🕊Air Mata Bapak🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Caramu mencintaiku  adalah selalu menjagaku, memperbaiki agamaku dan mengindahkan akhlakku

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Kiran menumpahkan tangisnya, melekatkan kepala di dada Adit, tak peduli baju yang dikenakan Adit nantinya basah. Mata laki-laki itu ikut berkaca-kaca, tapi dia masih berjuang menahan agar ia tak ikut menitikkan air mata. Di balik mata Kiran sama sekali tak ada sinar, yang ada tatapan hampa. Adit merengkuh tangan Kiran dan menggenggam dengan lembut sambil berbisik, “Kamu harus kuat.”

Pak Budiarto dan Rohim sudah masuk ke dalam, membiarkan Kiran dan Adit masih bertahan di peristirahatan terakhir Ibunya.

“Gimana? Sudah baikkan?” tanya Adit dengan hati-hati. Perasaan seorang  perempuan  jika dihadapkan seperti ini pasti sangat rapuh.

Kiran melirik sekilas kemudian menatap kembali gundukan tanah di depannya. Tangan terulur untuk menyentuh sebuah batu besar yang digunakan sebagai penanda. Ada rasa ragu ketika tangan yang terlanjur terulur kembali ditarik oleh Kiran. Namun, setelah usapan lembut di punggung,  tangan kembali menggapai pada tujuan di sana. Mengusap dengan lembut batu di sana dan membiarkan air mata menetes membasahi tanah.

“Kiran kangen, Bu?” sapa Kiran sambil menatap ke langit biru yang menjadi saksi temu haru. Sekarang Kiran baru sadar jika pertemuan tak selalu indah atau bahagia.

‘Andai Kiran tahu Ibu sudah tidak ada, mungkin Kiran akan mendoakan Ibu agar tenang di sana. Terima kasih telah melahirkan Kiran ke dunia, walaupun taruhannya itu adalah nyawa Ibu. Kiran sayang Ibu,’ ucap Kiran dalam hati.

Mata Kiran mengarah ke Adit yang terus menatap ke arahnya. Dari sorot mata teduh itu seakan ingin merangkul dan membagi kesedihan ini bersama.

“Kak, boleh minta tolong?” pinta Kiran dengan suara lirih karena lelah menangis.

Adit mengangguk dengan semangat, apa pun yang Kiran pinta pasti akan ia berikan. Asalkan bisa mengembalikan senyum seperti tadi di saung.

“Bunga mawar di mobil,” balas Kiran. Adit bergegas menuju mobil. Tanpa harus kembali masuk ke rumah Pak Budiarto, ia memilih melewati jalan samping yang menghubungkan jalan menuju mobil yang terparkir.

Bunga mawar putih di jok belakang langsung segera diambil, melangkah kembali menuju jalan yang sama. Namun, ketika berada di samping luar ruang tamu, Adit terpaksa menghentikan langkahnya karena mendengar isak tangis Pak Budiarto.

“Adikmu sangat benci sama Bapak. Mungkin sampai mati, Kiran belum bisa memaafkan kesalahan Bapak. Pesan Bapak cuma satu, makamkan Bapak di samping makam Ibu. Biarkan kami menjadi orang tua yang gagal karena kesalahan kami,” sahut Pak Budiarto kepada Rohim.

Adit masih berdiri mendengar isak di balik dinding kayu, sepertinya ia kesulitan menghangatkan hati Kiran yang sudah kelewat dingin. Adit kembali berjalan lunglai menuju belakang, pemandangan menyedihkan terpampang di depan mata. Kiran tengah memeluk gundukan tanah itu, ia tak peduli dengan baju yang dikenakan akan kotor.

Usapan lembut di pucuk kepala membuat Kiran langsung menegakkan tubuhnya, tak lupa menghapus sisa air mata. Sayangnya, Adit terlebih dulu yang menghapus air mata di wajahnya.

“Jika kehidupan bisa dibeli, pasti Kakak akan membelikan untuk kamu, tak peduli berapa pun harganya. Sayangnya, itu tak bisa. Boleh bersedih tapi jangan terlalu berlebihan. Pasti Ibu kamu di sana sangat sedih melihat kamu seperti  ini. Hanya doa yang beliau butuhkan. Bukan air mata,” anjur Adit yang sudah berdiri sambil mengarahkan tangan kiri mengajak Kiran untuk bangkit.

Kiran mengangguk. Melihat Adit tersenyum ke arahnya membuat Kiran berdiri tanpa keraguan. Suara Adit yang sangat lembut ibarat embusan angin sepoi-sepoi di sekitar peristirahatan terakhir Ibunya. Sebelum benar-benar pergi, Kiran kembali menoleh ke arah gundukan yang sekarang terlihat bersih dari rumput liar. Bunga pemberian Adit juga berada di atas sana.

‘Kiran sayang Ibu,’ gumam Kiran pada diri sendiri di dalam hati.

Kedua tangan yang saling bertautan diiringi langkah lunglai menuju kembali ke dalam. Ada rasa sesal di hati Kiran karena ternyata Adit mengajaknya kembali bertemu orang itu, bukan kembali ke mobil. Bertemu atau tidak dengan Pak Budiarto, tak akan mengubah status Kiran sebagai anak piatu.

“Kak?” rengek Kiran sambil menahan tangan yang terus memaksa kembali ke ruang depan yang tinggal beberapa langkah lagi.

“Sebentar saja, setelah kita berpamitan terus kita pulang,” rayu Adit melepaskan pegangan tangan kemudian mengubah posisi tangan menjadi memeluk dari belakang.

Kiran kembali ke tempat duduk tadi sebelum dia tak sadarkan diri, berhadapan dengan orang yang duduk di kursi terpisah kemudian satu orang lagi berdiri dengan tangan kanan merangkul bahu Pak Budiarto.

“Maafkan Bapak.” Kata pembuka yang sudah berapa kali diucapkan tetapi belum juga menarik perhatian putrinya.

Kiran pura-pura tak mendengar, lebih suka memalingkan wajah dengan mengatur posisi duduk lebih tegak sambil mengatur perasaannya.

“Insyaallah lambat laun Kiran pasti bisa memaafkan Bapak. Ini adalah tugas saya membimbing istri saya,” ucap Adit menjawab Pak Budiarto karena dari tadi keheningan dan tak ada satu pun kata keluar dari bibir Kiran.

Mata Kiran langsung menatap tajam ke arah suaminya. Ia tak suka jika Adit berkata seperti itu. Orang lain bisa dengan mudahnya menyuruh untuk meminta maaf. Namun, rasa sakit di hatinya tak mudah hanya dengan kata maaf saja.

“Kamu katanya seorang penulis ya, Nduk?” tanya Pak Budiarto dengan manik mata yang berbinar. Sorot mata penuh bangga, putrinya terjun di bidang karya sastra. Apalagi sekarang sedang menyelesaikan pendidikan di Jepang. Entah apa jadinya jika Kiran tetap dalam hak asuhnya. Mungkin hanya menjadi orang biasa saja.

Kiran pura-pura menahan terkejut walaupun dalam hatinya tak menyangka jika sosok Pak Budiarto tahu apa yang ditekuninya selama ini.

“Bapak kok bisa tahu?” tanya Adit sambil mengernyitkan keningnya. Adit mengira jika mertuanya sosok biasa yang tak tertarik dengan karya sastra.

“Rohim, ambilkan bungkusan plastik warna putih!” perintah Bapak. Dengan sigap, Rohim berjalan menuju lemari satu-satunya di ruangan ini. Kiran hanya melirik sekilas ketika kakak kandungnya tengah mengambil sesuatu di sana, kemudian barang tersebut sekarang sudah berada di tangan Pak Budiarto.

Suara keresek ketika dibuka menambah rasa penasaran Kiran yang luar biasa. Begitu pun juga dengan Adit karena tatapan mata masih tertuju pada benda yang ada di dalam sana. Sebuah buku novel bersampul biru laut berada di tangan Pak Budiarto. Dengan bangga pria itu memamerkan pada putrinya.

Kiran dan Adit saling menatap dengan tatapan yang sulit diartikan. Antara terkejut dan tak percaya jika buku hasil karya Kiran ada di tangan ayah kandungnya.

“Kemarin pas punya rezeki, jadi Bapak suruh Rohim buat beli buku novel kamu.”

Kiran seperti tertampar ucapan barusan. Mungkin kalau untuk Bapak, ia bisa memberikan novel secara percuma. Berarti selama ini, royalti yang ia terima, ada sedikit uang milik Pak Budiarto yang masuk ke rekeningnya.

Kiran memejamkan mata sekuat-kuatnya. Kebenaran yang ia terima sangat menyakitkan dan menimbulkan resah di dalam dada. Tubuh Kiran bergerak tak jelas karena ingin rasanya pergi melupakan kenyataan ini.

“Darah yang mengalir di tubuh kamu mengikut Bapak. Kita sama-sama suka menulis karya sastra. Cuma bedanya karya kamu dibukukan. Kalau Bapak hanya diabadikan lewat buku ini saja,” tukas Pak Budiarto sambil mengeluarkan sebuah buku ukuran kertas folio dengan sampul halaman yang sudah termakan usia.

Kiran melirik ke atas meja, tepatnya buku yang dipegang bapaknya. Entah kebetulan atau tidak, ternyata Pak Budiarto tengah menatap Kiran dan seakan tahu jika putrinya penasaran dengan buku miliknya.

Buku sudah diletakkan di depan Kiran dan rasa penasaran yang luar biasa membuat Kiran membuka tiap lembar di sana. Tulisan latin orang dahulu, tertulis rapi  dan masih bisa terbaca. Kiran enggan membaca tulisan itu, ia menyodorkan kembali buku itu dengan sedikit kasar.

“Kak, kita pulang sekarang,” ajak Kiran yang sudah berdiri. Adit cukup terkejut melihat perubahan wajah Kiran yang kembali memerah karena menahan tangis.

Adit bergegas berpamitan karena Kiran sudah menunggu di luar. Perempuan itu berdiri membelakangi ketiga orang yang masih bertahan di pintu.

“Sebelum tutup usia, sekali lagi Bapak minta maaf, Nduk. Bagaimana pun Bapak tetap sayang sama kamu walaupun kamu sangat membenci Bapak. Namun, percayalah doa Bapak tak pernah putus untuk kamu sebagai penebus kesalahan Bapak selama ini,” tutur Pak Budiarto dibarengi air mata yang membasahi pipi.

Kiran melangkah tak peduli ucapan barusan, terserah mereka mau bilang apa tentang dirinya. Rasa ego masih menyelimuti dirinya, walaupun hati kecil menyuruhnya berbalik dan memanggil pria tua itu dengan sebutan Bapak.

═════⊰◍●❁  To be continue  ❁●◍⊱═════

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro