🕊Istana untuk Kiran🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Allah punya kejutan yang luar biasa setiap usaha, di saat semua orang meragukanmu

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Happy reading jangan lupa vote


Pesantren ini kembali sepi, tinggal Abah dan Umi melepas anak-anak mereka pergi. Alif memilih pergi sekitar dua sampai tiga hari  bersama Dewi. Sedangkan Kiran juga pergi ke Jakarta mengingat Adit mendapat telepon dadakan dari Mamah di Jakarta.  Bukan karena ada masalah, melainkan Mamah menginginkan kehadiran Adit di sana untuk membahas bisnis.

Abah berjanji akan ke Jakarta,  bertemu dengan putrinya untuk kembali melepas menuju ke Jepang. Untuk perjalanan ke Jakarta, Adit memilih menggunakan pesawat dari bandara Adi Sucipto. Kurang lebih memakan waktu satu jam untuk sampai ke Jakarta, lebih menghemat waktu dibandingkan menggunakan kendaraan  roda empat.

Kiran masih dengan wajah murungnya, rayuan Adit tidak dapat membuat senyum itu kembali hadir. Kiran lebih menatap jendela pesawat, entah mengapa sekarang terasa sangat berat meninggalkan kota Solo semenjak kehadiran orang itu.

Setelah sampai di bandara, mereka langsung dijemput oleh sopir pribadi Adit yang tak lain adalah Anton. Kiran hanya mengernyit tak suka ketika Anton tengah tersenyum cengengesan ke arahnya. Dari dulu hubungan Kiran dengan rekan Adit tak pernah baik. Anton adalah orang pertama yang menentang Kiran berdekatan dengan Adit.

“Kenapa dia ke sini?” tanya Kiran.  Tadi sempat berpikir akan naik KRL saja karena kereta itu mengingatkan kembali dengan kota Ibaraki di Jepang. Kota Jakarta sama seperti Tokyo, ramai karena pusat perkotaan. Transportasi juga  hampir sama menggunakan  kereta. Cuma bedanya,  di Jepang orang-orang jarang menggunakan kendaraan roda dua.

Mobil memelesat menuju jalanan ibu kota yang sangat macet parah, membuat mobil lebih sering berhenti dibandingkan jalan. Beda dengan Solo yang bebas bisa ke mana saja tanpa hambatan.  Setelah setengah jam berjibaku dengan kemacetan, mobil memasuki gerbang perumahan elite di kawasan Kemang.

“Kak, kita mau ke mana?” tanya Kiran yang sekarang sudah berdiri di depan rumah mewah. Bangunan yang memiliki  lantai tingkat dua dengan dinding kaca di sekitar balkon, menambah kesan mewah rumah ini.

Adit tersenyum,  ia menggenggam tangan Kiran untuk segera masuk. Masih dengan pikiran yang bertanya-tanya Kiran mengikuti langkah Adit. Pintu utama yang menjulang tinggi terbuka dan menampilkan dua asisten rumah tangga yang berpakaian seragam warna hitam.

“Selamat datang,” sapa kedua orang tersebut sambil setengah  membungkuk.

Adit hanya berdehem lirih dan Kiran yang memberikan senyum kepada dua orang tersebut. Adit masih menggenggam tangan Kiran menapaki anak tangga yang melingkar dengan menuju lantai dua. #Lampu kristal menjuntai menambah kemewahan di atas ruang utama. Tibalah mereka di lantai dua, sebuah kamar sudah terbuka dengan fasilitas hampir mirip hotel di Solo.

“Selamat datang di istana, Nyonya Aditya,” ucap Adit setengah membungkuk dan mempersilakan masuk.

Kiran berjalan pelan, menaruh tas kecil di atas nakas. Balkon di sana menjadi daya tariknya sendiri. Tangan membuka tirai tebal dan tercium bau wangi.  Dinding kaca menampilkan pemandangan kebun kecil di belakang rumah lengkap dengan kolam renang.

Sebuah tangan bergelayut manja di pinggang, tapi Kiran enggan berbalik karena Adit sudah memeluknya erat. Deru napas laki-laki itu terdengar di telinga Kiran.

“Rumah siapa?” Pertanyaan Kiran yang tersimpan saat mulai menginjak rumah ini akhirnya tersampaikan juga ketika sudah berada di rumah megah ini.

“Rumah masa depan kita. Aku, kamu dan anak kita nanti.”

Kiran mendesah lirih, “Aku ingin di Solo. Bukan di tempat asing seperti ini.”

Adit tertawa lirih dan mengencangkan pelukannya. Ia semakin suka dengan Kiran. Adit tak salah pilih pendamping, Kiran yang berhasil meluluhkan hati Adit dengan sifat yang sederhana, tidak matre. Awal mereka kenalan, Kiran mau menerima Adit tanpa memandang tukang parkir, preman atau mahasiswa yang tak pernah wisuda karena masuk kuliah seenak sendiri.

“Solo adalah rumah kita yang pertama dan kedua adalah rumah ini. Kita bisa tinggal di mana saja asal kamu betah. Kakak sengaja mengajak ke sini agar melupakan kesedihan kamu sejenak. Kakak ingin melihat kamu tersenyum sebelum pergi ke Jepang.”

Kiran merasa tertampar dengan ucapan Adit. Setelah pertemuan dengan Pak Budiarto, hari-harinya selalu diisi dengan kesedihan dan air mata. Bahkan di depan Adit sendiri, laki-laki yang sangat sabar menemaninya.

“Maaf.” Kiran berbalik dan memeluk Adit dengan sangat erat. Setitik air mata keluar juga membuat tangan segera menghapus dan berjanji tak akan menangis. Masa depan dengan Adit masih panjang, untuk apa menangisi kesedihan, toh tak dapat membangunkan kembali hidup Ibunya.

“Kakak beli rumah ini untuk aku?” tanya Kiran yang masih nyaman di pelukan laki-laki halalnya.

“Apa pun yang membuat kamu bahagia pasti akan Kakak berikan.”

“Uang dari mana Kakak bisa beli rumah ini? Kalau mengandalkan tukang parkir tak mungkin bisa beli rumah ini?” sindir Kiran agar Adit mau berterus terang tentang bisnis yang digeluti. Bagaimana tidak, kartu kredit yang pernah diberikan Adit saat mau berangkat  ke Jepang jumlahnya sangat fantastis. Namun, Kiran tak pernah mengambil satu rupiah pun.

Adit terkekeh geli, melepaskan pelukan Kiran. Tangan kanan mengambil topi yang sedari tadi melekat di kepala dan memakaikan ke atas kepala Kiran. Laki-laki itu berjalan cepat menuju ranjang kemudian menenggelamkan tubuhnya di bawah selimut tebal. Wajah Kiran seketika langsung ditekuk karena saking kesalnya. Dengan langkah cepat Kiran menyusul dan menggoyangkan tubuh Adit agar membuka selimut itu.

“Kak?” rengek Kiran. Mau tak mau Adit membuka selimut dan mengubah posisi menjadi duduk berhadapan. Laki-laki itu menggenggam kedua tangan dan melihat kedua manik hitam istrinya. Kepala Kiran dimiringkan sambil mengernyit karena melihat tatapan Adit terlihat berbeda.

“Kakak mau cerita sekarang. Kamu siap mendengarkannya?”

Kiran mengangguk sebagai jawaban.

“Kakak punya bisnis di bidang otomotif, almarhum Ayah yang merintis dari awal sampai sekarang, alhamdulillah sudah mempunyai beberapa cabang di Jakarta dan kota besar lainnya,” jelas Adit memegang tangan Kiran semakin kencang tetapi tak bermaksud menyakiti. Adit takut kalau Kiran akan pergi setelah tahu semuanya.

“Bengkel tambal ban?” selidik Kiran memancing Adit karena info tadi dirasa kurang cukup. Ucapan barusan membuat tawa Adit meledak, kedua tangan langsung mencubit kedua pipi Kiran.

“Bukan, Sayang? Bisnis yang bergerak di bidang penjualan dan  pendistribusian onderdil kendaraan roda dua dan empat.”

“Kenapa waktu dulu kita ketemu, Kakak tidak pernah menunjukkan siapa Kakak sebenarnya. Malah memilih pura-pura jadi tukang parkir?”

Adit masih mengulum senyum. “Kakak mencari seseorang yang mau menerima Kakak apa adanya. Bukan ada apanya. Orang itu adalah kamu. Ada lagi yang mau kamu tanyakan?” Adit berbalik  bertanya sambi mengambil dompet miliknya dari saku celana,  menyerahkan beberapa kartu kredit di telapak tangan Kiran. “Pakai saja, terserah kamu mau beli apa. Pin masih sama, tanggal lahir kamu.”

Kiran menggeleng sambil mendekatkan kembali pada Adit. “Yang dulu masih, Kak?” tolak Kiran secara halus. Kiran langsung  tersenyum takut menyinggung Adit yang terkejut karena ucapannya.

“Padahal Kakak tiap bulan transfer, takut kamu di Jepang kekurangan.”

“Sayangnya Kiran tak pernah mengecek apakah saldo bertambah apa enggak. Pakai pun tidak, nominal  di sana masih utuh.”

Lagi-lagi Adit terkejut, perlahan genggaman tangan terlepas. Adit menatap manik mata hitam berharap menemukan kebohongan di sana. Namun, tidak ada. “Kenapa tidak mau pakai uang dari Kakak?” Adit bertanya dengan nada yang sulit dijelaskan, antara kecewa dan sedih.

“Bukan tidak mau terima, Kiran masih punya tabungan. Royalti dari novel,” ucap Kiran secara lirih karena sorot mata di depan masih tampak kecewa.

“Kenapa yang ini dikembalikan juga?” sindir Adit sambil melirik benda pipih tak berdosa yang sekarang sudah teronggok di depannya.

“Kartu yang kemarin saja masih ada, kenapa ditambahkan lagi? Untuk apa sebanyak itu diberikan sama Kiran? Siapa tahu kakak butuh untuk modal bisnis. Demi Allah jumlah segitu bagi Kiran sangat banyak banget dan hidup Kiran malah tak tenang diberi amanah untuk memegang uang itu,” terang Kiran kembali merengkuh tangan itu.

Adit tersenyum, ia sangat bersyukur dipertemukan dengan pendamping seperti Kiran. Ia mengeratkan genggaman tangan karena jemarinya sudah berada pada orang yang tepat.

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Suasana Jakarta siang hari terasa sangat panas seperti membakar kulit. Kiran tampak gelisah menunggu Adit kembali. Laki-laki itu pagi tadi memilih berangkat ke kantor seorang diri, padahal Kiran sudah bersiap untuk ikut pergi.

Kiran menunggu di ruang tamu yang berukuran luas. Di rumah ia tak sendiri karena para asisten rumah tangga selalu sigap melayani kebutuhan pemilik rumah. Deru mobil membuat Kiran berjingkat kaget dan langsung menghambur menuju teras. Dari sudut matanya, Kiran melihat Adit tengah keluar dari mobil sambil memberikan senyum hangat untuk Kiran.

“Baru juga ditinggal sebentar, sudah kangen saja,” goda Adit sambil memberikan kecupan di kening Kiran.

“Bukan kangen? Kiran punya sesuatu buat Kakak,” celoteh Kiran dengan nada manja dan wajah menyimpan rasa bahagia luar biasa. Tangan Kiran yang sedari tadi bersembunyi di balik tubuh langsung memamerkan sebuah amplop berwarna putih.

“Kamu hamil?” pekik Adit tak kalah girangnya.

Kiran sekarang yang gantian terkejut. Adit salah paham, kejutan yang Kiran berikan bukan seperti harapan suaminya. Namun, melihat binar mata bahagia dari sorot mata Adit, membuat Kiran tak bisa berkata apa-apa.

═════⊰◍●❁  To be continue  ❁●◍⊱═════

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro