🕊Please, Stay with me🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading

Kiran memilih gamis warna putih dengan hiasan renda di bagian bawah, menambah aksen elegan. Baju yang dikenakan adalah pemberian Adit saat seserahan setelah akad. Dari kemarin hanya tersimpan di lemari, sekarang adalah waktu yang pantas untuk memakainya. Kencan romantis bersama suami, sebelum dirinya benar-benar pergi ke Jepang.

Waktu kebersamaan tinggal hari ini. Pas awal pernikahan mereka terlihat sangat romantis, membuat iri bagi siapa yang melihat. Namun, setelah ada masalah, Kiran lebih memilih menghindar atau menyendiri. Waktunya ia habiskan di depan monitor menuangkan beban pikiran, siapa tahu akan menjadi karya selanjutnya.

Adit sendiri juga waktunya lebih banyak tersita di tempat kerja, berangkat pagi-pagi buta untuk menghindari kemacetan. Pulang selepas isya, waktu bersama Kiran sangat sedikit bahkan langka. Sebenarnya mereka masih saling bertegur sapa, tapi untuk hal-hal yang penting saja. Pemberian dari Adit seperti bunga atau boneka hanya tergeletak begitu saja di sudut kamar.

“Sudah siap berangkat sekarang?” tanya Adit yang mendekati Kiran, tapi mata masih mengarah ke ujung kemeja yang dikenakan.

Kiran mendekat, membantu Adit yang kesusahan mengancing bagian pergelangan kiri. Adit mengamati Kiran sedekat ini, aroma parfum masih sama seperti dulu. Bagi Adit, Kiran sudah seperti seorang bidadari, sayangnya senyum itu menghilang dan belum muncul lagi di bibirnya. Adit mengangkat dagu Kiran membuat wajah mereka saling menatap. “Masih marah sama Kakak?”

Kiran mengalihkan pandangan tetapi tangan Adit berhasil memegang dagu kembali, keduanya saling bertatapan. Kiran membalas menatap laki-laki yang sangat mencintainya. Adit menarik Kiran ke dalam pelukannya.

“Maafin, Kakak,” sesal Adit masih mendekap sangat erat, sayangnya Kiran tak membalas respons Adit. Entah mengapa tiba-tiba terbersit  jika ini adalah pelukan mereka yang terakhir.

Kiran melepaskan pelukan kemudian mengambil tas kecil yang berisi ponsel dan dompet. “Kita pergi sekarang takut pulang kemalaman,” sahut Kiran sengaja memilih menghindar karena matanya kembali berkaca-kaca.

Kiran paham jika Kemang adalah kota yang tak pernah tidur. Ia kembali teringat kata-kata terakhir Adit saat itu, terasa sangat menyiksanya bahkan selalu berseliweran dalam kepala. Seakan membunuhnya dengan rasa sakit yang tak tertahankan. Kiran merasa tersedot kembali ke dunia nyata dan mendapati kekosongan di depannya.

Andai saja, maaf itu terucap setelah kejadian itu mungkin tak sesakit dan sesesak ini. Kedekatan mereka menjadi renggang dan memilih pekerjaan masing-masing sebagai pelariannya.

Adit menatap punggung itu yang sudah menghilang di balik pintu. Kiran masih marah padanya dan belum memaafkan. Padahal Adit akan menjelaskan secara rinci alasan tak mendukung Kiran untuk mengambil kontrak kerja sama itu.

Mobil hanya bisa bergerak pelan di atas aspal hitam, lampu kendaraan ikut menambah menarik suasana malam minggu. Lagu Judika mengisi kekosongan di dalam mobil, Adit sibuk menyetir dan Kiran sibuk dengan ponselnya. Ada satu pesan yang membuatnya kembali termenung. Ia membaca pesan tanpa ekspresi. Hati berdoa agar ada keajaiban di detik terakhir sebelum keberangkatannya.

“Kak?” panggil Kiran lirih dan sangat hati-hati.

Adit menengok, ia kangen panggilan itu. Hampir seminggu perempuan itu sama sekali tak memanggil. Jika mau bertanya juga langsung ke topik utama. Acara kencan selalu gagal karena Kiran selalu menolak jika diajak keluar. Oleh karena itu, Adit sangat antusias karena ajakan kemarin dapat terlaksana hari ini juga.

“Ya, Sayang. Ada apa?” balas Adit sambil tersenyum hangat. Mata Adit bisa mendapati jika sorot mata Kiran terlihat cemas dan panik.

“Ada apa? Ada yang bisa Kakak bantu?” tanya Adit sekali lagi. Memperhatikan Kiran yang ragu ketika mau bersuara. Kebetulan mobil mereka berhenti karena lampu merah sedang menyala, membuat puluhan kendaraan seketika tunduk pada benda itu.

“Tentang kontrak kerja sama dengan PH itu?” tanya Kiran dengan sangat hati-hati agar tak memicu pertengkaran kembali. Apalagi mereka sekarang sedang berada di dalam mobil.

Dari kemarin pihak yang bersangkutan menanyakan perihal itu, bahkan mereka sanggup membuatkan surat perjanjian lagi yang baru karena Kiran memberikan alasan jika surat tersebut basah. Tak sengaja kena air minum.

Adit kembali terkejut, padahal ia sudah melarang jika tak ada topik pembicaraan tentang ini. Nyatanya perempuan yang sangat ia sayangi kembali lagi membuka topik seperti ini lagi.

“Jawaban Kakak tetap sama,” balas Adit dengan jawaban tenang sambil mengontrol emosinya.

“Terima kasih.” Kiran membalas dengan sebuah senyuman, tapi senyum itu bukan berasal dari lubuk hatinya. Senyum kepalsuan karena hatinya kembali tercabik-cabik.

Adit terpekur, ucapan Kiran seperti sindiran yang langsung mengena hatinya. Untuk apa perempuan itu berterima kasih? Bukankah ia tak mengizinkan? Apa yang salah dengan kata tadi? Atau barangkali ia salah dengar?

Kiran meraih ponsel, segera membalas pesan seseorang yang setiap hari terus berkirim pesan kepadanya. Ia berharap setelah penolakan ini, ia tak kembali menerima pesan yang isinya sangat menggiurkan tentang layar lebar.

Sebuah usapan hangat di kepala Kiran yang berasal dari tangan Adit. Bagi Kiran sendiri usapan tersebut seperti sebuah pisau yang menyakiti hatinya kembali. Tangan Kiran sengaja melepaskan ponsel agar terjatuh, tubuh menunduk dan otomatis tangan itu tak akan kembali menyentuhnya.

“Ayo turun, ” ucap Adit ketika mobil sudah terparkir di depan kafe. Laki-laki itu tak sadar jika Kiran tengah merasakan pedih di hatinya, menahan agar air mata tak akan kembali tumpah karena sejujurnya ia sudah lelah menangis.

Kiran perlahan turun dari mobil, mata menyapu pemandangan kafe modern yang terkenal dan berlokasi di jalan Kemang Raya, taman depan yang diisi pepohonan menambah sejuk di sekitar bangunan di ibu kota ini. Adit merengkuh dan menggandeng tangan Kiran, perempuan itu tak menolaknya. Mereka disambut bangunan berlantai dua dengan dinding full kaca sehingga tembus pandang sampai luar. Adit memilih duduk di ujung yang tak terlalu ramai karena sebagian pengunjung sini adalah anak muda.

“Mau makan apa?” tanya  Adit menyerahkan daftar menu ke hadapan istrinya. Pandangan Kiran bukan terpaku pada gambar atau daftar menu, tapi terpaku pada harga di lembar itu. Bagi Kiran ini cukup mahal, masih mending membeli makanan tengkleng di kaki lima sepanjang kota Laweyan.

Kiran sangat memahami jika harga seperti ini sangat kecil untuk seorang Adit. Jangankan makanan ini, Adit saja dengan sombong bisa membeli karyanya tanpa harus diserahkan ke PH.

Setelah menunggu beberapa menit, makanan terhidang di meja makan. Kiran sendiri memilih Dori sambal matah. Potongan ikan Dori digoreng tipis, disajikan lengkap bersama nasi, telur mata sapi dan bakwan jagung. Adit sendiri memilih spageti dengan taburan peterseli, ditambah pasta beraroma bawang. Makan seenak apa pun jika hati sudah membeku sama saja tak terasa lezatnya.

“Kenapa surat kemarin dikirim ke alamat Kemang? Kenapa tidak ke Solo saja? Siapa yang memberikan alamat rumah?” tanya Adit secara tiba-tiba membuat selera makan Kiran lesap kembali. Jari memainkan sendok dan mengaduk makanan secara asal.

“Aku, mereka tanya alamat. Berhubung sedang di Jakarta terpaksa aku kirim alamat rumah Kakak,” terang Kiran masih dengan pandangan menunduk.

“Itu juga rumah kamu, Sayang?” balas Adit membuat Kiran menggigit bibirnya. Rumah tak berarti jika tidak ada kehangatan di sana, masih mending rumah pesantren. Kiran semakin rindu Abah, Umi, Mas Alif dan juga kangen pria tua itu.

Kiran meminta segera pulang cepat dengan alasan ingin istirahat, agar besok tak ketinggalan pesawat. Alasan Kiran sendiri masih sama,  menghindar konflik di hatinya. Di dalam mobil, kebisuan juga selalu menghampiri mereka.

“Tolong berhenti di apotek depan, Kak?” pinta Kiran dengan sangat lirih.

Adit terkejut, “Ka-kamu sakit?” tanya Adit gugup. Beberapa hari terakhir ia sibuk di tempat kerja karena perdebatan alot dengan Mamah masih berlangsung.

Kiran menggeleng lemah, “Mau beli vitamin buat persiapan besok di Jepang.”

Adit mengembuskan napas berat, kebersamaan mereka tinggal malam ini. Bagaimana mengembalikan senyum yang sudah pudar di wajah cantik istrinya?

Setelah sampai di apotek, Kiran berjalan sendiri masuk ke sana. Perempuan itu sedikit lega bisa bebas membeli beberapa vitamin dan tes kehamilan, siapa tahu benda itu dibutuhkan juga di sana.

Adit bertahan di ruang tunggu bagian luar, memandangi orang dengan gerobak tua tengah mengais sampah. Pria paruh baya dengan dua anak balita di dalam gerobak. Miris membuat Adit meringis karena malam hari masih saja harus berkeliling mencari sesuap nasi. Adit mengambil sisa lembar uang di saku,  menyerahkan tanpa dihitung terlebih dahulu. Tindakan Adit tak luput dari perhatian Kiran, bukan seberapa banyak uang yang diberikan, melainkan sosok tersebut mengingatkan Pak Budiarto.

***

Langit pagi berselimut mendung menjadi saksi bisu perpisahan mereka. Suasana bandara yang ramai menyulitkan Kiran mencari Abah yang sudah berjanji akan datang saat dirinya pergi. Yang ditunggu datang, ketiga sosok laki-lali  menghampiri mereka yang sudah menunggu di depan ruang chek in tiket.

“Maaf, Nduk. Abah telat. Jakarta macet,” keluh Abah dengan wajah berkeringat. Kiran bisa menebak bagaimana perasaan pria wibawa itu yang tak akan melewatkan waktu yang sangat berharga ini.

“Tidak, apa-apa, Abah,” balas Kiran mencium punggung tangan Abah.

“Hati-hati di sana. Jepang sedang musim dingin,” nasihat Abah.

Kiran mengangguk, sekarang pandangan berpindah pada Mas Alif yang tengah tersenyum ke arahnya. “Sudah bawa vitamin? Salam dari Dewi. Dia tak bisa ikut mengantar karena harus jaga Umi.”

“Sampaikan salam balik buat Mbak Dewi. Ingat Kiran pesan apa hayo?” canda Kiran. Alif hanya bisa menahan malu. Bagaimana bisa Kiran berkata seperti itu di depan orang tua macam Abah dan Pak Budiarto.

Pandangan Kiran berganti pada sosok pria paruh baya yang menggunakan batik lengan panjang. Dengan mata berkaca-kaca, Pak Budiarto berkata, “Jaga diri baik-baik.”

Kiran mengangguk, mata masih menatap bawah dengan pergolakan batin yang sangat kuat. Pria di depannya terlihat semakin kurus padahal mereka bertemu belum lama. Rambut memutih menjadi saksi perjuangan hidupnya selama ini yang tak diketahui oleh putrinya. Perlahan kepala Kiran terangkat menatap pria yang tersenyum dengan penuh kasih sayang.

“Bapak?” panggil Kiran mendekat sambil memeluk Pak Budiarto. Air mata yang sedari tadi ia tahan, akhirnya tumpah ruah juga. Pak Budiarto terisak dan terharu, inilah pelukan pertama seorang bapak dengan putrinya. Setidaknya keinginannya tercapai sebelum benar-benar menutup mata.

Kiran menghapus air mata karena panggilan informasi mengharuskan ia untuk masuk ke pesawat. Adit mengantar sampai pintu, ada rasa sesal karena perpisahan ini terasa amat berat. Berbeda dengan perpisahan dulu, saat pertama kali ke Jepang.

“Kak, Kiran berangkat. Selamat tinggal,” pamit Kiran sambil meraih punggung tangan Adit dan mengecupnya pelan.  Kata selamat tinggal seakan tak ada lagi pertemuan berikutnya. Adit tak berani menatap wajah Kiran. Ia menatap tangan Kiran  yang sudah memegang paspor,  di dalamnya terdapat pasfoto istrinya.

Rasa bersalah membuat Adit tak bisa berkata apa-apa. Keduanya sempat bertatap sejenak sebelum Kiran benar-benar pergi. Adit hanya bisa ikhlas menatap punggung Kiran menjauh dan tak tampak, membuat Adit semakin kehilangan.

Please, Stay with me,” lirih Adit pada sosok yang sudah tak ada di hadapannya. Membiarkan istrinya seorang diri membawa kesedihan ke negeri Sakura.


🎀The End🎀


Cerita Stay with me ending di part ini dan tidak akan dilanjut karena sedang proses penerbitan. Jika ada yang mau ikut tertarik dengan Novel Stay with me bisa ikutan waiting List sebelum pre order dibuka. Yang ikutan waiting List nanti akan dapat sovenir tambahan dari author. Untuk harga sekitar 80-90k. Bagi yang berminat bisa hubungi nomor 089680710616

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro