🕊Rahasia Dibalik Setoran Hafalan 🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebuah bahtera akan membutuhkan nahkoda dalam menghadapi deburan ombak yang menghadang demi mencapai surga penuh keindahan.


═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Di dalam kamar yang  berukuran sekitar lima meter, Alif dan Dewi sekarang berada di sana. Alif sendiri sengaja menghindar saat Kiran bertemu dengan bapak kandungnya. Alasan untuk memilih pergi karena ia tak mau melihat kesedihan itu lagi dan di samping Kiran juga sudah ada Adit yang akan menjaga dan menemani Kiran selamanya. Tugas Alif sekarang sudah selesai.

Dewi masih berdiri dengan bingung mengamati kamar yang biasa di tempati oleh Gus di Pesantren ini. Sebuah ruangan dengan tembok berwarna abu-abu. Di pojok ruangan terdapat rak buku besar tempat Gus menaruh beberapa Kitab dan Al Quran. Di ruangan ini, sama sekali tidak ada dekorasi seperti kamar pengantin pada umumnya.

Laki-laki yang sekarang menjadi suami Dewi tengah sibuk dengan ponselnya, entah sedang berkirim pesan kepada siapa, Dewi enggan untuk menanyakan. Lidah terasa kelu karena masih kaku untuk menyapa atau bertanya karena baru pernah berdekatan dan satu ruangan bersama Gus.

Alif menatap heran dengan Dewi yang masih kebingungan di dekat #pintu. “Kenapa berdiri di situ. Mari duduk di sini,” ucap Alif sambil menepuk samping tempat ia duduk di tepi ranjang.

Dengan perasaan tak menentu, Dewi berjalan pelan mendekati laki-laki yang sudah kembali dengan layar ponselnya. Dewi memilih duduk di atas lantai yang beralasan karpet tebal. Sontak Alif terkejut dan meletakkan ponsel kemudian memegang pergelangan tangan Dewi dan menyuruhnya untuk duduk di sampingnya. “Kenapa duduk di bawah?” tanya Alif masih dengan wajah herannya.

Dewi masih menundukkan pandangan tak berani menatap Gus Alif. Laki-laki yang selama ini digandrungi oleh santriwati di sini. Mereka berharap menjadi istri Gus, tapi keberuntungan jatuh pada Dewi membuat iri perempuan lain yang sudah menaruh hati pada Gus.

“Afwan Gus, ada yang —“

“Sebentar. Kenapa kamu memanggil saya dengan sebutan Gus. Saya sekarang adalah suami kamu,” sela Alif memotong ucapan Dewi sambil meraih kedua tangan Dewi dengan punggung tangan yang sudah dilukis hena sama seperti Kiran.

Dewi pelan melepaskan tangan Gus dengan sangat hati-hati takut menyinggung perasaan Gus Alif. Dewi juga belum terbiasa bersentuhan seperti ini, tubuh mendadak lemas, ditambah deru jantung berpacu cepat. Dewi berdoa semoga denyut jantung tak terdengar sampai ke telinga Gus.

“Afwan, Gus. Bisa tolong dijelaskan kenapa Gus memilih saya untuk menjadi istri Gus. Saya santri biasa di Pesantren. Saya tidak memiliki kelebihan apa-apa, hafalan saja masih seperti kemarin.  Sejak Gus melamar, saya tidak konsentrasi menghafal lagi. Di luar sana masih banyak Ning atau perempuan yang lebih bagus dari segi akhlak dan agama jika dibandingkan dengan saya yang masih fakir ilmu agama Islam. Maafkan saya karena lancang bertanya seperti ini,” tutur Dewi dengan panjang lebar. Netra masih menunduk menatap ke bawah.

Deheman suara Gus membuat Dewi berjingkat kaget. Ruangan kamar ini mendadak seperti lemari es.

Alif masih belum menjawab pertanyaan Dewi, ia mengamati istrinya yang masih ketakutan, bulir keringat juga menetes keluar dari dalam kerudung membasahi kening Dewi. Dengan sigap, Alif mengambil tisu di atas nakas dan mengusap pelan keringat itu dengan hati-hati tanpa merusak riasan. Posisi Dewi semakin terpojok, merutuki bibir karena sudah lancang berkata seperti itu.

“Mau tahu alasan saya meminta kamu untuk jadi istri saya?”

Dewi mengangguk dengan mantap sambil melirik ke arah wajah di depan, sayangnya Gus Alif tengah menatapnya, membuat Dewi kembali menunduk.

“Kamu sudah lolos dengan ujian yang saya berikan,” balas Alif secara singkat.

Dewi terkejut, mau tak mau menatap Gus Alif. “Ujian? Ujian apa? Kapan ujiannya? Pembimbing materi kelas Dewi itu Ustazah Nikmah, bukan Gus,” berondong Dewi panjang lebar karena dirinya merasa tak mengikuti ujian yang diberikan Gus Alif.

Alif tersenyum sambil mengusap pelan ubun-ubun Dewi dengan lembut. “Saat kamu menyetor hafalan juz dua puluh tiga kemarin.”

“Bukankah itu hukuman yang Gus berikan karena saya tidak mencegah dan membiarkan Ning pergi begitu saja?”

Alif kembali membalas dengan senyuman, ia memang melamar Dewi secara tiba-tiba. Sebenarnya ingin berterus terang dari pertama saat dirinya mulai tertarik dengan Dewi. Namun, karena masalah adiknya yang bertubi-tubi membuat Alif mengurungkan menyatakan perasaan kepada Dewi secara jelas.  Tubuh Alif merosot ke bawah tepatnya berlutut di atas lantai. Tangan Alif menggenggam tangan Dewi yang sudah kelewat dingin.

“Saya sendiri pernah kesulitan menghafal juz dua puluh tiga. Di sana ayatnya pendek dan banyak pengulangan kata. Jika yang membaca tidak jeli pasti akan salah dalam menghafalkannya. Saya lihat kamu bisa walaupun ada salah sedikit tapi itu masih wajar.”

Dewi menelan ludah pekatnya, andai saja semua tahu untuk meluluhkan Gus Alif hanya dengan hafalan itu pasti semua berlomba-lomba mendapatkan Gus. Jodoh itu unik karena datang tak disangka-sangka.

“Boleh saya meminta sesuatu dari Dewi?” tanya Gus Alif menatap manik mata Dewi. Laki-laki itu tak sekalipun bisa mengalihkan pandangan untuk menatap sosok itu, perasaan hangat menyelubungi menggetarkan jiwanya. Ternyata jatuh cinta pada cinta yang halal terasa berbeda karena akan berbuah pahala.

“Minta apa Gus?” balas Dewi dengan gusar karena mendapatkan tatapan seperti itu membuatnya risi. Belum tangan Gus masih memegangnya dengan erat tetapi terasa lembut sampai terasa hatinya.

“Jangan panggil saya Gus.”

Dewi kembali salah tingkah. Berdua di ruangan seperti ini, Dewi sudah dibuat cemas apalagi harus memanggil Gus dengan sebutan lain. “Insyaallah nanti saya akan coba, Gus. Eh Mas,” jawab Dewi sambil tersenyum karena kembali salah dalam memanggil. Untung saja Gus Alif tidak langsung menghukumnya kembali dengan setoran hafalan lagi. Berdekatan dengan laki-laki nomor satu di Pesantren membuat semua hafalan yang sudah melekat di otak Dewi entah tiba-tiba melesap ke mana.

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Ketegangan juga terjadi di dalam masjid, Kiran masih enggan bersalaman dengan Pak Budiarto. Bagi  Kiran,  laki-laki itu sama saja seperti orang lain, sama seperti tamu yang hadir. Entah mengapa ikatan batin mereka sama sekali tak ada. Memang Kiran mengakui pernah melihat sosok itu tetapi entah itu di mana.

Abah sudah dua kali menyuruh Kiran tetapi perempuan itu masih bergeming tak beranjak dari tempat ia berdiri. Adit bisa memahami Kiran karena ia pernah berada di posisi itu. Ini adalah tugas pertama Adit sebagai suami setelah menikah. Adit melepas tangan kanan yang digenggam Kiran kemudian menggantinya dengan tangan kiri tetap menyatu dengan Kiran. Tangan kanan meraih punggung tangan bapak mertua dan mengecupnya dengan sopan.

Adit menatap Kiran dengan ekor mata mengarah kembali ke pria itu sebagai isyarat agar Kiran mau melakukan apa yang barusan ia contohkan. Kiran memantapkan hatinya setelah melihat kembali senyuman dari Adit, akhirnya mau tak mau meraih tangan dengan warna kulit hitam legam ditambah otot yang timbul di sana menandakan orang ini termasuk pekerja keras. Kiran masih ragu tetapi ia akhirnya menggapai tangan itu kemudian mengecupnya singkat.

“Kirania,” batin Pak Budiarto tak sanggup menahan rasa bahagianya. Sebuah tetes air mata dari netra Pak Budiarto membasahi kerudung yang dikenakan putrinya. Pertemuan yang diimpikan selama puluhan tahun akhirnya terlaksana juga.  Tadinya sempat berpikir pertemuan seperti ini tak terjadi sampai akhir tutup usia. Tangis haru seorang bapak yang sudah menyelesaikan kewajiban menjadi wali nikah.

Kiran sendiri masih melihat sosok kanan kiri berharap menemukan sosok yang melahirkannya tetapi sepertinya tidak ada. Laki-laki yang mengaku bapak ternyata datang sendirian. Ada rasa kecewa kembali hadir karena Kiran juga ingin mengetahui siapa sosok wanita yang bernama ibu.

═════⊰◍●❁  To be continue   ❁●◍⊱═════

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro