Dua Puluh Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tembus 6K bintang kurang dari 24 jam. Gaeeesss, kalian terbaeeekkkk.... Hepi reading en lope-lope yu ol...

**

Beberapa hari ini Erlan sama sekali tidak muncul di butik. Sebenarnya Prita penasaran mengenai keberadaannya, tetapi menahan diri supaya tidak bertanya kepada Orlin atau ibunya. Rahasia hatinya biarlah tetap dia simpan sendiri sampai mereda. Becca tahu soal itu, tapi tidak ada yang lebih baik daripada sahabatnya itu dalam hal menyimpan rahasia, walaupun pada dasarnya cerewet. Masalahnya, kedekatannya dengan Erlan beberapa bulan terakhir selama mempersiapkan butik sama sekali tidak membantu untuk menghilangkan rasa suka itu. Alih-alih mengecil dan padam, Prita merasakan ketertarikan itu malah semakin besar. Dia jadi benar-benar tahu apa yang orangtuanya lihat dari Erlan. Di balik kata-katanya yang kadang tajam dan singkat-singkat, laki-laki itu benar-benar cerdas dan tahu persis apa yang harus dia lakukan. Sama sekali tidak pernah terlihat ragu-ragu saat akan memutuskan sesuatu. Kepercayaan dirinya luar biasa. Ya, setiap orang memang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kekurangan Erlan hanyanya sikapnya yang tidak luwes. Ada jarak yang sepertinya coba dia bangun kepada setiap orang. Erlan hanya terlihat sangat santai saat membicarakan pekerjaan dengan ayahnya.

Kadang-kadang, saat mengamati Erlan, Prita meragukan ingatannya kalau laki-laki yang terlihat kaku itu adalah orang yang sama yang pernah berciuman dengannya, karena sosok Erlan dan ciuman itu sepertinya sangat tidak cocok. Jangan-jangan, ciuman itu adalah halusinasi karena perasaannya yang tak sampai kepada Erlan, sehingga sudah membayangkan yang tidak-tidak. Atau yang iya-iya? Astaga! Otaknya benar-benar sudah hamper rusak permanen kalau begini.

Prita melepas buku sketsanya untuk melemaskan jari-jari. Dia sudah menggambar sejak beberapa jam lalu, berusaha mengalihkan perhatian dari pikirannya yang tidak bisa dikendalikan dan terus memikirkan seseorang yang pasti sama sekali tidak menganggapnya penting. Menyebalkan!

Dia melihat ke arah CCTV di sudut langit-langit ruang kerjanya. Ini sama sekali tidak adil. Erlan yang tidak tertarik melihatnya bisa mengawasinya kapan saja, di mana saja, selama punya koneksi internet, sedangkan Prita hanya bisa melihat laki-laki itu saat dia datang di butik, atau ke rumah orangtuanya, saat dia juga berada di sana.

Merindukan seseorang, terutama orang yang hanya melihatnya sebagai tanggung jawab ternyata tidak lebih baik daripada merasa patah hati. Sama-sama menyesakkan. Sialan!

"Mbak...," Kepala Orlin menyembul dari balik pintu. "Ada Pak Ardhian di sini."

"Suruh masuk, Lin." Tumben Ardhian mampir di tempatnya. Prita memang pernah menyebutkan alamat butiknya dalam salah satu percakapan mereka di telepon, tetapi tidak berharap temannya itu akan mampir. Ardhian sibuk. Sudah beberapa kali mereka merencanakan pertemuan, tetapi malah akhirnya batal, karena Ardhian kemudian punya jadwal lain yang tidak bisa ditinggal.

"Hai...," sapa Ardhian saat masuk dalam ruang kerja Prita. "Gue harap, gue nggak ganggu the most wanted designer in town." Senyumnya tampak lebar.

"Duduk di sofa saja." Prita bangkit dari kursinya dan menuju ke sofa. "Tumben lo ke sini? Mau pesan gaun buat tunangan artis lo itu? Sayangnya lo harus punya ukuran dia dan model kayak apa yang dia mau. Tapi gue lebih suka berurusan dengan orangnya langsung sih, karena lebih enak diskusinya. Dan ukurannya nggak mungkin salah."

Ardhian mengempaskan tubuh di sofa. "Nggak ada hubungannya dengan gaun. Gue nggak pernah ikut campur urusan gaun Felis. Gue tadi kebetulan ada meeting di dekat sini. Pas lihat nama butik lo yang segede Gaban itu, sekalian aja gue mampir. Ini udah lewat jam kerja, kan?" Ardhian melihat pergelangan tangan untuk meyakinkan. "Cari makan di luar, yuk. Sekalian ngobrol. Kita belum pernah beneran hang out bareng, kan? Terus diomongin, tapi nggak pernah kejadian."

Keluar bersama Ardhian jauh lebih baik daripada melamunkan orang tidak jelas yang sama sekali tidak menganggapnya ada, dan entah sedang berada di mana sekarang. "Boleh. Pergi sekarang, atau mau ngobrol di sini dulu sambil menunggu waktu makan malam?"

"Sekarang deh. Pakai mobil gue aja. Kita cari tempat makan di dekat sini. Nanti gue antar lo balik ke sini lagi. Atau ke rumah lo?"

"Gue nginap di sini." Prita mendahului Ardhian berdiri. "Gue ngambil tas dulu di atas."

"Gue tungguin di depan, ya."

"Oke." Prita memilih salah satu tas dan sepatu yang senada dengan setelan blus dan celana Panjang yang dia pakai. Tangannya baru saja hendak mendorong pintu kaca untuk menyusul Ardhian yang sudah berada di tempat parkir, saat ponselnya berdering. Prita merogoh tasnya dan terpaku sejenak.

"Ya?" Tidak sopan mengangkat panggilan telepon tanpa mengucap salam, tapi kalau sedang sebal, sulit memikirkan sopan santun.

"Mau ke mana?" suara Erlan yang familier terdengar.

Prita mendesah. CCTV sialan. Benar-benar tidak ada privasi. Hanya saja, Prita tahu kalau yang membuatnya kesal adalah kenyataan bahwa Erlan hanya menganggapnya tanggung jawab. Laki-laki itu beberapa hari ini menghilang tanpa kabar berita, tetapi begitu tahu dirinya akan keluar bersama Ardhian, sikap siaganya sebagai penjaga langsung muncul.

"Aku hanya akan keluar makan malam," Prita berusaha tidak terdengar jengkel. "Aku nggak akan membuat masalah. Jangan khawatir." Di kepala Erlan, dia pasti hanya perempuan pembuat masalah yang harus diawasi seketat mungkin.

"Kamu bisa menyuruh Orlin memesan makan malam untuk kalian, nggak perlu keluar."

"Aku butuh udara segar. Sudah beberapa hari aku terkurung di butik. Ruteku hanya butik-rumah-butik-rumah. Bosan. Bukan makanannya, aku lebih butuh suasananya."

Erlan diam sejenak. "Ya sudah, ajak Orlin."

Prita memutar bola mata. Orlin akan canggung berada di antara dirinya dan Ardhian. "Aku nggak akan lama. Cek saja CCTV bodoh kamu itu dua jam lagi. Aku pasti sudah pulang."

"Pilihannya hanya ajak Orlin atau jangan pergi." Nada memerintah yang juga kental.

Prita mendorong pintu kaca dan keluar. "Aku akan melakukan apa pun yang aku suka selama dua jam ke depan. Hanya dua jam." Dia memutuskan hubungan lalu mematikan ponsel. Erlan benar-benar tahu cara memperburuk suasana hatinya yang sudah rusak.

Hanya saja, karena Prita dan Ardhian makan di Amuz, butuh waktu lebih dari dua jam saat akhirnya Ardhian mengantarnya kembali ke butik. Makan di fine dining restoran selalu butuh waktu lama. Setelah melambai kepada Ardhian yang lantas membawa mobilnya pergi, Prita melihat mobil Erlan terparkir di depan butik. Mobilnya sendiri tidak ada. Mungkin Orlin sedang keluar mencari sesuatu.

Erlan sedang duduk di sofa dengan televisi yang menyala di depannya, tetapi Prita tidak tahu apakah laki-laki itu benar-benar menonton atau tidak, karena volume TV yang kecil.

Prita langsung menuju kulkas dan mengeluarkan air dingin. Dia pasti butuh itu kalau berhadapan dengan kata-kata Erlan yang tajam. Sudah lumayan lama mereka tidak saling menyerang saat bicara karena Prita hampir selalu mengikuti semua yang Erlan sarankan saat persiapan pembukaan butik. Baru kali ini lagi Prita mengabaikan perintah laki-laki itu. Orang seperti Erlan pasti tidak suka dibantah, selain oleh ayahnya.

'Ponselnya sengaja kamu matikan." Itu pernyataan, bukan pertanyaan.

Prita mengedik. Dia mengambil tempat di sofa yang berbeda dengan Erlan. "Aku hanya keluar sebentar. Aku beneran nggak mau ribut sama kamu karena hubungan kita yang sudah lumayan baik jadi mundur lagi. Aku hanya mau kamu percaya sama aku. Aku nggak sebodoh itu sampai harus menjerumuskan diri berulang-ulang. Aku nggak akan ikut Ardhian kalau nggak percaya sama dia. Dia berbeda dengan Bernard atau Lucca." Prita tidak ingin menambahkan kalau kekacauan yang disebabkannya dulu hanya untuk memancing kecemburuan Erlan, yang sayangnya gagal total. "Kamu bisa saja menganggap aku itu tanggung jawab kamu, tapi kita berdua tahu kalau sebenarnya akulah yang bertanggung jawab untuk diri aku sendiri. Apa pun yang kamu lakukan untuk menjauhkan aku dari masalah, nggak akan berhasil kalau aku memutuskan menjerumuskan diri sendiri."

Erlan diam saja.

"Jadi sebaiknya hentikan ini. Kamu nggak perlu menjaga aku." Prita meneguk minumannya. Ini mungkin akan membuatnya sedih untuk beberapa waktu ke depan, tetapi memang sudah saatnya menerima kenyataan dan mendorong Erlan menjauh. "Aku sudah mengecewakan Papa dan Mama sekali. Itu nggak akan terjadi lagi, meskipun tanpa pengawasan kamu."

Erlan bergeming. Prita melihatnya seperti patung salah tempat yang didudukkan di atas sofa.

"Kita sama-sama nggak nyaman dengan keadaan ini. Kamu nggak nyaman karena merasa harus menjagaku seperti keinginan Papa-Mama, dan aku nggak nyaman diawasi karena merasa tidak dipercaya." Yang terakhir itu tidak sepenuhnya benar. Sulit untuk memadamkan harapan kalau Erlan terus berkeliaran di dekatnya.

"Baiklah." Erlan berdiri. "Aku sebenarnya tahu kalau kamu bisa menjaga diri. Aku hanya terbiasa mengawasimu setelah kejadian itu." Mereka berdua tahu kejadian apa yang dimaksud Erlan.

Begitu saja? Tadinya Prita sudah bersiap untuk menerima semburan kemarahan. Ini jadi seperti antiklimaks. "Benarkah?"

"Kamu memang butuh waktu untuk menata hidup kamu sendiri tanpa harus diawasi dan tergantung kepada orang lain." Erlan berjalan menuju tangga. Prita baru menyadari kalau laki-laki itu tidak pernah menggunakan lift di gedung ini selain untuk mencobanya saat pertama kali dipasang..

"Oh ya?" Entah mengapa, Prita mengiringi langkahnya. Tidak seharusnya Erlan menyerah secepat itu tanpa berargumentasi. Sama sekali tidak seperti dirinya yang biasa. Ada apa ini? Apakah laki-laki itu memang sudah menunggu saat untuk melepaskan diri darinya? Beberapa hari ini dia memang tidak datang, kan?

"Aku akan menambah satpam yang jaga malam jadi 2 orang, supaya kamu merasa lebih aman. Kalau jaganya berdua, kemungkinan ngantuknya lebih kecil."

Ini benar-benar percakapan normal. Mungkin yang paling normal setelah hubungan mereka membaik. Atau malah sebaliknya? Ini tidak normal, karena Prita sama sekali tidak berniat mengeluarkan komentar sarkas bernada canda yang selama ini tetap dia lakukan untuk menutupi perasaaannya kepada Erlan. Dia masih sibuk bermain tanya jawab dalam benak.

"Tapi kalau bisa, kamu dan Orlin lebih baik pulang ke rumah. Nggak usah menginap di sini."

"Oke." Itu terdengar seperti kepedulian. Hanya saja, bagi Erlan itu tetap saja hanya sebuah tanggung jawab. Prita hampir saja memukul dahi karena apa yang dia pikirkan. Menyedihkan.

"Aku akan turun dan pulang setelah Orlin kembali ke sini. Kamu sebaiknya masuk ke kamar." Erlan mulai menuruni tangga.

"Tunggu!" Prita menyusul Erlan yang berhenti, berbalik, dan mendongak menatapnya. Mereka dipisahkan beberapa anak tangga. Rasanya tidak benar membiarkan Erlan pergi begitu saja. Setelah saat ini, mereka akan bertemu dalam situasi yang berbeda. Mungkin akan menjadi lebih asing. "Aku... aku hanya mau bilang terima kasih untuk semua bantuan kamu. Aku tahu kalau aku sering menyulitkan kamu dengan bersikap menyebalkan." Berengsek, kenapa matanya terasa hangat? Berapa umurnya? Pidato perpisahan seharusnya lebih mudah saat perempuan sudah dewasa. "Kamu selalu jadi kesayangan Papa dan Mama. Memang bukan salah kamu kalau mereka begitu perhatian sama kamu. Kurasa, aku hanya sedikit iri."

"Anak Pak Johny dan Bu Yura hanya kamu," jawaban Erlan setenang biasa. "Kamu tahu itu."

"Aku tahu." Prita mengedik canggung. Rasanya sedikit aneh menyampaikan isi hatinya seperti ini kepada Erlan, orang yang konsisten membuatnya sebal dan cinta di saat yang sama. "Kadang-kadang, bersikap kekanakan itu bisa menjadi pembenaran perempuan saat merasa jengkel." Dia lantas mengulurkan tangan untuk mengajak bersalaman. Matanya benar-benar mulai panas, jadi dia memilih menunduk. Jadi seperti ini rasanya melepas cinta yang bertepuk sebelah tangan? Semoga dia tidak akan merasakannya lagi kelak. Semoga orang yang akan disukainya setelah periode Erlan selesai adalah orang yang juga membalas perasaannya. "Aku minta maaf. Dan sekali lagi, makasih untuk semua bantuan kamu. Entah gimana jadinya kalau nggak ada kamu."

Prita akhirnya mengangkat wajah setelah tangannya menggantung di udara beberapa lama. Mengapa Erlan tidak menjabat tangannya? Apakah dia tidak melihat ketulusan Prita saat berterima kasih dan meminta maaf? Matanya seketika bertemu dengan tatapan Erlan yang lekat padanya. Hati Prita mencelus. Senyap. Semuanya mendadak terasa hening. Seperti mereka dibekukan oleh waktu. Mereka terus saling menatap dalam diam, sampai akhirnya Erlan mulai menapaki satu per satu anak tangga ke tempat Prita mematung dan menutup jarak di antara mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro