🕊Kehilangan yang Menyakitkan🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seberat apapun ujian hidup, jika Allah selalu ada diri kita, maka semuanya akan baik-baik saja. Ingatlah satu ayat ini "La tahzan innallaha ma'ana"

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Kiran menatap ke arah samping, mengabaikan Adit yang kembali menggenggam tangannya erat. Genggaman itu sangat hangat, tapi tidak untuk hatinya yang kembali dingin. Ibarat ribuan bongkahan es yang disiram ke atas luka di hatinya.

“Kita pulang, Kak,” saran Kiran sambil mengencangkan seatbelt. Mata kembali menatap depan, rumah kecil yang sangat sederhana berdiri di tengah-tengah kebun. Kiran kembali menatap samping dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

“Tidak. Kita tetap ke sini. Ketemu dengan Pak Budiarto,” kekeh Adit tak mau kalah. Menggenggam lebih erat dan mendekatkan tangan pada bibir, kemudian mengecupnya pelan.

“Masalah sepelik apa pun kita hadapi bersama. Ini ujian pertama kita setelah menikah,” sambung Adit. Tangan laki-laki itu berganti mengusap kepala Kiran, berusaha menenangkan pergolakan hati Kiran.

Adit paham kenapa Kiran bisa bersikap seperti ini. Ia pernah merasakan betapa bencinya pada suami Mamah yang baru. Jangan sampai Kiran bisa memberi maaf setelah ayah kandungnya sudah tidak ada. Seperti Adit yang baru bisa memaafkan setelah Ayah angkatnya mengembuskan napas terakhir.

“Tidak, Kak? Kita pulang sekarang,” rengek Kiran yang sudah memohon sambil menitikkan air mata.

Jari Adit langsung menghapus air mata itu, ia pernah berjanji pada diri sendiri, jika nantinya setelah menikah tak akan membiarkan istrinya menitikkan air mata. Adit mengajak menikah untuk bahagia bukan bersedih apalagi membuat Kiran menderita.

“Mau sampai kapan kamu mau menutup dan mengubur rapat-rapat masalah ini? Bibir bisa saja bilang tidak, tapi hati kamu masih bertanya tentang siapa sosok Pak Budiarto? Siapa Ibu kandung kamu? Masalah ini memang sangat berat. Dibawa melangkah sejauh-jauhnya tak akan menyelesaikan semuanya. Mari kita hadapi bersama, ada Kakak di samping kamu,” ucap Adit dengan lemah lembut.

Kiran semakin tertunduk, isak tangis semakin menjadi. Adit tak tega melihat Kiran seperti ini, laki-laki itu merengkuh tubuh Kiran ke dalam pelukannya, membiarkan Kiran sendiri menghentikan tangisnya karena ia yang paling paham sampai mana mengakhiri sedihnya.

“Bagaimana? Sudah mendingan?” Tangan Adit memegang kedua sisi samping wajah Kiran, sambil terus menghapus setitik air mata yang masih keluar dari matanya. Kiran hanya membalas dengan anggukan lemah saja.

“Kita pulang saja, mungkin hari ini kamu belum siap. Maafkan Kakak mengajak kamu ke sini secara tiba-tiba, seharusnya Kakak bilang terlebih dahulu,” ucap Adit mengalah. Tangan memutar kunci mobil membuat mesin kembali menyala.

Tangan Kiran seketika memegang punggung tangan Adit. “Jangan pergi, kita temui orang itu,” ucap Kiran lirih membuat Adit kaget setengah tak percaya.

“Tidak. Kita pulang saja, Kakak tidak ingin melihat kamu kembali menangis,” jawab Adit belum mematikan mesin mobil

“Aku tidak apa-apa. Insyaallah aku siap,” tukas Kiran memantapkan hatinya.

“Yakin?”

Kiran mengangguk, tangan mengambil sehelai tisu untuk mengusap bulir bening yang masih menempel di bulu mata. Adit hanya bisa menunggu Kiran benar-benar siap sampai isak tangis yang tertinggal itu reda.

“Bismillah, kita pasti bisa melewati semua ini,” ucap Adit dengan mantap, meyakinkan istrinya jika ujian ini masih kecil, perjalanan mereka masih panjang. Bisa saja mereka nanti dihadapkan kerikil kecil atau batu besar yang bisa saja menggoyahkan hubungan mereka nantinya.

Mereka berdua melangkah perlahan di atas jalan setapak tanah. Adit sengaja memarkir mobil agak jauh mengingat jalan setapak kecil menuju rumah sana tak bisa dilalui mobil. Tangan mereka saling terkait satu sama lain. Kiran tidak tahu apa yang nanti diperbuat ketika berhadapan dengan Pak Budiarto dan istrinya.

Pintu kayu yang sudah terdapat lubang di bagian bawah diketuk oleh Adit. Kiran memilih melihat kebun pisang terhampar di depan rumah yang berdinding kayu.  Suara batuk dari dalam rumah membuat jantung Kiran berdetak lebih kencang.

Derit pintu kayu menampilkan tuan rumah yang memakai kaos berlubang dan sarung kumal sambil menampilkan senyum terbaiknya.

“Mantu Bapak,” sapa Pak Budiarto sambil menepuk bahu Adit dengan pelan. Netra pria tua itu tampak berkaca-kaca karena mendapatkan kejutan luar biasa dan tak terduga. Ia mengira kemarin adalah pertemuan terakhir dengan putrinya, tetapi Allah masih berkehendak lain. Mata Pak Budiarto melirik sekilas perempuan yang masih membelakangi dan memilih menatap kebun pisang yang gersang.

“Kiran?” panggil Adit menyuruh Kiran untuk berbalik. Perlahan tubuh kurus Kiran berbalik dan berhadapan dengan dua laki-laki yang tengah menatap ke arahnya.

“Nduk?” sapa Pak Budiarto dengan manik mata berbinar-binar penuh kehangatan.

Kiran menatap sekilas pria tua itu kemudian menggeser tubuhnya merapat pada suaminya. Pak Budiarto menyuruh mereka masuk ke dalam rumah. Andai saja mereka memberitahukan akan kemari, mungkin Pak Budiarto akan merapikan rumah dan mengecat dengan cat kapur tembok. Untuk hidangan bisa saja menangkap satu ekor ayam yang biasa berkeliaran dan dimasak sebagai hidangan istimewa.

Kiran melangkah ragu di atas lantai tanah, menyapu ke sekeliling ruangan kecil yang hanya memuat satu kursi kayu panjang lengkap dengan  sebuah meja. Di ujung ruangan terdapat lemari tua berisi catatan usang dan berdebu.

“Silakan duduk,” sambut Pak Budiarto sambil merapikan bungkus obat yang tergeletak di meja untuk ditaruh ke dalam keresek. Pria rimpuh itu masuk menghilang di balik tirai usang yang hampir copot di kusen pintu yang hanya tinggal kayunya saja.

Kiran menatap dinding kayu ruang tamu ini, di sana terdapat foto usang tetapi masih menampilkan gambar tiga orang. Laki-laki dewasa, seorang perempuan dan satu anak laki-laki berdiri di depannya. Kiran bisa menduga jika laki-laki dewasa itu adalah Pak Budiarto dan perempuan itu bisa jadi istrinya, kemungkinan besar adalah perempuan yang melahirkan Kiran. Tapi siapa anak kecil di sana? Apa mungkin anak Pak Budiarto yang lain?

Adit kembali menggenggam erat tangan Kiran karena sudah berjanji tak meninggalkan Kiran melewati semua sendiri. Tirai terbuka menampakkan pria tadi dengan sebuah nampan berisi dua gelas teh hangat  untuk segera diletakkan di atas meja.

“Maaf rumah Bapak seperti ini, gubuk tua,” tukas Pak Budiarto merendah, apalagi ia paham jika laki-laki yang menjadi menantunya adalah orang kaya. Dalam hati sangat bersyukur karena putrinya akan hidup bahagia tanpa kekurangan seperti dirinya.

“Siapa anak kecil di foto itu?” tanya Kiran secara spontan karena sangat penasaran. Ia tak suka basa-basi. Mending langsung ditunjukkan siapa sebenarnya dirinya dan siapa perempuan yang melahirkannya. Rasanya seperti jengah berada dalam lingkup rahasia atau bisa jadi kebohongan tertutup rapat bertahun-tahun.

Pak Budiarto melirik ke atas tempatnya ia duduk. “Rohim?” panggil pria itu dengan suara lantang kemudian berganti terbatuk-batuk karena teriakan barusan.

Suara tapak kaki mendekat dan Kiran enggan melihat siapa yang datang. Lebih tertarik pada bungkusan obat kosong di kolong meja.

“Loh, Kang Rohim?” sapa Adit sangat terkejut dan berdiri dari kursi kayu yang ikut berderit ketika berdiri. Mau tak mau Kiran menatap siapa yang datang. Mata mengawasi sosok itu, barangkali ia salah melihat. Kang Rohim adalah tukang bersih-bersih yang sudah tahunan bekerja di Pesantren.

Adit kebetulan mengenal Kang Rohim saat awal di Pesantren ketika disuruh Mas Alif untuk bersih-bersih kamar mandi. Adit masih ingat ketika laki-laki itu menyuruhnya untuk duduk saja di pojok tempat wudu karena Kang Rohim akan membersihkan kamar mandi seorang diri saja.

Mata Kiran menatap Kang Rohim kemudian beralih menatap Pak Budiarto. “Dia yang ada di foto?”

Pak Budiarto mengangguk dengan mantap. “Dia Rohim, Kakak kandung kamu.”

Tubuh Kiran seketika jatuh terduduk kembali ke atas kursi yang kembali berderit. Adit langsung merengkuh tubuh Kiran agar lebih dekat dengannya. Adit bisa mengetahui bagaimana terpukulnya Kiran. Kenyataan kembali membuka mata Kiran, jika ia mempunyai kakak kandung yang selama ini ternyata mereka satu atap dalam pesantren. Pantas saja selama ini Kang Rohim selalu memperhatikan Kiran dari jauh.

“Siapa perempuan yang di foto itu?” tanya Kiran lirih sambil terus memandang gambar di sana dengan perasaan tak menentu.

Pak Budiarto menghirup napas panjangnya kemudian menatap putra laki-lakinya yang masih menunduk. “Dia ibu kamu.”

Kiran tak kaget, dugaannya benar. Entah mengapa melihat gambar itu hatinya sedikit hangat. Mungkin saja karena sekarang mereka dalam satu tempat. Pegangan tangan Adit semakin erat.

“Di mana perempuan itu?” tanya Kiran dengan tatapan dingin. Entah mengapa sulit sekali memanggilnya Ibu.

“Ada di belakang, dekat dapur,” balas pria itu. Kiran seketika langsung berdiri. Sejak pertama kali datang, kaki  terasa sangat lemas. Entah kekuatan dari mana tiba-tiba ada yang menggerakkan kaki berjalan masuk lebih dalam rumah ini.

‘Di mana kamu? Siapa kamu sebenarnya? Kenapa aku dititipkan di Pesantren? Anakmu kemarin menikah, Bu? Kenapa kamu tak datang? Entah hatimu terbuat dari apa sehingga begitu tak peduli dengan anak perempuan kamu?’ batin Kiran terus bersumpah serapah.

Pipi yang sudah mengering kembali basah. Netra yang sudah sembap oleh air mata terus mencari sosok itu. Tempat yang dinamakan dapur terlihat kosong, tak ada seseorang di sana. Hanya terdapat tungku api dengan kayu masih mengeluarkan bara.

Kiran berjalan dengan cepat kembali ke dalam. Ia merasa dibohongi karena tak menemukan siapa pun. Begitu tirai pintu dibuka, Kiran langsung bersuara lantang. “Tidak ada siapa-siapa. Di mana perempuan itu?”

“Ada, Nduk. Ibu ada di depan pintu keluar, dekat dapur. Dia sedang beristirahat dan tak pernah bangun setelah melahirkan kamu. Ibu kamu sudah meninggal,” sahut Pak Budiarto dengan suara bergetar menahan tangis.

Kiran berdiri mematung, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Pandangan tiba-tiba langsung berubah gelap bersama luruhnya daksa menyatu dengan bumi.

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Yuk yang mau ikutan PO besok bisa wapri ke nomor 089680710616, ada bonus khusus untuk yang ikutan waiting List






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro