Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Buat Dindin GWT yang udah bikin kover ini, hepi belsdei. Panjang umur, enteng rezeki, dan jodohnya cepet datang, ya. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....

**

Tumpukan map di meja terlihat menggunung, padahal baru tiga hari dia tidak masuk kantor. Erlan melepas jas, menggantungnya di gantungan jas di dekat pintu, lalu menuju kursinya. Seharusnya Bastian menyortir semua berkas yang masuk, dan memutuskan mana yang benar-benar harus Erlan baca sendiri dan memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap berkas-berkas itu, tetapi Bastian juga ikut dalam perjalanannya kemarin, sehingga sekretarisnya menumpuk semua berkas itu di mejanya.

Kemarin, mereka baru kembali dari Makassar untuk melihat perkembangan pembangunan apartemen yang dikerjakan kantor cabang di sana. Mereka berhasil mendapatkan lokasi yang sangat strategis di tepi pantai, wilayah reklamasi. Meskipun pembangunannya baru sekitar 50 persen, hampir semua unit sudah dipesan. Tidak mengherankan, karena tempat itu memang menjual pemandangan pantai yang indah. Di unit tertentu yang dijual dengan harga lebih mahal daripada yang lain, pemiliknya nanti dapat menikmati kemegahan matahari yang tenggelam setiap hari. Ada orang-orang tertentu yang tidak keberatan membuang uang untuk hal-hal seperti itu.

"Masuk dan sortir berkas di meja saya," Erlan tidak menjawab salam Bastian yang dia hubungi. Memeriksa sendiri berkas itu akan membuang banyak waktu. Bos Besar mengajaknya ikut rapat dengan Pemda DKI untuk membahas pulau-pulau reklamasi yang sekarang menjadi polemik dan kontroversi. Johny Salim, bosnya punya proyek di sana. Perusahaan mereka sudah rugi banyak karena kasus itu. Pembangunan belum bisa dilanjutkan, padahal apartemen setengah jadi yang dipasarkan sejak beberapa tahun lalu nyaris terjual habis. Pergantian pemimpin daerah dengan kebijakan yang berbeda-beda sering kali merugikan para pengusaha.

Memang bukan dia yang merugi, karena ini bukan perusahaannya, tetapi dua tahun terakhir ini Johny Salim membuatnya harus memikirkan semua hal yang berhubungan dengan perusahaan, karena si bos akan selalu menanyakan pendapatnya sebelum membuat keputusan. Bukan berarti dia tidak suka diberi tanggung jawab sebesar itu, tetapi tetap saja ada rasa waswas jika pertimbangannya yang selalu diterima bos tidak berhasil seperti yang dia perkirakan. Analisis yang dia ambil memang hampir tidak pernah meleset, tetapi tanggung jawab selalu berat. Terlebih lagi jika itu melibatkan orang yang memberinya kesempatan untuk menjadi seperti sekarang ini.

Erlan mengangkat kepala saat Bastian mengetuk pintu dan langsung masuk ke ruangannya.

"Saya bawa ke meja saya saja, Pak." Bastian mengangkat tumpukan map itu. Mejanya ada di luar ruangan Erlan, berhadapan dengan meja sekretaris. Dia adalah asisten Erlan yang mengurus jadwal dan mengikuti ke mana pun laki-laki itu pergi selama jam kantor. Sekretarisnya hanya mengerjakan keperluan administrasi dan tinggal di dalam kantor. "Akan saya kerjakan sebelum kita ke balai kota. Jam sebelas, Pak," katanya sembari mengingatkan. "Saya juga sudah memberi tahu sekretaris Pak Johny."

"Saya tidak lupa." Erlan terus menekuri tablet di depannya, melihat hasil penutupan bursa saham kemarin. BEI ditutup melemah, tapi saham Salim Group menguat. Sedikit, tetapi tetap saja menguat. Itu yang penting. Bisnis properti tidak terlalu mengairahkan sekarang ini. Sebagian besar orang sudah kesulitan dengan kebutuhan hidup sehari-hari, jadi membeli rumah dan apartemen tidak masuk prioritas. Hanya saja, sasaran proyek mereka sekarang memang bukan kalangan menengah ke bawah.

"Ya, tentu saja. Bapak tidak pernah lupa apa pun," Bastian membenarkan sambil tersenyum lebar.

Kali ini Erlan menengadah. Dia tahu kalau Bastian memujinya dengan kalimat itu, tetapi itu terasa seperti sindirian. Dia memang tidak pernah lupa apa pun. Dan itu seperti siksaaan karena ada banyak hal yang sebenarnya ingin dia lupakan. Sangat banyak. Kadang-kadang dia heran sendiri dengan kemampuan otaknya dalam mengingat banyak hal. Sama sekali tidak menyenangkan. Hidupnya pasti akan lebih baik kalau dia bisa menyeleksi ingatan yang tidak dia butuhkan lagi. Terutama kenangan yang melibatkan masa kanak-kanaknya. Dia mungkin akan menyimpan bagian yang melibatkan ibunya, tetapi sudah pasti membuang yang lain.

Seandainya ibunya tidak salah memilih orang untuk dijadikan pasangan, hidup mereka mungkin tidak akan seperti sekarang. Erlan dulu sering memikirkan hal itu. Orang seperti ibunya patut mendapatkan seseorang yang tidak menghabiskan waktu untuk berjudi, mabuk-mabukan, merampok, dan mengajari anaknya sendiri untuk mencopet.

Erlan masih ingat perasaan benci yang dia rasakan untuk ayahnya sendiri. Terkadang dia bahkan berharap ayahnya ditangkap polisi supaya laki-laki itu tidak perlu pulang ke rumah petak kontrakan mereka. Kalau dia tidak pulang, ibunya tidak perlu dipukuli sampai lebam karena hal-hal sepele, atau tanpa alasan apa pun. Hanya saja, itu khayalan yang terlalu mewah. Seperti semua pemeran antagonis dalam film, ayahnya akan selalu kembali untuk mengintimidasi. Orang yang tak terkalahkan dan membuat air mata para pemain protagonis terus mengucur akan selalu ada dalam waktu yang lama.

Dan, tanpa ayahnya yang itu, Erlan tahu dia tidak mungkin ada di dunia, meskipun dia tidak yakin apakah keberadaannya di dunia saat ini ada artinya untuk orang lain. Ya, Johny Salim memang membutuhkannya, tetapi orang itu akan baik-baik saja tanpa dirinya. Ada banyak orang lain yang bisa mengerjakan apa yang dia kerjakan untuk Johny Salim. Orang dengan kemampuan dan pendidikan yang jauh lebih baik.

"Permisi, Pak." Bastian berlalu dengan tumpukan map di depan tubuhnya tanpa menunggu respons Erlan. Bosnya itu sangat perfeksionis. Berdiri lebih lama di depannya bisa dianggap sebagai pemborosan waktu.

Erlan mengikuti kepergian Bastian dengan pandangan. Antusiame anak itu luar biasa. Dia mengingatkan Erlan kepada dirinya sendiri, hampir 10 tahun yang lalu. Yang berbeda hanyalah pembawaan mereka. Bastian tampak riang, supel, dan terbuka, sedangkan dirinya selalu menjaga jarak dari orang-orang sehingga nyaris tidak punya teman dekat. Namun itu membuatnya bisa bekerja lebih baik. Tidak ada waktu yang terbuang untuk obrolan basa-basi.

Deringan ponsel mengalihkan fokus Erlan. Dia meraih benda yang tergeletak di atas mejanya. Bos Besar. "Iya, Pak?" tanyanya setelah mengucap salam.

"Kamu saja yang ke balai kota, Lan," jawab Johny Salim. "Saya nggak bisa ke sana."

Erlan mengurut dahi. Entah ada apa dengan bosnya akhir-akhir ini. Pendelegasian tugas seperti ini sudah terlalu sering terjadi. "Tapi Pak Gubernur pasti mau bertemu dengan Bapak, bukan saya."

Johny Salim tertawa. "Semua orang kan tahu kalau sekarang kamu yang mewakili saya."

"Tapi tidak untuk urusan sepenting ini, Pak." Erlan masih berusaha meyakinankan bosnya itu. "Mungkin saja akan Perda yang akan dibuat berdasarkan hasil pertemuan hari ini. Saya yakin semua orang yang punya proyeksi di pulau reklamasi hadir sendiri, Pak. Tidak mungkin mewakilkan orang lain untuk pengambilan keputusan seperti ini."

"Kamu bukan orang lain." Johny Salim segera melanjutkan sebelum Erlan sempaat membantah, "Pulang kantor kamu langsung ke rumah. Ibu ulang tahun. Nggak dirayakan di luar. Dia masih kurang nyaman berada di luar rumah setelah kejadian Prita kemarin. Tidak ada yang diundang. Hanya kita, keluarga saja." Telepon ditutup.

Erlan mendesah. Masalahnya, dia bukan keluarga.

**

"Butuh berapa lama sih sampai gue bisa keluar rumah tanpa diliatin aneh sama orang-orang? Kalau kayak gini, gue berasa jadi pembunuh beneran deh." Prita kembali menyesap minumannya yang tinggal setengah gelas.

"Kayak lo peduli sama pendapat orang aja," Becca, temannya yang duduk persis di depannya menjawab malas.

"Nggak peduli nggak lantas bikin gue nggak sebel juga kali, Bec." Prita mengedik. Dia lantas mengembuskan napas pasrah. "Gue yang ceroboh, nyokap gue yang sekarang kena getahnya. Dia nggak berani keluar rumah, takut ditanya-tanyain soal gue. Ini gara-gara si Erlan."

"Jangan nyalahin orang lain untuk kebodohan lo sendiri," sanggah Becca cepat. "Dan yang paling penting, lo nggak boleh nyalahin Erlan. Kalau bukan karena dia, elo sudah membusuk di penjara, gue juga sudah jadi abu. Jadi jangan berani-berani lo jadiin dia kambing hitam untuk nutupin kesalahan lo sendiri!"

'Gue terjebak kejadian itu juga karena dia!" Mau tidak mau Prita teringat lagi kejadian beberapa bulan lalu.

Waktu itu dia murka karena ayahnya menyuruhnya bertunangan dengan Erlan, anak emasnya itu. Benar, menyuruhnya, bukan menanyakan apakah Prita mau terlibat hubungan dengan robot tanpa ekspresi itu. Ayahnya tidak menerima penolakan. Ironisnya, ayahnya tidak pernah meminta apa-apa sebelumnya. Ayahnya bahkan tidak mengatakan apa pun saat dia keluar dari kuliah bisnisnya yang membosankan dan kemudian belajar desain, padahal Prita tahu persis ayahnya mengharapkan dia akan menggantikan dirinya untuk memimpin perusahaan mereka, karena dia adalah anak tunggal Johny Salim, sang taipan. Perusahaan itu memang sudah go public, tetapi pemegang sebagaian besar saham masih keluarganya. Jadi ya, itu tetap saja perusahaan keluarga.

Prita tidak bisa menolak, tetapi dia tidak sungguh-sungguh mau menjalin hubungan dengan Erlan. Laki-laki itu sama sekali bukan tipenya. Bukan karena tampangnya. Erlan, meskipun tidak setampan teman-teman laki-lakinya yang lain, dia menarik. Tubuhnya tinggi dan tegap. Hanya saja, dia membosankan. Selama beberapa kali keluar bersama setelah pertunangan, Prita jengkel karena dialah yang harus berinisiatif memulai percakapan. Dan laki-laki itu hanya menjawab pendek-pendek, terkesan terpaksa. Jelas sekali kalau dia tidak tertarik kepada Prita. Menyebalkan! Maksudnya, Hei... helloow, dia Prita Salim. Bukan bermaksud sombong, tetapi bagi sebagian kecil orang yang berlangganan majalah bisnis, dia adalah putri mahkota dari kerajaan Johny Salim. Dia bisa mendapatkan apa pun yang dia inginkan, termasuk laki-laki. Dan pegawai ayahnya sendiri malah tidak menganggapnya ada.

Jadi ketika Prita sedang makan bersama teman-temannya di restoran, dan mejanya kebetulan berdekatan dengan Erlan yang juga sedang makan malam bisnis dengan klien, tetapi tidak melihat sedikit pun ke arahnya, seolah mereka tidak kenal, apalagi bertunangan, Prita melayani taruhan dengan teman-temannya dan memastikan Erlan mendengar taruhan itu.

Dia akan check in di hotel dengan Bernard, salah seorang aktor yang sedang naik daun untuk membuktikan bahwa laki-laki itu bukan gay seperti yang digosipkan selama ini.

Nahasnya, malam saat mereka check in di hotel itu, Bernard terbunuh dan Pritalah yang dituduh sebagai pembunuhnya. Dia bahkan sempat ditahan, sebelum dibebaskan setelah (sialnya) akhirnya Erlan lah yang kemudian membuktikan bukan Prita yang melakukan pembunuhan itu.

"Jadi hubungan lo sama Erlan gimana?" pertanyaan Becca membuyarkan keheningan yang sempat terpeta.

Prita kembali mengedik. "Papa udah membatalkan pertunangan. Anak emas dia yang tanpa cela itu jelas nggak cocok untuk disandingin sama gue, anak kandungnya sendiri. Bukannya gue ngeluh sih, Bec. Jujur, gue malah senang bisa terbebas dari dia. Gue nggak bisa bayangin gimana ngoboseninnya hidup gue kalau beneran jadi nikah sama dia. Hanya saja, gue berasa harus bersaing dengan orang lain untuk dapetin perhatian bokap gue sendiri."

Becca ikut menyesap minumannya. "Erlan keren lho. Kalau gue belum tunangan sama Ben, dan masih bisa window shopping, gue pasti tertarik sama dia."

Prita tertawa geli. "Ya ampun, kok ngebandingin Ben sama Erlan sih, Bec? Itu kayak membandingkan bumi dan langit, tahu!. Menang Ben ke mana-mana lah. Lo nggak bakal bosen dan ketularan gagu kalau sama Ben."

Becca memutar bola mata. "Ben itu bawelnya malah kelewatan. Kalau nggak diancam puasa ciuman seminggu, dia nggak bisa mendadak kalem."

Prita ikut memutar bola mata. "Memangnya ancaman lo pernah dibuktiin? Kali aja lo yang nggak kuat iman dan nyosor duluan."

Becca terkekeh. "Iya sih, tapi senang aja bisa ngancam si Ben."

Prita melihat pergelangan tangannya. "Gue harus balik. Ntar ditelpon lagi. Nyokap gue belum bisa ngasih gue keluar lama-lama. Makasih udah nemenin gue nyari kado, ya." Dia berdiri. "Gue mau ngundang lo sama Ben, tapi acaranya beneran hanya untuk keluarga."

Becca ikut berdiri. "Ngerayain ulang tahun bertiga aja pasti lebih menyenangkan."

Prita mendesah. "Berempat. Keluarga gue sekarang ada empat orang. Anak emas Papa itu masuk anggota keluarga, meskipun nggak terdaftar di kartu keluarga."

"Erlan?" Becca sebenarnya sudah menduga, tetapi ikut menegaskan.

"Siapa lagi? Iya, mantan tunangan gue. Tapi lebih baik jadi adik angkat dia sih daripada jadi calon suami. Nggak banget!"

**

Gaesss... pantengin IG  @titisanaria karena akan ada GA di sana untuk menyambut follower 4K dan terbitnya DSJ, ya. Tengkiu...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro