33. Kesempatan Kedua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Dia bukan istri Mikail?"

Kening Jelita menukik tajam. "Apa?"

Megan mengangguk. "Kupikir ... kupikir dia istri Mikail."

"Lalu untuk apa dia menikah denganmu?"

Megan tampak berpikir sejenak lalu menggeleng. "Yang kupedulikan hanya Kiano. Aku bisa bertemu dengan Kiano kapan pun aku ingin. Aku bahkan tak peduli jika menjadi istri keduanya, atau bahkan menjadi orang ketiga."

Megan pikir suaranya akan keluar dengan penuh keyakinan, tetapi malah terdengar begitu hambar dan serasa mencekik tenggorokannya. Yang malah mendapatkan dengusan dari Jelita.

"Jangan sebodoh itu, Megan. Kau pikir aku akan membiarkanmu menikah dengan Mikail jika Mikail sudah punya istri? Bukannya sejak awal aku sudah mengatakan padamu kalau dia seorang duda, kan. Dan ternyata dia dudamu."

Megan mengingat kembali pertemuan pertamanya dan Mikail. Lalu mengangguk. Ya, saat itu Jelita sengaja ingin menjodohkannya dengan Mikail. Jadi wanita itu pasti tahu kalau Mikail sedang tidak menjalin hubungan dengan siapa pun. "Ah, kau benar."

"Ayo, anakmu datang." Jelita menyenggol pundak Megan. Membuat Megan memutar wajahnya dan melihat bocah mungil itu datang ke arahnya.

"Tante cantik," panggil Kiano dan berhenti tepat di depan sang putra. Yang kemudian mengulurkan buket bunga tersebut kepadanya.

"Kau terlihat tampan, sayang." Megan membungkuk dan mengambil buket bunga tersebut, lalu mendaratkan kecupan di pipi kanan dan kiri Kiano. "Terima kasih."

Senyum Kiano mengembang lebar sambil memutar tubuh dan memosisikan diri di samping Megan. Menggandeng tangan sang mama.

Jelita pun melepaskan tangannya dari Megan. Dan Megan benar-benar tak bisa menahan rasa harunya. Matanya terus mengerjap demi mengurai air mata yang menggenang di kedua kelopak matanya. Sepanjang perjalanan menuju lengkungan bunga. Menghampiri Mikail.

Semuanya sudah siap, berjalan dengan lancar. Pendeta, cincin, dan kedua pengantin yang sudah berdiri saling berhadap-hadapan.

Mikail mengucapkan sumpah pernikahan yang sudah dihafalnya di luar kepala. Sumpah pernikahannya dan Megan di pernikahan pertama mereka yang dirangkai dengan kalimat yang lebih singkat dan padat. Membuat Megan kembali ke masa yang begitu familiar, sekaligus terasa begitu asing.

Bertanya-tanya apakah kali ini ia akan mampu mempertahankan sumpah pernikahan mereka? Kemudian pandangan Megan beralih ke arah Kiano. Dan meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia akan melakukan apa pun untuk putranya tersebut.

Mikail selesai mengucapkan sumpah pernikahan, sekarang giliran Megan. Wanita itu mulai membuka mulutnya dan baru satu sumpahnya berhasil ia ucapkan, erang kesakitan tiba-tiba menyela kalimat Megan. Menarik perhatian semua orang.

Mikail berpaling, Megan menghentikan sumpahnya dan keduanya menoleh ke arah Alicia yang meringis memegang perut. Menahan rasa sakit yang teramat.

"Alicia?" Mikail bergegas menghampiri, menahan tubuh Alicia yang hendak terhuyung ke belakang. Memegang punggung tangan wanita itu yang menempel di perut. "Ada apa?"

Alicia menggeleng sambil meringis. "P-perutku sakit. Rumah sakit. Bawa aku ke rumah sakit, Mikail. Aku takut anakku..." Alicia memeluk tubuh Mikail dengan erat, sambil merintih dan air matanya jatuh mengalir.

Mikail pun membungkuk dan membawa tubuh Alicia ke dalam gendongannya. Kemudian berlari ke samping rumah. Beberapa pengawalnya langsung menyiapkan mobil dan salah satunya duduk di balik kemudi. Siap melajukan mobil saat pintu tertutup.

"Mikail?" Suara memanggil dari arah belakang menghentikan kaki Mikail yang hendak naik ke dalam mobil. Pria itu berbalik dan melihat Jelita yang berlari ke arahnya.

Jelita langsung menarik lengan Mikail, menjauh dari pintu mobil. Tepat ketika pegangan Alicia lengah. "Aku yang akan mengantarnya ke rumah sakit dan memastikannya mendapatkan perawatan yang tepat. Kau pergilah, selesaikan acaramu dan Megan sebelum menyusul kami."

Mikail seketika teringat akan Megan dan matanya melebar tersadar.

"T-tapi Mikail..." Alicia mengulurkan tangan ke arah Mikail. Wajahnya memucat oleh kecewa. Dan sebelum kalimatnya selesai, Jelita masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya. Menghalangi pandangannya dari Mikail sambil menutup pintu.

"Kita berangkat," ucap Jelita pada si sopir. Sedangkan Alicia sibuk menoleh ke belakang mobil dan melihat Mikail yang berbalik lalu berjalan kembali ke halaman belakang rumah. "Berapa lama perjalanan ke rumah sakit terdekat?"

"Tiga puluh menit, Nona."

Jelita mengangguk, kemudian menoleh ke arah Alicia yang masih diselimuti kecewa dan ia berpura tak tahu. "Apa kau bisa menahan rasa sakitnya sampai di rumah sakit?"

Alicia tak langsung menjawab. "S-sebenarnya... mendadak rasa sakitnya mereda. Sepertinya ini hanya kontraksi palsu."

"Ah, begitu?" Jelita hanya manggut-manggut.

"Sebaiknya...."

"Sebaiknya kita memastikan kau benar baik-baik saja di rumah sakit. Siapa yang tahu kalau terjadi sesuatu yang serius dengan kandunganmu. Kita tak bisa mempertaruhkan keselamatan nyawa anakmu, kan?"

Alicia terpaksa menutup mulutnya, meski dalam hati menyumpah tiada henti akan kelancangan Jelita.

***

Saat Mikail kembali, ia langsung melihat wajah Megan yang tertunduk dalam. Menatap buket bunga di tangan wanita itu. Ada kepedihan yang dalam tersirat di wajah wanita itu. Kemudian putranya datang menghampiri. Memegang kedua tangan Megan dan wajahnya terdongak. Mengucapkan sesuatu yang tidak bisa Mikail pahami.

Raut wajah Megan terlihat kembali tersenyum, tangan wanita itu terulur dan merangkum sisi wajah putranya. Keduanya saling pandang dan melemparkan senyum. Dan seumur hidup, Mikail belum pernah melihat pemandangan seindah ini.

Kaki Mikail kembali terangkat, mendekat ke arah putranya dan Megan. Keduanya menoleh bersama-sama dan Kiano langsung melonjak-lonjak kegirangan.

"Aku tahu papa akan kembali," seru Kiano sambil menghambur ke gendongannya.

Mikail tersenyum, mencubit hidung putranya dengan gemas. Kemudian menatap Megan yang berdiri dan menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa Mikail tebak.

Acara pun diulang, hanya ada pendera, keluarga kecil tersebut, dan pengawal-pengawal Mikail yang berdiri dan berjajar rapi membentuk setengah lingkaran.

Sumpah pernikahan kembali diulang, Mikail dan Megan saling pandang saat mengucapkan sumpah tersebut. Keduanya seolah terbawa suasana dengan pernikahan sebelumnya. Hingga keduanya bertukar cincin dan Mikail mencium Megan.

Hanya sebuah ciuman singkat, tetapi Megan masih bisa merasakan debaran di jantungnya yang menciptakan kupu-kupu beterbangan di perutnya.

Tepat setelah semuanya selesai, ponsel Mikail bergetar. Megan sudah was-was bahwa itu dari Alicia yang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit tetapi...

"Ada apa?" jawab Mikail dengan nada yang tak ramah pada siapa pun yang ada di seberang.

"..."

"Dia sudah bangun?"

"..."

"Bagaimana keadaannya?"

"..."

"Keluarganya?"

"..."

"Baiklah. Biarkan mereka yang mengawasi. Kalian bisa pergi." Mikail memungkasi panggilan tersebut. Dan baru saja Mikail menurunkan ponselnya, Megan langsung mendatanginya.

"Apakah itu kabar dari Nicholas?"

Mata Mikail memicing menangkap kekhawatiran yang begitu kental di wajah wanita itu. Membuat ujung bibirnya berkedut jengkel. Beraninya wanita itu mengkhawatirkan pria lain ketika tepat berada di depan hidungnya. Tepat di saat keduanya baru saja disahkan menjadi pasangan suami istri.

Kedua tangan Mikail mengepal kuat di sisi tubuhnya. Oleh kecemburuan atau apa pun alasannya, ia tak peduli. Ia hanya tak suka kekasih nya, ah tidak. Istrinya begitu memperhatikan pria lain.

"Kenapa kau diam saja, Mikail? Apakah keadaannya sudah membaik?"

"Ya. Dia baru saja bangun sejak operasinya selesai tadi malam."

"Benarkah?"

Mikail tak mengangguk. Kejengkelannya semakin menumpuk, ketika Megan berbalik dan menggumamkan sesuatu tentang akan ke rumah sakit sekarang. Dan sebelum Megan mendapatkan langkah pertamanya untuk pergi, Mikail menahan pergelangan tangannya dan berkata,"Kau tak akan pergi,Megan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro