🕊Kejujuran yang Menyakitkan🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


💫Hanya karena ujian kecil, sebuah badai menghancurkan pertahananmu. Kamu sudah mengeluh dan melupakan Anugerah-nya yang datang hampir setiap waktu 💫

🎀  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  🎀

Happy reading jangan lupa vote

Ruang makan yang sedari tadi dingin sekarang berubah mencekam, Kiran dengan mata yang sudah berkaca-kaca menatap pria rimpuh yang tengah tertunduk menatap nasi yang sedari tadi hanya berkurang beberapa sendok saja.

“U-mi?” panggil Kiran dengan suara tertahan di tenggorokan. Wanita tua itu sama saja tertunduk menatap khimar panjangnya. Tubuh wanita lemah itu  sekarang bergetar karena isak tangis yang tertahan dalam dada.

“Mas Alif?” cecar Kiran menatap laki-laki tubuh tegak yang sekarang memilih membuang tatapannya. Semua yang ada di sini terpaksa menghentikan acara makan malam, sama halnya Adit juga syok mendengar pengakuan calon mertuanya.

“A-ada apa, Abah? Apa yang sudah terjadi?” Akhirnya Adit ikut bersuara setelah mulut sedari tadi terkunci melihat sandiwara baru, ia  tak menyangka akan dipertontonkan saat jelang pernikahan dengan Kiran.

“Kalian duduklah, Abah akan menceritakan rahasia yang sudah kita simpan rapat-rapat.”

Kiran meluruhkan tubuh di atas kursi dengan air mata yang sudah bercucuran membasahi pipi bahkan kerudung di depan dadanya pun ikut basah.

“Rahasia apa Abah? Jangan katakan kalau Kiran itu bukan anak Abah sama Umi?” Kiran tampak meraba pertanyaan dengan hati-hati karena untuk mengucapkan itu hatinya sangat sakit. Suara istigfar terdengar lirih secara bersamaan  dari mulut Umi dan Abah.

Suara detik pada jam dinding memecah keheningan. Apalagi untuk Adit, ia tak tahu apa yang harus ia perbuat selain menatap wajah Kiran yang terlihat sangat sedih.

“Abah, Umi tetaplah orang tua kamu tetapi tidak untuk menjadi wali nikah. Abah tidak bisa karena tak berhak. Ada orang lain yang lebih pan—“

“Jangan katakan orang lain itu adalah ayah kandung Kiran,” cecar Kiran memotong ucapan Abah yang belum selesai, padahal selama ini tak berani bersikap seperti ini.

Umi semakin terisak bercucuran air mata, Alif tak tahan melihat seperti ini. Ia takut jika kesehatan Umi semakin menurun. Laki-laki itu berdiri kemudian mendekati wanita itu kemudian mengusap punggung yang masih bergetar menahan isak tangis.

“Abah, besok saja. Kasihan Umi sama Kiran,” bela Alif sambil menatap Abah yang bersandar di kursi makan. Alif sendiri paham untuk seorang Abah pasti akan sangat berat mengungkapkan ini apalagi di sini ada dua perempuan yang hatinya sangat rapuh.

“Sekarang atau besok sama saja. Kiran wajib tahu karena pernikahan sudah di depan mata.”

“Lanjutkan saja, Insyaallah Kiran siap menerima sepahit apa pun itu,” balas Kiran pura-pura tegar.

Lisan bisa berkata seperti itu tetapi tidak dengan air mata yang terus bercucuran membasahi pipi Kiran, Adit sendiri tak lelah memberikan setiap helai tisu. Ia sendiri tak tega melihat Kiran sesedih ini.

“Bagaimanapun Abah dan Umi tetap orang tua kamu. Walaupun darah yang mengalir tak sama tetapi sampai kapan pun kamu tetap anak Abah.”

Dengan sekali tarikan napas berat, jari yang bergetar karena efek usia menghapus setitik bulir bening di kelopak mata yang sudah terdapat keriput. Ia merasa inilah saat-saat yang paling menyedihkan dan selalu ia hindari.

“Dua puluh tujuh tahun yang lalu, ada seorang laki-laki sepantaran Abah datang ke masjid sambil membawa bayi mungil yang usianya baru beberapa hari. Wajahnya masih merah dan tali pusar juga masih menempel. Saat itu Abah tengah menyudahi kajian malam bersama santri. Orang tersebut meminta Abah untuk merawat bayi itu. Setelah mendapatkan persetujuan dari Umi, akhirnya kita membuat #kesepakatan mengadopsi bayi perempuan itu.”
.
Semuanya membisu, kecuali Umi yang terus menangis   karena terpukul masalah ini. Tanpa Abah menyebut siapa bayi itu, Kiran sudah paham jika itu adalah dirinya. Lantas di pikirannya bertanya-tanya. Siapa orang tua kandungnya? Ke mana mereka sekarang? Apakah alasan mereka sehingga membuang dan tak mau merawatnya? Apakah aku anak haram atau anak pembawa sial? Beribu pertanyaan memenuhi otak Kiran.

Dalam impiannya selama perjalanan dari Jepang akan menemukan kebahagiaan dan kehangatan bisa berkumpul dengan keluarganya. Namun, apa yang didapatkan sekarang tak seindah impiannya.

“Saat itu Umi memohon kepada Abah untuk mengadopsi bayi perempuan itu karena jatuh cinta saat melihat mata redup basah karena lelah menangis. Saat itu, kami merawat kamu sudah seperti anak sendiri, bahkan Alif sering iri melihat Umi lebih perhatian sama kamu dibandingkan dengan Alif.”

Abah tersenyum mengingat memori masa-masa itu.  Namun, aliran mata Kiran semakin deras. Bagi Abah mungkin itu peristiwa indah tak terlupakan tetapi bagi Kiran ini kenyataan sangat menyakitkan. Bagi Adit sendiri kisah hidupnya mirip dengan Kiran tetapi ia lebih tahu dulu kisah hidupnya.

“Oleh sebab itu, sampai sekarang Umi sangat sayang sekali sama kamu. Saking sayangnya dia selalu ketakutan jika saat-saat seperti ini terjadi. Umi sering sakit-sakitan karena tidak ingin kamu pergi. Apalagi saat mendengar kamu sedang dekat dengan Adit, kesehatan Umi langsung menurun. Bukannya tak ingin melihat kamu bahagia tetapi tak ingin kamu pergi setelah rahasia ini terkuak.”

Pandangan Adit dan Kiran berserobok kemudian tertunduk. Andai saja Kiran sudah halal untuknya maka ia akan membawa ke pelukannya untuk berbagi kesedihan atau membawanya pergi jauh dan melupakan kenyataan perih ini.

“Ke-Kenapa Abah ba-ru memberi tahu sekarang? Kenapa tidak dari dulu saja,” protes Kiran di sela isak tangisnya.

“Kenapa tidak dari dulu?” Gantian Abah yang mengulang pertanyaan Kiran. Pria paruh baya itu menatap langit-langit atas kemudian menoleh ke arah istrinya yang memeluk erat tubuh Alif.

“Karena kami sayang sama kamu.” Kalimat itu lolos dari bibir Abah dibarengi air mata Abah yang jatuh di pipi.

Kedua perempuan di sana kembali menangis terisak. Kiran membenamkan wajah dalam kedua telapak tangannya. Hatinya hancur berkeping-keping. Bagaimana mungkin orang yang sudah ia anggap keluarga ternyata adalah orang lain.

“Sebelumnya kami sempat mempunyai rencana menikahkan kamu dengan Alif—kakak kamu.”

Kiran yang sedari tadi menunduk kemudian mengangkat kepala kemudian menatap Abah sambil menghapus air matanya. Ia sangat kaget dengan ucapan Abah, lepas itu melirik Mas Alif yang masih memegang kedua bahu Umi.

Tidak hanya Kiran yang terkejut, Adit juga tak kalah kagetnya. Ia melirik tajam laki-laki yang tengah menatapnya. Hati Adit tak rela jika ada laki-laki lain, kehadiran Hafiz saja sudah membuatnya pusing ditambah kejutan barusan.

“Kiran sama Mas Alif menikah?” ulang Kiran dengan wajah bingung, semoga saja dia salah dengar.

Abah mengangguk. “Biar setelah kamu tahu siapa orang tua sebenarnya, kamu tetap di sini karena kamu adalah istri Alif. Maafkan Abah karena egois seperti ini,” sesal Abah.

Abah mengeluarkan sesuatu yang ia simpan di pangkuannya, sebuah amplop cokelat yang di atasnya sedikit basah oleh air mata. Dengan tangan gemetar, benda itu ia berikan kepada  Kiran.

“Ini adalah surat adopsi kamu. Abah selalu menyimpan rapat karena pastinya kamu berhak tahu tentang semuanya. Di dalam tertera nama siapa orang tua kamu.”

Kiran sambil menahan gemuruh di dada menerima surat tersebut kemudian meminta izin masuk ke kamar karena sudah tidak kuat menahan cobaan ini. Ia mengabaikan panggilan Umi yang terdengar lirih sehingga membuat wanita itu kembali menangis.

Sementara itu di dalam kamar, Kiran duduk di lantai bersandar pada tempat tidur sambil meneruskan kembali isak tangisnya. Amplop cokelat masih berada dalam genggamannya. Bahkan secara tak sadar ia meremas amplop dan mendekatkan ke wajahnya yang basah.

Berbagai pertanyaan timbul di otaknya tentang siapa orang tuanya. Ia mengusap air mata sambil membulatkan tekadnya. Sepertinya malam ini ia harus menemui orang tua kandungnya dan menanyakan langsung kenapa dirinya di berikan pada Abah dan Umi.



♡To be continue ♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro