25. Lebih Baik Mati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mikail membeku. Jelas itu adalah sebuah pertanyaan yang besar.

"Apa mama tidak menyayangi Kiano?" Keantusiasan memenuhi kedua mata bulat Kiano. "Apa mama tahu siapa Kiano?"

Lagi, bibir Mikail dibuat membeku. Tak mengatakan apa pun adalah cara teraman untuk menghadapi situasinya saat ini.

Jika ia menjawab yang sesungguhnya, pun semua kesalahan berada di pihak Megan. Tetap saja jawaban itu akan membuat Kiano tersakiti.

"Apakah itu sebabnya mama meninggalkan Kiano saat itu? Karena tidak tahu siapa Kiano yang sebenarnya?"

Rasa panas menjalar di kedua ujung matanya, belum pernah Mikail merasa seterpojok ini. Nicholas benar, Kepercayaan dirinya belum pernah diruntuhkan sehancur ini oleh siapa pun. Tak ada yang berani melakukan hal segila itu padanya, bahkan memikirkannya pun tidak.

Melihat kerinduan yang begitu besar menyelimuti kedua mata biru itu, Mikail tahu segala hal yang telah ia berikan dan limpahkan pada putranya tidak melengkapi kekosongan hati Kiano. Bahkan mungkin tak pernah. Dan betapa tak becusnya dirinya tidak pernah mengetahui hal itu. Tidak pernah memahami apa yang sesungguhnya putranya inginkan.

Mikail belum pernah merasa setertohok ini di sepanjang umurnya. Pun ketika Megan menginginkan berpisah darinya. Tak hanya gagal sebagai seorang suami, sekarang pun ia merasa gagal menjadi seorang ayah. Dan betapa ironi semua sikap ini, dengan ketidakbecusan itu ia mengharapkan menjadi seorang ayah yang sempurna bagi Kiano.

"Atau ... apakah Kiano bukan anak yang baik sehingga ..."

Mikail merangkum wajah mungil Kiano dengan kedua telapak tangannya. Menggelengkan kepalanya dengan pelan sembari menyela kalimat pedih yang diucapkan oleh putra semata wayangnya tersebut. "Tidak, sayang. Tidak seperti itu."

Kiano terdiam, menatap kedua mata biru Mikail lekat-lekat. Menunggu.

Mikail pun membalas tatapan putranya dalam-dalam. Dan setelah mempertimbangkan selama beberapa saat, tatapan penuh harapan teramat besar yang tak yakin akan mampu ia penuhi membuat kepalanya bergerak mengangguk. "Bukan karena jagoan papa anak yang tidak baik, tapi ... mamamu tak tahu siapa Kiano yang sebenarnya. Ini hanya rahasia kita berdua."

"Sampai kapan Kiano harus berpura tak mengetahui rahasia ini di hadapan tante cantik?" Kiano tediam. "Bolehkah Kiano memanggilnya mama?"

Mikail kembali membeku dalam keterdiaman. Kemudian ia menarik napas panjang dan dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. "Bagaimana kalau kita membahas hal ini setelah kau sembuh?"

Kiano tampak tak setuju, tetapi kemudian mengangguk.

"Apa pun alasan yang membuat kita terpisah seperti ini. Percayalah, kami sangat bahagia memilikimu, Kiano. Kami menyayangimu. Hanya saja ...." Mikail memberi jeda sejenak. "Kau tahu, terkadang orang dewasa memiliki masalah yang anak kecil tidak perlu tahu. Dan kau hanya perliu percaya bahwa kau adalah hal terindah yang pernah kami miliki. Hingga detik ini." Mikail membawa tubuh mungil Kiano ke dalam pelukannya. Mendaratkan kecupan yang dalam dengan segenap perasaan kasih sayang yang pria itu miliki untuk putra semata wayangnya.

"Sekarang istirahatlah. Besok pagi dokter akan datang untuk memeriksamu lagi." Mikail mengurai pelukannya dan mengembalikan putranya ke tempat tidur.

Kiano mengangguk lalu berbaring dan menarik selimut hingga ke dada dengan sikap yang patuh. Sambil menatap wajah Mikail, akhirnya bocah kecil itu pun kembali terlelap beberapa saat kemudian. Setelah yakin putranya tertidur, Mikail memasang lampu dalam mode tidur dan beranjak keluar.

Dan butuh saat lebih lama untuk memutuskan dan menekan egonya, sebelum kemudian menuju carport mobil dan menumpangi salah satu mobil terdekat yang bisa didapatkannya. Melaju meninggalkan kediamannya. Dan ia hanya memiliki satu tempat untuk dituju.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika Megan baru saja selesai membersihkan diri setelah sepanjang hari menghabiskan waktu hanya meringkuk di tempat tidur.

Jelita masih tak bisa dihubungi dan Nicholas masih tak berhenti menghubunginya. Mengiriminya dengan ratusan pesan yang tak dibukanya. Ribuan permintaan maaf tak berhenti terucap di dalam hatinya, dengan penuh penyesalan.

Sekian tahun ia habiskan untuk merasa jijik dan muak akan obsesi Nicholas terhadapnya. Dan hanya sedikit waktu yang ia miliki bersama Nicholas untuk mengetahui sosok seperti apakah Nicholas yang sebenarnya.

Ketulusan Nicholas berhasil menyentuh hatinya. Kata-kata dan harapan yang diberikan pria itu berhasil menguatkan hatinya.

'Kau hanya melakukan kesalahan, Megan. Dan siapa pun berhak mendapatkan kesempatan untuk memperbaikinya. Sekarang kau mencoba memperbaikinya. Dan itu yang terpenting.'

Kalimat Nicholas terngiang kembali di benaknya. Meski Megan sendiri tak yakin dengan situasi yang tengah menjebak dirinya saat ini. Mikail menggunakan Jelita untuk mengancamnya agar tidak kembali ke kehidupan baru pria itu dan anak kandungnya yang dipenuhi kebahagiaan.

"Jelita?" gumam Megan lirih. Menatap ponselnya dengan ragu dan ... haruskhah ia menghubungi Mikail demi memastikan bahwa keadaan Jelita baik-baik saja. Setidaknya agar dirinya bisa memejamkan matanya malam ini

Setelah menunggu dan ketiga penggilannya tidak dijawab oleg Megan, wanita itu pun menyerah. Membanting tubuhnya ke tengah tempat tidur sambil menatap langit-langit. Berdoa di mana pun Jelita berada, wanita itu akan selali baik-baik saja apa pun yang terjadi.

Jelita sudah seperti saudara perempuannya. Hanya wanita itu yang bertahan dengan segala kecerobohan dan sifat keras kepalanya serta kerewelannya dama segala hal. Wanita itu menemaninya sejak karirnya berada di titik terendah. Dan seorang Jelita bahkan rela mengemis kesempatan di saat ia sendiri sudah menyerah pada kehidupan dan persaingan yang semakin menggunung.

Megan berharap Mikail tidak melakukan sesuatu yang serius pada Jelita. Dan seharusnya pria itu tidak melakukan apa pun karena ia sudah menuruti semua yang diinginkan Mikail darinya.

Di tengah-tengah lamunannya, suara bel apartemen yang ditekan dengan membabi buta mengalihkan perhatian wanita itu. Megan menajamkan pendengarannya dan suara belnya memang berbunyi.

Megan pun bangkit berdiri meski tak yakin siapa yang bertamu ke apartemennya sepagi ini. Saat Megan keluar dari kamarnya, suara bel itu semakin nyaring dan siapa pun yang tengah menekannya, Megan yakin pria itu sudah gila.

Megan berpikir itu adalah perbuatan Nicholas yang sedang marah karena ia mengabaikana semua panggilan dan pesan teks pria itu. Tetapi ... dari layar intercom, Megan dikejutkan oleh sosok pria yang berdiri di depan pintu apartemennya tak lain dan tak bukan adalah Mikail Matteo.

Kedua mata Megan melebar, dan ia langsung bergerak menuju pintu. Membukakan pintu untuk pria itu.

"Aku sudah menuruti apa yang kau inginkan, Mikail," sembur Megan begitu pintu apartemen berhasil ia buka. "Sekarang kembalikan Jelita padaku."

Mikail hanya menyeringai, kemudian terbahak dengan keras sehingga Megan bisa mencium bau alkohol yang begitu tajam dari mulutnya.

Megan bergerak mundur, menjauh dari Mikail. Wajahnya memucat, dalam ingatannya, Mikail dan alkohol bukanlah hal baik. Apa pun yang tengah pri itu hadapi saat ini, jelas adalah suatu hal yang besar dan buruk. Karena Mikail tak pernah menyentuh alkohol hanya karena pria itu ingin. "K-kau mabuk?"

Mikail melangkah maju, dan terlambat bagi Megan untuk menutup pintu. Mendorong tubuh Megan kembali masuk lalu membanting pintu apartemen dengan keras.

"Apa sekarang kau puas, Megan?" desis Mikail dengan gurat amarah yang menggaris tajam di wajah pria itu. Berjalan semakin dekat hingga membuat Megan terhuyung ketika mencoba melompat menghindar. Tetapi pinggangnya ditangkap oleh Mikail dan mendorong kedua tubuh mereka hingga merapat ke dinding. "Kau sudah merencanakan semua ini, kan? Ck, aku kehilangan kata-kata untuk kelicikanmu."

Megan memiringkan wajahnya ke samping. Napas panas Mikail yang bercampur alkohol benar-benar membuatnya perutnya bergejolak. "L-lepaskan, Mikail. Aku tak tahu apa yang kau katakan."

"Kau harus bertanggung jawab." Mikail mencengkeram rahang Megan, membawa kedua mata wanita itu menatap lurus ke arahnya. "Aku akan membuatmu membayar mahal, Megan. Kau pikir bisa mempermainkan kami sesuka hatimu. Datang dan pergi di kehidupan kami kapan pun kau inginkan, hah?"

Megan meringis merasakan tekanan yang kuat di wajahnya. Nyaris meremukkan tulang rahangnya. Membuatnya kesultan mengerang tanpa rasa sakit. Dan meski erang kesakitannya berhasil lolos dari bibirnya, Megan tak yakin Mikail pun akan peduli. Tubuhnya dihimpit oleh tubuh besar pria itu, memastikan dirinya tak bisa bergerak.

"Kehidupan kami dipenuhi ketenangan tanpamu, Megan. Kenapa kau harus kembali?"

Air mata mengalir dari ujung kelopak mata Megan.

"Kenapa kau harus kembali dan dengan tak tahu malunya kau mencoba merebut apa yang sudah kau buang."

"M-mikail," rintih Megan. "Kumohon hentikan."

"Satu-satunya jalan untuk menyelesaikan permasalahan ini hanya satu, Megan. Dan hanya satu. Hanya satu kesempatan yang akan kuberikan padamu."

Mikail berhenti merintih. Kemarahan di kedua mata Mikail masih sangat kental. Tetapi keseriusan yang tersirat dari wajah dan nada suara pria itu juga lebih kuat dari yang Megan pikirkan.

Apakah baru saja Mikail memberinya sebuah kesempatan?

Kesempatan untuk apa?

"Enyah dari kehidupan kami, Megan. Kau tak benar-benar tahu apa yang kau inginkan tentang Kiano. Sama seperti pernikahan kita yang kau inginkan?"

Seluruh tubuh Megan membeku. Dadanya seperti tertendang oleh kaki besar yang tak kasat mata. Dengan air mata yang mengalir lebih banyak jatuh ke pipinya.

"A-apa maksudmu, Mikail?"

"Aku memutuskan kerja sama kita."

Kepucatan di wajah Megan tak tertolong lagi. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, meski gerakan itu semakin menyakiri rahangnya yang dicengkeram oleh Mikail.

"Aku akan mengembalikan Jelita dan memastikan dia baik-baik saja. Sebagai gantinya, kau harus meninggalkan negara ini. Menghilang dari hidup kami untuk selamanya. Dan jangan merasa penasaran seperti apa dan bagaimana kehidupan kami."

"Aku lebih baik mati, Mikail."

Mikail mendengus. Kemudian melepaskan tangannya dari wajah Megan yang basah sekaligus menjauhkan tubuhnya dari tubuh wanita itu.

Tubuh Megan jatuh meluruh ke lantai, bersama isak tangisnya yang diselimuti kepiluan.

Mikail menguatkan hati menatap sang mantan istri. Bibirnya menipis tajam, ketika kebencian akan melihat tangisan wanita itu mulai memanjat naik ke dalam hatinya. Kemudian dengan ekspresi dingin dan datarnya, pria itu berkata dengan tanpa hati, "Setidaknya aku tak perlu membual tentang bagaimana kepengecutanmu sebagai alasan kenapa kau meninggalkan kami pada Kiano."

Isak tangis Megan semakin mengeras, wajahnya yang basah menengadah menatap Mikail yang berdiri menjulang di depannya. Permohonan dan penyesalan sebesar apa pun yang berusaha ia yakinkan pada Mikail dalam pandangannya sama sekali tak berhasil melelehkan hati pria itu.

"Aku tak bisa hidup dengan menanggung penyesalan sebanyak ini, Mikail."

"Baguslah," dengus Mikail. Dengan seringai kejamnya, pria itu berbalik dan

"Mikail?" Suara memanggil Megan yang bercampur isak tangis ketika Mikail melangkah mencapai pintu. "Aku tak pernah berhenti mencintaimu."

Langkah Mikail membeku, tangannya sudah memutar gagang pintu tetapi ikut terhenti. "Aku tak pernah berhenti melupakan kalian berdua. Dan aku tak pernah berhenti mengucapkan maaf pada kalian. Hingga saat ini."

Raut wajah Mikail membeku, genggaman tangannya menguat dan ia membuka pintu. Menghilang dari pandangan Megan sebelum wanita itu mengucapkan kata maaf yang tidak sepenuhnya ia dengar lagi. Ia benci menjadi lemah hanya karena kalimat sentimentil itu. Yang tidak benar-benar Megan ketahui artinya.

Dalam helaan napasnya yang panjang dan dalam, Mikail berusaha memudarkan emosi yang mulai menghangatkan dadanya. Tidak, Megan tak akan memengaruhinya sedalam ini meski terkadang percikan-percikan itu masih muncul di dadanya ketika melihat Megan begitu dekat dengan pria-pria lain. Terutama Nicholas.

Tanpa mengurangi kecepatan langkahnya, Mikail berjalan menuju lift yang ada di ujung lorong. Menekan tombol di buka di dingin dan sambil menunggu, kalimat Megan terus terulang di benaknya. Pun setelah berulang kali ia mencoba menepisnya.

Atau mungkin dirinyalah yang tak sungguh-sungguh menolak semua kalimat itu. Atau bahkan, mungkin di sudut hatinya yang paling dalam. Kerinduannya begitu menginginkan kalimat itu sebagai pelepas dahaga.

'Aku lebih baik mati, Mikail.'

'Aku tak bisa hidup dengan menanggung penyesalan sebanyak ini, Mikail.'

Dan kedua kalimat itu terasa mengganggu benak Mikail. Kesungguhan dalam tatapan Megan terlihat begitu kuat. Denting pintu lift membangunkan Mikail dari lamunannya. Bukannya melangkah masuk ke dalam lift, pria itu malah membeku di tempatnya.

Ia merasakan firasat yang buruk, yang begitu mengganggu.

Kepalanya berputar, menatap pintu apartemen Megan yang tertutup.

Lalu, entah apa yang mendorong kedua kaki Mikail untuk berputar. Kemudian berjalan dengan terburu kembali ke apartemen Megan.

Memencet bel seperti orang gila karena Megan tidak membuka pintu itu bahkan setelah lima menit ia memencet tiada henti. Dan itu semakin memperburuk firasatnya. Semakin buruk dengan kedua kalimat Megan yang terus berputar di benaknya.

Mikail mulai panik, tetapi kemudian ia teringat sesuatu. Merogoh saku jasnya dan mengambil dompetnya. Mengeluarkan salah satu kartu yang terselip di sana.

Pintu berhasil terbuka, tetapi Megan tidak ada di tempat terakhir Mikail melihatnya beberapa saat yang lalu.

"Megan?" Mikail mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Hanya ada satu pintu yang terbuka, pintu kamar utama. Mikail pun bergegas menyusul. "Megan?! Megan!!"

Masih tak ada jawaban. Di seluruh ruangan hanya ada kesunyian yang terasa semakin menyesakkan dada Mikail. Pintu kamar mandi setengah terbuka. Hanya butuh satu detik bagi Mikail untuk berdiri di ambang pintu kamar mandi. Tercengang dengan keras, melihat tubuh Megan yang pucat berbaring di dalam bath up yang kosong. Tangan wanita itu menjuntai keluar di pinggiran bath up. Dengan darah yang menetes dari pergelangan tangan dan menggenangi lantai. "Megan!!!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro