereka. Tidak heran lautan tak henti mengamuk untuk menenggelamkan mereka setiap ada kesempatan.

Tapi memangnya makhluk tanpa insang bisa apa di tengah kegelapan?

Kalya berpikir bangga seperti itu selama bertahun-tahun, dan tidak pernah lenyap kebangaan itu bahkan sampai kini ia telah naik ke daratan. Hanya sepuluh tahun sejak ia mengenal dunia tanpa air dan begitu dekat dengan matahari yang disebut daratan. Perkembangan ini termasuk cepat di Matsyan seusia dirinya, di antara semua duyung sebaya dirinya.

Saat Kalya menginjak enam belas tahun, dia akhirnya naik ke daratan tempat tinggal Dewi Pratiwi yang dulu sangat membenci lautan.

Setelah tinggal beberapa lama di daratan, ia memahami alasan kenapa bangsanya harus bersembunyi dari Manusia meski punya lebih banyak keunggulan. Dia pun mengetahui fakta lain mengapa bangsa Matsyan sendiri, begitu membenci Pratiwi meski sosok itu setara dengan Dewa Baruna, dewi junjungan segenap Matsyan di lautan. Membenci seorang dewi adalah tindakan penistaan tak termaafkan, tapi pada kenyataannya, ada begitu banyak Matsyan yang membenci Pratiwi. Ada terlalu banyak untuk dihitung dan Kalya adalah salah satunya.

Jadi ketika ia ada di sekolah yang memiliki patung Baruna dan Pratiwi dalam satu tanah yang sama, jelas-jelas saja ia tidak suka. Ia menatap patung dewi Pratiwi di pintu masuk dan langsung mengabaikannya, tak seperti anak-anak lain yang mengangguk memberi salam hormat, ia dengan kesadaran penuh, mencampakkan patung dewi itu dan masuk, melalui acara inaugurasinya yang pertama di siang hari.

Tapi seiring dengan malam yang datang, seiring dengan matahari yang berlalu dan bulan yang menyingsing, Kalya akan mendapati, keadaan berubah total baginya. Seratus delapan puluh derajat.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro