🕊Impian Tinggal Mimpi🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Satu part lagi ending di wattpad

“Ha-hamil?” Wajah Kiran berubah sangat panik dan kebingungan, hampir saja amplop putih yang ada di tangannya terjatuh karena Adit sekarang memeluknya sangat erat. Tak hentinya laki-laki itu mengucapkan hamdalah.

“Terima kasih, Sayang. Terima kasih, Ya Allah,” bisik Adit penuh haru.

Kiran buru-buru melepaskan pelukannya karena ada sesuatu yang janggal dan merasa ada kesalahpahaman antara mereka. “Kak, kita baru seminggu menikah?” protes Kiran karena Adit sepertinya salah mengira apa yang ada dalam genggaman tangannya.

“Maksud kamu?” Adit balik bertanya karena ia merasa ada yang aneh. Kenapa Kiran mengelak sebegitu kerasnya? Apa Kiran tidak menginginkan anak? Bukankah tujuan setelah pernikahan adalah mendapatkan keturunan? Adit mengernyitkan kening ketika melihat istrinya terkekeh geli sampai terpingkal-pingkal dengan tangan memegang perut. Adit semakin tak paham.

Kiran sadar karena tawanya terlalu berlebihan, ia berjalan selangkah,  kedua tangan memeluk perut Adit sambil menatap laki-laki yang sedang menatapnya heran. “Aku bukan hamil, Kak.”

Wajah Adit langsung berubah kecewa dan sedih mendengarnya. Impian memberikan cucu buat Abah dan Umi secepatnya ternyata belum terkabul. Padahal tadi Adit berteriak sangat histeris bahkan para asisten rumah tangga yang sedang bekerja sempat menengok ke arah mereka. Baru juga hatinya melambung, sekarang seperti dijatuhkan dari atas.  Ternyata rasanya sangat sakit. Adit sangat kecewa karena sikap Kiran barusan, perempuan itu bisa tertawa  ketika dirinya bertanya-tanya.

“Lantas apa isi amplop tadi?” Suara Adit terdengar sumbang dan bertanya dengan tak semangat karena ia tak begitu ingin tahu isi amplop putih itu.

“Naskah After the Rain?” Kiran mengibaskan lembar itu di hadapan Adit sambil tersenyum lebar.

“Kenapa dengan novel itu?” tanya Adit kembali teringat mertuanya,  beliau begitu sayang dengan karya istrinya. Terlihat guratan bahagia di wajah yang sudah mempunyai kerutan ketika memamerkan buku bersampul biru. Senyum itu sama seperti milik Kiran sekarang.

Kiran mendekat dan menempelkan kepala di dada Adit dengan kedua tangan memeluk erat sambil berbisik lirih, ”Cerita Kiran bakal difilmkan.”

Adit spontan melepaskan pelukan dengan kasar. Memberikan tatapan tajam yang tak pernah ia lakukan sebelumnya pada istrinya. Tangan langsung merebut amplop yang masih berada di tangan Kiran. Di depan mata yang membulat, Adit meremas amplop itu membentuk sebuah bulatan dan membuangnya kasar dan benda itu menggelinding entah ke mana.

“Kalau butuh uang tinggal bilang saja. Mereka bayar berapa naskah kamu untuk jadi film? Nanti kakak saja yang bayar tanpa harus menjual ke mereka!” hardik Adit dengan emosi.

Mata Adit  sudah memerah dan rahang mengeras. Beberapa orang yang tak jauh dari tempat mereka berdiri langsung menyingkir ke belakang. Adit melepaskan kancing paling atas karena terasa menyiksa bahkan mencekiknya setelah tahu kabar dari Kiran. Ia melangkah lunglai menapaki anak tangga, entah mengapa langkah terasa berat ketika sudah mulai sampai atas. Adit kembali menatap bawah, Kiran masih mematung dan membisu.

Ucapan Adit mengundang tangan-tangan tajam, mengoyak-ngoyak hati Kiran, bahkan sebelum kesedihan kemarin belum hilang sempurna harus ditambah ucapan Adit yang terasa menyakitkan.

‘Tak semua bisa dibeli dengan uang, Kak?’ batin Kiran dengan dada yang mulai sesak. Pandangan yang sedikit kabur karena mata yang sudah berkaca-kaca tak bisa melihat secara sempurna ke mana Adit melempar amplop tadi.

Mata bergerak ke setiap kolong meja dan kursi, hati sedikit bersorak ketika menemukan bulatan putih berada di pojok ruangan, dekat sofa warna krem. Kiran menunduk dengan tangan mengambil benda itu dibarengi dengan setetes air mata yang jatuh. Jari yang sudah bergetar membuka kertas lusuh yang tak akan bisa lagi seperti awal, tulisan di atas kertas masih bisa terbaca, tapi kertas perjanjian tidak layak lagi untuk dipakai. Andai saja, ia langsung menandatangani mungkin tidak ada adegan seperti barusan.

Kiran berjalan lunglai menapaki anak tangga hendak menyusul Adit. Ia mencoba bersabar dan berbesar hati, siapa tahu Adit tengah ada masalah di kantor. Kiran paham jika Adit sudah tak lama ke Jakarta karena lama menetap di Solo, menyiapkan pernikahan mereka kemarin.

***

Adit duduk di tepi ranjang, kepalanya berdenyut sakit. Tangan kanan memijit pelipis untuk mengurangi efek nyeri. Entah mengapa akibat benturan kemarin masih terasa sampai sekarang. Hari ini, ia diuji banyak masalah. Mamah menentang keras, jika dirinya tak diizinkan hengkang dari bisnis di Jakarta, dalam surat warisan itu tertera nama Adit yang akan menjadi penerus bisnis almarhum Ayahnya. Mas Pras sendiri sudah kebagian salah satu rumah sakit swasta ternama di kota Semarang.

Niat hati  Adit mau mengurangi beban dan mencari jalan keluar agar bisnis Jakarta dan proyek bisnis di Solo  bisa di kerjakan bersamaan. Kiran malah menambah masalah dengan surat kontrak dengan sebuah PH. Padahal Adit sendiri dari pertama keberatan jika kisah hidupnya tertulis di novel itu, bahkan dulu mereka sempat bersitegang.

Suara langkah kaki di tangga membuat Adit langsung melepas kaos kaki dan sepatu, kemudian membuang secara asal. Dengan sekali gerakan, laki-laki itu langsung berbaring menghadap tembok, membenamkan tubuhnya di bawah #selimut. Mata dipaksa pura-pura terpejam, padahal ketika ada masalah seperti ini, ia tak akan bisa beristirahat.

Hati Kiran kecewa melihat Adit yang sudah tidur, entah ia istirahat betulan atau hanya menghindar dari masalah mereka saat ini. Kiran dengan pelan naik ke tempat tidur mengambil tempat di samping Adit. Mereka sama-sama memunggungi satu sama lain.

Baru saja hendak memejamkan mata, tubuh Kiran sudah dipeluk hangat oleh Adit. Kiran menahan mati-matian agar tak kembali menangis karena ucapan Adit tadi masih mengena dan membekas di hati Kiran.

“Biarkan kisah kita tercatat dan diabadikan di hati masing-masing. Tak perlu tertulis atau pun dibuat gambar atau video untuk ditonton orang banyak. Kita yang mengawali sebuah kisah kehidupan, kita juga yang menjadi peran. Tak perlu sutradara karena Allah yang mengatur semuanya. Tak perlu juga peran kita digantikan oleh orang lain. Artis ternama sekalipun tak akan ada yang menyamai karakter kita. After The Rain itu kisah kita. Kamu paham maksud Kakak, ‘kan?” bisik Adit lirih.

“Impian seorang penulis adakah karyanya bisa cetak, bonus besar adalah ada seorang sutradara yang melirik karya penulis, Kak?” desis Kiran merasa tak terima.

“Patuhi permintaan Kakak, lupakan kertas tadi. Lupakan juga masalah ini, kakak minta jangan ungkit lagi. Anggap saja tak terjadi perdebatan ini. Istirahatlah nanti kita jalan-jalan selepas Magrib,” pinta Adit dengan suara sangat lirih.

Selepas apa pun Kiran menghindari kekecewaan tetap saja rasa itu tak bisa dihilangkan. Jika sudah begini, satu-satunya cara untuk mengelak adalah dengan diam seribu bahasa. Bagi Kiran merelakan kesempatan emas itu mungkin lambat laun pasti bisa, tapi cara Adit menghargai sebuah karya dengan angka nominal rupiah, itu yang paling menyakitkan. Apalagi Adit terang-terangan bisa membayar semua itu.

Kiran melepaskan pelukan Adit, dengkuran lirih sudah terdengar. Saatnya pergi untuk menenangkan kemelut di pikirannya. Ia menuruni tangga kemudian melangkah menuju belakang rumah. Tempat yang biasa ia tatap dari balkon atas, sekarang akhirnya bisa berada di tempat ini. Air berwarna biru dipadukan langit berwarna jingga. Sangat cerah, tapi tidak dengan hatinya. Entah mengapa usia pernikahan baru seumur jagung, sudah diberi ujian berat dan bertubi-tubi. Terlarut dalam masalah membuat waktu  bergulir sangat cepat dan Kiran masih bertahan di tepi kolam renang.

Adit yang baru bangun seketika terburu-buru menuruni anak tangga dengan paras yang sangat panik. Perempuan yang tadi di samping saat sebelum mata terpejam, entah menghilang di mana. Atas petunjuk karyawan di rumah ini, Adit melangkah menuju ke area belakang dan mendapati Kiran termenung sendiri. Tak ada bekas air mata, tapi wajah di sana menyimpan banyak kekecewaan.

“Ayo masuk ke dalam, sebentar lagi memasuki waktu Magrib,” ajak Adit sambil mengulurkan tangan ke arah Kiran.

Perempuan itu mendongak ke atas, menatap suaminya dengan rambut yang tak rapi dan mata masih merah menahan kantuk. Kiran beranjak sendiri dan mengabaikan uluran tangan itu. Kiran masuk ke rumah, meninggalkan Adit tanpa kata-kata. Kepala Kiran tertunduk semakin dalam.

Adit menarik kembali tangan yang terulur kemudian menatap tangannya yang kosong. Sosok yang biasa dalam genggamannya memilih berjalan sendiri tak memedulikannya.

-To be continue-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro