🕊Kembali ke Tanah Air🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

💫Jika kamu berada di antara dua pilihan, sebaiknya pilihlah yang  mendekatkanmu dengan Tuhan💫

🕊🕊🕊

🎀  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  🎀


💫Happy reading💫

Embusan angin kota Solo  menerpa wajah perempuan berkerudung merah maron. Udara kota Tokyo yang hendak memasuki musim salju ia tinggalkan,  berganti dengan suasana hangat kota kelahirannya. Hampir dua tahun ia pergi untuk menempuh belajar sastra di negeri Sakura. Kepulangannya kali ini tak lain untuk acara pernikahan dirinya dengan seseorang yang sudah mau bersabar menunggu sampai saat ini. Laki-laki itu juga belajar memantaskan  perihal agama Islam agar bisa menjadi imam yang baik setelah pernikahan mereka nanti.

Setelah turun dari mobil, Kiran segera meninggalkan laki-laki yang akan mengubah statusnya untuk masa yang akan datang. Setelah pertemuan singkat di Taman Balekambang untuk melepas kerinduan setelah hubungan jarak jauh mereka.  Nantinya, setelah di pesantren tak mungkin bisa berdekatan karena peraturan Abah yang sangat ketat.

Lingkungan pesantren yang mulai ramai karena akan memasuki waktu magrib membuat santri berlalu-lalang sambil berlarian mendapatkan shaf paling depan.

Kiran buru-buru menundukkan pandangannya ketika berpapasan dengan laki-laki yang pernah menjadi bagian masa lalunya. Hafiz sudah lengkap memakai pakaian dinasnya tengah berdiri tegak di depan pintu menyambut kedatangannya. Menurut info dari Alif—kakak kandungnya, jika laki-laki ini sekarang pindah tugas di daerah Solo. Sepertinya intensitas pertemuan mereka nantinya akan sering mengingat Hafiz adalah alumni pesantren ini juga.

“Assalamualaikum. Afwan, aku ingin masuk, hendak bertemu dengan Abah dan Umi.”

Bukannya memberikan jalan masuk, Hafiz malah sengaja berdiri di tengah pintu masuk sambil terus memerhatikan perempuan yang menjadi masa lalunya, sampai sekarang sepenuhnya belum bisa ia tepis bayang-bayang Kiran dalam memori ingatannya. Walaupun Hafiz  sendiri pernah menjalin hubungan dengan wartawati yang sering meliput saat dirinya sedang bertugas, tetapi tetap saja nama Kiran yang ada di hatinya.

Terpaksa Hafiz memutuskan hubungan dengan wartawati itu dengan dalih masih mencintai masa lalunya, walaupun ia paham jika laki-laki yang dipilih Kiran bukan dirinya melainkan Adit. Namun, ia tetap bersikukuh siapa tahu memang jodohnya adalah Kiran. Apalagi sekarang Kiran jelas nyata ada di hadapannya, membuat kenangan bersama perempuan itu hadir kembali.

Kiran terpaksa mendongak ke atas, menatap wajah polisi itu sambil kembali meminta izin untuk masuk tetapi jalan masuk masih saja dihalangi. Dalam hati Kiran merutuki Adit yang masih bertahan di mobil karena saat tadi turun, Adit masih sibuk dengan ponselnya.

“Aku meminta waktu sekejap, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” pinta Hafiz dengan sorot mata penuh harap.

“Boleh tetapi nanti. Aku mau masuk dulu karena aku lelah setelah perjalanan dari Jepang. Lagian juga sepertinya Anda  paham jika laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dilarang berduaan.”

Hafiz tertawa mengejek, ia menyilangkan kedua tangan di dada  yang sedikit dibusungkan ke depan.

“Bukankah kamu dan Adit barusan berduaan?” sindir Hafiz membuat wajah Kiran merah padam.

“Di sana kita tak hanya berdua. Di taman itu masih banyak pengunjung lain!” tegas Kiran dengan memasang wajah tak suka. Entah mengapa, sekarang ia tak menyukai laki-laki ini. Beruntungnya yang akan menjadi imamnya bukan laki-laki seperti ini.

“Baiklah. Kita kembali ke topik lain yang lebih penting.”

Kiran mengernyit, kedua kaki yang sudah letih menopang tubuh ingin rasanya ia selonjorkan di kamar favoritnya.

“Apa?” Nada ucapan Kiran tersengar sinis dan berharap Hafiz mengatakan secepatnya, kemudian ia bisa masuk dan bertemu dengan orang tuanya.

“Aku ingin kamu batalkan pernikahan dengan dia dan kembali melanjutkan kisah kita yang terhenti. Melangkah bersama menggapai janji yang pernah terucap. Sebelumnya aku berbohong jika aku ikhlas menerima kamu bersama dia tetapi hati kecilku berkata tidak. Aku masih mencintai kamu dan berharap  kamu menjadi milikku saat ini dan selamanya.”

“Sebaiknya kubur jauh-jauh impian Anda,” ucap Kiran menerobos masuk karena untuk sekarang  Hafiz berdiri agak menjauh dari pintu. Kiran tak akan melewatkan kesempatan itu, ia berlari kecil untuk masuk dan bertemu dengan keluarganya, dibandingkan meladeni laki-laki tak jelas.

Suara kumandang  azan memenuhi seantero pesantren. Hafiz sendiri iri mendengar suara azan yang tak lain berasal dari suara Adit. Laki-laki bekas preman dan mualaf yang sekarang derajatnya naik di mata Abah karena sebentar lagi akan menjadi menantu pemilik pesantren ini.

“Ayo, salat!” pekik seseorang yang sambil menepuk punggungnya lumayan keras. Hafiz menoleh pada sahabat sekaligus penerus pesantren ini, siapa lagi kalau bukan Alif.

Hafiz berdehem ringan sambil melihat samping kanan kiri seperti mencari seseorang, kemudian kembali tertunduk lesu.

“Sudah bertemu dengan adikku?”

Hafiz mendengus, pertanyaan tak tepat yang dilontarkan Alif kepadanya sekarang. Apalagi hatinya masih sakit mendapati penolakan luar biasa dari adik sahabatnya.

“Dia masih memilih preman itu,” sungutnya dengan wajah tambah kesal. Kedua tangan terkepal ditambah rahang yang mengeras. Hafiz teringat kembali jika ia pernah menghajar Adit karena pernah menyakiti Kiran.

Kekeh tawa Alif membuat Hafiz ingin menonjok wajah sahabatnya. Jika tempat ini bukan daerah kekuasaan Alif mungkin saja Hafiz sudah membuatnya babak belur sama seperti saat menghabisi preman atau perampok yang berusaha melawannya saat penggerebekan.

“Jelas dong, preman itu lebih ganteng. Mapan pula,” ledek Alif membuat Hafiz semakin meradang.

“Kenapa kamu malah membela dia? Sudah berapa juta dari preman itu mengalir ke pesantren?” sindir balik Hafiz membuat  Alif terkejut. Namun, ia mencoba tersenyum dan sabar sesuai nasihat Abah. Apalagi dirinya sekarang sudah resmi menjadi penerus Abah yang terkenal wibawa dan tak pernah mengumbar emosi selama beliau pimpin.

Alif menepuk pundak Hafiz, sekarang lebih pelan tak seperti tadi seraya berucap, “Hafiz yang sekarang aku lihat bukan seperti Hafiz yang aku kenal. Aku tak menyalahkanmu mungkin ini juga karena tuntutan pekerjaan kamu. Apalagi jabatan kamu sekarang lumayan tinggi. Namun, satu yang harus kamu mengerti. Semua manusia tetap sama di mata Pencipta. Entah itu kaya, miskin, preman atau pun orang berpangkat sekalipun jika di hatinya masih ada sifat dengki maka akan kalah dengan orang biasa tetapi hatinya tulus.”

Ucapan Alif yang sangat santai tetapi cukup menampar hati Hafiz. Baru diuji seperti ini, dirinya sudah kalap dan tak bisa mengontrol emosi.

“Ayok, salat. Siapa tahu setelah ini hatimu akan kembali bersih. Ingat jodoh, rezeki dan mati sudah ada yang mengatur,” sambung Alif meyakinkan Hafiz, padahal hati Alif saat ini juga sedang berkecamuk hebat setelah adiknya pulang.

Hafiz berjalan dengan tertunduk lesu menapaki jalan berbatu menuju masjid, yang di sana sudah berkumpul puluhan santri siap melakukan salat.

Adit yang baru menyelesaikan azan buru-buru keluar dan berpapasan dengan Hafiz, laki-laki yang kembali melamar kekasihnya karena tak sengaja ia tadi mendengarkan percakapan antara Kiran dengan Hafiz. Hati Adit sedikit tergores kembali, sampai-sampai ia tak maksimal dalam mengumandangkan azan karena hatinya tak rela jika ada laki-laki lain yang mencintai calon istrinya.

🎀𝕿𝖔 𝖇𝖊 𝖈𝖔𝖓𝖙𝖎𝖓𝖚𝖊🎀

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro