🕊Tangisan pilu🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

💫Terkadang seseorang menasihati bukan karena sok bijak, bisa jadi merasakan masalah yang sama💫

🎀  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  🎀

Happy reading jangan lupa vote

Umi, Abah serta Alif masih berada di ruang makan menatap piring masing-masing yang masih terdapat makanan di sana. Pipi Umi yang masih basah bernostalgia dengan masa lalunya saat Kiran pulang ke rumah saat liburan semester. Meja makanan ini menjadi tempat favorit di kala anak remaja itu kalau makan selalu minta disuapi oleh dirinya. Sampai-sampai Alif selalu menegur bahkan mengejeknya. Celoteh Kiran seperti terekam di telinga Umi saat Kiran membalas ejekan Alif.

“Tidak apa-apa disuapi oleh Ibu sendiri bukan sama orang lain.” Umi menghela napas panjang sambil menatap piring Kiran yang masih menyisakan makanan.

“Jika diperbolehkan Umi akan menyuapi kamu lagi, Nduk. Ini makanan favorit kamu,” batin Umi kembali menangis.

Suara beduk di masjid terdengar sampai ruangan ini, waktu sudah memasuki salat Isya. Abah langsung mendekatkan kembali piring beserta isinya yang sudah dingin, sama seperti hatinya yang dingin dan kosong. “Cepat habiskan makanan. Jangan sampai tersisa. Setelah itu segera salat isya!”

Umi dan Alif langsung mengambil sendok dengan malas karena nafsu makan  sudah hilang bersama kepedihan barusan. Umi menyendok makanan dengan pikiran yang sudah ke mana-mana. Alif menatap piring di depannya, ia ingat betul jika Kiran baru makan beberapa suap. Setelah makanan miliknya habis, ia mengambil piring milik Kiran dan menghabiskan. Biarkan nanti ia sediakan makanan yang baru lagi untuk adiknya.

“Andai saja kamu mau menikah dengan Mas mungkin tak akan seperti ini,” lirih Alif dalam hati.

Abah telah menyelesaikan makanannya, ia melirik ke arah Alif. Kelakuan Alif tak luput dari perhatian Abah. “Panggil adikmu suruh salat. Setelah itu ajak dia jalan-jalan sekitar Manahan. Siapa tahu hatinya terhibur. Jangan lupa telepon Adit untuk langsung ke hotel saja karena sudah waktunya mereka menikah jadi tak boleh sering-sering bertemu.”

“Nggih, Abah,” sahut Alif berjalan lunglai menuju kamar adiknya. Lama mengetuk pintu bolak-balik tetapi tak ada sahutan dari sana. Alif memanggil dengan nada tinggi membuat sepasang suami istri di sana langsung saling menatap dengan wajah panik penuh kecemasan.

“Kiran,” lirih Umi sambil ikut mendekat pintu kamar Kiran.

“Alif buka saja, kalau perlu dobrak saja!” perintah Abah yang ikut panik. Alif mengangguk, setelah mendapat perintah Abah ia membuka pintu itu. Selama in, ia tak bisa sesuka hati masuk kamar adik perempuannya karena keduanya sama-sama dewasa apalagi Alif sudah paham perihal mereka tak ada ikatan hubungan darah. Walaupun Kiran sendiri yang kadang suka bergelayut di lengannya jika sifat manja adiknya lagi kambuh.

Pintu terbuka karena memang hanya tertutup saja tetapi sayang ruangan itu  kosong. Tak ada Kiran di sana, Alif langsung masuk dan masih memanggil adiknya. Jendela terbuka dengan tirai yang berkibar tertiup angin.

“Kiran pergi!”

Teriakan Alif seketika membuat tubuh Umi luruh ke atas lantai dengan kedua mata yang tertutup rapat. Alif seketika berlari menuju Umi, sedangkan Abah hanya bisa menepuk pipi Umi dengan lembut agar segera tersadar. Tubuh Umi seketika langsung diangkat oleh Alif menuju pembaringan milik adiknya. Tak lupa membubuhkan minyak angin di sekitar hidung.

“Lif, cari ustadz untuk memimpin salat Isya. Kamu segera cari Kiran. Biar Abah yang menunggu Umi sadar!”

Alif mengangguk kemudian bergegas keluar dari kamar tetapi baru saja di pintu ia kembali dipanggil oleh Abah.

“Cari Kiran sampai dapat,” pinta Abah dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Alif langsung melesap pergi setengah berlari karena tak ingin kehilangan Kiran, separuh hatinya. Ia segera menghubungi rekan di pesantren dan menyuruh menggantikan imam salat Isya serta kegiatan pesantren lainnya.

Di halaman pesantren, Alif mengedarkan pandangan ke sekitar. Siapa tahu Kiran masih bertahan di area pesantren tetapi ternyata hanya para santri yang hilir mudik menuju masjid.

“Lihat Ning?” Alif bertanya pada santriwati yang lewat di depannya.

Perempuan yang ditodong pertanyaan tersebut sedikit gugup, dengan terbata-bata membalas pertanyaan Gus Alif. “Tadi Ning keluar lewat pintu gerbang utama.”

Kedua alis Alif langsung menyatu sambil menyipitkan kedua matanya. “KENAPA KAMU BIARKAN PERGI!”

Perempuan itu seketika hampir menangis karena ketakutan , apalagi suara Gus terdengar keras membuat beberapa puluh pasang mata mengarah ke santriwati itu. “Sa-saya ki-kira Ning biasa beli sesuatu di toko kelontong dekat foto kopi.”

“Seharusnya kamu cegah!”

Perempuan itu terkejut sambil menunduk ketakutan karena tak menahu permasalahan yang terjadi. “Afwan, Gus.”

“Setelah salat Isya temui saya. Setor hafalan satu juz!”

Perempuan itu terkejut bukan main bahkan sampai melamun. Suara kumandang iqamah menyadarkannya dan si Gus sudah pergi dengan mobilnya.

“Mati aku.”

***

Suasana kota Solo malam hari terasa hangat tetapi belum bisa mencairkan suasana dingin hati milik Kiran. Keputusan memang sudah bulat yaitu mencari sebuah nama di kertas dalam amplop yang ia genggam tetapi sampai saat ini belum ia buka. Benda itu masih berada dalam genggaman tangannya. Kaki terasa sangat lemas karena ia berjalan cukup jauh.

Suara hiruk pikuk kota Solo tak membuatnya terhibur, yang ada menambah hatinya semakin sakit. Andai saja ia menunda kepulangan dari Jepang mungkin tak sesakit ini. Biarkan pernikahan ditunda dulu, setidaknya hatinya tak tahu jika dirinya bukan anak orang lain.

Bagi Kiran, wanita yang sudah melahirkannya sudah ia beri label wanita kejam yang tak mau kehadirannya. Kenapa saat masih di perut tak dibunuh saja atau dijejali berbagai macam obat agar tak lahir ke dunia?

“Astaghfirullahal’adzim,” bisik Kiran sambil menaruh pantatnya di atas kursi taman patung kuda. Kursi itu menghadap ke jalanan raya, lampu hias yang temaram membuat orang di sekitar tak tahu jika dirinya sedang menangis.

Untuk Alif sendiri tak kesusahan menemukan adiknya, berkat bantuan orang-orang pesantren yang sudah ia sebar ke seantero kota Solo, menjadikan dirinya sekarang sudah berada di tempat yang sama dengan Kiran. Laki-laki yang  memakai sarung dan kaos pendek karena jubah sudah ia tinggalkan di mobil. Alif berjalan kemudian duduk di samping Kiran yang masih menutup wajahnya.

“Mau sampai kapan di sini? Tidak baik Ning berkeliaran seperti ini,” ucap Alif sambil terus menatap lampu mobil yang melintas di hadapannya karena lampu di sana lebih menarik perhatian dibandingkan perempuan yang tengah bersedih.

Kiran masih menutup wajahnya, ia paham siapa suara tersebut tanpa harus melihatnya. “Aku bukan Ning.”

Ucapan Kiran barusan membuat Alif tertawa. “Sampai kapan pun kamu tetap Ning, anak Abah sama Umi dan tetap adik Mas yang cengeng dan centil.”

“Sampai kapan pun, Kiran bukan anak yang lahir dari rahim Umi. Kiran adalah orang lain yang beruntung bisa bergabung di keluarga pesantren.”

Alif menatap samping setelah tangan di sana tak menutup wajah adiknya. Pipi basah, mata merah serta suara yang bercampur isak membuat hatinya juga ikut teriris. Hampir saja tangan Alif bergerak #maju hendak mengusap kepala di sana tetapi hanya bertahan di atas kepala Kiran, tak menyentuh. Ia sekarang tahu batasan, jika Kiran adalah orang lain.

Alif menarik napas dalam-dalam. “Memang Abah dan Umi selalu membedakan kasih sayang terhadap kita. Mereka lebih perhatian sama kamu dibandingkan sama anak kandung mereka sendiri. Kamu melakukan kesalahan sebesar apa pun tetap saja Abah tak pernah marah. Sedangkan Mas sendiri, jika melakukan kesalahan pasti Abah akan memberikan hukuman dari bersih-bersih masjid sampai WC. Mas kadang tak habis pikir kenapa mas yang selalu dikesampingkan. Pernah berpikir sepertinya enak menjadi kamu saja.”

Kiran termenung memahami setiap kata yang diucapkan kakaknya. Ya, selama ini Abah tak pernah marah dengan dirinya sekalipun melakukan kesalahan terbesarnya  bersama Adit.

“Umi sering sakit-sakitan itu pun  karena terlalu mengkhawatirkan kamu. Jika mata hati kamu sudah tertutup atas kasih sayang mereka selama ini, silakan pergi. Mas tak akan melarangnya.”

Alif berdiri dari bangku hendak meninggalkan Kiran sendirian agar dia bisa berpikir jernih tetapi baru berbalik lengan sudah digelayuti oleh tangan Kiran ketika Alif menatap, buru-buru dilepaskan oleh Kiran. Perempuan itu belum terbiasa menyadari jika kakaknya adalah orang lain. Apalagi tatapan Alif sekarang terasa hangat tak seperti sebelumnya membuat Kiran salah tingkah.


♡To be continue♡








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro