🕊Kejutan yang Mencengangkan🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

💫Jangan terlena kala tiada badai yang datang karena kita tidak tahu kapan akan menerka dan merobohkan pertahanan. Karena sekalinya datang sekuat apa pun pondasi itu akan hancur. Namun, percayalah! Di balik ujian kecil itu, anugerah-Nya berkali lipat💫

🎀  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  🎀

Happy reading jangan lupa vote

Kiran sangat khusuk dengan salat pertamanya setelah tiba di tanah air. Bagaimana tidak, di Jepang ia tak menemukan suasana seperti ini. Masjid di Jepang hanya terlihat beberapa gelintir  orang yang melakukan salat, tak seperti di pesantren.

Sejak Kiran pergi ke Jepang, tanggung jawab pesantren ini berpindah pada Alif, termasuk sebagai imam salat. Abah sengaja mundur karena usia yang sudah tak muda lagi, belum penyakit asma yang diderita membuat bacaan sedikit tersendat, sehingga beliau lebih memilih menjadi makmum saja.

Selesai salat, Kiran buru-buru keluar karena ingin bertemu dengan seseorang. Ia ingin menanyakan apa yang sudah terjadi. Kiran merasakan sesuatu yang sangat ganjil dan sepertinya ada masalah besar yang sedang disembunyikan.

Namun, Kiran sadar diri karena tempatnya berpijak adalah pesantren dan ia  tak mungkin bisa bertemu dengan lawan jenis sesuka hati walaupun itu adalah calon masa depannya sendiri.

Kiran menghampiri dua orang santriwati yang tengah mencari sandal mereka di antara puluhan sandal jamaah salat magrib.

“Afwan, bisa minta tolong,” pinta Kiran pada dua perempuan di sana yang tengah terkejut oleh kehadirannya. Mereka saling menatap dengan wajah panik. Di pesantren untuk  berhadapan dengan seorang ning membuat mereka salah tingkah karena yang dihadapinya bukan orang biasa.

“Minta tolong apa, Ning?” tanya santriwati yang memakai mukena berwarna merah muda yang wajahnya panik sambil mengayunkan lengan temannya.

“Temani saya sebentar. Ayo?” ajak Kiran dengan ekor mata yang menghadap pintu keluar tempat para ikhwan keluar selesai salat.

“Baik, Ning.”

Suara santriwati itu setengah terpaksa dan berdoa agar mereka tak lama dimintai tolong karena hafalan Al Quran sudah menanti mereka. Apalagi untuk Ning satu ini juga jarang di pesantren membuat dua orang tersebut agak kaku dan rikuh. Apalagi sekarang mereka paham karena dimintai tolong untuk menemani bertemu dengan seorang ikhwan.

“Kak?” panggil Kiran pada Adit yang tengah keluar sambil menyugar rambutnya yang masih basah oleh air wudu.

Setelah dari Jepang, Kiran belajar memanggil Adit dengan sebutan kakak. Cukup sulit juga karena dari dulu selalu memanggil nama saja tetapi tak mungkin juga setelah menikah memanggil seperti itu. Adit sendiri inginnya dipanggil kakak bukan mas karena kata mas, identik dengan Alif.

Lengkungan di sudut bibir laki-laki itu terangkat, doa selepas tadi dikabulkan karena perempuan ini masih mencarinya.

“Ada apa?” balas Adit sambil menengok kanan kiri takut ketahuan laki-laki yang akan menjadi iparnya yang terkenal galak. Namun, berkat bantuan Alif setidaknya Adit bisa mengetahui tentang ilmu apa saja yang dipelajari dalam agama Islam.

“Apa yang terjadi dengan Abah dan Umi? Apa yang sudah kakak lakukan pada beliau? Tolong kasih tahu,” paksa Kiran dengan wajah penuh kecemasan.

Kening Adit berkerut, ia tampak meraba pertanyaan dengan hati-hati. Berpikir keras menelaah arti dari pertanyaan Kiran.

“Memang ada apa? Kakak tak paham yang Kiran katakan,” sahut Adit dengan kening berkerut.

Kiran kesal karena tak menemui jawaban detik ini juga. Kepalanya tiba-tiba berdenyut dan pikirannya berkecamuk.

“Please, Kak. Kiran mohon katakan sebenarnya apa yang terjadi? Sikap Abah, Umi dan Mas Alif berubah.”

Adit kembali berpikir keras, sepertinya kemarin baik-baik saja. Abah dan Umi tampak bercanda seperti biasa dan Alif juga tampak disiplin menjejalkan beberapa ilmu agama yang harus secepatnya ia serap. Agak seperti pemaksaan,  namun itu untuk kebaikan dirinya yang masih fakir dalam ilmu agama.

Adit pura-pura tersenyum seolah menenangkan kekacauan pikiran calon istrinya.

“Mereka semua itu takut jika setelah nikah, kamu akan dibawa pergi sama kakak. Patut seorang Umi khawatir dan tak rela anak perempuan yang sudah ia besarkan dengan kasih sayang tiba-tiba akan hidup bersama dengan seorang laki-laki yang baru ia kenal belum lama.”

Kiran mengangguk, ada benarnya yang Adit ucapkan. Semoga kekhawatirannya tak jauh dari masalah ini saja.

Sebuah deheman mengejutkan mereka, untuk dua orang santriwati sangat syok dan terkejut karena kehadiran Gus Alif yang terkenal dingin, mereka pun segera undur diri dan tinggallah Adit dan Kiran yang salah tingkah.

“Masih saja kalian bertemu!” tegur Alif dengan nada tak enak di dengar. Jujur saja masih ada terbesit rasa tak suka jika pilihan adiknya jatuh pada sosok mantan preman yang barusan insaf. Kenapa tidak dirinya saja yang menikah dengan Kiran? Atau Hafiz? Bukan Adit.

Pandangan Adit dan Kiran sempat berserobok kemudian memilih menatap bawah karena pastinya Alif akan marah besar.

“Kalian berdua segera masuk, Abah mau membicarakan masalah yang sangat penting.”

Alif memberikan isyarat ekor mata menyuruh Kiran untuk jalan terlebih dahulu. Baru kemudian ia mengikuti di belakangnya, sedangkan Adit memilih jalan paling belakang sendirian membiarkan mereka jalan lebih dulu di depan.

Adit sendiri masih tak percaya jika sebentar lagi dirinya akan menjadi bagian dari pesantren. Jujur ini adalah cerita yang melenceng dari skenario hidupnya karena tak pernah terbesit untuk masuk ke dalam lingkungan pesantren dan juga berpindah keyakinan  sama seperti yang Kiran yakini.

Setelah mereka bertiga masuk, segera bergabung dengan Abah dan Umi yang sudah menunggu di meja makan.  Perasaan Adit tiba-tiba rasa tak enak ketika melihat sesepuh di pesantren ini yang tak memberikan senyum seperti biasanya. Apakah dirinya akan mendapatkan penolakan untuk kedua kalinya?

“Makanan kesukaanmu, Nduk?” tunjuk Umi pada Kiran sambil mendekatkan tengkleng di dalam mangkok putih bergambar ayam jago.

Dengan wajah berbinar, Kiran menerima dan mengambil tengkleng untuk disatukan dengan nasi panas di atas piring. Tak lupa menyendokkan lauk tersebut ke piring milik Adit karena kebetulan mereka duduk berdampingan.

Perhatian itu tak luput dari Alif yang menatapnya tak suka. Ia menggeser gelas miliknya dengan kasar sehingga air minum berceceran membasahi taplak meja.

“Mas Alif kenapa? Iri, ya?” ledek Kiran membuat wajah Alif merah padam. Merasa disindir seperti itu, Alif langsung .melahap makanan kesukaan Kiran.

“Makanya cepat-cepat nikah? Apa besok kita nikah bareng-bareng saja?” celetuk Kiran yang beberapa detik kemudian terdengar suara dari Alif karena tersedak makanan. Dengan sigap, Umi menyodorkan gelas berisi air putih yang tinggal separuh.

“Jangan pada bercanda!” tegur Abah yang dari tadi juga kesulitan untuk menelan makanan. Bukan karena tersedak, melainkan perasaannya sudah tak enak membayangkan apa yang akan terjadi nanti.

“Kiran?” panggil Abah dengan lembut.

Perempuan yang tengah asyik mengulum tulang kambing muda itu pun langsung menatap Abah sambil membersihkan bibirnya.

Dalem, Abah?”

“Besok yang menjadi wali nikah bukan Abah tapi orang lain.”

Bagai tersambar petir, perempuan itu sontak berdiri sambil menahan keterkejutannya.

“Apa maksud Abah berkata seperti ini?” cecar Kiran dengan suara meninggi. Ia berdiri berpegangan tepi meja makan sambil menatap Umi dan Abah dengan wajah #bingung, sedih dan syok. Bahkan seketika suaranya seakan lesap berakhir di tenggorokan, bibir bergerak naik turun bersama gemuruh dada yang mulai sesak.

♡To be continue ♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro