Third tale - Nitip

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Suatu hari sepulang kuliah, aku punya janji untuk ketemuan dengan kak Ratih di sebuah mall yang lokasinya dekat dengan kampus. Karena waktu itu hari Jum'at, aku cuman ada 1 jadwal kuliah. Jadi kuselesaikan dengan segera segala urusan kampus, dan tepat pukul 11 siang tadi aku sudah memesan ojek untuk meluncur.

Dan disinilah aku sekarang. Duduk sendiri pada sebuah meja di sebuah restaurant cepat saji. Ditemani satu large cup minuman soda, sambil membalasi satu persatu chat teman-teman seangkatan di group maba.

Sesekali tersenyum menanggapi protest dari teman-teman soal lenyapnya 'Komting Jidat Besi' secara tiba-tiba, yang sebenarnya hari ini, akhirnya mereka melihat diriku berada dikampus setelah absen 3 hari. Namun hari ini, aku masih malas untuk berurusan dengan tetek-bengek ospek.

Beneran!

Ndak tau kenapa nih, semenjak peristiwa malam-penuh-tangis itu, aku jadi agak malas untuk mikirin ospek.

Huft ...

... Oke deh, aku ngaku.

Aku masih grogi untuk bertemu sama mas Fauzan. Walaupun sebenernya hari ini aku sama sekali ndak ketemu sama dia sih.

Emang rasanya ndak adil buat temen-temen yang lain, tapi kan semua urusan udah rampung. Semua hal yang berhubungan dengan perijinan dan tandatangan MOU* ke beberapa vendor dan sponsor udah kuselesaikan. Meeting dengan para donatur juga udah slesei semua minggu kemaren. Temen-temen tinggal jalan aja kok. Jadi ya ... ndak masalah kan?

*MOU : Memorandum Of Understanding. Semacam kontrak kesepakatan yang ditandatangani oleh pihak-pihak yang sedang terlibat bisnis lepas/singkat. Bukan kontrak dengan jangka waktu yang panjang.

—Klotak!!!

"Huuaaaaaa!!! aku gak mau! Mama gak sayang sama dedek! Dedek mau eskliiiim!!"

Aku mengernyitkan dahi ketika mendengar teriakan seorang anak kecil yang kebetulan berjarak dua meja dari tempatku.

Kuambil ransel, kuraih case head set, mengambil benda yang kucari dari dalam case itu, kupasangkan ke telinga, kuhubungkan ke hape, dan mengakhiri dengan menyalakan fungsi audio player dengan volume suara menengah. Cukup untuk menghindarkan telingaku dari situasi ribut-ribut di sebelah.

Aku benci suara rengekan anak kecil. apalagi ditambah dengan suara ketika orang tuanya malah ikut menghardik dengan intonasi yang terdengar sok tegas.

Entahlah.

Aku hanya ndak suka aja teriakan-teriakan anak-anak. Aku agak jengah jika berhubungan dengan anak kecil.

Maksudku begini. Kami—aku dan kakak—sejauh aku bisa mengingat, kami tak pernah sekalipun berteriak kepada orang tua kami dirumah. Apalagi di tempat umum. Bagaimanapun kecewanya kami terhadap keputusan-keputusan mereka. Beneran lho!.

Paling jauh, aku menahan emosi, lalu menangis sesenggukan di dalam kamar ketika sudah sampai dirumah. (Suatu saat, aku pernah meminta untuk dibelikan balon berbentuk ikan—Nemo. Tapi Mama bilang kalau barang-barang ku yang ber-tema-kan si Nemo ini udah banyak. Jadi Mama-Papa ndak mau beliin. Berakhir dengan di malam harinya, kakak ngajarin aku buat bikin gambar Nemo. Itulah untuk pertama kali aku jatuh cinta dengan kegiatan menggambar).

Dan dulu waktu seumuran SD kelas 4, aku pernah adu pukul sama Alex (anak tertua budhe. Sempet ku sebut di chapter awal) gara-gara rebutan mainan. Endingnya adalah Alex nangis sambil teriak-teriak setelah ku gaplok mukak nya pakai tas Nemo milikku yang kalau ndak salah, isinya segenggam kelereng. Semenjak itu aku benci sekali anak-anak yang tantrum sambil nangis teriak-teriak.

Hmm.

Setelah kuingat-ingat, aku nih udah macam preman aja kelakuannya semenjak dini.

—Tung!

Kudengar suara notifikasi chat. Kulihat nama kak Ratih di layar hape.

"Kamu dimana La? Aku dah di lantai atas nih. Kamu di komplek food court? Atau di dalam restaurant?"

Segera kuketik balasan ke kak Ratih. "Aku di dalem Donner kak. Kakak langsung masuk aja."

Beberapa detik kemudian kak Ratih membalas.

"Hah? Aku ndak liat ada kamu tuh? Barusan aku lewat depannya loh? Nggak ada cewek kacamataan deh perasaan."

Oh iya! Aku lupa!

"Anu kak, hari ini aku lagi males pake kacamata."
"Aku pake lensa kontak"
"Kakak masuk Donner aja langsung."
"Kukirim foto deh."

Ku lepas headset, dan mengambil foto selfie. Lalu kukirim ke kak Ratih.

"Cari aja cewek ini XD . Maaf kamera depanku jelek"

Sejenak aku menoleh kearah meja ibu dan anak tadi. Mereka udah ndak ada disana. Syukur deh. Aku bisa ngobrol sama kak Ratih dengan tenang.

"Hai~!!"

Kudengar suara kak Ratih dari arah depan restaurant. Ku menoleh kearah datangnya suara dan ngelihat dia melambaikan tangan.

"Dih! Pantes aja aku ndak ngelihat kamu tadi. Dandanan kamu kayak gini sih. Pangling aku!"

Aku berdiri sejenak untuk menyambut pelukan kak Ratih.

"Kamu kemana aja sih La? Bolos kuliah nggak kasih kabar. Ku cari ke cafe, kata anak-anak sana kamu ijin sakit. Chat ku juga nggak kamu bales!" Seru kak Ratih sambil mencebik.

"Duduk dulu lah kak. Lagian tadi malem kan udah ku bales toh?" Balasku.

Kak Ratih akhirnya mengambil tempat duduk di depanku dengan malas, sambil membalas  masih dengan nada yang terdengar menggerutu, "Iya, kamu balas, setelah belasan chat! Aku kuatir tauk! Kamu sehat-sehat aja kan!?"

"Puji Tuhan aku sehat kak. Ntar ku ceritain deh. Maaf ya, ntar kak Ratih boleh kasi hukuman deh." Rayuku supaya kakak senior ku yang satu ini berhenti merajuk. " ... Oh iya kak. Nih, aku nitip."

Kuambil sesuatu dari dalam ransel sebuah jacket yang terlipat rapi, dan kuserahkan ke kak Ratih.

"Jaket nya si Ojan?" Tanya nya.

Kujawab cuman dengan anggukan sambil meletakkan tas ransel di kursi sebelahku.

"Jadi, kamu minta ketemuan disini cuman buat nitipin ini? Kenapa ndak kasi langsung aja ke orang nya?" Rautnya kini penuh tanya.

Aku cuman bisa tersenyum kecut sambil menggeleng.

Kak Ratih kulihat semakin mengernyit, "Tunggu dulu! Kalian lagi ada masalah?"

Aku menatap kearah bawah sambil menghela nafas. Rasanya mau ungkapin semua apa yang terjadi malam itu ke kak Ratih, tapi, mengingat senior di depanku ini adalah saudara mas Fauzan, aku menahan diri. Dan hanya desahan berat yang keluar dari mulut. Serta beratnya hati ini untuk menatap langsung kearah mata kak Ratih.

"La, sini liat aku deh." Pinta nya, dengan nada yang kini terdengar melembut.

Masih agak menunduk, ku lirik wajah kak Ratih.

"Kalian kenapa? Ayo sini cerita sama aku."

Setelah terdiam agak lama, kucoba menceritakan secara singkat. Dan sangat berhati-hati. "Setelah kasus 'bocor' di sekre kemaren, kan malamnya sepulang kerja, jam 11an aku di jemput mas Fauzan. Nah pas nganterin aku pulang, sebelum sampe rumah, kami mampir dulu ke sebuah tempat. Terus ..."

"Hah!! Jam 11 malem nggak langsung nganter kamu pulang!!? Sampe jam berapa kalian berdua!?" Pekik kak Ratih memotong kata-kata ku.

Aku mengerjap beberapa kali. "Anu kak, jangan kenceng-kenceng ..." Kulihat kak Ratih mulai memasang ekspresi melunak. Lalu kuteruskan bercerita. "... Kita sampe hampir jam 1 an, tapi ..."

"Ya Allah!! Ojan gebleeegh!! Kamu diapain aja sama Ojan La? Duh! Tuh anak ya! Gak nyangka kalo dia bakal sejauh itu!! Aku minta maaf banget Laaa ... Ah! Gak bisa dibiarin nih!!" Kak Ratih terlihat panik sambil merogoh-rogoh tas kecilnya seperti mencari-cari sesuatu.

Aku masih bingung sama reaksi kak Ratih. Apa aku salah cara ngomongnya ya? Aku jadi ikutan takut lho ngeliat reaksinya yang kayak gitu. "Kak, kak Ratih kenapa?"

Ia terlihat udah megang hape dan terlihat seperti akan menghubungi seseorang. "Kamu tenang aja La! Aku janji bakal bikin si Ojan tanggung jawab!"

Eh? Bentar-bentar. Kayaknya kak Ratih nih salah nangkep deh! "Maksud kak Ratih, tanggung jawab apa nih?"

Kak Ratih sudah terlihat menempelkan hape di telinga, dan menjawab ku hanya dengan isyarat jari telunjuknya yang di tempelkan di bibirnya. Lalu sesaat kemudian matanya kulihat terbelalak serem banget sambil ngomong agak teriak, "Halo!! Ojan Geblegh!! Heh!! Kamu dimana sekarang?"

Aku mengerutkan dahi, "kak, sabar kak. Jangan marah-marah ke mas Fauzan dulu, tunggu aku ngejelasin dulu ih!!"

Kak Ratih cuman melirik tajem banget ke arah ku. Trus kulihat dia menjauhkan hape dari telinga dan mengaktfkan fungsi loudspeaker, lalu naruh hapenya diatas meja.

" ... ri jum'atan mau aku ning kosan e arek-arek. Lagi agak repot nih. Aku lagi di kosan si Agung buat bahas camp nya Maba. Dungaren men telpon ngamuk-ngamuk. Ono opo toh?" (Kenapa sih kamu telpon sambil marah-marah. Ada apa toh?)

Kudengar suara mas Fauzan di seberang. Lalu kulirik lagi wajah kak Ratih yang masih terlihat marah sekali. Duh! Kayaknya aku harus ngelakuin sesuatu secepatnya deh!

"Heh!! Jadi laki tuh yang bener!! Jangan cuman dapet enaknya doank trus lari dari tanggung jawab!!! Seingetku tuh Umi' sama almarhum Abah nggak pernah ngajari kamu jadi kayak gini deh!!" Kak Ratih mengucapkan rentetan kalimat itu sambil bersungut-sungut.

Nah kan!! Ini yang kutakutkan akhirnya kejadian.

"Hah!? Kowe ki ngomongne opo toh Ra?" (Hah!? Kamu ini ngomongin apa sih Ra?) Suara mas Fauzan yang terdengar heran semakin meyakinkanku untuk segera melakukan sesuatu untuk menghentikan kesalah pahaman ini.

Dengan cepat kutekan tombol untuk mengakhiri panggilan dan meraih hape kak Ratih menjauh dari pemiliknya. Dan dengan segera aku meminta maaf sambil berdiri terus membungkuk. Eh? Aku juga lupa sih, kenapa pas waktu itu ngelakuin hal itu. Udah kayak di anime-anime aja deh.

"Aku minta maaf kak! Beneran deh, aku minta maaf!!" Kukatakan semua itu sambil sedikit berteriak dan bertahan dengan posisi berdiri sambil membungkuk. Aku masih ndak berani liat kearah wajah kak Ratih.

"Heh? Kamu ini kenapa sih La? Jangan bilang kalau ternyata kamu yang mancing si Ojan buat ngelakuin semuanya ya!? Sini madep aku? Aku ndak bakal marah!" Tapi kudengar kak Ratih ngomong kalimat-kalimat itu pake intonasi yang tegas. Walopun udah ndak teriak-teriak lagi sih.

"Maaf kak ..." Kuberanikan diri buat menegakkan punggung sambil ngeliat wajah kak Ratih, " ... kayaknya kak Ratih salah paham deh. Please dengerin aku sampe selesai ya. Please."

Kulihat kak Ratih memicingkan mata. "Siniin hape nya!."

"Tapi janji dulu, kak Ratih ndak marah-marah lagi ke mas Fauzan." Aku menawar.

"Siniin dulu hape nya La!" kak Ratih masih terdengar sedikit ngotot.

"Please, kakak janji dulu." Sekali lagi aku menawar.

"Dasar yang lagi jatuh cinta! Ya udah!!. Kamu bawa aja hapenya. Sekarang mulai penjelasan kamu. Kita pikirkan jalan keluar nya bareng-bareng." Kak Ratih mulai melembut. Tapi masih terdengar tegas.

Kuletakkan hape kak Ratih diatas meja. Trus aku duduk lagi, bersiap-siap untuk ngejelasin semua. Tapi sebelum aku mulai bicara, terdengar bunyi ringtone dari hape kak Ratih. Kami berdua bersamaan melirik ke arah layar benda yang saat itu menampakkan nama 'Ojan Ruwet'.

Eh? Kok Ruwet?

Benernya hubungan mereka berdua tuh kayak apa sih!?

"Please kak, jangan diangkat." Aku memohon.

"Huft, yaudah. Tolak panggilannya gih!." Perintahnya.

Kuturuti kak Ratih, lalu kembali melihat kearah kak Ratih. Trus aku berusaha ngatur hati.

"Jadi, malem itu ... mas Fauzan nembak aku. Atau enggak ya? aku ndak tau juga sih. Yang jelas, mas Fauzan nyatain perasaan ke aku." Aku mulai becerita.

"Oke. Terus?" Kini kak Ratih terlihat serius menyimak.

"Tapi ... sebelum aku menjawab dan ngutarain juga perasaan ku, mas Fauzan tuh nahan aku supaya aku ndak nyatain dulu perasaanku ke dia. Diikuti dengan penjelasan yang panjang lebar dari dirinya, yang intinya tuh, dia ndak berani buat membina hubungan sama aku karena alasan-alasan itu. Ya udah deh. Setelahnya, aku nangis-nangis di depan dia. Dan akhirnya dia nganterin aku pulang setelah aku tangis-tangisan. Makanya, aku hari ini mau minta tolong kak Ratih buat balikin jaketnya mas Fauzan. Karena ... karena aku masih baper dan ... masih malu kak." Akhirnya berhasil juga kuutarakan ke kak Ratih.

"Ya Allah La ... Kupikir kamu tuh habis diapa-apain sama si Ojan, trus dia lari nggak tanggung jawab. Fyuuuh ... syukur deh kalau ternyata kalian nggak aneh-aneh." Wajahnya seketika menjadi terlihat relax.

Tapi aku yang jadi nggak relax, "Di apa-apain gimana maksud nya kak?"

"Ya kupikir, kamu tuh dilecehin secara seksual sama si Ojan, trus ditinggal lari. Mukak mu tadi kliatan putus asa gitu sih waktu tak tanyain soal balikin jaket." Kak Ratih berusaha menjelaskan.

Yang seketika membuatku menenggelamkan wajah di lipatan tanganku di meja. Duh! Kakak ku yang satu ini!

Saking sayang nya Mungkin ya, akhirnya udah mikir kemana-mana aja sebelum dengerin penjelasan dari aku.

"Eh tapi, kamu kan hari itu lagi 'dapet' kan ya? Kok aku nggak mikir kesana sih!?" Masih menyembunyikan wajah, aku mendengar itu semua. Dan semakin membuatku tak tahan.

"La, kamu kenapa La?" Kudengar nada kak Ratih sedikit khawatir.

Tapi beneran deh. Aku juga bakal mikirin hal yang sama sih kalau aku ada di posisinya kak Ratih. Kuangkat wajahku, sekuat tenaga ku menahan diri ndak ketawa, "Kak, kakak mikirnya kejauhan deh!"

"Heh! Lha kamu ngomongnya kalian pulang jam 11, trus mampir suatu tempat sampe hampir jam 1 malam. Wajar donk kalau aku kuatir kamu diapa-apain sama si Ojan. Dia tuh laki-laki loh, ganteng pula! Kali aja kamu kesengsem trus akhirnya menyerahkan diri gara-gara di sepik-sepik sama si geblegh! Secara aku yakin banget kalau kamu masih awam soal ginian!" Kak Ratih terlihat mulai bersungut-sungut lagi.

Tapi kali ini aku ndak takut. Malah semakin kepingin ketawa. Ah, betapa beruntungnya aku punya kakak kakak yang baik hati.

"Mukakmu tuh lho, kalo mau ketawa ya ketawa aja. Ndak usah ditahan-tahan!" Kak Ratih terus memalingkan muka nahan jengkel.

"Kak", kupanggil dia.

Tak ada reaksi.

"Kak Ratih." Kupanggil lagi.

akhirnya dia mau noleh lagi ke aku. "Hmm?"

Ku beri senyum terbaikku, "Makasih ya"

"Iya deh iyaaa. Udah ah. Jadi awkward gini sih? Padahal tuh aku kesini mau kangen-kangenan sama kamu loh!" Akhirnya kak Ratih menyerah sambil ngambil hapenya.

"Nitip jaket nya ya kak."

"Iyaaa iyaaaa. Ntar ku kasi ke orangnya. Terus? Abis kalian tangis-tangisan tadi, akhirnya gimana?" Kak Ratih bertanya lagi.

aku terdiam beberapa detik. Trus mulai menjawab, "Uhm ... kita akhirnya deal supaya aku ngerespon perasaan mas Fauzan nanti waktu hari terakhir camp."

Kak Ratih menepuk dahinya pelan. Lalu menghela nafas panjang.

"Kenapa kak?"

"Si Ojan bilang ke kamu ndak soal rencana cuti kuliah?" Kak Ratih bertanya dengan raut wajah yang malas.

Aku mengangguk sambil nundukin muka. Sedih deh kalau keinget lagi soal itu.

"Oke. Aku udah dapet gambaran besarnya. Jadi dia gak berani pacaran sama kamu soalnya dia harus cuti, trus kerja keluar kota buat nyari biaya berobatnya budhe? Gitu?" Kini kak Ratih bertanya dengan intonasi yang melembut.

Aku kembali mengangguk. Masih dengan kepala nunduk. "Sama ada alasan lain sih."

"Alasan lain? Apa itu?" Kak Ratih terdengar agak menuntut.

"Uhm ... Kami ... berbeda kak."

"Huft, oke. Sekarang aku kepengen denger soal perasaan kamu. Apa keputusanmu La? Udah nemu jawabannya?" Nada suara kak Ratih kembali melembut.

"Aku ... seneng sih. Tapi ... jadi ragu-ragu jugak. Gimana donk?" Aku langsung menyembunyikan wajahku di lipatan tangan.

"Kamu suka sama dia?" Kak Ratih bertanya.

Kuangkat wajahku. Aku mengangguk. Trus nenggelamin mukak lagi.

"Kamu kepingin perasaan kalian saling berbalas?" Kak Ratih tanya lagi.

Aku mengangkat wajah, menopang dagu di lipatan tangan. Melirik kearah kak Ratih. "Aku mau kak. Tapi ... ," aku melirik kebawah, ke arah permukaan meja, mengalihkan pandangan.

"Tapi apa La? Kamu gak kepingin pacaran sama Ojan?" Kini kak Ratih terdengar agak menuntut.

"Aku mau. Tapi ... aku ndak tau ... " ku jawab agak malas. Karena, seriusan, aku tuh ndak tau kalau pacaran tuh kayak apa dan ngapain aja. Trus, apakah nanti kalau udah pacaran, ntar galaunya jadi ilang? Belum lagi ketika aku sadar kalau ini tuh pengalaman pertamaku suka sama cowok. Pakek langsung keinget soal kakak sama pacarnya pula!

Huft ...

Aku bener-bener ndak bisa ngitung apa-apa soal ini.

"Yaudah, pacaran aja. LDR an. Kayak aku."

Aku melirik kearahnya, memicingkan mata. "Nyari temen nih ceritanya?"

"ih! Apa maksudnya cobak!?" Hardik kak Ratih sambil nyentil dahiku. "Udah berani ngeledekin hah?"

Aku cuman nyengir nanggepin kak Ratih.

"Kalau kakak kamu? Pendapatnya gimana? Kamu udah cerita ke kakakmu?"

Aku mengangguk. "Udah cerita kok. Sampe tangis-tangisan. Tiga hari bolos juga bareng kakak terus. Dibela-belain ambil cuti jugak. Tapi intinya sih, Kakak cuma minta ke aku buat dengerin kata hati sih"

Kulihat kak Ratih menegakkan duduknya. "Nah, sekarang kamunya gimana?"

Sekali lagi aku menghela nafas, "Ya itu tadi kak, aku masih belum tau. Mauku sih, sambil nungguin sampai camp nanti, sembari ngerjain acara, sama kuliah, aku mau sekalian mantepin hati."

"Haduuuh, Lala ..." Kak Ratih menggamit kedua telapak tanganku. Aku menegakkan posisi duduk, "... Sekarang jujur sama aku. Kamu suka sama si Ojan nggak?"

Aku menunduk sambil mengangguk.

"Kamu percaya sama si Ojan?" Kak Ratih kembali bertanya.

Entah kenapa aku menggelengkan kepala pelan merespon pertanyaan kak Ratih. Eh? Kok aku reflek menggeleng ya?

"Bagus! Sikap yang cerdas!! Jan percaya sama cowok!" Senyum lebar menyertai wajahnya ketika kak Ratih menyahuti sikapku atas pertanyaannya.

Lihat reaksinya yang kayak gitu, aku yang jadinya mengernyit. "Lhoh! Kok?"

"What? Is there anything wrong with that?" Tanyanya sambil naikin alis.

Aku menggelengkan kepala cepat. Terus naruh dagu lagi di atas lipatan kedua tanganku diatas meja. Dengan malas aku jawab, "Kerasa aneh aja sih, liat sikap kak Ratih kayak gitu. Kupikir kakak bakal dukung hubungan ku sama mas Fauzan."

"Emang ku dukung kok." Ujarnya sambil meraih sesuatu dari tas jinjingnya dan mulai berdiri.

Aku menegakkan posisi, mengerutkan kening. "Kak Ratih mau kemana?"

"Mau pesen dulu. Haus."

Salah satu sudut bibirku terangkat sejenak sambil mataku ngikuti kemana arah kak Ratih berjalan. Trus geleng-geleng kepala.

Dan waktu kak Ratih kembali dari counter sambil bawa minuman, aku balik senyum lagi.

"Heh! Kenapa kamu senyum-senyum?" Tanya kak Ratih.

"In a way, kak Ratih tuh mirip sama kakakku lho." Jawabku sambil menyesap sedikit dari paper cup milikku.

"In what way?" Tanyanya sambil ngangkat alis.

"Kalian sama-sama sosok yang punya prinsip. Yah, walaupun cara kalian buat ekspresiin nya beda sih."

"Aku iri lho pas dengerin cerita mu kayak gini nih. Kamu deket banget ya sama kakakmu?"

Denger dia bilang kaya gitu, keinget kalau dia adalah anak tunggal, bikin aku sedikit sungkan. Uhm, bahasa Indonesia nya sungkan apa sih? Komen dong.

"Otomatis deket banget lah kak. Kan kita serumah cuman berdua. Kakak jangan iri donk. Kan kakak ada mas Fauzan."

"Yaelah La, Ojan kan cowok. Maksudku, kayaknya tuh asik deh kalo punya kakak atau adik cewek gitu. Bisa kompakan kayak kamu sama kakakmu." Kak Ratih mengakhiri nya sedikit menghela nafas.

Reflek aku tersenyum. "Gak kompak-kompak amat kok. Kita lumayan sering ribut jugak."

Kak Ratih ngeliat aku lurus. "Aku jadi penasaran lho sama kakakmu. Kamu ada fotonya gak sih?"

"Uhm, aku bukan tipe yang suka koleksi foto sih. Eh, bentar-bentar. Kayaknya ada deh beberapa." Aku meraih hapeku dari saku jumperku. "Ada fotoku bareng dia pas masih kecil. Kalau yang baru ... uhm dimana ya?"

Aku masih bongkar-bongkar galeri hape ku yang kebanyakan isinya tuh foto-foto report dari temen-temen maba perihal acara kami.

"Aku mau liat donk fotomu waktu kecil!" Kak Ratih berseru penuh semangat.

Kulirik wajah kak Ratih sejenak. "Oke. Bentar kak. Nih ... "

Kuhampirkan hapeku ke kak Ratih.

"Ih!! Lucu banget sih! Macem nonik-nonik Korea lho kalian nih!"


Aku mengerucutkan bibir. "Hih! Nonik Korea darimana? Bilang aja kayak nonik-nonik pasar Atum. Aku gak masalah kok!" Cibir ku sambil ngelempar pilinan kertas pembungkus straw kearahnya.

"Heh! Dah berani ya kamu sama senior!" Hardik kak Ratih sambil melotot. Berlagak sok tersinggung.

aku cuman nyengir godain kak Ratih.

"Apa nyegir-nyengir!? Nih! Rasain!!" Dia masih komplain sambil ngelemparin aku pakai sobekan-sobekan kertas straw punyaknya.

"Ih! Ngambekan deh! Kayak kak Jokab" sindirku sambil pura-pura sembunyi pakai nampan.

"Heh!! Pake disamain sama si Jokab lagi!!! Berhenti temenan ae gimana!?"

"Yah, kok ngambek beneran sih? Kan cuman bercanda kaaaak." Kuturunkan nampan trus naruh diatas meja. "Aduduh! Ampun kak ... Aaaa ...!!!"

Tiba-tiba kak Ratih nyubit sambil narik-narik sebelah pipiku. "Lama-lama nih bocah makin ngelunjak deh."

"Iya iya! Ampun senior! Pipiku bisa molor nih. Aaaa ... !!" Rasanya sakit beneran loh!

"Udah ah. Yuk berangkat!" Kak Ratih berdiri setelah melepaskan cubitannya pada pipiku, trus masukin hapenya ke tas jinjing miliknya.

Aku cuman manyun ngeliatin kak Ratih, sambil masih gosok-gosok pipiku. Masih sakit loh.

"Kamu kenapa? Masak sih segitu sakit nya? Lebay deh." Ujar kak Ratih meraih cup minuman miliknya sambil make tas.

Aku angguk-angguk.

"Hish! Dah ah. Yuk! Ntar telat latihan lho. Hari ini ada upacara penerimaan anggota baru. Kamu ndak berencana bolos latihan kan hari ini?"

Aku masih duduk sambil nundukin kepala.

"Ya Allah, La. Kenapa lagi?" Kak Ratih balik duduk lagi.

Sambil masih agak nunduk, kulirik kak Ratih, "Ntar ... ada mas Fauzan nggak?"

"Seriusan La!? Udah deh. Yuk berangkat! Ntar telat lagi. Sabeum Arief ndak suka kalau anak baru dateng telat." Kak Ratih langsung berdiri sambil narik tanganku.

"Eh bentar kak. Ranselku sama minumku."

"Yaudah cepetan gih!"

Lalu kami jalan kearah parkiran mobil. Uhm, lebih tepatnya sih, aku ngikuti kak Ratih dari belakang.

Disamping mobil, kak Ratih bilang, "Kamu masih hutang cerita soal latihan minggu lalu lho ke aku! Taruh ransel kamu di kursi belakang."

Setelah kami sudah duduk di kursi dan masang seatbelt, aku jawab kak Ratih, "Iya iya kak, aku ndak lupa kok. Ntar di GOR juga kak Ratih liat alasan aku bisa menang mudah lawan kak Jokab."

"Harus nanti di GOR ya? Ndak bisa sekarang aja?" Tanya kak Ratih sambil nyalain mobil.

"Hu'um. Biar kejutan lah." Jawab ku.

Kak Ratih boleh ke aku sambil memicingkan mata. "Surprise? Oke deh. Aku juga ada surprise buat kamu."

Aku bisa ngelihat ekspresi usil di wajah kak Ratih setelah dia ngomong soal surprise tadi dan memalingkan wajah. Mulai melajukan mobil.

"Surprise? Buat aku?" Kata ku.

"Emangnya cuman kamu aja yang bisa bikin kejutan?" Tukas kak Ratih enteng.

"Ini soal apa ya kak?" Tanyaku semakin penasaran.

Sambil menggiring mobil keluar dari area parkir, kak Ratih ngomong lagi, "Yakin mau tau surprise nya sekarang?"

"Ini soal apa sih?" Sumpah aku tambah kepo.

"Kejutannya tuh, ntar pas latihan Ojan dateng." Kak Ratih jawab nya enteng banget, sambil pandangan nya masih fokus ke arah jalan.

Spontan aku nutup mukak pake tangan.

Kurasakan mobil berhenti. Dugaanku sekarang kita sedang kena lampu merah. "Kamu kenapa sih La?"

Sambil masih nutupin mukak nih, "Kenapa pake ada mas Fauzan sih. Duh!"

"Otomatis dia harus ada lah La. Dia kan ada tanggung jawab buat dokumentasiin upacara penerimaan anggota baru UKM-UKM buat laporan ke Dekan Fakultas. Eh, ngomong-ngomong soal dokumentasi ... benernya Ojan ada titip sesuatu juga lho buat kamu. Sorry aku lupa tadi."

Otomatis aku buka tanganku terus liat ke arah kak Ratih yang sekarang lagi utak-atik hapenya.

"Dah kukirim ke WA mu." Kak Ratih senyum sambil naruh hapenya di dashboard, trus mulai memacu lagi mobilnya.

Kukeluarkan hape dari saku dan langsung buka WA. Sedikit mengerutkan dahi waktu ngeliat image kiriman kak Ratih.


"Ini mas Fauzan yang ambil?"

Kak Ratih cuman jawab pakai anggukan sambil masih nyetir mobil.

Aku senyum-senyum sendiri sambil mindah foto-foto itu ke folder khusus.

Lewat sudut mata bisa kulihat kak Ratih sekilas noleh ke arahku. "Kamu kenapa La? Ndak usah ge-er. Ojan juga ngambil gambar anak-anak yang lain kok. Dia cuman nitip ngasiin foto-foto kamu aja sih. Ndak ada alasan spesial kok."

"Seneng dikit kan gapapa kak." Balasku sambil manyun.

"Iya iya, boleh kok. Apalagi yang ada foto close up nya cuman punya kamu." Kata kak Ratih enteng. Sambil berusaha cari tempat parkir di pelataran parkiran GOR.

"Hah? Gimana kak?"

Seusai narik tuas hand rem dan matiin mesin kak Ratih jawab, "Iya. Cuman foto kamu yang ada close up nya. Yang lain ndak pake. Cuman foto biasa. Dah yuk, turun."

Wah! Udah lah.

Hari ini gak tau lagi aku bakal kayak gimana pas nanti ketemu mas Fauzan di dalem GOR. Aku cuman bisa berharap semoga nggak terjadi hal-hal konyol.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro