🕊Hati Telanjur Beku🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

❁Terlalu menjaga perasaan orang lain sampai lupa menjaga perasaan sendiri  sehingga bolak-balik terluka❁

Happy reading jangan lupa vote

Adit  sengaja belum menyalakan mesin mobil,  meskipun ia dan Kiran sudah berada di dalam. Ia menunggu Kiran, siapa tahu berubah pikiran dan mau kembali turun.  Namun, berjalannya detik Kiran hanya terdiam sambil menyandarkan kepala yang terasa berat serta mata dipejamkan erat-erat.

“Jalan, Kak!” perintah Kiran setengah memaksa. Mata masih ia pejamkan, tak menoleh pada Adit di samping atau pun menatap ke belakang karena di sana masih ada dua sosok yang masih menunggu sampai benar-benar mobil ini pergi.

“Kamu yakin tidak akan berubah pikiran?” tanya Adit sedikit kecewa atas keputusan Kiran yang tak mau memaafkan Bapaknya.

“Tidak.” Kiran masih berpikir bahwa semua yang terjadi saat ini hanya mimpi karena benar-benar tak masuk akal.

Satu kata yang lolos dengan suara yang lantang membuat Adit menelan ludah pekatnya. Dari kaca spion ia masih bisa melihat mertua dan kakak iparnya masih ada di sana.

“Allah saja mau memaafkan walaupun kesalahan kita sangat besar,” tutur Adit berusaha membuka jalan pikiran Kiran.

“Sayangnya aku bukan Tuhan, Kak.”

Ucapan barusan mengunci bibir Adit untuk tak bertanya kembali karena jika Kiran sudah berkata seperti ini pasti dirinya akan kalah. ‘Semoga suatu hari nanti,’ doa Adit dalam hati.

Perjalanan sore ini menuju kembali hotel  terasa hambar, ditambah langit menghitam siap menumpahkan air #hujan. Dalam mobil tidak ada canda atau perbincangan seperti biasa. Kiran termasuk perempuan cerewet, oleh sebab itu jika ada masalah seketika langsung bungkam.

“Kiran?” sapa Adit sambil meraih tangan Kiran, menggenggam dengan erat dan menempelkan di dada Adit. Perempuan itu menoleh, masih dengan wajah datar kemudian memilih menatap kembali ke depan.

“Are you oke?” tanya Adit sekali lagi. Tangan masih digenggam, kebetulan lampu merah masih menyala sehingga tangan mereka masih bisa menyatu.

Kiran mencoba tersenyum walaupun tak seperti biasanya kemudian mengangguk. “I’m fine.”

Adit membalas senyum Kiran, hati sedikit lega karena setidaknya Kiran bisa memberikan senyum terpaksanya. Suara klakson dari belakang mobil mengisyaratkan lampu hijau sudah menyala dan mobil Adit harus kembali berjalan. “I love you.”

Kiran hanya menggeleng sambil tersenyum, kali ini senyuman sedikit lebar. “Love you too.”

Adit tangan kiri mengambil amplop di atas dashboard kemudian disodorkan ke arah Kiran. “Dari Mas Rohim katanya surat untuk kamu Ibu kamu.”

Wajah yang sudah sedikit berseri kemudian kembali murung, menerima surat itu dan segera dimasukkan ke dalam tas, tanpa sama sekali dibaca. Wajah kembali ditekuk dengan kesedihan kembali menyatu  di paras wajah cantiknya.

***

Sepasang manusia yang sedang duduk di depan teras, ditemani lembayung senja yang menampakkan sinar berwarna jingga. Semilir angin menyejukkan tetapi  dua orang di sana masih tampak malu-malu. Padahal ikatan halal sejak beberapa hari yang lalu belum bisa membuat mereka seperti pada pasangan pengantin pada umumnya.

“Gus mau makan apa malam ini? Biar nanti Dewi siapkan.”

Alif sedikit menelan kekecewaan, murid yang sekarang menjadi istrinya masih canggung jika mereka sedang bersama. Padahal Alif sendiri sudah bolak-balik mengingatkan jika  lebih menyukai dipanggil Mas, bukan Gus. Apa memang tempat ini yang membuat mereka selalu terkesan seperti guru dan murid? Ide terlintas di otak Alif memuat tubuhnya bersemangat.

“Kita makan di luar saja. Jangan lupa siapkan beberapa helai baju untuk dibawa,” ucap Alif.

Kening Dewi berkerut sama. “Kita mau ke mana Gus eh Mas? Kenapa harus bawa baju segala?” tanya Dewi keheranan.

“Kita sama seperti Kiran dan Adit. Sesekali menginap di hotel. Kalau di sini terus menerus kapan kita bisa lebih dekat?” sindir Alif membuat Dewi semakin menundukkan pandangannya.

“Afwan, Gus. Saya belum bisa menjadi istri yang baik.” Suara Dewi yang gugup setengah ketakutan membuat Alif mendekat dan berdiri berhadapan dengan Dewi. Kedua tangan Alif memegang kedua bahu Dewi membuat perempuan itu berjingkat kaget dan menunduk semakin dalam.

“Kamu sudah sangat baik menghormati guru kamu. Sayangnya kamu kurang peka jika guru kamu itu adalah suami kamu sendiri,” sindir Alif secara halus.

Suara deru mobil masuk ke dalam pesantren dan berhenti tepat di hadapan Dewi dan Alif membuat suasana yang tadi hendak romantis tiba-tiba buyar. Dewi pun melangkah ke belakang ketika Ning perlahan turun dari mobil dan bergabung dengan mereka. Dewi bisa menangkap jika Ning dalam keadaan tak baik karena sisa air mata masih terlihat jelas di pipi Ning.

“Maaf Mbak, saya ada perlu sama Mas Alif,” tukas Kiran dengan wajah dingin dan sama sekali tak ada senyum di bibirnya.

“Silakan Ning, saya juga mau balik ke kamar, “balas Dewi sekaligus undur diri. Mata Alif menangkap punggung Kiran yang menjauh menuju ke ruangan di samping mereka yang digunakan untuk menerima tamu.

Adit berjalan tergesa-gesa dari mobil. Hendak mengejar Kiran tetapi istrinya sudah berjalan di depan menghampiri Mas Alif. Tatapan Alif menyelidik ke arah Adit yang tengah panik. Sepertinya mereka sedang ada masalah.

“Apa yang terjadi dengan Kiran?” selidik Alif dengan wajah yang sangat serius. Jika sesuatu terjadi sesuatu dengan adiknya, entah mengapa masih ada perasaan tak rela jika Kiran bersedih bahkan sampai menitikkan air mata.

“Kiran sudah tahu semuanya. Kenapa Mas tidak bilang kalau Ibunya Kiran sudah meninggal? Tahu seperti ini, aku tak akan membawa ke rumah itu. Cukup mempertemukan Kiran dan Pak Budiarto di suatu tempat saja,” cetus Adit dengan memasang wajah tak suka dengan iparnya. Coba semuanya terbuka dari awal, mungkin kesedihan tak separah seperti ini.

Alif hendak menjelaskan kepada adik iparnya tetapi Adit sudah melangkah lunglai masuk ke rumah. Kepala Adit ikut berdenyut dan baru tersadar jika hari ini ia belum menelan obat pereda nyeri.

Alif bergegas menuju ruangan karena Kiran sudah menunggu di sana. Ketika sampai di depan pintu, wajah Kiran terlihat datar dan tatapan kedua matanya kosong. Kedua tangan memeluk bantal sofa dengan erat.

“Kakak kenapa tidak terus terang dari awal? Setidaknya jangan beri harapan Kiran berlebihan. Tadinya Kiran mengira jika setelah bertemu dengan Pak Budiarto,  setidaknya Kiran juga bisa bertemu dengan istrinya,” tukas Kiran. Kemelut pikiran di dalam benaknya membuat kepala berdenyut.

Alif melangkah mendekat dan duduk di kursi yang sama tapi masih menjaga jarak. Ia paham betul jika adiknya sudah berkeluarga.  Laki-laki yang masih memakai baju takwa dengan sorban yang masih melilit di leher tengah mengumpulkan oksigen sebanyak-banyaknya.

“Jadi pas waktu kecil saat main di kebun pisang ketika menemani Abah itu adalah rumah Pak Budiarto?” cecar Kiran melirik sekilas. Alif diam seribu bahasa. Tanpa menjawab pun Kiran tahu betul jawaban dari pertanyaan barusan.

“Kiran kecewa sama Mas Alif.”

Ucapan Kiran membuat Alif tersentak. Ia lebih memilih tubuhnya dicubit atau dipukul daripada menerima kekecewaan dari adiknya.

“Ingin tahu kenapa Mas Alif memilih diam dan tak mau membuka rahasia identitas kamu?” tanya Alif dengan nada naik satu tingkat. Laki-laki itu berdiri sambil menatap Kiran seakan ingin menghakimi.

Kiran hanya diam tetapi pandangan mereka bertemu. Kedua mata mereka sama-sama berwarna merah. Kiran ingin kembali menangis sedangkan Alif ingin beban di dadanya segera ia hempaskan.

“ Mas Alif  sengaja menunggu orang yang tepat berada di samping kamu, siap menemani di saat terpuruk seperti tadi. Mas mendadak menjadi  pengecut karena tak tega melihat kamu bersedih bahkan menitikkan air mata. Adit adalah orang yang tepat karena dia lebih tegar dibandingkan Mas Alif,” balas Alif dengan suara lantang dan menggema di ruangan kecil ini. 

Alif  berjalan ke luar dari ruangan ini, meninggalkan Kiran seorang diri karena sudah berjanji mengajak istrinya pergi. Sekarang tugas menjaga dan membahagiakan Kiran adalah  Adit,  bukan dirinya.

═════⊰◍●❁  To be continue   ❁●◍⊱═════

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro