Third tale - Kontradiksi rasa Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kalau di bab-bab sebelum nya, jarak timeline nya sengaja aku bikin lompat-lompat beberapa bulan. Tapi kali ini, aku ingin melanjutkan tanpa melompat terlalu jauh. Karena Bab ini. Akan menceritakan beberapa peristiwa penting yang menurutku adalah peristiwa-peristiwa yang menjadi awal dari proses ku untuk berubah.

Untuk beberapa orang terdekatku yang pernah mendengar, atau bahkan mengetahui sendiri kisah-kisah yang nanti kuhadirkan, banyak dari mereka yang berpendapat bahwa, sudah sewajarnya kalau di saat-saat ini aku mulai berubah. Karena memang sudah sewajarnya di umur-umur ku, seorang gadis mulai mengalami proses pendewasaan.

Tapi menurutku sih, memang betul kalau aku saat itu sedang berada pada masa-masa pendewasaan. Tapi apa yang kualami, adalah memang sesuatu yang membentukku menjadi seseorang yang seperti sekarang.

Dan itu semua mulai terasa saat suatu ketika aku menyerahkan file presentasi untuk rapat yang akan membahas kegiatan angkatan. Tepat satu hari setelah kejadian 'Ditembak si Jokab'.

Setelah semua jadwal perkuliahanku hari itu selesai, aku langsung menuju ke secretariat Hima untuk bertemu dengan mas Fauzan, dan sekaligus membahas apa yang akan kami lakukan saat rapat besar akhir minggu nanti. Atau paling tidak, itu rencanaku.

Namun semua hal yang telah kupersiapkan untuk kubicarakan dengan para petinggi Hima, tiba-tiba rasanya lenyap begitu saja saat kudapati hanya ada mas Fauzan disana. Ya, cuman hanya ada dia.

Padahal awalnya aku udah bayangin kalau paling tidak bakal ada kakak Ketua dan wakil ketua Hima, plus mas Fauzan sebagai penanggung jawab bidang kegiatan kemahasiswaan. Sehingga rencanaku, setelah cuap-cuap dikit, aku bisa kabur dari mas Fauzan dengan alasan mau berangkat kerja. Jadi kami ndak perlu ngobrolin urusan kemarin. Namun kenyataannya berbeda.

Oh Nasib.

"Duduk aja La. Cuman ini ya file nya?", kata mas Fauzan sambil melihat file dari flashdisk yang kuberikan ke dia dari laptop miliknya.

Akupun duduk seperti yang di perintahkan olehnya. "Iya mas. Cuman file doc sama PP yang ada disitu kok. Ndak ada file lain."

"Temen-temen angkatanmu udah kamu kondisikan?", mas Fauzan menatapku dari tempatnya duduk yang berseberangan denganku, terpisah oleh meja tamu.

"Udah mas. Rencananya nanti kamis malam bakal rapat angkatan di aula asrama mahasiswa." Jawabku.

"Kerjaan kamu gimana?"

Aku diem sebentar, trus kujawab, "Untungnya pas aku ndak ada shift mas. Jadi, oke oke aja sih."

"Trus, pas acara gede nanti gimana? Sama ini, waktu camp pengukuhan kalian, kerjaan kamu bisa libur gak? 3 hari lho?"

Duh! Kok jadi gini ya?

Walaupun ia menanyakan itu semua dengan intonasi yang agak datar, tapi hatiku tetep aja merasa seperti sedang di interogasi. Apa maksud nya cobak?

"Anu mas, mungkin setelah tanggal acara sudah fix, aku bakal coba ngobrol sama Spv atau Owner tempatku kerja deh. Boleh ijin apa nggak. Kalau misal nggak boleh, yaudah, terpaksa bulan ini, aku terakhir kerja disana. Dan nanti aku coba cari part time yang lain." Aku berusaha setenang mungkin buat jawab pertanyaan mas Fauzan.

Padahal, keringat dingin mulai kurasa merayapi punggung. Dan aku harus bertahan melakukan ini semua dalam keadaan harus menahan rasa sakit kram bulanan. Tadi pagi baru aja kusadari kalau aku kedatangan 'tamu'.

"Maksudku gini La, kalau misal emang kamu ndak boleh libur, Trus harus keluar dari posisi part timer, aku udah ngontak seorang temen yang punya Kafe deket daerah rumah kamu. Jadi kamu ndak usah khawatir. Kamu fokus aja sama kegiatan ini, plus fokus buat persiapan untuk camp pengukuhan angkatan nanti. Tinggal 1 bulan lagi kan camp nya?" Mas Fauzan mengatakan itu semua dengan nada yang melembut.

Eh? Tunggu bentar. Ini maksudnya apa ya? Jadi, dia udah mikir sampe sejauh itu? Cuman buat aku? Duh! Aku boleh seneng ndak sih? Tapi tiba-tiba rasa senengku ilang gara-gara nyeri di perutku bertambah.

Ah, aku udah mulai susah konsentrasi. Kenapa hari ini sakit banget sih? Ndak tepat banget deh waktunya. "Gitu ya mas. Makasih udah bantuin banyak banget."

Tanpa sadar, aku udah mainin jari-jari ku diatas pangkuan. Dan ketika kulihat mas Fauzan mengerutkan dahi waktu memperhatikan jari-jariku, serta-merta menarik kedua telapak tangan ku kesamping.

"Kamu kenapa La? Ndak enak badan?" Tanyanya penuh nada kekhawatiran.

Aku menggelengkan kepala, "Ndak, ndak papa mas. Aku ndak papa kok."

Masak iya, aku ngomong masalah bulanan sama cowok.

Dan beberapa detik setelah itu, tiba-tiba rasa sakitnya memuncak, rasanya sudah ndak bisa kutahan lagi. Reflek, aku menyentuh perut. Dan tanpa sadar, aku meringis. Kemudian menunduk menyembunyikan ekspresiku.

Mas Fauzan dengan cepat, tiba-tiba sudah berada di samping ku, lalu jongkok untuk mensejajarkan posisi, "Kamu kenapa La?"

Sambil meringis, ku jawab sebisaku, "Maaf mas, nyeri bulanan."

Kulirik mas Fauzan yang sekarang sudah melekatkan hape di telinganya.

"Halo Ra, kamu dimana?"

" ... "

"Bisa ke sekre bentar? Lala sakit. Aku minta tolong ya? Bawa juga perlengkapan bulanan kamu ya!"

" ... "

"Iya. Oke. Makasih Ra."

Dan bersamaan dengan rasa nyeri yang sangat ini, tiba-tiba bisa kurasakan, 'tamu ku' jadi 'keluar' semakin deras. Mampus deh! Kepingin lari, tapi rasa sakit ini bikin aku ndak bisa gerak.

"La, aku minta ijin pinjem lengan Kiri mu boleh?" Tiba-tiba mas Fauzan ngobrol lagi sama aku.

Kenapa hari ini banyak sekali 'tiba-tiba' sih? Apa perlu hari ini juga ku labeli dengan predikat? Lhah kok aku mikir gituan sih? Gak penting banget!

"Buat apa mas?" Tanyaku bingung, sambil tetap nahan rasa nyeri yang masih belum juga mereda.

"Kamu percaya sama aku?" Tanya nya.

Pertanyaan macam apa itu? Ah! Tapi aku udah ndak bisa mikir apa-apa lagi. Aku mengangguk kan kepala sambil mengulurkan lengan kiriku ke arahnya.

Dia menerima uluranku dengan tangan kanan, dan dengan ibu jari tangannya yang bebas, ia mulai menekan beberapa titik di sepanjang lenganku. Beberapa detik tiap titik.

Dan ketika di titik terakhir, ia berkata, "Kalau nyeri nya udah kerasa reda, bilang aku ya."

Aku cuman bisa menatap wajahnya yang tampak serius memandangi titik yang sedang ditekannya saat ini.

Dan benar aja, secara signifikan, nyeri nya berangsur-angsur mereda.

Wow!!

"Gimana La? Udah enakan?" Tanyanya sambil menatapku.

Aku cuman bisa mengangguk.

"Masih nyeri?" Tanyanya lagi.

Sekali lagi aku cuman bisa mengangguk.

Aku nggak tau mau gimana lagi. Ini pertama kalinya tanganku dipegang sama cowok. Dan memang nyeri nya masih ada sedikit.

Lalu mas Fauzan menghentikan tekanan jempolnya di titik yang terakhir, dan kemudian dengan ujung telunjuk, ia menekan sebuah titik di ujung pundak.

Seketika kurasakan rasa hangat merambati sekujur punggung, terus mengalir ke area dada-perut-dan perut bawah. Dan tiba-tiba (yang entah ini 'tiba-tiba' yang keberapa kali), nyeri kram di perutku berangsur menghilang. Total. Sampai-sampai aku hanya bisa merasakan 'aliran' nya yang semakin deras, tanpa rasa sakit.

Wait! What!?

No! Please No! Aku harus ganti 'itu' segera!!

"Kamu tenang aja. Bentar lagi Ratih kesini. Ndak usah khawatir. Okay?" Kata mas Fauzan berusaha menenangkan ku seraya melepas tekanan telunjuknya. Seolah-olah dia sudah mengerti apa yang sedang terjadi, dan sudah merencanakan beberapa tindakan sejak tadi.

Kalau dia terus-terusan kaya gini, aku udah nggak tau berapa lama lagi aku bisa menahan sikap di depan nya. Rasanya sesak. Sesak karena sesuatu yang aku ndak tau itu apa.

"Lala!! Kamu baik-baik aja sayang!!?" Kak Ratih tiba-tiba (lagi) memasuki ruangan dan langsung berteriak menanyakan keadaanku.

Aku mengangguk kan kepala, "Udah mendingan kok kak."

Kak Ratih langsung meraih tanganku, "Yuk, ikut ke toilet."

Akupun berdiri mengikuti kak Ratih.

"Eh, tunggu bentar!" Mas Fauzan berteriak kecil menghentikan kami. Kulihat dia melepas jaketnya, dan memberikannya kepadaku. "... buat nutupin."

Aku mengerutkan dahi. Namun kemudian setelah aku paham apa maksud nya, dalam hati akupun tersenyum. Aku mengangguk, lalu mengucapkan, "Makasih mas"

"Duh, Ojan geblegh! Kamu tuh ya! Mbok ya jangan keterlaluan toh sikap baik nya! Kalau ada yang salah paham sama sikap kamu, orang itu nggak salah lho!" Pekik kak Ratih ke mas Fauzan. "... Udah yuk La, kita pergi sekarang! ..."

Lalu kak Ratih kembali menoleh kearah mas Fauzan, "Nitip tas nya Lala bentar!"

Dan kamipun meninggalkan mas Fauzan sendiri di ruang secretariat yang wajahnya masih menyiratkan kekhawatiran.

Setelah kami kembali ke ruang secretariat, kami mendapati mas Fauzan sedang berkutat dengan laptop nya. Dan begitu melihat kami masuk, dia langsung berdiri dan bertanya ke aku, "Masih nyeri La? Kalau iya, kuantar ke klinik ya? Bikin Surat dokter buat ijin kamu biar bisa libur kerja dulu."

Ini serius. Aku masih inget banget, waktu itu aku cuman bisa ketip-ketip mata gak jelas mencerna kalimat-kalimat mas Fauzan. Dan sebelum aku bisa menjawab, kulihat kak Ratih udah nampol kepalanya mas Fauzan.

"Aduh! Opo toh Ra!?" (Aduh, apaan sih Ra!?) Pekik mas Fauzan sambil mengusap-usap kepalanya.

"Liat tuh jacket kamu ada dimana!?" Hardik kak Ratih sambil menunjuk kearah jacket mas Fauzan yang sudah kuikat ke pinggang untuk menutupi sesuatu dibelakang sana. "... Nggak usah kamu anter kemana-mana! Aku aja yang nganter Lala pulang! Dia harus tuker pakaian sebelum berangkat kerja."

Kak Ratih menoleh ke aku, "Kamu beresin barang-barang kamu La. Abis ini kita berangkat. OK?"

"Iya kak. Makasih." Ku katakan sambil mengangguk kecil.

"But before that ..." Kak Ratih menoleh ke arah mas Fauzan, "... Jan, aku kepingin kalian ngobrol sesuatu dulu. Kukasih 5 menit! Ndak lebih. OK?"

Aku dan mas Fauzan cuman bisa dengerin kak Ratih sambil terheran-heran, yang kemudian keluar meninggalkan kami berdua sendirian di ruangan.

Untuk beberapa saat, ruangan terasa sunyi.

Dan karena mati gaya, akhirnya kupakai jeda waktu sunyi ini untuk mengenakan blazerku dan mengambil ranselku.

"La ... ," mas Fauzan memanggilku pelan. Tapi tubuh dan ekspresiku seperti orang dikagetin dari belakang. Aku berjingkat. Aku menoleh kearah mas Fauzan.

"Aku mau minta maaf soal apapun yang kuperbuat selama ini, semenjak kita pertama kali kenal, sampai sekarang." Ia kembali melanjutkan kata-katanya.

"Minta maaf soal apa mas?" Tanya ku jujur. Uhm, ndak jujur-jujur amat sih. Tadi malam dia udah sempet jelasin kan. Tapi, aku kepingin denger dia langsung ngomong soal itu, karena aku juga butuh itu untuk jembatan buat aku untuk ngomongin apa yang sudah kepingin aku omongin ke dia semenjak malam tadi.

"Maaf kalau, aku udah melakukan sesuatu yang bikin kamu salah sangka."

Aku menggeleng pelan, "Ndak papa mas. Aku ngerti kok. Mas Fauzan cuma orang baik. Yang bakal ngelakuin apapun yang mas bisa untuk nolong orang lain." Jawabku sambil kutunjukkan senyum terbaikku.

Kudengar dia menghela nafas. Kulihat wajahnya menampilkan ekspresi seakan kecewa akan sesuatu. Dan kemudian rentetan kalimat itu pun keluar dari mulutnya. "Seumur hidup, kecuali sama keluarga, aku ndak pernah nolongin cewek sampek segininya. Kamu adalah yang pertama. Dan sampai sekarang, aku masih belum bisa definisiin alasannya. Jadi, sekarang aku mau minta ijin ke kamu dua hal. Yang pertama, aku minta ijin buat jemput kamu pulang kerja nanti malam. Yang kedua, aku minta ijin ke kamu, nanti malam, aku minta waktu sekitar sepuluh menit aja buat ngobrolin masalah ini sedikit lebih detail. Boleh?"

Beneran deh, jantungku udah lompat-lompat ndak karuan!. Kepalaku sampe nyut-nyutan kayak abis sprinting 400 meter. Dan otakku maksa aku supaya menolak tawarannya, lantaran dia (otak ku) menilai, kalau kuterima tawarannya, niscaya organ-organ dalam ku ndak bakal kuat untuk bertahan dari terpaan cobaan-cobaan batin. Jantungku adalah salah satu dari mereka yang berteriak paling lantang karena saat ini dialah yang paling menderita.

Tapi, alih-alih otak ku yang berkuasa, ternyata hatiku berhasil secara total mengambil alih kontrol tubuhku, dan memerintahkan leher dan kepalaku untuk mengangguk. Dan memberi bibirku mandatory untuk berkata, "Boleh mas. Jam 11 malam ya. Nanti alamatnya ku WA. Jacket nya kupinjam dulu ya? Besok lusa kubalikin ke mas Fauzan setelah ku cuci. Aku pamit dulu mas."

Dan yang terjadi berikutnya adalah sesuatu yang jika aku bertahan satu menit aja di ruangan itu, aku yakin aku pingsan. Ialah ketika mas Fauzan tersenyum sangaaaat Manis, dan berkata, "Makasih La."

Setelah mengangguk entah untuk apa, dengan sisa kekuatan hati yang mungkin udah tinggal sangat sedikit, aku keluar dari ruangan, mengikuti kak Ratih ke parkiran mobil, dan dianter pulang.

Dan kalian tau?

Sejak saat keluar dari ruang sekre, sampe kak Ratih nganterin aku ke tepat kerja, tangan ku masih gemeteran! Dan entah berapakali kak Ratih godain aku gara-gara itu. Bahkan aku sempet nangis untuk alasan yang nggak jelas, sampai-sampai kak Ratih minta maaf bolak-balik. Dan bolak-balik juga aku ngomong ke kak Ratih kalo dia tuh ndak salah.

Di tempat kerja juga gitu. Setiap ada waktu kosong, aku selalu mikirin soal nanti pas pulang tuh aku bakal diapain sama mas Fauzan. Dan tanpa sadar, tanganku gemeteran lagi. Dan baru ketika mau closing, aku baru bisa sedikit tenang, dan mulai me-review diriku sendiri.

Ini semua bener-bener sesuatu yang baru buat aku. Aku sama sekali ndak tau, perasaan ku saat ini tuh perasaan macam apa! Dan mas Fauzan tuh sosok seperti apa buat aku. Ini sama sekali bukan seperti diriku.

Seumur hidup, aku sama sekali ndak pernah takut sama apapun! Kecuali fikiran untuk kehilangan kakak.

Empat tahun ku jalani masa SMP dan SMA dengan melawan hampir satu angkatan karena di bully untuk alasan sepele, yaitu karena aku ndak mau ngasi contekan waktu ngerjain quiz atau ulangan evaluasi.

Dan aku sama sekali ndak gentar.

Dan aku akan dengan senang hati menghadapi siapapun diatas matras atau ring dimana pelatihku nyuruh aku buat latih tanding. Memar dan pening, atau kulit lecet dan robek karena benturan tuh udah kayak cemilan buat aku.

Tapi, cuman gara-gara sikap dan ucapan seorang Fauzan, aku bisa gemeteran dalam waktu yang sangat lama!. Bahkan kalau kuinget-inget, aku bukannya abis dtembak atau apa! Cuman sikap baik, manis, perhatian, permintaan maaf, dan permintaan ijin lho!!

Eh? Ngomong-ngomong soal mas Fauzan, aku lupa WA in alamat coffee shop ke dia. Kuambil hape, Trus kuketikan alamat itu. Dan ketika kubaca balasan chatnya, sukses bikin aku menoleh kearah luar untuk mencari keberadaannya. Dan termyata dia memang sudah berada di depan pagar coffee shop, menunggu ku.

Ternyata dari tadi dia ndak bilang kalau dia udah diluar. Soal alamat, dia udah dapet dari kak Ratih katanya.

Wahai Laurentia sang Jidat Besi! Rupa-rupanya malam ini adalah malam ujian kenaikan tingkat bagimu. Persiapkanlah dirimu untuk segala apapun yang akan menerpa. Kuatkan pijakan, mantap kan hati. Kalimat-kalimat itulah yang kali itu kuucapkan kepada diriku sendiri. Sampai diriku merasa cukup siap untuk menerima apapun yang akan diucapkannya nanti. Walaupun aku tau, hampir semua dari kesiapanku adalah omong kosong.

Huft, hampir semua. Ya, hampir semua.

Satu-satunya hal yang bukan omong kosong adalah, akhirnya kusadari, dan kuakui, kalau aku ternyata sungguh menantikan kedatangannya, dan menantikan saat nanti dia akan memboncengku untuk mengantarku pulang. Udah. Itu aja.

Iya, aku mengharapkan itu. Alasannya? Aku tak tau.

* * * *

Dan tibalah waktu dimana kami berbicara. Kupilih sebuah taman kecil yang terletak ditengah komplek perumahan tempatku tinggal. Kami duduk pada sebuah bangku kayu yang bersebelahan dengan tiang lampu jalan.

Mas Fauzan adalah orang yang memulai percakapan, "Aku boleh ngomong sekarang La?"

Aku cuman bisa mengangguk. Lalu menundukkan kepala sambil ngeliatin ujung sepatuku yang entah kenapa, walaupun dia tuh (sepatuku) ndak menarik sama sekali, tapi ia bisa menyita pandanganku secara penuh.

Wahai Laurentia, hentikan candaanmu yang garing itu!

Oke. Kita kembali ke cerita.

"Malam ini adalah terakhir kali kita bisa ketemuan. Aku udah ngerencanain, pertemuan kita berikutnya adalah pas kegiatan acara angakatan kalian, dan yang bener-bener terakhir, adalah di acara pengukuhan angkatan kamu waktu camp nanti." Mas Fauzan mengatakannya dan memberi jeda diam sesaat.

Aku langsung mencampakkan sepatuku dan menoleh kearah mas Fauzan, "Terakhir? Bener-bener terakhir? Maksud mas Fauzan apa?"

Mas Fauzan menatap mataku lekat. Menembus lensa kacamata ku, seolah benda yang bersandar di hidungku tuh ndak ada disana. "Aku mau ngaku. Aku suka sama kamu. Tapi karena beberapa hal yang belum bisa ku omongin sekarang, aku takut buat melangkah lebih jauh. Maaf."

Aku udah ndak tau lagi deh. Beneran!. Tau-tau aja tanganku udah meraih dan menggenggam kedua tangan mas Fauzan, dan sambil agak gemeteran, dan dengan suara yang juga agak gemeteran, kuberanikan bertanya kepadanya, "Kenapa ... Mas Fauzan minta maaf? Mas Fauzan kenapa? Mas Fauzan mau kemana?"

Haduuuh, tau-tau aja air mataku udah jatuh.

"Waduh, kok kamu nangis La?" Dengan lembut mas Fauzan melepas tautan kedua tangan kami, lalu mengambil sesuatu dari saku belakang celananya. Dengan tangan kirinya, perlahan dia melepas kacamataku, lalu menyeka air mata dari sudut-sudut mataku menggunakan benda yang dikeluarkannya tadi, yang ternyata adalah sebuah saputangan.

Semenjak dia melepas tautan tangan kami tadi, tanpa sadar kedua tanganku mengepal diatas pangkuan nya. "Gi ... Gimana aku ndak nangis mas. Mas Fauzan ndak mau tau ta perasaan ku ke mas tuh kayak apa? aku tuh juga su ...!!"

"Sst, jangan kamu selesaiin dulu kalimat kamu sebelum aku ngomongin alasanku." Mas Fauzan menyela kalimatku. Sambil kembali menyeka kembali aliran air mataku.

Ku tepis uluran tangan dan saputangan mas Fauzan, "Kalo gitu ngomong sekarang! Ku coba buat dengerin mas Fauzan! Gak usah nunggu kapan-kapan!"

"Bakal agak panjang lho? Waktu kita cuman tinggal dua menit dari waktu yang kita janjiin."

"Persetan dengan waktu!! Ngomong sekarang!! Atau kita ndak usah ketemuan lagi selamanya! Lupain aja kalo kita pernah saling kenal!" Ndak sadar, aku agak berteriak. Untung dilokasi ini udah sangat sepi.

"Oke, oke, aku ngomong sekarang. Tapi janji jangan teriak. Mau?" Balas mas Fauzan dengan suara yang sangat lembut. Yang berhasil bikin aku bisa sedikit tenang.

"Maaf." Ucapku lirih.

Kuingat saat itu mas Fauzan menghela nafas panjang, sebelum akhirnya dia mulai secara panjang lebar mengutarakan semuanya.

"La, mungkin beberapa alasan yang kusampein nanti bakal terdengar sepele, ndak penting, atau bahkan terdengar absurd. Tapi beberapa hal itu secara fundamental adalah hal-hal yang sangat penting bagiku dalam menjalani hidup. Jadi, tolong dengerin aku sampai selesai."

"Yang pertama. Seumur hidup aku ndak pernah pacaran. Bukan karena aku ndak suka sama cewek, tapi ada sesuatu di dalam diriku yang bikin aku ndak berani untuk menjalin hubungan spesial dengan lawan jenis."

"Dan karena saking takutnya aku pada sesuatu itu, sampai akhirnya bikin aku mati-matian untuk memodifikasi nilai-nilai yang jadi tolok ukur ku untuk menilai keindahan pada wanita. Dan berakibat pada terbentuknya seleraku soal cewe yang jadi bener-bener spesifik. Artinya, aku tuh akhirnya jadi jaraaang banget bisa ketemu sama cewek yang sesuai sama seleraku. Bukan karena kriteriaku terlalu perfect, tapi karena seleraku yang jauh berbeda dengan yang cowok-cowok cari di cewek. Intinya, seleraku jadi bener-bener berbeda dengan selera mereka pada umumnya."

"Akhirnya aku ndak lagi perlu khawatir atau takut untuk berhadapan dengan cewek. Dan aku juga pastiin bahwa, ini bukan juga soal trauma. Alasan itu adalah, bahwa aku takut banget kalau aku ndak bisa nahan diri pas ada di deket cewek yang sesuai seleraku. Karena sebenernya, aku tuh seorang cowok yang sangat amat mesum!."

Disela-sela tangis diam ku, aku mengerutkan dahi. aku sedikit takut sekarang. Bukan soal mesum nya. Oh mas Fauzan, jangan khawatir, semesum apapun dirimu, saat kuketahui dirimu akan melewati 'batas', kupastikan tangan atau kakimu akan patah. Atau at least, bakal ku peringati lah. Jangan dipatahin deh, kasian. Amit-amit!! Tapi bukan itu yang kutakuti.

Adalah saat dimana kamu membuat-buat alasan untuk dirimu menolakku. Kamu pikir aku bodoh? Walaupun masih singkat sekali kita berkenalan, tapi selama 4 bulan ini, hampir tiap hari kita berbagi tugas, dan aku tau kalau kamu sama sekali bukan seseorang yang suka bertindak asusila!

Kenapa aku bisa yakin? Hei! Aku tuh terus merhatiin kamu dari jauh lho!!

Eh? Okay-okay. Aku tau aku naif. Aku tau aku terdengar seperti seorang stalker. Tapi, aku yakin otakku masih berfungsi dengan baik. Dan ingin kukatakan semua kepadanya. Tapi, kuputuskan untuk tetap mendengarkannya.

"Hidupku selama ini baik-baik aja. Karena aku belum pernah ketemu sama cewek dengan criteria super ketat yang kuciptakan di dalam kepalaku. Hidupku jadi tenang. Benteng pertahanan yang kubangun sukses membuatku tak lagi khawatir. Namun semuanya runtuh, saat aku ketemu sama kamu."

Jujur, sekarang aku beneran takut. Tapi ini bukan takut yang bisa bikin aku beranjak pergi dan lari. Ini adalah perasaan takut kalau-kalau Aku bakal ditolak habis-habisan. Entah kenapa aku semacam bakal nerima apapun dari dia. Apapun itu. Pokoknya bukan sebuah penolakan yang menyakitkan.

Apa aku bodoh?

Ah!

Jujur, Aku emang bodoh kalo berhubungan dengan soal yang beginian. Dan seketika aku jadi semakin ndak tau mau ngapain lagi, setelah mendengarkan penjelasan selanjutnya dari mas Fauzan.

"Dan kamu tau La, hampir semua hal yang ada di dalam criteria super ketat, yang aku bikin untuk diriku sendiri itu, itu ada di diri kamu. Ya Gusti, akhirnya kubilang juga ... Huuufft." Ia menghela nafas seakan sebuah beban berat telah terangkat dari pundaknya.

"Dan ini malah jadi salah satu alasan, kenapa aku takut ngakuin perasaan suka ku sama kamu. Demi apapun, kamu masih 16 tahun. Dan karena saking sukanya aku sama kamu, aku takut malah bakal ngerusak kamu di kemudian hari, karena aku bakalan jadi laki-laki yang sangat mesum!"

Baiklah!. Kalimat-kalimat itu sukses bikin aku takut setengah mati karena sekarang aku bener-bener dilanda kebimbangan. Aku bimbang mau mencerna persaan-perasaan yang muncul dihatiku. Ada perasaan takut, Tapi juga seneng. Tapi juga kecewa. Tapi juga girang banget. Oh Laurentia, kamu ini kenapa!!?

Tak lama kemudian mas Adam melanjutkan, "Yang kedua. Aku dan kamu berbeda!"

Oke. Kalimat yang barusan kudenger juga sukses bikin perasaan takutku naik jadi tiga kali lipat!!. Ini adalah alasan yang sama yang bikin aku ragu-ragu sama perasaan ku ke dia. Dan dengan meningkatnya rasa takut ini, dadaku terasa sudah sangat sesak.

"Kita beda ras. Kita juga beda agama La. Kita beda kebudayaan. Kita juga beda keyakinan. Walaupun ada satu sisi di hati yang bilang kalau soal ginian gak bakal jadi masalah kalau kita saling belajar untuk menumbuhkan rasa toleransi. Aku bahkan yakin kalau aku bisa ngajarin kamu buat terbiasa. Tapi aku ndak yakin kamu bisa bertahan dari pandangan orang-orang penting disekitar kamu nantinya. Maka dari itu, ini jadi alasan kedua, kenapa aku nggak berani melangkah lebih jauh sama kamu."

Oh mas Fauzan sayang, ndak taukah kamu tentang perjuanganku melawan banyak orang selama ini. Kalau ini jadi masalah buat kamu, aku bisa pastikan kalau ini sama sekali bukan masalah buatku. Eh? Kok aku udah berani manggil-manggil sayang sih!? Ah, gapapa lah. Cuman dalam hati kok.

"Yang ketiga. Dan ini yang paling berat La."

Kini aku benar-benar secara penuh mempersiapkan mental untuk menerima serangan terakhir darinya. Walaupun benernya aku udah ada di kondisi batinku yang paling buruk saat ini. Yang terburuk setelah peristiwa meninggalnya Papa dan Mama. Tapi aku siap!, ya!! aku siap!!.

Siap kah aku!!!?

Duh!!!.

"Semester ini adalah semester terakhir aku kuliah dikampus. Padahal ini udah semester ke Lima buat aku. Tapi, aku udah nggak mampu buat biayain kuliah sambil biayain hidup dikota ini, sementara aku juga harus cari biaya buat ibuku berobat. Memang saat ini aku kuliah dengan beasiswa partial. Tapi, waktu jadi kendala utama buat aku. Rasanya berat banget buat aku. Kalau proposal cuti ku disetujui sama kampus, aku bakal libur selama setaun buat kerja di kota tetangga sama kerabat, untuk ngumpulin uang buat ibu berobat. Tapi kalau proposal itu ditolak, resign bakal jadi pilihan mutlak. Dan ini lah alasan terakhir yang memperkuat diriku untuk mengundurkan diri untuk tidak melangkah lebih jauh dengan kamu."

Oh tidak. Untuk saat ini, aku sama sekali tak punya jawaban apa-apa. Sakit. Hanya perasaan sangat sakit yang kurasa di hati.

"Sekarang, aku udah ungkapin semuanya ke kamu La. Bukannya aku ndak kepingin tau jawabanmu, atau perasaan mu soal aku. Dari semua gelagat dan sikapmu selama ini, aku bisa sedikit menarik kesimpulan bahwa kamu juga menaruh perasaan suka. Dan maaf, ini justru malah membuatku merasa takut."

Dan tumpahlah semua nya. Aku berusaha mati-matian untuk menangis tak bersuara. Inikah sakitnya merasa jatuh cinta? Inikah senang nya rasa patah hati? Inikah pedih nya perasaan yang gayung bersambut?

"Namun, setelah mengungkapkan ini semua, bolehkah aku minta ijinmu untuk sedikit egois La?"

Rasa sesak di hati membuatku sudah tak ingin berfikir jauh. Aku akan terima proposal apapun yang akan di tawarkannya saat ini.

"Shoot it! Try me!" Kukatakan dengan mantap. Walaupun masih dalam tangis.

"Laurentia Adinata, tolong simpan apapun yang ingin kamu ungkapkan ke aku saat ini. Pikirkan dulu baik-baik. Dan berikan jawaban kamu pada saat hari terakhir camp pengukuhan. Apakah kamu mau?"

Ku raih, lalu ku genggam erat kedua tangannya, "Boleh ngajuin sikap egois juga ndak? Aku juga kepingin egois. Ayo barter!. Kalau mas Fauzan terima, aku mau nerima proposal egois punya mas Fauzan."

"Oke. Aku mau."

Kulepas genggaman tanganku pada nya, dan kupeluk mas Fauzan erat. Dan kubisikkan sesuatu padanya, "Sesuai dengan janji, aku ndak akan ngomongin perasaanku ke mas Fauzan. Untuk saat ini, aku bakal nyimpen perasaan ini. Tapi, dengan pelukan ini, semoga perasaan ku nyampe ke mas Fauzan. Untuk sementara, inilah perasaan ku. Aku akan memikirkan lagi jawabanku. Dan akan kusampaiin ke mas nanti di malam terakhir camp pengukuhan. Dan aku sekarang minta maaf terlebih dahulu ke mas Fauzan, kalau-kalau jawabanku akan mengecewakan mas Fauzan nantinya."

Tubuh mas Fauzan terasa kaku saat itu. Dengan terbata-bata, mas Fazan mengatakan sesuatu di sela-sela pelukan kami, "La ..., Kamu ndak takut sama aku?"

Aku menggelengkan kepala, "Aku yakin mas Fauzan pasti ndak bakal nyakitin aku. Biarin aku gini untuk sebentar lagi. Boleh?"

Kurasakan kepala mas Fauzan mengangguk di pundakku, seraya membalas pelukanku. Rasanya hangat. Dia berbisik tepat di samping telinga, "Makasih La."

Dia mengurai pelukan kami. Menggenggam lembut kedua pundakku dengan telapak tangannya yang ternyata lumayan lebar. "Kuantar pulang yuk?"

Aku menggeleng. "Mas Fauzan langsung pulang aja. Aku jalan kaki. Kan cuma diujung jalan tuh. Trus belok dikit."

Dahi nya berkerut, "Kok gitu La?"

"Bentar lagi jam setengah satu. Kakak ku pasti udah nungguin aku di teras. Ini waktu pulang ku paling larut seumur hidup. Dan kalau mas nganter aku dengan kondisi mukaku yang sembab kayak gini, bisa-bisa mas Fauzan babak belur dihajar kakakku." Aku berusaha menjelaskan kepadanya.

"Kakakmu jago gelut juga?" Tanyanya.

"Kakakku tuh udah Dan 2 nasional mas. Mending ndak usah coba-coba deh."

Kemudian kami berdua berdiri. Dengan ujung jari nya, mas Adam menyelipkan anak rambutku ke belakang telingaku, "Kita pisah ya? Maafin seniormu yang egois ini."

Haduuh. Aku nangis lagi deh. Dan aku cuman bisa angguk-angguk lemes.

Terus mas Fauzan tersenyum Manis banget sambil balikin kacamataku yang di ambilnya tadi. Setelah ia duduk diatas motor dan mulai menyalakan mesin, dia melambaikan tangan sambil perlahan, pergi ninggalin aku.

Dan setelah suara motornya udah ndak terdengar, aku baru jalan kaki kearah rumah.

Kudapati kakak udah duduk di teras dengan sweater tebel, wajahnya kliatan kuatir banget. Dia bukain pagar rumah. Dan yang terjadi setelah nya adalah, aku menghambur ke arahnya, memeluknya, dan nangis sejadi jadinya.

Malam itu kakak nemenin aku sampe aku tertidur. Aku ndak cerita apa-apa sama sekali. Tapi aku semacam bisa bilang kalau kakak sedikit banyak bisa menduga tentang apa yang baru aja terjadi.

Bahkan keesokan harinya, kakak nemenin aku bolos seharian. Dan kakak dengan sukarela dan sabar dengerin aku cerita panjang lebar soal apa yang terjadi semalam.

Tapi, malam itu adalah malam, dimana untuk pertamakali, seorang Laurentia berubah menjadi sosok yang lain. Dan sampai setelahnya, proses transformasiku terus terjadi, dan berjalan kearah yang sama sekali tak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro