Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....

**


Meja makan sudah siap ketika Prita turun dari kamarnya. Sejak kecil dia sudah terbiasa dengan meja makan yang penuh dengan berbagai hidangan, walaupun dia hanya akan makan bersama kedua orangtuanya di situasi yang khusus seperti ini. Mereka tidak terlalu sering makan malam bersama. Biasanya mereka berkumpul saat sarapan sebelum ayahnya ke kantor, ibunya mengurus berbagai kegiatan sosial, dan dia sendiri ke sekolah. Hanya saja, akhir-akhir ini, meja yang terlalu penuh terasa berlebihan setelah dia terbiasa dengan kepraktisan hidup di luar negeri.

Kedua orangtuanya belum turun, jadi Prita memutuskan menunggu di ruang tengah. Si Anak Emas juga belum datang. Acara tidak akan dimulai tanpa kehadirannya. Kadang-kadang Prita bertanya dalam hati, apa sih yang dilihat ayahnya dari Erlan sampai begiitu percaya dan sayang kepadanya? Laki-laki itu bahkan hanya kuliah di sini. Memang di UI, tapi tetap saja.... Bukan dia meremehkan kualitas perguruan tinggi di Indonesia, tapi fakultas ekonomi UI dan Wharton jelas berbeda. Sepupunya lulusan Wharton dan dia juga bekerja di perusahaan ayahnya, tetapi yang menjadi tangan kanan ayahnya tetap saja Erlan.

Dilihat dari tampangnya yang minim ekspresi, sulit membayangkan Erlan duduk santai, tertawa-tawa sambil melobi orang-orang penting demi kelangsungan hidup perusahaan. Kaku seperti itu, astaga! Bisa-bisanya Becca membandingkan Erlan dan Ben, tunangannya. Sama sekali tidak seimbang. Pembawaan Ben supel dan gampang akrab. Kecuali kalau perbandingan itu menyangkut penampilan fisik. Tetap berbeda, tetapi keduanya memang sama-sama menarik. Hanya saja, apa gunanya tampang dan penampilan menarik kalau nyaris bisu?

Prita melihat asisten pribadi ibunya, Orlin, mondar-mandir di dekat sofa. Orlin boleh dikatakan menganggur saat ini karena ibu Prita nyaris tidak pernah keluar rumah sejak skandal pembunuhan Bernard yang melibatkan Prita. Biasanya Orlin menyusun jadwal, menyiapkan semua kebutuhan ibu Prita, dan menemaninya ke mana-mana. Istri Johny Salim mungkin tidak punya gedung perkantoran sendiri, tetapi tetap butuh asisten untuk mengurus kebutuhannya. Dan sekarang asisten itu lebih terlihat seperti orang kebingungan.

"Nggak usah ditungguin, dia nggak akan datang," Prita menepuk punggung Orlin yang terlonjak kaget. "Makan malamnya khusus buat keluarga. Erlan aja yang datang."

"Saya nggak nungguin siapa-siapa, Mbak." Orlin langsung tersipu. Wajahnya merah padam. Warna kulitnya yang putih sama sekali tidak membantu menyembunyikan rona itu.

Prita tertawa melihat asisten ibunya yang salah tingkah itu. Selama beberapa bulan terus berada di rumah bersama Orlin karena ibunya membatasi waktu keluarnya setelah kasus menghebohkan yang menimpanya, dia bisa melihat kalau Orlin menyukai Bastian, asisten Erlan. Gadis itu langsung salah tingkah saat melihat Bastian datang. Bahkan suara laki-laki itu saja sudah cukup membuat Orlin menjatuhkan apa pun yang sedang dia pegang. Padahal Bastian sama sekali tidak memperhatikan Orlin. Dia tampak selalu sibuk dengan iPad yang dia bawa ke mana-mana, seolah benda itu adalah remote kontrol untuk mengarahkan si Robot pimpinannya, sehingga harus dijaga dengan nyawa..

"Dideketin dong, Lin, kalau suka. Kalau dilihat dari jauh aja bakal kalah sama yang agresif."

Wajah Orlin sudah seperti kepiting yang direbus. "Apaan sih, Mbak!"

"Bastian nggak akan tahu kamu suka sama dia kalau kamu nggak deketin dan kasih kode-kode gitu."

"Waduh...!" Orlin menutup wajah dengan kedua belah tangan. "Kelihatan banget ya, Mbak? Duh, malunya...."

"Kenapa harus malu? Suka sama orang kan hak asasi. Asal nggak maksa dia buat balas perasaan kita, wajar-wajar aja sih."

Orlin langsung memegang lengan Prita. "Mbak Prita jangan bilang siapa-siapa, ya? Malu kalau sampai ketahuan Bastian. Dia kan nggak mungkin suka sama saya, Mbak."

Prita langsung mengamati penampilan Orlin. Gadis itu tidak salah menilai dirinya sendiri. Orang setrendi Bastian pasti lebih suka gadis yang juga mengerti tren fashion. Penampilan Orlin jauh dari kategori itu. Wajah perseginya dibingkai poni, sehingga tulang wajahnya yang tegas semakin jelas. Kacamatanya yang berbentuk kotak semakin memperburuk keadaan. Seolah itu belum cukup, masih ada kawat gigi yang terlihat jelas saat dia tersenyum.

Tubuh Orlin proporsional, tetapi kelihatan kurus karena dibungkus kaus kebesaran dan celana kain yang terlalu lebar. Prita mendesah. Kenapa ibunya membiarkan asistennya yang kikuk ini terlihat begini... apa ya namanya? Ketingalan zaman. Ya, itu terdengar cocok.

Sesuatu berkelebat dalam benak Prita. Dia benar-benar bosan karena tidak punya kegiatan untuk menghabiskan waktu. Orlin sepertinya bisa menjadi proyeknya untuk menghalau rasa bosan.

"Kamu mau menarik perhatian Bastian?"

"Memangnya bisa, Mbak?" Mata Orlin melebar, terlihat tidak percaya.

Prita tersenyum. "Tentu aja bisa. Gampang banget malah. Kita hanya perlu mengadakan beberapa perubahan." Ke salon untuk memotong dan menata ulang rambut jelek itu, berbelanja untuk memperbaiki gaya busana Orlin, Mengganti kacamata dengan lensa, dan tentu saja dokter gigi untuk melepas kawat mengerikan yang sepertinya sudah lama melingkar di gigi Orlin. Entah apa gunanya, karena gigi Orlin toh tidak terllihat berantakan. "Aku akan bantu kamu."

Orlin terlihat ragu-ragu. "Tapi nggak bilang-bilang Bastian kalau aku naksir dia kan, Mbak? Malu banget kalau dia sampai tahu."

"Nggak akan. Kita akan bikin dia sadar kalau kamu itu menarik."

Orlin tertawa kikuk. "Saya sama sekali nggak menarik, Mbak."

"Aku akan bikin kamu menarik." Suara derap langkah di tangga membuat keduanya menoleh. Prita melihat kedua orangtuanya sudah turun. "Nanti kita omongin lagi."

"Makasih, Mbak Prita." Orlin segera menarik diri dan menuju ke belakang.

"Erlan sudah datang?" tanya Yura, ibu Prita.

"Kalau belum kelihatan, artinya belum ada, Ma," jawab Prita acuh. Dia duduk di sofa dan meraih remote untuk mencari saluran televisi yang menarik.

"Sebentar lagi pasti sampai," sambut Johny Salim. "Erlan itu tepat waktu. Bersamaan dengan itu terdengar bel pintu berdentang. Seorang asisten rumah tangga segera bergegas untuk membuka pintu. "Itu pasti dia."

Benar-benar tepat waktu, Prita nyaris mencibir. Tentu saja, dia robot! Otaknya pasti sudah diiprogam untuk melakukan semuanya tanpa kesalahan. Dia tidak akan heran kalau Erlan tiba-tiba mengeluarkan bunyi bip...bip...bip. Pasti menyenangkan melihat saat ada sekrup longgar atau kabel korslet sehingga laki-laki itu bergerak kacau dan membabi-buta menabrak sana-sini, persis Orlin yang kikuk saat berpapasan dengan Bastian yang sama sekali tidak menyadari kehadirannya..

Erlan muncul beberapa detik kemudian. Johny Salim menepuk pundaknya. "Ayo langsung ke meja makan, Lan."

Prita hampir memutar bola mata. Ayahnya bersikap seolah-olah belum bertemu Erlan selama bertahun-tahun, padahal dia yakin mereka menghabiskan banyak waktu bersama di kantor. Cara ayahnya menatap Erlan dengan bangga menimbulkan rasa iri, seolah laki-laki itu baru saja pulang dari memimpin pasukan dan berhasil menguasai satu negara untuk dijajah.

"Untuk Ibu." Erlan mengulurkan sebuah kotak yang lumayan besar untuk Yura. "Saya membuatnya sendiri karena tidak tahu harus memberi apa untuk Ibu. Semoga Ibu suka."

Wah, satu kalimat panjang! Tumben. Kali ini Prita benar-benar mencibir. Hadiah yang dibikin sendiri, really? Memang robot itu punya keahlian lain yang tidak ada hubungannya dengan menjilat ayahnya? Itu pasti hanya barang yang dibeli dan diakuinya sebagai hasil karya sendiri.

"Wah, makasih banyak, Lan." Yura menerima kotak itu dengan wajah berbinar. "Boleh Ibu buka sekarang?"

"Tentu saja boleh, Bu. Maaf kalau Ibu tidak suka."

Bola mata Prita mengarah ke atas. Ibunya juga sama lebay. Mungkin kedua orangtuanya sudah kena tenung. Dia masih ingat betapa protektifnya ibunya ketika dia masih SMA. Tidak terlalu banyak temannya yang mendapat respons positif saat dia perkenalkan dengan ibunya. Prita terus diingatkan untuk berhati-hati memilih teman supaya tidak dimanfaatkan karena kemampuan ekonomi mereka yang jauh di atas kebanyakan orang. "Mencari teman yang tulus itu nggak mudah untuk orang seperti kita," kata ibunya. "Kamu akan sakit hati saat tahu orang yang menjilatmu ternyata adalah orang yang pertama kali menusukmu dari belakang saat kamu lengah. Bahkan ada orang yang membenci kita hanya karena kita lebih kaya daripada mereka, tanpa tahu kerja keras yang kita lakukan untuk sampai pada titik ini."

Dan Prita tahu asal-usul Erlan dari ibunya sendiri. Bagaimana orangtuanya yakin Erlan tidak menjilat dan menusuk mereka dari belakang suatu hari nanti?

"Wah, ini bagus banget, Lan. Ini beneran kamu yang bikin?"

Prita ikut melihat benda yang menurut Erlan dia buat sendiri. Sebuah kotak perhiasan dari kayu yang berukir. Hah, sudah Prita duga itu pasti dibeli dan dia akui buatan sendiri. Orang seperti Erlan tidak mungkin mengukir kotak perhiasan. Itu butuh ketrampilan dan seni tingkat tinggi, bukan pekerjaan robot.

"Bisa makan sekarang?" Prita sengaja menyela. Bisa besar kepala kalau Erlan terus-menerus dipuji orangtuanya. Dia lantas menuju ke meja makan dan duduk di salah satu kursi.

Percakapan di meja makan tidak menyenangkan untuk Prita, terlebih lagi saat ayahnya membahas sesuatu yang dia hindari.

"Kamu sebaiknya mulai cari kesibukan," mulai Johny kepada Prita. "Mungkin sudah waktunya kamu masuk di kantor kita."

"Aku sekolah desain, Pa. Aku nggak bisa kerja di kantor Papa." Prita juga tahu kalau tinggal di rumah tidak produktif. Hanya saja, sekarang bukan saat yang tepat untuk membuka butik sendiri. Terlebih setelah kematian seseorang yang melibatkannya. Itu promosi yang buruk. Dia harus menunggu sampai orang-orang mulai lupa kejadian itu. "Aku akan kerja sesuai ilmuku. Nanti."

"Makanya, sambil menunggu, kamu bisa kerja di kantor dulu. Basic ilmu seharusnya nggak jadi penghalang, selama kamu serius belajar."

"Papa tahu aku nggak suka bisnis properti."

"Kamu pasti bisa di bagian marketing. Buka butik pun bisnis. Kamu tetap harus menjalankankan marketing yang bagus supaya usaha kamu lancar. Kamu bisa belajar itu di kantor kita. Ilmu pemasaran itu pada dasarnya sama, tinggal disesuaikan sesuai produk yang ditawarkan."

"Mama setuju, Sayang. Untuk sementara, kamu kerja di kantor Papa kamu saja dulu. Di sana ada Erlan yang bisa jagain kamu."

"Aku nggak butuh dijagain, Ma," sentak Prita sebal. "Aku bukan anak kecil."

"Apa yang kamu lakukan beberapa bulan lalu lebih buruk daripada perbuatan anak kecil!" Yura mengingatkan. "Untung ada Erlan."

Ya, si Pahlawan, sampai dia harus diingatkan setiap saat. Prita mendengkus. Mungkin orangtuanyaa harus membangun monumen atau patung itu untuk diletakkan di halaman demi memperingati jasa Erlan karena telah membebaskannya dari hukuman penjara.

"Mulai senin besok kamu masuk kantor. Coba saja dulu, jangan langsung bilang tidak. Kalau bukan sama kamu, Papa mau berharap sama siapa lagi?"

Prita hanya bisa mendesah. Dia tentu saja tidak bisa menolak sekarang. Setelah kekacauan yang dibuatnya beberapa bulan lalu, dia sama sekali tidak berhak membantah kedua orangtuanya. Seandainya si Anak Emas papanya tidak berada di kantor yang sama, ini tidak akan terlalu sulit.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro