24. Mama Kiano

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Apa itu benar, Om Nicky?"

Raut wajah Mikail membeku, menekan dalam-dalam ketegangan yang meremas dadanya.

"Ya, jagoan. Kau harus mendengar apa yang dikatakan oleh papamu."

Bibir Mikail menipis tajam akan jawaban Nicholas yang berada di tengah-tengah. Tak memberinya keamanan sekaligus tak memperburuk keadaan. Tersirat dengan jelas rencana yang licik di kedua mata pria itu. Mikail bisa melihat dengan jelas.

Akan tetapi, setidaknya jawaban Nicholas mampu menghentikan rasa penasaran yang menghiasi wajah sang putra. Mikail berhasil membujuk Kiano kembali ke pesta setelah Nicholas memberikan hadiah dari pria itu untuk Kiaono yang diletakkan di meja.

Dan setikdaknya Kiano tak mempertanyakan fakta itu lebih banyak lagi. Ataupun menyinggung tentang ibu kandung. Seperti biasanya. Acara malam itu berlangsung dengan lancar, senyum dan kebahagiaan di wajah Kiano kembali seperti semula. Sepanjang acara.

Mikail berharap Kiano tak pernah lagi mempertanyakan hal ini sampai kapan pun. Dan harapan itu hanya bertahan dalam hatinya saja. Ketika esok hari pagi-pagi sekali, Mikail harus pergi keluar kota. Dan pulang terlambat hanya untuk menemukan kejutan yang begitu mencekik dadanya.

"Apa?" Kedua mata Mikail melebar dengan tajam. Menatap sang pelayan dengan ekspresi mematikan yang seketika membuat pelayan tersebut beringsut ketakutan. Setelah seharian penuh ia mengurus proyek di luar kota, memaksa pulang tengah malam karena tak ingin Kiano bangun pagi hari dan makan pagi tanpa ada dirinya.

Ia sudah merasakan firasat buruk ketika mobilnya berpapasan dengan mobil dokter keluarganya di gerbangn tinggi. Dan begitu menginjakkan kaki di teras rumah, salah satu pelayan yang bertanggung jawab menjaga putranya langsung melaporkan tentang putranya yang tiba-tiba demam.

"Bagaimana dia bisa sakit, hah? Dan bagaimana aku baru mengetahuinya sekarang?!"

"Sejak tadi pagi tuan Kiano sama sekali tidak memakan makanannya."

"Kenapa baru sekarang kau memberitahuku?!" bentak Mikail hingga suaranya bergema di tengah udara malam.

"M-maafkan kami, Tuan. T-tapi ... kami sudah berusaha memberikankabar pada An..."

"Nomormu tidak bisa dihubungi, Mikail." Suara Alicia menyela dari arah belakang kedua pelayan yang masih menunduk takut di depan Mikail. "Nomor Jims juga."

Mikail teringat akan lokasi lahan proyeknya yang belum terjangkau oleh jaringan internet. Yang membuat segala hal harus dilakukan secara langsung. Mikail pun menggeram marah pada dirinya sendiri. Kesibukannya membuatnya melupakan untuk mencari tahu kabar tentang Kiano.

"Dokter Kinan sudah memeriksanya dan memberinya obat penurun panas. Jika panasnya belum turun dalam dua jam, kita akan menghubunginya," jelas Alicia menambahkan.

Mikail mengangguk singkat akan penjelasan Alicia. Bergegas masuk ke dalam rumah dan naik ke lantai dua. Langsung mengarah ke kamar Kiano yang ada di samping kamar utama.

Saat ia membuka pintu kamar Kiano, putranya berbaring di tengah tepat tidur berbentuk mobil dengan selimut sebahu. Wajah putranya terlihat pucat dengan kompres yang menempel di kening. Dada Mikail serasa ditekan dalam-dalam. Ia benci melihat putranya kesakitan. Berbaring tak berdaya di tempat tidur.

Bayangan ketika Megan berbaring di ranjang pasien. Seluruh tubuh yang dipenuhi keringat karena suhu tubuh yang terlalu tinggi. Wajah yang pucat pasi dan bibir kering, wanita itu terlihat begitu lemah dan tak berdaya. Dengan perutnya yang besar, wanita itu berjuang demi anak dalam kandungannya. Mikail tak bisa menampik pengorbanan yang diberikan wanita itu untuk Kiano.

Jantungnya serasa diremas dengan keras. Menyesakkan dadanya, membuatnya kesulitan meraih napas dengan limpahan udara yang berada di sekelilingnya. Sama seperti yang ia rasakan saat ini.

Alicia yang mengekor di belakang Mikail, berjalan mendekat dan berhenti tepat di belakang pria it. Tangannya terulur, menyentuh pundak Mikail dan memberikan sedikit tekanan untuk pria itu. "Dia akan baik-baik saja, Mikail."

Mikail tetap tak bisa tenang. Membawa telapak tangan Kiano dengan sehati-hati mungkin. Takut jika gerakannya sedikit lebih keras akan membangunkan dan mengganggu istirahat Kiano. Suhu badan Kiano masih tinggi. Tetapi setidaknya putranya tidak kejang seperti yang selalu ia khawatirkan.

"Bersihkan dirimu, Mikail. Aku akan menjaganya untukmu."

Mikail menyadari pakaian dan sepatunya yang masih kotor. Ia pun beranjak dan bergegas membersihkan tubuhnya dengan singkat dan seperlunya. Dan tak sampai sepuluh menit sudah kembali ke kamar Kiano dengan pakaian yang sudah bersih.

"Kau harus istirahat, Alicia. Kembalilah ke kamarmu."

"Aku baik-baik saja. Aku akan menemanimu."

Mikail menggeleng. "Tidak perlu, Alicia. Kau sedang hamil dan butuh banyak istirahat. Biarkan aku mengurusnya sendiri."

Segurat kecewa melintasi pandangan Alicia, yang segera menghilang ketika wanita itu menguasai dirinya dengan baik. Alicia pun bangkit dan berpamit keluar. Kembali ke kamarnya.

Saat hendak menutup pintu, pandangan wanita itu sempat tertegun menatap punggung Mikail yang sama sekali tak melepaskan pandangan pada Kiano. Kedua tangan pria itu menggenggam tangan Kiano dan kekhawatiran begitu memekati wajah Mikail. Tangan Alicia bergerak mengelus perutnya, dengan sebuah ringisan yang pedih. Sebelum kemudian benar-benar menutup pintu kamar Kiano.

Sudah dua jam berlalu dengan penuh penyiksaan bagi Mikail. Akhirnya pria itu bisa sedikit bernapas. Panas Kiano mulai menurun dan saat ia menghubungi dokter Kinan, dokter itu mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Meski begitu, Mikail tetap menyuruh dokter Kinan untuk datang ke rumahnya keesokan harinya.

Mikail meletakkan ponselnya di meja lampu putranya. Saat itulah pandangannya yang tertunduk tanpa sengaja melihat laci meja kecil itu yang tidak tertutup dengan rapat. Mikail berniat menutupnya, tetapi sesuatu di dalam laci tersebut menahan pintu laci dan tidak bisa tertutup dengan sempurna.

Mikail pun membuka lacinya hendak memperbaiki letaknya sehingga bisa ditutup. Akan tetapi, benda pipih berwarna biru tua yang cukup besar sekaligus familiar dan tidak seharusnya berada di tempat ini mengejutkannya.

Kedua mata Mikail membelalak. Seluruh tubuhnya membeku mengenali benda itu sebagai album foto. Yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak pernah ia sentuh.

Mikail menelan ludahnya sambil mengambil album foto tersebut, menatap wajah putranya dan bertanya-tanya bagaimana benda itu bisa ada di sana. Napasnya tertahan dan tangannya bergerak gugup ketika membuka album foto tersebut di lembar pertama.

Halaman pertama berisi tiga lembar foto-foto mesranya dengan Megan. Lembaran kedua foto pernikahan mereka. Berlanjut ke lembaran berikutnya yang berisi perjalanan kisah mereka yang dipenuhi kebahagiaan. Setidaknya ... sampai mendekati lembaran terakhir yang berisi foto kehamilan Megan. Dan hanya ada kebahagiaan yang terlihat dari gambar-gambar tersebut. Selesai di foto terakhir, ketika Megan duduk di pantai, dengan perutnya yang besar. Dan itu adalah foto terakhir yang ia ambil ketika mereka berlibur di pantai. Kenangan terakhirnya kebersamaannya dengan Megan. Sama seperti gambar terakhir yang ada di album tersebut. Lembaran berikutnya kosong. Tak ada apa pun karena ia menyimpan album itu di sudut terdalam laci di ruang kerjanya. Yang entah bagaimana bisa Kiano temukan.

'Apakah Kiano sudah melihat semua gambar ini?' Pertanyaan itu datang menerjang ketenangan yang selama ini berusaha ia tata dalam hidup barunya yang tanpa Megan.

"M-mama ... m-mama ..." Suara gumaman yang begitu lirih membangunkan Mikail dari lamunannya. Kedua mata Mikail yang berkaca mengerjap dan wajahnya bergerak melihat putranya.

Kepala Kiano bergerak dengan gusar dan tak berhenti meracau memanggil kata 'mama' yang meremas dada Mikail dalam ketercengangan.

"Sshhh ..." Mikail mengelus lembut kepala mungil Kiano. Suhu badannya sudah normal, tetapi wajah putranya masih terlihat pucat. Hingga akhirnya, kedua mata Kiano perlahan membuka, mengerjap beberapa kali hingga biasa melihat dengan jelas wajah sang papa.

"Papa?"

"Hai, papa di sini." Mikail berusaha tersenyum di balik kekhawatiran dan kecamuk emosi yang memenuhi dada dan pikirannya. "Minum?"

Kiano mengangguk dan Mikail pun mendudukkannya. Memberikan gelas berisi air putih. Kiano meminumnya hanya beberapa tegukan demi membasahi tenggorokannya.

Dan saat Mikail mengembalikan gelas di meja kecil, tubuh pria itu kembali dibuat menegang oleh pertanyaan yang diajukan Kiano dengan tiba-tiba.

"Kenapa mama meninggalkan kita?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro