🕊Ikhlas🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semua insan yang bernapas akan merasakan berada di titik terendah sebelum mencapai puncak. Jangan hanya memandang mereka yang sudah di puncaknya. Yakinlah! Mereka pernah merasakan apa yang saat ini kita rasakan.

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

A

dit berlari untuk menangkap tubuh lunglai yang sudah jatuh ke atas tanah. Wajahnya terlihat panik ketika melihat Kiran yang sudah tumbang dengan mata menutup rapat. Tangan Adit menepuk pipi Kiran dengan pelan, berusaha membuat Kiran untuk segera tersadar.

“Kiran bangun,” ucap Adit dengan wajah paniknya. Namun, mata di sana masih tertutup. Atas perintah mertuanya, Adit langsung menggendong Kiran menuju sebuah kamar kecil. Tubuh Kiran sekarang terbaring di atas kasur kapuk. Suasana kamar yang sangat pengap karena cahaya lampu yang redup ditambah tidak ada ventilasi udara.

“Bangun, Sayang. Maafkan Kakak. Tahu seperti ini, Kakak tak akan memaksa kamu ke sini,” sesal Adit. Tangan Adit masih menggenggam tangan Kiran dan terus mengecupnya berharap Kiran segera membuka mata.

Adit merasa menjadi suami yang gagal karena secara tak langsung membuat istrinya seperti ini. Selama ini, Mas Alif atau Abah sama sekali tak menceritakan jika Ibu kandung Kiran sudah tidak ada. Adit cuma diberi tahu alamat rumah ini saja, tanpa diberi tahu asal usul keluarga Kiran sebenarnya.

Tidak hanya Adit yang panik dan cemas, Pak Budiarto menatap dengan tatapan iba melihat wajah pucat putrinya. Seharusnya pertemuan ini berujung bahagia dan hubungan mereka lebih baik. Ia menyesal kenapa tak berterus terang dari dulu.

Suara tapak kaki terburu-buru masuk ke dalam kamar ini. Rohim—kakak kandung Kiran menyerahkan sebuah minyak angin kepada Adit. Dengan sigap Adit mengoleskan minyak di bagian hidung, tetapi belum ada perubahan karena Kiran masih terpejam.

“Biarkan dia istirahat dulu sebentar. Mungkin dia ingin dekat dengan Ibu kandungnya. Kamar ini adalah saksi bisu saat Kiran dilahirkan. Maklum orang desa, lahiran masih di rumah.”

Adit kurang suka dengan ucapan Pak Budiarto. Bagi laki-laki seperti Adit tak bisa menganggap enteng kondisi Kiran seperti ini. Padahal ia sudah bersiap membawa Kiran ke rumah sakit terdekat agar mendapatkan pertolongan.

Adit berjalan lunglai menuju kursi tadi dengan pikiran yang masih kalang kabut. Belum di layar ponsel menampilkan nama Mas Alif yang bolak-balik menghubunginya, tapi oleh Adit dibiarkan begitu saja. Jika memberi tahu keadaan Kiran sekarang, pasti keluarga pesantren sangat panik, maklum Kiran anak kesayangan Abah.

Pak Budiarto kembali terbatuk-batuk dan Rohim segera mengambil minum. “Bapak sudah minum obat?” tanya Rohim sambil mengusap punggung Pak Budiarto dengan pelan.

“Sudah barusan,” jawab pria tua itu.

Adit menatap mereka berdua. Tertarik dengan perbincangan dua orang di sana. “Bapak memang sakit apa?”

“Fibrosis paru idiopatik,” jawab Rohim masih mengusap punggung Bapaknya.

Adit mengernyit tak paham dengan penyebutan penyakit yang disampaikan oleh Rohim. “Penyakit paru-paru?”

“Fibrosis paru adalah gangguan pernapasan akibat terbentuknya jaringan parut di organ paru-paru. Kondisi ini akan menyebabkan paru-paru tidak berfungsi secara normal,” terang Rohim yang sekarang ikut bergabung duduk dengan wajah ditekuk karena sedih.

“Sudah berobat?” tanya Adit dengan iba.

“Kita sudah lelah berobat. Obat hanya untuk mengurangi sakit sementara saja. Apalagi dokter sudah mendiagnosis jika umur Bapak tinggal beberapa bulan saja karena sekarang sering mengalami sesak,” balas Rohim pasrah. Untuk sekarang Rohim banyak bersuara dibandingkan Pak Budiarto yang memilih diam

“Nanti saya carikan dokter spesialis paru yang bagus.” Adit kembali teringat kakaknya, siapa tahu bisa membantu menemukan dokter terbaik di sini. Atau jika perlu Jakarta atau kota lain. Yang penting kesehatan mertuanya bisa membaik.

Rohim tertawa lirih. “Sudah puluhan dokter spesialis paru kita datangi. Mereka hanya memberikan sebuah saran, tetapi sepertinya sangat sulit.”

“Sulit? Apa yang sulit? Pengobatan sekarang sudah canggih? Memang apa yang menjadi kendalanya? Untuk biaya, Bapak tidak perlu memikirkan. Biar nanti saya yang tanggung,” ucap Adit.

“Bukan masalah biaya saja yang perlu dipikirkan. Bapak sembuh dengan jalan transplantasi paru,” bisik Rohim dengan lirih.

“Cangkok paru?” tanya Adit  sambil menyandarkan punggung di tembok. Ia mengira hanya persoalan materi saja, tetapi ada satu yang penting dan sepertinya ia juga angkat tangan untuk masalah ini.

“Ya. Kita juga tak tahu siapa yang akan menjadi donor. Karena untuk cangkok kedua paru itu butuh donor mati. Kalau hanya mengganti lobus, baru bisa dari donor hidup. Jika memang ada yang mau menjadi donor itu juga tak sembarangan karena harus diperiksa terlebih dahulu. Banyak sekali persyaratan dari kesamaan jaringan paru dengan resipien. Golongan darah dan imunologisnya juga harus cocok,” terang Rohim panjang lebar membuat Adit semakin menciut karena kemungkinan menolong sangat kecil.

“Nanti saya coba tanyakan kembali sama Kakak kandung saya. Semoga dia bisa mencarikan jalan terbaik. Jika untuk transplantasi itu sangat tidak mungkin, setidaknya Bapak bisa hidup bertahan lebih lama.” Adit berpikir keras karena ini masalah yang sangat berat.

“Sudahlah, Bapak sudah tua. Lagian butuh dana yang banyak untuk sembuh total. Tidak apa-apa jika Bapak nanti mati. Yang penting kewajiban Bapak sudah selesai yaitu menikahkan adik kamu,” ucap Pak Budiarto menepuk punggung tangan anak sulungnya.

“Tapi keinginan Bapak yang satu lagi belum tercapai, ‘kan?” selidik Rohim membuat pria itu kembali dengan wajah sedihnya.

Adit melirik kembali ke kamar yang tak jauh dari tempatnya duduk. Istrinya belum bangun, jangan sampai Kiran tahu masalah ini. Kehilangan ibunya saja sudah seperti itu, apalagi nanti harus ditambah kehilangan bapaknya.

“Sudahlah, Nak. Sepertinya tidak mungkin,” ucap Pak Budiarto pasrah.

“Kondisi ekonomi kami seperti ini yang menjadikan alasan kami untuk menitipkan Kiran pada Pak Kyai untuk merawatnya. Keluarga pesantren sudah banyak membantu saya. Padahal saya tidak pernah meminta apa-apa, anak saya dirawat seperti anak Pak Kyai sendiri, saya sudah sangat senang. Bapak sudah menjadi orang gagal, biarkan Kiran membenci saya, karena saya ikhlas dan pantas dibenci oleh anak sendiri,” lanjut Pak Budiarto sambil menitikkan air mata.

Rohim mengambil sesuatu dari dalam lemari kemudian diserahkan kepada adik iparnya. “#Surat wasiat sebelum Ibu meninggal. Beliau menulis saat sebelum pendarahan terjadi. Mungkin saja sudah berfirasat buruk sehingga sampai menulis ini.”

Adit menerima surat tersebut dengan gemetar. “Apa keinginan Bapak yang belum kesampaian?” tanya Adit karena dari tadi sangat penasaran ucapan dua orang sebelumnya.

“Bapak ingin Kiran memaafkan semua kesalahan saya. Demi Allah, saya bukan tidak mau merawat dia. Keadaan ekonomi dan kondisi saya seperti ini yang membuat saya mengambil jalan itu. Sebelum istri  meninggal, dia juga berpesan agar Kiran diadopsi oleh orang yang tepat. Pilihan itu jatuh pada keluarga pesantren.”

Adit mendengar itu sangat trenyuh, pilihan yang sangat sulit. Antara kasih sayang dan masa depan. Jika Adit berada di posisi Pak Budiarto pasti akan mengambil keputusan yang paling berat walaupun menyakitkan.

Kiran yang sudah tersadar dari tadi, hanya bisa termenung dekat pintu. Ia memang tidak mendengar percakapan sebelumnya. Namun, alasan menitipkan di Pesantren belum sama sekali ia terima karena ini terasa menyakitkan.

“Tetap saja Bapak salah,” ucap Kiran dengan ketus.

Ketiga orang di sana terperanjat kaget karena baru sadar jika Kiran ternyata mendengar ucapan mereka. Lebih-lebih untuk Adit yang sangat panik. Dalam hati berdoa semoga Kiran tak tahu jika Pak Budiarto mengidap penyakit.

Wajah Pak Budiarto berseri, ini kali pertama putrinya memanggil dengan sebutan Bapak. Bertahun-tahun menantikan panggilan ini.

Adit bergegas menghampiri perempuan dengan tatapan kosong. Adit memaksakan sepotong senyum di bibirnya, meskipun dia tahu Kiran tak akan membalasnya.

“Di mana makam Ibu?” Kiran bertanya karena saat tadi tak sadar, sosok itu terasa sangat dekat dengan dirinya.

Rohim bangkit dan berjalan paling depan menunjukkan di mana peristirahatan terakhir Ibunya. Kiran berjalan sambil memeluk lengan Adit. Pak Budiarto ikut berjalan paling belakang. Mereka melewati dapur, baru sampai di pekarangan belakang rumah.

Kiran menelan ludah yang terasa pekat ketika sudah sampai pada gundukan tanah yang sangat sederhana. Tak ada nisan atau pun taburan bunga di atas sana.

“Kita mulai berdoa saja untuk almarhumah Ibu,” saran Adit pada Kiran yang pipinya kembali basah. Adit menuntun Kiran ke atas batu besar di samping makam, di tempat itu lumayan teduh dan istrinya bisa duduk di batu itu.

Adit memimpin doa, kali ini surat Yasin dan tahlil dilafalkan sebagai penerang dalam alam kubur. Kiran tertegun pada Adit yang Khusyuk membaca ayat itu tanpa melihat buku atau ponsel. Kiran hanya menaruh kekaguman dalam hati karena sekarang dalam situasi yang tidak mendukung.

“Bukannya Bapak tak mau berterus terang,” ucap Pak Budiarto di sela-sela selesai berdoa. Tangan pria itu mencabut beberapa rumput liar yang tumbuh di pusara istrinya.

“Sebelum meninggal, Ibu kamu melarangnya. Almarhumah tak ingin melihat kamu sedih karena kehilangan. Tangan dia tak bisa menghapus air mata jika kamu menangis.”

Ucapan Pak Budiarto membuat Kiran kembali menangis terisak, ia memeluk Adit seerat mungkin untuk membagi rasa sedihnya. Kehilangan ini sangat menyakitkan karena air mata yang keluar tak membuat Ibunya bisa bangkit lagi.

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro