🕊Sesuatu yang Ganjil 🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

💫Sehebat itu kamu bawa aku larut ke dalam duniamu.  Memberikan kejutan tiada henti dan membuatku kagum hingga menjadi candu dalam semestamu💫

***
🎀  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  🎀

💫Happy reading jangan lupa komen💫

Kiran mati-matian menyimpan kekesalannya pada Hafiz, ia berjalan menuju lorong di tengah taman yang sekarang tak tampak rapi. Banyak bunga yang mati, biasanya Umi yang paling rajin merawat karena beliau sangat suka dengan tanaman. Ada apa gerangan dengan Umi? Apa asam lambungnya naik lagi? Kenapa Mas Alif tak berkata apa-apa tentang kesehatan Umi? Saat tadi berpapasan pun, Mas Alif sepertinya tersenyum dengan terpaksa, padahal laki-laki ini adalah orang selain Adit yang berharap dirinya segera pulang ke tanah air.

Namun, kenapa senyumnya tadi seperti menahan beban yang sangat berat? Bukankah dulu saat di bandara pernah berkata, jika nanti dirinya pulang akan mengadakan penyambutan yang besar-besaran atau mengadakan syukuran bersama santri. Namun, nyatanya laki-laki itu tersenyum sekilas kemudian berjalan menghampiri Hafiz? Apa yang sedang disembunyikan? Apa tanggung jawab yang Abah berikan untuk mengurus pesantren ini sangat berat sehingga membuat kepribadian Mas Alif berubah?

Kiran bergegas menuju bangunan yang berada di tengah-tengah pesantren. Beberapa santriwati tengah berjalan cepat menuju masjid karena tak mau melewatkan  salat berjamaah. Kiran tertegun pada ruangan yang digunakan  menerima tamu untuk urusan pesantren. Puzle-puzle masa lalu terekam jelas di mana saat itu Adit bersimpuh pada Abah meminta maaf atas kesalahannya.

Kiran buru-buru kembali berjalan dan menepis ingatan itu karena sudut bibir terangkat  membentuk sebuah senyuman. Dalam beberapa hari lagi, Adit—preman yang membuatnya mengenal arti kata cinta akan menjadi kekasih halalnya.

Kiran membuka pintu rumah yang tak terkunci, sepi dan sama sekali tak ada orang. Ia melirik ke atas meja yang terdapat sebuah cangkir kesayangan Abah. Di sana  masih ada separuh minuman kopi yang masih mengeluarkan uap hangat. Sepertinya Abah belum lama meminumnya tetapi entah di mana sosok tersebut. Hati Kiran bertanya-tanya, padahal setelah dari Taman Balekambang,  ia menelepon Umi untuk memberikan informasi jika dirinya sebentar lagi akan sampai. Bukannya disambut dengan kehangatan tetapi malah disambut kesepian.

“Assalamualaikum?”

Sepi tak ada yang menimpali salamnya. Kiran menuju ke kamar miliknya yang berada di samping ruangan ini. Siapa tahu Umi tengah memasang seprei terbaiknya sama seperti saat dirinya pulang kuliah dari Purwokerto.

Nihil, kamar sama saja kosong. Aroma apel terkuak setelah pintu ini terbuka, Umi masih mengingat aroma kesukaannya. Kiran menaruh koper yang sedari tadi menemaninya.

“Abah? Umi? Kiran pulang?”

Sambil berjalan mengendap, perempuan itu menuju ke belakang, tepatnya kamar Abah dan Umi. Sayangnya pintu di sana tertutup. Dalam pikiran Kiran, apa yang mereka sembunyikan? Apa jangan-jangan sengaja memberikan kejutan untuknya? Tapi bukankah ulang tahunnya bukan hari ini melainkan sudah terlewat dua bulan yang lalu?

“Assalamualaikum, Abah? Umi?” panggil Kiran sambil terus mengetuk pintu kamar orang tuanya. Tak ada sahutan sama sekali dan Kiran berinisiatif mencari di belakang rumah.

Baru saja Kiran berbalik, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar terbuka. Sosok pria paruh baya dengan rambut yang sudah memutih tengah berdiri sambil memegang pintu. Abah sudah lengkap memakai baju koko putih, sarung serta kopiah. Kiran menduga pasti Abah akan salat di masjid.

Wajah Kiran berbinar-binar mendapati sosok yang sangat ia rindukan saat di negeri sakura. Tanpa sifat Abah yang bijaksana, cintanya dengan Adit tak akan bersatu walaupun mereka mempunyai kesalahan terbesar dalam hidupnya.

“Abah?” sapa Kiran sambil melangkah hendak meraih tangan yang sebentar lagi akan menjabat tangan Adit saat acara akad besok.

Sayangnya, Abah mundur, menghindari bersentuhan dengan putrinya. “Abah sudah wudu.”

Kiran tersentak kaget, pipinya memanas seperti terkena tamparan yang sangat keras. Bukankah jika mereka bersentuhan tak akan membatalkan wudu? Kenapa Abah dan Mas Alif seperti menghindar seperti itu? Ada apa sebenarnya yang sudah terjadi? Pikiran Kiran langsung tertuju pada Adit. Apa Adit  kembali berbuat salah sehingga semuanya menjadi aneh seperti ini?

“U-umi di mana?” tanya Kiran mengalihkan pikiran buruknya.

Abah masih diam tetapi detik berikutnya ekor mata melihat ke dalam membuat mata Kiran mengikuti arahan Abah. Senyum mengembang di bibir Kiran ketika melihat wanita paruh baya tersebut sudah  memakai mukena warna putih dan duduk di sofa kecil  yang berdampingan dengan ranjang.

Kiran menyelinap masuk. “Umi?”

Langkah Kiran langsung terhenti, ia melihat Umi tengah mengusap ujung mata yang basah. Ya, wanita itu barusan menangis terlihat dari kelopak mata yang bengkak dan berair.

“Umi kenapa?” tanya Kiran bersimpuh sambil memegang kedua lutut Umi. Dengan gerakan cepat  Umi itu menarik tangan Kiran untuk segera duduk di sampingnya.  Sedangkan Abah terpaksa ikut duduk dekat pintu.

Biasanya mereka bertiga berbincang hangat tetapi entah mengapa sekarang terasa kaku.

Wanita itu menggeleng lemah, ia terus mengusap air mata yang semakin tambah deras linangannya membuat Kiran menggoyangkan kedua lutut Umi sambil terus merengek.

“Umi kenapa? Tolong beritahu Kiran?”

Wanita itu pura-pura tersenyum tapi tidak dengan hatinya yang pedih. Ia menggeleng sambil mengusap kepala Kiran yang masih tertutup kerudung.

“Umi tidak ada apa-apa, Nduk?” sahut Umi sambil terbata-bata menahan isak tangisnya.

“Umi tidak mungkin menangis jika tak terjadi sesuatu. Pasti ada yang disembunyikan. Atau Umi sakit? Asam lambung kambuh? Kita ke dokter sekarang, ya?” bujuk Kiran dengan wajah cemas.

Ekor mata Umi menatap Abah yang masih diam membisu di dekat pintu. Pandangan mereka berserobok kemudian Abah memilih menunduk.

“Umi tak apa-apa. Umi sehat, kok.”

Wanita itu mencoba tersenyum walaupun terpaksa. Ia ingin  menunjukkan kepada putrinya, jika ia tak apa-apa dan baik-baik saja.

“Yakin Umi sehat?”

Kiran masih tak percaya karena baru seumur hidup melihat Umi menitikkan air mata seperti ini. Dulu  saat dirinya ada masalah besar, wanita itu masih kelihatan tabah dan tak terpuruk seperti ini.

“Umi sehat. Umi kangen saja sama kamu, Nduk?”

Wanita itu pura-pura tersenyum sambil memeluk sosok yang ia rindukan selama beberapa tahun ini. Titik air mata berubah linangan, apalagi saat Kiran membalas pelukan hangat. Isak tangis Umi semakin menjadi membuat Kiran bertanya-tanya. Sedangkan Abah  hanya menatap pilu pada istrinya. Tidak hanya Umi yang sedih, hati abah jauh lebih terpukul.

“Umi kenapa menangis? Kiran sudah balik. Insyaallah  Kiran masih  sebulan lagi berada di Solo sebelum terbang lagi ke Jepang.”

Jemari lentik milik Kiran menghapus pipi Umi yang basah. Wanita itu sama sekali tak tersirat kebahagiaan membuat Kiran semakin bertanya-tanya apa yang sudah terjadi selama dirinya di Jepang.

“Kita salat dulu, Umi,” ajak Abah menyelesaikan kesedihan di depan mata.

Umi beranjak berdiri menghampiri Abah meninggalkan Kiran yang masih diliputi rasa keheranan. Setelah kepergian orang tuanya, suasana kembali sepi membuat Kiran  berdiri perlahan. Baru satu langkah hendak keluar, tiba-tiba ekor mata melirik sebuah amplop berwarna cokelat yang sedikit lusuh. Kiran mendekat dan mengambil amplop itu, di bagian luar tertulis nama miliknya.

Ada keraguan sendiri untuk melihat isinya tetapi ia urungkan.  Panggilan iqamah membuatnya untuk pergi dari sini dan menuju ke masjid bergabung dengan semuanya.

🎀𝕿𝖔 𝖇𝖊 𝖈𝖔𝖓𝖙𝖎𝖓𝖚𝖊🎀

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro