🕊Kencan🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cinta bukanlah tentang siapa cepat dia dapat,  tapi cinta adalah tentang cara bagaimana ia mampu bersama di titik rendah sekalipun.


═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Kiran ingin bertanya tetapi ia mengurungkan niatnya. Pasti akan ada saatnya Adit akan berterus terang tentang siapa sosok sebenarnya. Kiran mencoba tersenyum, meredam pergolakan hatinya saat Adit mengajaknya kembali ke kamar hotel.

Adit sengaja mengambil kamar dengan kelas paling atas agar Kiran nyaman, tapi bagi Kiran masih nyaman tinggal di Pesantren. Tempat yang sederhana, tetapi penuh kehangatan bersama keluarga.

Adit keluar dari toilet, laki-laki itu sudah lengkap dengan kemeja panjang dan celana panjang berbahan kain. Penampilan yang sangat formal karena Kiran baru pernah melihat laki-laki itu dengan penampilan seperti ini. “Mau ke mana, Kak?” tanya Kiran yang sedari tadi termenung di atas ranjang paling empuk yang pernah ia temui

Adit masih bergeming, masih sibuk dengan penampilannya di depan cermin, tak lupa mengoles minyak rambut dan parfum membuat satu ruangan di sini mendadak menyatu dengan parfum yang Adit kenakan.

“Kakak ada perlu sebentar. Kamu bisa ke restoran atau spa, tempatnya ada di lantai hotel ini juga, jadi tidak bosan menunggu Kakak,” saran Adit yang sudah mengambil sebuah laptop di koper besar berwarna hitam yang berdiri di pojok kamar ini.

“Kalau aku ikut?” tanya Kiran mencoba memancing perhatian Adit. Padahal Kiran sendiri sudah paham jawaban apa yang akan terucap dari bibir Adit.  Bagi Kiran sendiri juga belum ada persiapan jika dia nantinya beneran ikut pergi.

“Di kamar saja, Kakak  cuma sebentar. Paling lama satu jam, nanti balik lagi ke kamar,” balas Adit tanpa memperhatikan Kiran, ia melirik arloji dan benar saja acara itu sudah mulai seperempat jam yang lalu.

“Boleh tahu pergi untuk urusan apa?” Nada bicara Kiran sudah berbeda membuat Adit menyerah dan sedikit membuka sedikit celah karena belum saatnya berterus terang pada Kiran.

“Ada pertemuan di hotel ini. Urusan di Jakarta terpaksa dipindah di sini mengingat hampir semua pegawai berada di Solo setelah datang ke resepsi kemarin.”

Kiran mengangguk pura-pura paham, walaupun sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan,  tetapi melihat Adit yang terlihat buru-buru Kiran mending memilih mengalah.

“Kamu percaya sama Kakak, kan?” tanya Adit yang membalikkan tubuh, menatap perempuan yang masih termenung dengan raut wajah datar dan tengah memikirkan sesuatu.

“Always,” balas Kiran sambil tersenyum. Adit berjalan  mendekati Kiran, mengecup kening dengan penuh kasih sayang.

“Nanti kita jalan-jalan keliling kota Solo. Kamu pasti kangen sama kota ini,” ucap Adit sambil berjalan cepat. Waktu ketinggalan acara semakin banyak. Untung ruang yang digunakan untuk rapat masih di ruangan ini sehingga tidak antre naik lift.

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Adit menepati janjinya, satu jam kemudian sudah berada dalam kamar. Laki-laki itu tersenyum menatap Kiran yang tengah memakai kerudung dan bersolek di depan cermin. “Sudah siap? Mau berangkat sekarang?”

“Sebentar lagi,” balas Kiran sambil melirik sekilas ke arah siapa yang datang. Adit tengah menggulung lengan baju sampai sikut. Kemeja juga dikeluarkan dari celana,  agar tak terkesan formal. Setelah itu memakai topi berwarna biru tua. Kiran hanya tersenyum, potongan kenangan bersama laki-laki itu kembali mengisi otaknya. Mungkin sekarang mereka bisa mengenang kembali saat-saat awal pertemuan dahulu.

“Kita mau ke mana?” tanya Kiran yang sudah siap dengan tas kecilnya yang hanya bisa diisi sebuah dompet dan ponsel.

“Ke mana saja, asal kamu bahagia,” balas Adit sambil mempersilakan Kiran untuk keluar kamar. Kiran hanya tersipu malu, Adit memperlakukan dirinya sudah seperti seorang ratu. Apalagi dari kemarin, Adit selalu memanjakan dengan berbagai makanan favorit di hotel ini.

Tujuan mereka saat ini rumah makan Mang Engking yang terletak di depan Universitas ternama di kota Solo. Tempat makan yang strategis dengan nuansa alam dan kolam ikan. Suasana sejuk karena banyak tanaman. Kiran kembali teringat jika dulu pernah datang ke tempat makan seperti ini, tapi bukan sama Adit melainkan bersama masa lalunya. Rumah makan ini  terlihat sepi membuat suara gemercik air menyatu di telinga. Mereka berjalan bergandengan tangan karena Adit tak akan membiarkan Kiran jalan sendirian di tempat umum seperti ini.

Mereka langsung disambut oleh pegawai di sana sambil menunjukkan ke sebuah saung dengan ukuran besar, yang terletak di tengah kolam. Kiran sudah bisa menduga pasti Adit sudah melakukan reservasi terlebih dahulu karena dari tadi  Adit tak berkata apa pun. Satu pegawai lagi datang, menyerahkan buket bunga mawar putih yang sangat cantik untuk diserahkan kepada Adit untuk segera diserahkan kepada Kiran. “Untuk kamu.”

Kiran membalasnya dengan senyuman. Adit masih paham bunga kesukaannya. Keduanya sekarang duduk di tepi kolam, Kiran membiarkan kakinya bermain di air kolam. Adit sendiri sibuk memberi makan puluhan ikan yang sudah mendekat kepada siapa yang memberi makan.

“Ikannya cantik, ya?” tanya Adit sambil terus mengawasi ikan berwarna oranye dan putih yang berenang kian kemari berebut makanan.

Kiran terdiam kemudian melirik Adit. Dalam pikiran Kiran, ikan dari dulu selalu polos begitu. Lebih cantik jika masuk penggorengan dan nantinya ditambah saus asam manis, itu baru cantik dan cocok untuk perutnya yang sudah minta diisi.

“Cantik kaya kamu,” sambung Adit sebelum Kiran membalas ucapannya. Ada rasa bahagia membuat sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman.

“Masa aku disamakan sama ikan,” balas Kiran. Keduanya tertawa.

“Terima kasih mau menerima pinangan Kakak. Terima kasih mau menunggu Kakak belajar agama Islam. Terima kasih juga mau menemani Kakak sampai masa tua,”  sahut Adit menggenggam erat tangan Kiran.

“Sama-sama,” balas Kiran memberikan senyum terbaiknya kemudian memilih menatap depan karena tak kuasa membalas sorot mata Adit yang teduh dan penuh cinta. Napas perlahan keluar dari hidung Kiran, menahan mati-matian karena perasan aneh yang mengalir dalam atmosfer di sekitarnya. Perasaan penuh bahagia yang tak bisa dijelaskan kembali menyelimutinya.

“Kok sepi?” tanya Kiran sambil melihat sekitar karena tak ada pengunjung hanya beberapa pegawai yang tengah sibuk  #memasak untuk mereka.

“Tempat ini sengaja untuk kamu,” jawab Adit dengan tatapan tak berdosa. Kiran mendesis, membayangkan berapa rupiah yang dihabiskan menyewa tempat seperti ini.

“Minggu depan jadi ke Jepang?” tanya Adit dengan perasaan tak ingin berpisah apalagi hubungan mereka baru terajut kemarin. Jika Adit tak mempunyai urusan pasti ingin terbang juga ke sana.

“Minggu depan sudah harus sampai sana. Acara kampus diajukan dan aku tak ingin melewatkan. Ini  kesempatan terakhir untuk lulus. Kakak jadi jemput aku, kan?” rayu Kiran menghibur Adit yang murung apalagi pegangan di tangannya semakin erat.

Adit mengangguk lesu. “Kita ketemu di Hokkaido pada bulan Januari saat salju turun.”

Kiran mengangguk sambil mengedipkan matanya. Selama di Ibaraki, ia tak menemukan salju. Kapan lagi bisa bermain salju mumpung di Jepang.

“Apa program kita selanjutnya setelah kita menikah selain program anak?” tanya Adit secara tiba-tiba.

Kiran terperanjat kaget, menahan senyum. Entah itu senyum karena malu atau bahagia jika mereka nanti mempunyai keturunan. Pasti Abah akan bahagia. “Mungkin aku akan melamar jadi tenaga pengajar di sana, sesuai bidang yang aku miliki.” Kiran menunjuk sebuah kampus yang tak jauh dari tempat ini.

“Kakak sendiri ingin buka lapangan kerja di daerah sekitar pesantren. Nantinya untuk pegawai merekrut beberapa santri di tempat Abah yang memiliki skill di bidang otomotif. Pastinya banyak yang tertarik. Pemasukan bisa untuk pesantren dan juga para santri agar mereka bisa mempunyai penghasilan sendiri. Apalagi biaya pesantren sekarang cukup tinggi, setidaknya tak merepotkan orang tua mereka. Kakak barusan tadi rapat masalah ini di hotel, setidaknya Kakak bisa menetap di Solo. Biar bisnis almarhum  Ayah di Jakarta nanti dipegang Mamah saja. Kakak sudah jatuh cinta sama Manahan dan juga jatuh cinta sama Ning di Pesantren,” tutur Adit panjang lebar.

Kiran terharu dengan ucapan suaminya. Sekarang Adit tak hanya memikirkan urusan sendiri tetapi juga orang lain. Kiran berharap kebersamaan ini bisa seterusnya, biar ajal yang memisahkan mereka.

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Selepas makan, Adit mengajak kembali ke suatu tempat. Dalam benak Kiran, suaminya akan mengajak ke suatu tempat yang romantis. Ternyata salah besar, mobil mewah mereka masuk jalanan kecil yang muat satu mobil mereka saja. Itu pun bukan aspal melainkan jalan agak berbatu, tubuh mereka ikut bergoyang di dalam mobil karena jalan tak rata.

“Kak, kok kita ke sini? Bukankah ini daerah Nusukan?” tanya Kiran. Entah beberapa tahun lalu, saat masih kecil Kiran pernah diajak ke sini. Namun, lupa untuk urusan apa. Menemani Abah bertemu dengan seseorang, sedangkan Kiran dan Mas Alif hanya bermain saja di kebun pisang.

“Ketemu seseorang,” balas Adit sudah menyiapkan hatinya jika nanti Kiran akan protes keras.

“Ketemu siapa?” tanya Kiran penasaran. Adit belum lama tinggal di Solo, mana mungkin bisa kenal dengan seseorang yang tinggal masuk pedalaman seperti ini.

“Pak Budiarto.”

Ucapan Adit barusan membuat tubuh Kiran langsung tak bersemangat. Ia mengira setelah akad kemarin, hubungannya dengan Pak Budiarto akan kembali ke awal. Saling tak mengenal dan tak peduli satu sama lain. Bagi Kiran, Pak Budiarto sudah seperti orang asing.

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro