🕊Cinta yang Halal🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cinta mengajarkanku akan banyak hal. Apa yang menjadi takdirku, akan tetap menjadi milikku. Jarak, ruang dan waktu tak akan menjadi sekat yang berarti, karena waktu akan mengembalikan pada rumah yang tepat

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════


Lembayung sudah berada di ufuk barat, tamu berangsur mulai berkurang karena sebentar lagi masuk waktu Magrib. Abah dan  Alif  tengah duduk bersama di ruang keluarga menantikan akan. Setelah asar, Adit dan Kiran sudah  memilih istirahat di kamar mengingat kesehatan Adit belum begitu pulih. Luka di bagian kepala akibat benturan masih sering terasa jika berdiri terlalu lama.

Pintu kamar Kiran terbuka membuat keempat orang di ruang keluarga menatap sepasang pengantin baru yang sudah bersiap untuk pergi.

“Ke mana, Nduk?” tanya Abah seperti tak rela jika anak perempuan pergi dari sini padahal putrinya sudah mempunyai pendamping. Dari dulu Abah selalu memanjakan Kiran, sampai-sampai menyuruh Alif untuk mengawasi adiknya takut terjadi sesuatu.

Kiran sendiri bingung dan tak tega melihat perubahan wajah Abah. Ia melirik ke arah Adit, membiarkan suaminya saja yang menjelaskan ke mana mereka akan pergi.

“Kita ke hotel dulu, Abah. Kebetulan juga barang-barang saya ada di sana,” jawab Adit sesopan mungkin. Adit tak bisa berlama-lama di Pesantren mengingat banyak pekerjaan yang harus ia kerjakan.

Abah mengangguk walaupun di wajah Abah tercetak kekecewaan dan kesedihan. “Jaga Kiran baik-baik.”

Kiran berjalan mendekat dan duduk di tengah-tengah kedua orang tuanya sambil menggenggam tangan Abah dan Umi. “Kiran sebelum ke Jepang, pasti balik lagi ke sini,” tutur Kiran memberikan pengertian pada orang tuanya.

Berbeda dengan Umi, wanita itu tampak lebih tegar, tak seperti Abah yang terus menunduk. Bagi Umi sendiri, sosok Adit adalah pasangan yang tepat untuk mendampingi putrinya.

“Sekarang di sini sudah tambah anggota keluarga satu orang lagi, ada Mbak Dewi yang nanti menemani Abah sama Umi,” ucap Kiran sambil melirik Dewi yang masih malu-malu duduk berdekatan dengan Mas Alif.

Dewi yang namanya disebut merasa kaget atas penyebutan panggilan itu, ingin rasanya menolak karena tak pantas seorang Ning yang ia hormati tiba-tiba harus memanggilnya dengan sebutan “Mbak.”

Abah mengangguk, hatinya sedikit lega. Walaupun belum sepenuhnya bisa mengikhlaskan. “Jangan lupa sering telepon Umi.”

Kiran mengangguk sambil mencium tangan Umi dan Abi. Kemudian bersalaman dengan Dewi sambil menempelkan pipi mereka. “Jangan takut sama Mas Alif, dia orangnya baik kok,” bisik Kiran saat berpelukan dengan kakak iparnya.

Kiran sekarang berhadapan dengan Mas Alif, nantinya bakal kangen dengan kejahilan kakaknya. “Kiran pergi dulu. Jangan lupa pesan ponakan kembar,” bisik Kiran membuat Mas Alif salah tingkah. Bagaimana tidak adiknya super jail, mengucapkan kata paling akhir sengaja dinaikkan intonasinya   hingga terdengar semua orang di sini.

Keluarga pesantren melepas Adit dan Kiran dengan rasa sedikit berat untuk berpisah. Namun, setiap perempuan pasti akan pergi mengikuti ke mana suaminya melangkah. Mobil yang mereka pakai adalah mobil yang tadi menjadi hadiah pernikahan, mengingat mobil milik Adit rusak parah karena kecelakaan.

Kiran termenung menatap gerbang pesantren yang sudah ia tinggalkan. Kenapa untuk sekarang terasa begitu berat, tak seperti saat kepergian ke Jepang? Kiran belum sepenuhnya percaya dengan hari ini, statusnya sudah berubah menjadi seorang istri dari seorang laki-laki yang tak pernah terlintas sebelumnya untuk menjadi suaminya.

“Kakak janji, sebelum ke Jepang nanti kita ke pesantren lagi,” tutur Adit sambil mengusap lembut kepala Kiran. Perempuan itu membalas dengan senyuman, Adit paling paham isi hatinya. Mobil membelah kota Solo yang masih ramai, meskipun sore akan berganti gelap. Mobil memelesat di jalan raya memasuki Kota Laweyan, setelah beberapa menit mobil memasuki hotel Alila, hotel ternama di kota Solo karena termasuk hotel bintang lima.

“Kita ngapain ke sini, Kak?” tanya Kiran yang sudah keheranan, apalagi mobil sudah memasuki basement. Adit yang ditanya hanya mengulum senyum dan melirik Kiran sekilas saja.

“Kemarin kakak menginap di sini karena kata Abah tidak boleh berdekatan selama kita mau menikah,” balas Adit yang sudah di luar membuka pintu untuk Kiran.

Kiran masih dengan bimbang dan tidak percaya saat turun dari mobil,  mata perempuan itu menyapu pandangan basement penuh mobil mewah yang sudah berjajar rapi. Seumur-umur di Solo baru pernah masuk ke hotel ini. Tangan kiri Adit menarik koper dan tangan kanan memegang erat tangan perempuan yang baru dihalalkan pagi tadi. Lift yang mereka naiki berhenti di lantai enam. Kiran masih mengikuti Adit yang sekarang sudah berdiri di depan kamar. Ketika pintu terbuka menampilkan isi dalam kamar yang luar biasa. Tempat tidur bertabur bunga dengan hiasan angsa yang terbuat dari handuk putih.

“Kita salat dulu,” ajak Adit yang sudah memasuki toilet untuk mengambil wudu. Kiran masih mengamati kamar ini, membuka sedikit tirai jendela sehingga terpampang kelap-kelip lampu kota Solo.

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Tiga rakaat ini adalah sebagai bukti salat jamaah mereka pertama setelah menikah, karena sebelumnya saat di Pesantren Mas Alif masih memimpin salat mereka. Adit memutar tubuhnya menjadi berhadapan dengan Kiran, tak lupa memberikan senyum hangat.

“Terima kasih sudah menjadi istri kakak,” ucap Adit sambil meraih tangan Kiran yang masih berhiaskan bunga, mengecupnya pelan membuat pipi Kiran bersemu merah.

“Maaf untuk yang kemarin, Kiran mengambil keputusan secara tiba-tiba sehingga mengakibatkan kakak kecelakaan,” sesal Kiran dengan wajah sedih.

“Tidak apa-apa, kakak tahu apa yang terjadi dengan kamu. Tadinya juga rencana pernikahan mau diundur tetapi Mas Alif yang meminta jika tak bisa diundur, mengingat undangan sudah disebar.”

Kiran teringat video yang ada di ponsel Mas Alif. “Video yang kakak kirim ke ponsel Mas Alif?”

Adit mengernyit keningnya. “Dikirim? Itu kan Mas Alif yang mengambil video saat di rumah sakit,” terang Adit membuat Kiran terbelalak kaget.

“Kapan Mas Alif ke Semarang? Kok bisa aku tidak tahu Mas Alif berangkat?” protes Kiran.

“Sekitar tiga hari yang lalu. Dia ke Semarang bersama salah satu santrinya. Perjalanan Solo ke Semarang sekarang bisa ditempuh kurang lebih dua jam lewat Tol Gondangrejo. Mas Alif yang meluluhkan hati Mamah agar pernikahan ini tetap dilaksanakan,” jelas Adit membuat mata Kiran berkaca-kaca. Kiran seketika memeluk Adit untuk membagi perasaan sedihnya, baru beberapa menit sudah kangen sama kakaknya.

Adit melepaskan pelukan dan menatap manik mata hitam Kiran. “Ingat kalimat terakhir yang kakak ucapkan di akhir video?”

Kiran membalas senyuman karena menahan malu kemudian memeluk Adit kembali. Membenamkan wajah di dada bidang laki-laki itu.

Stay with me,” ucap Adit dan Kiran bersamaan. Luka dan bahagia akan terjawab oleh waktu. Tinggal bagaimana menyikapi setiap kisah, memilih menyerah saat terluka atau bertahan sampai bahagia itu tiba.

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Semilir angin yang berasal dari pintu balkon kamar hotel membuat Kiran membuka matanya. Selepas salat subuh sengaja memilih istirahat kembali mengingat tak ada aktivitas di hotel ini. Breakfast  sudah disediakan pihak hotel, membuat Kiran tak perlu repot menyiapkan sarapan pagi. Tangan meraba di samping dan Kiran tak menemukan sosok Adit. Sebuah pesan tertulis di kertas yang menjelaskan bahwa jika Adit sedang berada di kolam renang yang berada di lantai hotel yang sama.

Masih dengan memakai baju piama panjang lengkap dengan jilbab instan, Kiran berjalan menyusuri jalan kecil di belakang kamar yang ditempati mereka. Sebuah kolam renang berukuran besar dengan tingkat kedalaman berbeda-beda, Adit tengah berenang sendirian karena kondisi sekarang lengang. Kiran memilih duduk di kursi malas di dekat area kolam renang. Mengetahui siapa yang datang, Adit langsung menghampiri istrinya.

“Sudah bangun? Bagaimana istirahatnya semalam Nyonya Aditya?”

Kiran tersipu menahan malu. “Katanya masih sakit kok renang? Memang luka sudah sembuh?”

“Lecet dikit doang. Sudah kebal biasa tawuran,” sahut Adit dengan sombong. Kiran hanya mencibir kemudian menatap depan. Kolam berwarna biru sama seperti langit di atas. Terasa sangat damai apalagi ditambah kehadiran pria yang dicintainya. Pertemuan pertama di depan supermarket akhirnya bisa berlanjut dalam ikatan yang halal, meskipun perjuangan sampai di detik ini penuh dengan luka dan air mata.

Dering ponsel milik Adit membuat keduanya menatap benda pipih di atas tumpukan baju dan handuk milik Adit. Laki-laki itu berjalan sambil meraih telepon untuk mengangkat sebuah panggilan telepon. Dari gaya bicara Adit yang terkesan menghindari tatapan mata Kiran membuat hati bertanya-tanya, apalagi gelagat Adit sangat mencurigakan. Entah kebohongan atau rahasia apa lagi yang sedang ditutupi karena laki-laki itu belum terus terang tentang siapa sosok sesungguhnya.

═════⊰◍●❁  To be continue  ❁●◍⊱═════

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro