Dua Puluh Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Voment-nya pecah. Kalian terbaik. Oh ya, aku nggak nyebut goal untuk part berikutnya, ya. Karena ini weekend dan aku mungkin ingin keluar rumah. Kalau ditentuin, takutnya malah diteror update padahal aku belum sempat nulis. ini ditulis langsung update, jadi nggak punya cadangan part. Dan TOLONG DIBACA: Rules masih sama dan berlaku. Kalau yang nagih bukan follower, akan aku blokir. Kalau follower sih paling diingetin dan ditunda update-an aja. Jadi kalau nggak mau diblokir padahal udah telanjur nagih, yakinkan aja kamu udah follow. Hehehee... Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....

**

 Ciumannya manis. Lebih lembut daripada yang terakhir Prita ingat. Rasanya tepat. Dia mengeratkan cengkeramannya pada bagian depan kemeja Erlan, meskipun dia tahu tidak akan terjatuh, karena pelukan laki-laki itu yang erat. Mereka saling memagut, sebelum akhirnya Erlan merenggangkan jarak di antara mereka, meskipun tangannya masih melekat di pinggang Prita.

"Bukan aku yang mulai!" Hanya itu yang bisa dipikirkan Prita saat membuka mata dan mendapati Erlan juga menatapnya. Dia tahu kalau wajahnya mungkin sudah berwarna ungu sekarang. "Aku tadi hanya berdiri di sini, kamu yang naik," lanjutnya panik. Setidaknya, Prita kali ini yakin bahwa Erlan lah yang lebih dulu memulai kontak bibir, tidak seperti yang terakhir kali saat dia terpeleset di bawah. Waktu itu Erlan memang mengakui kalau dia yang memulai ciuman, tetapi Prita tidak bisa yakin. Bisa saja karena Erlan laki-laki dan selalu penuh tanggung jawab, maka dia memutuskan mengakui hal itu untuk membuat Prita tidak terlalu malu.

"Aku tahu," jawab Erlan tenang. "Aku yang naik tiga anak tangga. Aku belum lupa."

Prita menarik tangannya dari kemeja Erlan yang kusut. Dia menutup wajah dengan sebelah tangan. "Ya Tuhan, ini—" Dia tidak tahu apa yang harus dia katakan.

"Kamu mau kita bicara soal ini?" tanya Erlan yang sepertinya tidak terpengaruh dengan kepanikan Prita.

"Tentu saja!" jawab Prita cepat. Tapi tunggu dulu, bicara soal perasaannya? "Tidak! Nggak tahu... ahh, entahlah." Prita berbalik dan kembali ke atas. Erlan mengikuti tepat di belakangnya. "Aku mau minum. Kamu nggak jadi pulang?"

"Sepertinya kita harus bicara."

Prita berjalan ke arah pantri, sengaja melambat-lambatkan langkah. Dia melihat Erlan sudah kembali duduk di sofa. Ya, mereka memang harus bicara. Prita mengembuskan napas pelan-pelan melalui mulut. Tentu saja Erlan yang bicara, dia hanya perlu mendengarkan, dan menambahkan di saat yang tepat. Entah mengapa, dia merasa pembicaraan ini tidak akan melibatkan kata cinta. Erlan tidak pernah terlihat mencintainya. Dan Prita tahu kalau dia tidak boleh membiarkan Erlan menyadari perasaannya. Kecuali kalau laki-laki punya perasaan yang sama dengannya. Namun, itu rasanya mustahil.

Prita membawa gelas minumannya saat kembali ke sofa. Memegang sesuatu membuatnya punya pengalihan perhatian, jadi tidak akan terlihat terlalu kikuk.

"Kita adalah dua orang dewasa," mulai Erlan. Prita memilih menekuri gelas di tangannya. "Ketertarikan fisik bisa terjadi."

Untukmu, itu memang hanya ketertarikan fisik semata. Prita menahan kalimat itu supaya tidak meluncur keluar dari bibirnya. "Tentu saja." Siapa yang tidak pernah mengalami ketertarikan fisik kepada lawan jenis? Hanya saja, ketertarikan fisik tidak akan mendorong Prita menawarkan diri untuk dicium. Mungkin laki-laki dan perempuan memang berbeda dalam menyikapi ketertarikan fisik tersebut.

"Kamu sangat cantik. Wajar kalau banyak orang yang tertarik."

Orang lain memang wajar. "Termasuk kamu?" tanya Prita skeptis, sama sekali tidak percaya.

"Aku laki-laki normal."

Normal? Yang benar saja! Laki-laki normal sama sekali tidak terlihat seperti Erlan. Prita diam saja.

"Aku minta maaf karena sudah bikin kamu nggak nyaman dengan kontak fisik seperti tadi."

J adi ini percakapan tentang ciuman antara dua orang dewasa tanpa melibatkan cinta. Lalu hubungan mereka akan jadi seperti apa? Teman tapi ciuman? Itu bahkan lebih bodoh daripada bertepuk sebelah tangan.

Bukan kontak fisiknya yang membuat Prita tidak nyaman. Yang menyebalkan itu adalah mereka melakukannya tanpa status yang jelas. Hanya saja, dia tidak mungkin menyebut soal status itu sekarang. Dia yang dulu meminta berpisah dari Erlan. Dan sampai sekarang pun Prita tidak merasa kalau perasaannya berbalas. Sama sekali tidak ada tanda-tanda ke arah sana. Kecuali kalau ciuman dihitung. Namun, itu jelas-jelas terjadi secara kebetulan, karena situasi dan kondisi ysng mendukung terjadinya kontak fisik seintim itu.

"Ada hal-hal yang terjadi di luar kendali kita."

"Orang lain mungkin kehilangan kendali, tapi kamu bukan mereka." Laki-laki di depannya ini benar-benar menjengkelkan, pikir Prita. Mengapa dia harus jatuh cinta kepada orang seperti itu? Demi Tuhan, ada begitu banyak pilihan di dunia dan hatinya memilih orang ini! Di kehidupan sebelumnya dia pasti adalah seorang pengkhianat negara, atau rentenir yang mencekik nasabahnya dengan bunga yang sangat tinggi, sehingga karmanya sedemikian buruk. Maksudnya, lihat Erlan! Laki-laki itu bicara tentang kehilangan kendali dengan sangat terkendali. Jelas ada yang salah dengan otaknya. Mungkin dia harus mempertimbangkan opsi mendonorkan otak untuk dijadikan bahan penelitian, karena kekerasan di dunia jelas akan jauh berkurang kalau ada lebih banyak orang seperti dia ada. Semua orang bisa mengendalikan diri. Tidak akan ada yang iseng menekan tombol peluncuran misil nuklir hanya karena tidak menyukai lelucon atau model rambut orang lain.

"Ternyata itu terjadi, kan? Aku bukan orang yang selalu bisa menahan diri Aku bukan orang yang sesempurna itu." Erlan bergerak mendekat dan menyentuh punggung tangan Prita yang masih menggenggam erat gelasnya. Mungkin dia merasa tidak didengarkan, jadi Prita kemudian mengangkat wajah untuk menatapnya. Erlan melanjutkan, "Dengar, aku tahu kamu mungkin marah dan tidak suka dengan apa yang aku lakukan tadi—"

"Aku bukannya marah dan tidak suka," potong Prita. Ya, mari bicara dengan cara dewasa. Mengapa tidak? Meskipun harga dirinya tinggi, tetapi malu-malu kucing sama sekali bukan gayanya. "Bukan hanya kamu, tapi aku juga ada setiap kali kita ciuman. Kamu akan tahu aku bohong kalau bilang aku tidak suka dan menikmati. Seperti yang kamu bilang, ketertarikan fisik memang bisa terjadi."

Erlan tidak langsung merespons. Dia tampak berpikir. "Benarkah? Aku pikir kamu tidak suka aku."

"Physical attraction," Prita buru-buru mengingatkan. "Aku memang nggak terlalu suka sama kamu, karena hampir semua kata-kata yang keluar dari mulut kamu itu benar, dan cara menyampaikannya menyebalkan. Tapi seperti yang sudah kubilang tadi, itu bagian diriku yang kekanak-kanakkan. Siapa yang suka orang yang selalu menganggapnya bodoh?"

"Aku nggak pernah menganggap kamu bodoh," sambut Erlan. "Manja iya. Tapi itu memang tidak bisa dihindari saat kamu lahir sebagai anak Pak Johny dan Bu Yura."

Prita mendelik. Dia sudah melupakan kekikukkannya. "Caramu menatapku setiap kali kita bicara membuatku berpikir kalau kamu pasti menganggapku bodoh."

Erlan berdecak. "Perempuan dan asumsinya."

"Dan sekarang aku menyesal mengakui punya ketertarikan fisik yang sama denganmu!" Prita berdiri. Emosinya terpancing. "Dengar, aku nggak mau bicara dengan kamu lagi. Sebaiknya kamu pulang. Jangan datang lagi!" sulit sekali menghadapi Erlan tanpa merasa sebal. Percakapan dewasa? Lupakan saja. Menangis berhari-hari meratapi kisah cinta yang gagal sepertinya tidak terlalu buruk. "Aku mau tidur saja. Mungkin kalau sudah bangun, aku bisa lebih waras daripada sekarang."

**

Erlan tahu dirinya dalam masalah saat memutuskan berbalik dan melayani percakapan dengan Prita yang menyusulnya ke tangga. Kalau dia cukup pintar, dia seharusnya terus turun. Tidak membiarkan Prita menahannya untuk percakapan tentang apa pun.

Dan akhirnya terjadi. Usahanya selama beberapa hari menghindari Prita sia-sia. Gagal total. Erlan tidak bodoh. Meskipun tidak ingin, dia sadar kalau dia tertarik kepada Prita. Anak Johny Salim, majikannya. Mantan tunangannya. Dia hanya berusaha mengabaikan perasaan itu. Tetapi masa denial itu resmi berakhir saat dia tidak bisa menahan diri, dan lagi-lagi mencium Prita.

Tersadar menyukai seorang perempuan seperti itu padahal dia begitu yakin tidak akan jatuh cinta sama sekali tidak menyenangkan. Apalagi jika perempuan itu adalah Prita Salim. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan saat bicara tentang Prita Salim. Erlan benar-benar tidak ingin menempatkan Prita dalam posisi ibunya. Masalahnya, yang dia lakukan sekarang saat logikanya dikaburkan perasaan ketika mendekap Prita sama saja dengan mendorong perempuan itu menjadi selangkah lebih dekat ke tempat di mana ibunya pernah berada. Pada akhirnya, dia hanyalah laki-laki bodoh yang takluk pada perasaan.

"You know what, I'm done with you!" Prita mengulang ucapannya dalam Bahasa Inggris. Dia terlihat marah. "Tangganya di sana, jangan datang lagi ke sini. Aku nggak terlalu ingat lagi pelajaran etikaku sekarang, karena aku pengin nimpukin kamu pakai stiletto aku yang paling runcing!" Dia mengentakkan kaki dan berjalan menuju kamarnya setelah meletakkan gelas di atas meja. "Gosh!"

Erlan mendahuluinya berdiri di depan kamar dan bersandar di pintu, menutupi pegangan pintu dengan punggung sehingga Prita hanya bisa melotot sebal.

"Kamu kenapa? Aku hanya bilang 'perempuan dan asumsinya' dan kamu langsung meledak begitu. Salahnya di mana?" Erlan benar-benar tidak mengerti.

"Cara kamu mengatakannya itu yang salah! Ekspresi kamu menyepelekan, tahu!"

"Apa?" Susah sekali mengerti perempuan. Prita tidak marah karena sentuhannya, tapi karena ekspresinya sangat mengutarakan pendapat? Memang hanya perempuan yang bisa salah fokus seperti itu.

"Minggir, aku mau masuk!"

Erlan bergeming. "Kamu akan masuk setelah kita bicara. Duduk dulu."

"Ini tempatku, terserah aku mau bikin apa di sini. Bukan kamu yang berhak menyuruh-nyuruh!"

Erlan maju satu langkah Panjang, sehingga jarak mereka terkikis. "Aku tadi sudah bilang kalau aku tidak selalu bisa mengendalikan diri, kan?"

"Kamu... kamu—" Prita mundur dua langkah. "Oke, aku duduk. Bukan karena kamu bikin aku terintimidasi, tapi memang nggak enak bicara sambil berdiri kayak gini. Leherku bisa sakit karena terus mendongak." Dia kembali ke sofa tempatnya duduk tadi.

Erlan memikirkan bagaimana cara menyampaikan apa yang dia pikirkan kepada Prita tanpa membuat emosi perempuan itu naik lagi. Karena jelas, tidak ada perempuan yang suka mendengar apa yang akan dikatakannya.

"Aku tertarik sama kamu, tapi aku belum siap untuk terlibat hubungan dengan seseorang." Erlan mengawasi Prita. Di luar dugaannya, perempuan itu tidak menunjukkan tanda-tanda kemarahan. Ekspresinya lebih pada penasaran. "Mungkin kamu akan menganggap apa yang aku katakan ini sebagai pembelaan diri untuk apa yang sudah aku lakukan. Dan itu mungkin memang benar. Tapi dibutuhkan lebih daripada sekadar ketarikan fisik untuk menjalin hubungan." Itu tidak benar. Dia hanya tidak bisa terikat kepada Prita. Menjalin hubungan adalah satu hal, pernikahan adalah hal lain yang benar-benar berbeda. Hubungan pernikahan itu intens dan tidak ada jalan keluar dari sana. Prita sangat pintar memainkan emosinya. Perempuan itu tidak suka diatur. Bagaimana kalau Prita benar-benar bisa membuatnya kehilangan kendali dan kemudian menyakitinya secara fisik? Sekarang kehilangan kendali yang melibatkan Prita memang hanya melibatkan pelukan dan ciuman. Namun siapa yang tahu apa yang akan terjadi nanti? Sama sekali tidak ada jaminan.

Prita mencibir. "Kamu benar-benar percaya diri. Aku juga sudah bilang ini hanya ketertarikan fisik. Kamu sudah takut saja aku melapor sama Papa-Mama sehingga kamu akan dipaksa untuk menikahiku. Jangan terlalu besar kepala. Kalau aku berniat menjebakmu supaya terikat padaku, aku nggak akan memutuskan pertunangan kita dulu."

"Bukan itu yang aku takutkan."

"Yeah, whatever!" Prita memutar bola mata sehingga terlihat menggemaskan. "Kalau dipikir-pikir ini lucu juga. Banyak orang yang mau jadi menantu Papa. Lumayan kan, dapat tambang uang dan bonus istri cantik. Kayaknya hanya kamu yang malah ketakutan terikat sama aku."

"Aku menghormati Pak Johny, tapi tidak takut sama dia. Nggak lagi. Dulu mungkin iya."

Prita menyipit menatapnya sehingga Erlan merasa waspada. "Kamu mau dengar usulku?"

Dari cara Prita mengucapkannya, Erlan sudah tahu itu bukan usul yang biasa. "Ya?"

"Kita sama-sama tertarik. Bukan cinta, tentu saja. Astaga, tentu saja bukan!" Priia mengambil jeda sebelum melanjutkan, "Kamu nggak mau coba kita jalan bareng dulu?"

"Apa?" Erlan benar-benar terkejut mendengar usul itu. Memang sulit menebak jalan pikiran Prita, tetapi ini benar-benar mengejutkan.

Prita mengedik. "Ini usul. Jangan berlebihsn. Bukannya aku nembak kamu atau gimana."

Erlan menatap Prita lebih dalam, mencoba membaca pikirannya sekali lagi, tetapi tidak bisa menyimpulkan apa pun. Prita terlihat biasa saja. Seperti menawarkannya mencoba salah satu menu dalam daftar yang belum pernah dicobanya.

"Jalan bareng, tapi nggak ada yang tahu. Juga Papa-Mama. Aku juga belum memikirkan hubungan yang serius. Sudah aku bilang mau fokus sama butik, kan? Kalau kita jalan bareng, anggap saja aku punya bodyguard resmi yang bisa nemenin dan ngantar ke mana-mana. Sepertinya itu bukan ide yang terlalu jelek. "

Erlan masih diam.

"Kalau salah satu dari kita bosan, tinggal bilang saja. Game over. Gimana?"

"Segampang itu?" Mungkin hubungan tanpa status jelas mungkin bukan hal aneh untuk Prita yang lama tinggal di luar negeri.

"Kamu kelihatan ragu-ragu." Prita berdiri. Dia mengibas santai. "Lupakan saja. Kita sudah selesai bicara, kan? Aku mau tidur sekarang." Dia berjalan menuju kamarnya.

Erlan terus mengawasinya. Dia mengambil keputusan saat tangan Prita sudah meraih pegangan pintu. "Oke. Kita bisa coba jalan bareng." Ini bukan seperti menikah, kan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro