🕊Gejolak Hati Kiran🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

*Dia yang tulus menyayangi akan selalu berada di samping, meskipun kamu dalam keadaan salah*

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Rasa kecewa di hati Kiran tiba-tiba datang kembali, seharusnya pertemuan ini berbuah bahagia tetapi masih ada rasa mengganjal di hatinya. Ia kembali menyusuri setiap sudut masjid siapa tahu menemukan sosok yang melahirkannya. Hati tersadar betapa bodohnya mata yang terus mencari, padahal Kiran sendiri tak paham seperti apa raut wajah istri Pak  Budiarto.

“Di mana Ibu?” tanya Kiran pada sosok pria yang berdiri di hadapannya. Ada rasa sedikit kecewa juga kenapa Pak Budiarto tidak bisa membujuk istrinya untuk datang menyaksikan akad putrinya. Paling lama satu jam di sini. Setelah itu mereka bisa saja langsung pergi dan hubungan Kiran dan kedua orang tuanya bisa kembali ke awal, pura-pura tak saling kenal dan tidak peduli.

“Ada di rumah, dia tak bisa datang ke sini. Cuma titip salam saja,” balas Pak Budiarto secara singkat tetapi sangat mengena di hati Kiran. Untung saja rengkuhan tangan Adit selalu menguatkan Kiran.

Rombongan perlahan masuk Masjid mengubah suasana sedih berganti bahagia. Siapa lagi kalau bukan keluarga dekat Adit. Ada Mamah, Kak Putri bersama suaminya, dan satu laki-laki berkaca mata yang tampak asing bagi Kiran karena mereka baru pernah bertemu. Kiran menduga jika laki-laki itu adalah kakak kandung suaminya karena postur tubuh hampir sama. Di belakang keluarga juga terdapat beberapa kerabat Adit dan teman-teman Adit, penghuni depan Supermarket ikut diboyong ke Solo. Ditangan mereka tampak beberapa bingkisan pernikahan dengan jumlah yang sangat banyak hampir memenuhi sepertiga bangunan masjid yang sekarang dijejer dekat meja akad tadi.

Mamah berjalan sambil memberikan senyum hangatnya kemudian memegang pergelangan Kiran. “Selamat atas pernikahan kalian. Pesan mamah cuma satu, jangan kembali kecewakan Adit. Dia sudah berkorban banyak untuk kamu.”

Kiran melirik ke samping, Adit tengah sibuk berfoto dengan Anton, Sony dan rekan lain. Ucapan Mamah ada benarnya juga, Adit sudah banyak berkorban untuknya. Kiran membalas dengan anggukan kemudian disusul senyum di bibirnya. Kedua perempuan itu kemudian berpelukan erat sambil melupakan pertemuan terakhir mereka saat di rumah sakit. Dugaan Kiran benar, ketika Mamah mengenalkan laki-laki asing itu adalah anak pertama Mamah yang tak lain kakak Adit. Kiran hanya menatap sekilas sambil tersenyum tanpa harus bersalaman karena bukan mahram.

Adit mengajak Kiran untuk keluar dari Masjid, tapi sebelumnya Kiran harus memenuhi permintaan suaminya.

“Kenapa mata harus ditutup?” protes Kiran yang sudah melihat sebuah kain putih yang dikeluarkan Adit dari kantung celananya.

“Namanya juga kejutan,” balas Adit siap memakaikan kain tersebut tetapi Kiran masih saja keberatan. Namun, anggukan dan senyum Mamah membuat Kiran menyetujui permintaan Adit.

Kain sudah terpasang dan Kiran tak bisa melihat apa-apa. Ia berpegangan erat pada tangan Adit, baju pengantin yang ia kenakan saja sedikit menyulitkan berjalan, ditambah mata yang tak bisa melihat apa-apa. Untung saja ada seseorang di belakang yang sedikit mengangkat baju bagian belakang untuk memudahkan berjalan.

“Kak, kita mau ke mana?” tanya Kiran yang sedikit penasaran karena Kiran menduga jika sekarang mereka berada di luar masjid mengingat angin menerpa wajahnya.

“Sebentar lagi,” bisik Adit di samping telinga Kiran membuat perempuan itu semakin penasaran. Suara-suara yang terdengar dan tepuk tangan meriah di samping kanan kiri meyakinkan Kiran jika sekarang ia menjadi tontonan tamu atau santri di pesantren. Tangan menggapai kain untuk segera Kiran lepaskan tetapi yang ada sepasang tangan muncul di depan mata Kiran. Tubuh Adit  persis di belakang Kiran sambil berbisik, “Hitungan ketiga, kamu boleh buka mata!”

Jantung Kiran semakin berdebar apalagi Adit terus mulai menghitung mundur dengan suara sedikit nyaring. Kain penutup mulai terlepas bersamaan dengan berakhirnya hitungan. Kiran mengerjap mata karena Adit mengikat terlalu kencang membuat pandangan sedikit berbayang.

Sebuah kotak berukuran raksasa, dengan pita menutup kotak yang berdiri megah di halaman masjid bagian samping. Kiran semakin penasaran karena entah kapan kotak itu ada di tempat ini. “Apa itu?” tanya Kiran rasa  penasaran luar biasa.

“Buka saja,” jawab Adit sambil menyuruh Kiran segera membuka kotak yaitu dengan menarik salah satu pita berwarna emas yang menjuntai di samping kotak itu.

Dalam hitungan detik, setelah pita ditarik bersamaan kotak itu terbuka, puluhan balon berwarna merah muda terbang ke udara. Kiran terkejut karena bahagia, tapi kejutan itu kembali datang karena di dalam kotak itu tak hanya balon melainkan ada benda berukuran besar. Mobil mewah dengan harga fantastis berhias pita dan bunga identik dengan mobil pengantin.

“Untuk kamu,” ucap Adit sambil menyerahkan sebuah kunci dari saku kantong jasnya. Suara tepuk tangan riuh berasal dari pesantren mengiringi pasangan yang bahagia.

“Ak-aku?” tanya Kiran tak percaya. Ia belum terampil mengendarai mobil, pasalnya Mas Alif selalu melarang Kiran belajar mengendarai mobil milik pesantren. Adit mengangguk sambil tersenyum. Kiran belum percaya dengan pemberian Adit,  puluhan bingkisan pernikahan saja sangat banyak di dalam. Di tambah hadiah luar biasa seperti ini. Kiran menatap ke atas, balon beterbangan hendak menyentuh langit biru.

“Aku tidak bisa menyetir mobil,” ucap Kiran dengan lugu membuat Adit gemas.

“Nanti kakak ajarin,” balas Adit dengan tenang. Sebuah kerutan muncul di dahi Kiran yang tak tertutup kerudung.

“Tapi gak pakai nabrak truk, ‘kan?” Pertanyaan Kiran membuat Adit terkekeh geli. Entah itu pertanyaan atau sindiran. Beberapa hari yang lalu nyawa Adit menjadi taruhan di jalan raya. Jika Allah tak sayang mungkin Adit sudah istirahat selamanya.

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Panggung yang sudah berdiri gagah sekarang berisi dua pasang pengantin yang sudah sibuk menyalami tamu yang hadir. Ratusan tamu sudah memadati tenda depan pesantren. Abah sendiri tidak menghendaki para tamu memberikan hadiah atau sumbangan. Niat Abah menyuruh tamu datang untuk membagi rasa syukur dan bahagia atas  pernikahan kedua putra-putrinya. Ia hanya mencari keberkahan saja tanpa harus menerima sumbangan dari yang datang. Tamu tak henti berdatangan,  Abah sempat merasa takut jika para tamu akan kekurangan dalam suguhan.  Namun, itu tak terjadi karena rezeki datang  dari mana saja.

Kadang kalau rasa ikhlas itu benar-benar dari lubuk hati yang dalam, pertolongan Allah itu tetap ada tanpa disadari. Buktinya para tamu tak merasa kekurangan bahkan merasa dimuliakan dari pihak pesantren. Tak lain sosok tersebut  Putri yang terus mengontrol jamuan konsumsi, kebetulan perempuan itu memang mempunyai bisnis kuliner di kota ini.

“Capek?” tanya Kiran melihat Adit yang sudah terlihat lelah. Adit mengangguk, ia butuh #bantal untuk menyangga kepala yang masih nyeri. Tamu Abah dan Mas Alif masih terus berdatangan, mengingat undangan yang disebar sangat banyak. Kiran memilih undur diri dari panggung. Rekan Adit dan sahabat Kiran sudah banyak yang ditemui termasuk teman kuliah dan rekan dari Teman Satu Atap yang selalu support Kiran saat terpuruk. Biarkan Mas Alif dan Abah yang menemui tamu, lagian juga selama ini Kiran tak berperan penting di Pesantren.

Saat menuruni tangga punggung, pikiran tertuju pada seseorang tadi pagi. Hati kecilnya ingin bertemu lagi karena masih ada satu pertanyaan khusus yang belum sempat ia tanyakan. Namun, sepertinya orang itu sudah tak ada di depan mata. Sejak kedatangan tamu yang membludak, Kiran sempat mengabaikan orang itu.

“Cari siapa?” tanya Adit melihat gelagat istrinya yang aneh.

“Bukan siapa-siapa,” balas Kiran menyembunyikan kekecewaannya. Ia kembali berjalan menyusuri jalan sempit belakang panggung yang menuju rumah.

“Sejak kapan kamu berbohong dan menyembunyikan sesuatu dari Kakak,” tuduh Adit sambil mengubah nada suaranya. Tak memarahi atau pun menasihati. Ia berharap Kiran terbuka jika ada sesuatu yang menjadi beban pikirannya. Kiran berbalik dan menatap suaminya, laki-laki ini sangat peka dengan apa yang sedang ada di pikiran Kiran.

“Kamu lagi cari bapak kandung kamu, ‘kan?” tebak Adit. Kiran sedikit tersentak kaget, ia masih kurang suka penyebutan yang melekat pada pria itu.

“Pak Budiarto,” terang Kiran sambil menekankan nama itu. Suara musik di panggung masih terdengar jelas sama seperti suasana hatinya sekarang sedang gundah gulana.

“Beliau setelah akad buru-buru berpamitan pulang. Pak Budiarto sempat berpesan pada kakak untuk menyampaikan sama kamu jika beliau minta maaf dan mendoakan yang terbaik untuk kita,” balas Adit dengan sangat hati-hati agar tak melukai hati Kiran yang sangat sensitif. Mungkin ini adalah tugas Adit yang paling berat yaitu mendamaikan kembali hubungan anak dan bapak.

‘Sudah seperti tamu saja. Datang jika diundang setelah itu pergi begitu saja tanpa sebuah beban,’ jerit Kiran dalam hati. Rasa kecewa yang bertambah dua kali lipat di hari bahagianya.

═════⊰◍●❁  To be continue   ❁●◍⊱═════

Author up sampai part 25 saja ya nanti sama kaya di fb, sesuai ketentuan penerbit 6 part tambahan ada di versi cetak🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro