34. Batasan Pernikahan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kau tidak akan pergi, Megan," ulang Mikail dengan tegas dan penuh penekanan. Tekanan di tangan Megan pun semakin menguat, sengaja menyakiti wanita itu. "Kita baru saja menikah dan lihatlah," pandangan Mikail beralih ke arah Kiano yang duduk di kursi tak jauh dari posisi mereka berdua. Putra kecilnya itu sedang sibuk bermain-main dengan kucing peliharaan yang tadi dikenalkan pada Megan namanya George. Bahkan menceritakan dengan detail segala hal tentang peliharaannya tersebut pada Megan. Saking antusiasnya sambutan Kiano terhadap kedatangan Megan di kehidupan mereka.

"Apa kau akan meninggalkannya di tengah- tengah kebahagiaannya?"

Megan seketika membeku. Tubuhnya di tarik Mikail hingga keduanya terlihat saling berpelukan. Dengan lengan Mikail yang melingkari pinggangnya. Dan berada dengan jarak sedekat ini, membuat Megan menahan napasnya.

"Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak mengecewakannya lagi, Megan. Sekarang aku suamimu, dan ... aku belum sempat mengatakannya. Tapi ...di detik kau menjadi istriku, segala hal tentangmu akan menjadi urusanku." Mikail memutar wajahnya, sehingga wajah mereka saling berhadap- hadapan. Menyisakan jarak hanya beberapa senti, yang membuat Megan benar- benar kewalahan menerima terpaan napas panas pria itu di wajahnya.

"Segala hal, Megan. Sebaiknya kau mulai sedikit memahami dan menerka-nerka apa yang menunggumu di dalam pernikahan kita."

"A-apa?" Megan tak sempat melanjutkan tanyanya ketika Mikail memutar tubuhnya dan membawanya berjalan ke arah Kiano.

"Kita akan membicarakan pernikahan ini setelah kita pulang," ucap Mikail.

Megan tak mengatakan apa pun lagi. Memasang senyum untuk Kiano yang menyadari kedatangan mereka. Meninggalkan kucing putih di kursi dan langsung memanjat naik ke gendongan Mikail.

"Jadi...apakah sekarang aku bisa memanggil tante cantik dengan panggilan Mama?" tanya Kiano pada Mikail, tetapi kemudian pandangan bocah itu beralih ke arah Megan.

Hati Megan seperti tersentil. Menatap wajah mungil itu dengan mata yang segera digenangi air mata. Pandangannya beralih ke arah Mikail, yang membalas tatapannya dengan tatapan datar.

"Kenapa kau tidak menanyakannya langsung padanya, jagoan?" ucap Mikail dengan kelembutan yang begitu tulus pada putranya. Bahkan pria itu tersenyum.

"Apakah boleh tante cantik?"

Megan mengangguk, bahkan sebelum Kiano menutup mulut, dan tiba-tiba saja Mikail membawa tubuhnya ke dalam pelukan pria itu. Perasaan bahagia membuncah di dadanya. Bahkan Mikail mendaratkan kecupan di keningnya, bergantian dengan kening Kiano. Megan tak yakin apakah Mikail benar-benar menciumnya, ataukah hanya ingin mempertontonkan pernikahan ini pada Kiano. Megan tak peduli yang mana alasannya. Yang ia pedulikan saat ini, dirinya telah kembali ke kehidupan Kiano. Itu sudah menjadi semua yang ia inginkan.

Setelah menghabiskan waktu dengan duduk-duduk dan Mikail menceritakan beberapa kisah masa kecil pria itu yang dihabiskan di tempat ini, yang sebagian besar kisahnya sudah pernah Megan dengar. Ketiganya pun kembali pulang.

Dengan dalih bahwa pria itu dan dirinya harus pergi ke rumah sakit, Kiano naik mobil yang berbeda.

Megan dan Mikail masuk ke dalam mobil setelah mobil Kiano meninggalkan halaman rumah.

"Masuk." Mikail membukakan pintu mobil untuk Megan.

Megan pun naik dan menggeser tubuhnya ke ujung jok saat Mikail menyusul masuk.

"Sekarang kita bicara tentang kesepakatan pernikahan ini." Mikail memulai pembicaraan tepat ketika pintu mobil tertutup. Bahkan mesin mobil belum dinyalakan. Benar-benar tak membuang waktu.

Megan tak mengangguk, tetapi tetap mendengarkan dengan saksama. Megan sadar, dirinya tak seharusnya mengharapkan banyak hal dari pernikahan mereka.

"Mulai darimu."

Kedua mata Megan melebar, berkedip sekali dan berkata,"Apa?"

"Katakan apa saja yang kau inginkan dari pernikahan ini?"

"A-aku?"

Mikail mengangguk.

Megan masih bergeming. Mengulang pertanyaan Mikail dalam hati dan masih tak mampu mencerna dengan baik.

"Katakan sebelum aku berubah pikiran, Megan," ucap Mikail sekali lagi dan nadanya terdengar sedikit tak sabaran. "Apa saja yang kau inginkan dari kesepakatan pernikahan ini sebelum aku mulai bicara."

Megan masih terdiam sejenak. "Tidak ada yang kuinginkan selain aku bisa menemui putraku kapan pun yang aku inginkan, Mikail. Selama itu tidak menganggu jadwal sekolahnya, aku akan menyesuaikan jadwal pekerjaanku sehingga aku bisa menemuinya."

"Kau tak perlu menyesuaikannya, Megan. Kau bisa menemuinya kapan pun kau inginkan. Kiano juga pasti akan senang. Kalian akan meluangkan begitu banyak waktu untuk bersama-sama. Sepanjang hari." Mikail mengucapkan kalimat terakhirnya dengan penuh penekanan dan sangat diperjelas. Kedua matanya mengunci tatapan Megan lekat-lekat.

Megan hanya terdiam. Ia tak mampu menampik kebahagiaan yang ditawarkan oleh Mikail. Semuanya adalah segala hal yang ia inginkan. Namun, tatapan Mikail begitu intens. Ada sesuatu yang menahan kebahagiaan di dadanya terlepas. "A-apa maksudmu, Mikail?"

Mikail memutar tubuhnya menghadap dirinya, seringai tersungging di salah satu ujung bibirnya. "Kau masih ingat apa yang kukatakan tadi, kan?"

"A-apa?"

"Bahwa semua tentangmu, akan menjadi urusanku."

Megan menelan ludahnya. Memberikan satu anggukan yang pelan.

"Kau bahkan rela mati demi kembali ke hidup Kiano."

Megan masih bergeming. Menunggu kalimat Mikail selanjutnya dengan perasaan yang semakin tak nyaman. Apa yang diinginkan Mikail darinya sehingga pria itu mengungkit kejadian tersebut.

Tangan Mikail bergerak mengambil tangan kirinya. Mengelus perban di pergelangan tangannya. "Tapi sekarang kau masih hidup dan bernapas. Dan... bahkan aku yang menyelamatkanmu."

Megan menelan ludahnya. Napasnya tertahan, menunggu dengan gugup apa yang akan di katakan oleh Mikail. Satu hal yang pasti, Mikail menginginkan pengorbanan darinya. Yang ia yakin tidak kecil.

"Saat kau mati, kau akan kehilangan segalanya, Megan. Kiano juga ... pekerjaanmu."

Gumpalan di tenggorokan Megan semakin mengembang. "P-pekerjaan."

"Kau kembali hidup dan masih memiliki Kiano."

Megan menjilat bibirnya yang kering.

"Kupikir dua hal itu sudah cukup bagimu untuk merelakan pekerjaanmu."

"A-apa maksudmu, Mikail?"

"Lepaskan pekerjaanmu."

"T-tapi..."

"Pikirkan pekerjaanmu yang memiliki jadwal begitu padat, Megan. Memangnya berapa banyak waktu yang bisa kau luangkan untuk bersama putraku?"

Megan tak bisa menjawab. Jadwalnya sudah terlalu padat dan ia sendiri tak yakin apakah bisa meluangkan waktunya setiap hari untuk Kiano.

"Kau tak mungkin membawa Kiano ke tempat kerjaku, seperti yang sering kali kulakukan. Pekerjaanmu terlalu beresiko untuk mentalnya yang masih anak- anak."

"Pekerjaanku tidak sekotor itu, Mikail," protes Megan tersinggung.

"Ya, tapi sekarang kau ibunya. Apa yang dipikirkannya ketika melihat ibunya berpose dengan begitu mesra bersama pria lain?"

Mulut Megan seketika terkatup. Kehilangan kata-kata untuk membantah.

"Segala hal yang kukatakan padanya tentangmu, aku memastikan agar dia tidak sampai berpikir bahwa ibunya telah mengkhianati ayahnya."

"Dan aku memang tidak pernah mengkhianatimu."

Mikail memberikan satu senyum kepuasan untuk pengakuan Megan yang satu ini. "Ya, aku tahu."

"Kaulah yang mengkhianatiku, ingat?" sengit Megan sambil menyentakkan tangan Mikail yang ternyata masih memegang tangannya.

Mikail berkerut kening. "Aku mengkhianatimu?"

Megan menyadarikata-katanya yang keceplosan. "Lupakan saja. Lanjutkan ... Selain menyuruhku berhenti bekerja, apalagi yang kau ingin aku lakukan untuk Kiano? Menjemputnya sekolah dan menghabiskan waktu dengannya di apartemenku sebelum kau menjemputnya pulang ke rumah? Atau kau juga ingin aku menungguinya di sekolah.

Salah satu alis Mikail terangkat, menatap Megan seolah wanita itu baru saja mengatakan sebuah lelucon yang konyol. Tawa kecil tertahan di ujung bibirnya. "Apartemenmu?"

Megan terdiam. Masih bertanya-tanya apakah sebenarnya yang diinginkan Mikail dari pembicaraan panjang lebar ini.

"Dia tidak akan menginjakkan kakinya di apartemenmu lagi, Megan."

Kerutan membentuk di kening Megan. "A-apa maksudmu?"

"Lalu kau pikir untuk apa pernikahan ini terjadi?"

Megan diam.

"Aku menikahimu, untuk memberikan Kiano sosok seorang ibu yang ternyata begitu dirindukannya. Pun dengan sgeala usaha yang telah kerahkan demi menjadi seorang ayah yang sempurna untuknya. Bukan pengasuh yang menjemput dan bermain-main dengannya menunggu ayahnya pulang dari bekerja."

Kedua mata Megan mengerjap. Menyadari suara Mikail yang mulai semakin menguat di penuhi emosi. Yang membuat tubuh Megan beringsut menjauh. Tetapi tangannya segera di tahan oleh Mikail, mempertahankan jarak di antara mereka tetap dekat. Sehingga cukup untuk saling mendengarkan pembicaraan mereka dengan jelas. Tanpa melewatkan satu patah kata pun.

"Kau akan tinggal di rumahku, Megan. Menjadi sosok ibu rumah tangga yang selalu ada untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Terutama Kiano."

Megan menelan ludahnya lagi. "A-apa artinya itu, Mikail?"

"Kau mendengarnya dengan jelas, Megan. Mulai sekarang kau akan berhenti dari pekerjaanmu. Aku akan mengurus seseorang untuk memindahkan barang-barangmu."

"T- tidak, Mikail. Aku tidak bisa tinggal di rumahmu."

Salah satu alis Mikail terangkat, memasang ekspresi tak suka untuk Megan.

"A- aku tak tahu apa sebenarnya pernikahan ini. Aku tak tahu akan jadi seperti apa pernikahan ini. Tapi ..."

"Tidak ada tapi- tapian, Megan," tandas Mikail dengan tegas. Cengkeramannya pada pergelangan tangan Megan semakin menguat, bahkan menarik wanita itu semkain dekat ke arahnya. "Sekarang saatnya kau mengerti dan memahami pernikahan ini dengan benar."

"M -mikail..."

"Aku sudah mengatakan padamu bahwa tak ada jalan untuk mundur setelah pernikahan ini terjadi, Megan."

"Kau tak pernah mengatakannya," protes Megan.

"Ah ... sekarang aku sudah mengatakannya, kan?" seringai licik terusngging di salah satu ujung bibir Mikail. Matanya berkilat dengan licik dan tak ada sedikit pun penyesalan di sana.

"B- berengsek kau, Mikail." Tangan lainnya Megan sudah terangkat, hendak melayangkan pukulan ke arah pria itu. Tetapi di tangkap oleh Mikail dengan sigap.

"Lalu ... apa kau akan mundur jika aku memberimu pilihan, Megan?"

Pertanyaan Mikail pun membungkam mulut Megan. Ya, tak ada jalan untuk mundur setelah pernikahan ini. Dan ia bahkan tak menginginkan jalan untuk mundur. "Apa lagi yang kau inginkan, Mikail?" tangannya berhenti meronta.

"Hanya itu. Awalnya. Selanjutnya, kau akan memahami dengan perlahan seiring berjalannya pernikahan kita."

Megan tak mengatakan apapun lagi. Genggaman tangan Mikail pada pergelangan tangannya pun melonggarkan pandangan Megan turun ke arah pangkuannya. Buket bunga pernikahannya masih ada di pangkuannya. Kemudian menatap jemarinya yang dilingkari cincin permata. Yang beberapa saat yang lalu di sematkan oleh Mikail. Menjadi cincin pernikahannya.

Cincin pernikahannya kali ini memiliki desain yang sangat sederhana, meski masih terlihat begitu mewah dan elegan. Berbanding terbalik dengan desain cincin pernikahan pertama mereka. Yang dihiasi berlian -berlian kecil mengelilingi cincin tersebut. Dan berwarna merah delima.

Ingatannya pun berputar, bertahun- tahun yang lalu. Saat itu, ia begitu bahagia hari pernikahan telah tiba. Hati Megan membucah penuh kebahagiaan dan semuanya berjalan begitu sempurna. Pernikahannya dirayakan dengan begitu meriah. Segala yang terbaik dari yang terbaik. Setelah acara resepsi selesai, Mikail membawanya pergi berbulan madu berkeliling dunia. Keduanya menjadi pasangan suami istri baru yang paling bahagia.

Megan masih bisa merasakan debar kebahagiaan itu di dadanya. Mengembang memenuhi dadanya. Dan perasaan itu masih bisa ingat dengan jelas.

"Apa yang kau pikirkan?" pertanyaan Mikail memecah lamunan Megan. Membuat wanita itu menoleh dan menatap mata Mikail yang memicing dan menelisik tepat ke kedua matanya.

"Apakah Kiano akan kecewa jika tahu aku tak becus menjadi ibunya?"

Pertanyaan Megan yang penuh emosi tersebut membuat Mikail membeku. Tak menyangkan Megan akan sekhawatir itu.

"Aku tak bisa memasak, Mikail. Aku juga tak pandai menyiapkan segala hal kebutuhannya. Aku bahkan tak tahu apa yang diinginkannya dariku."

Mikail menatap dalam- dalam kedua mata Megan. Kesungguhan dan keseriuan wanita itu bisa pria itu rasakan. Megan jelas bukan tipe ibu rumah tangga yang baik. yang betah tinggal di dalam rumah. Apalagi handal dalam urusan dapur. Dan Mikail ingat dengan jelas, wanita itu tak pernah tidak melukai dirinya saat memegang pisau.

"Aku sudah mengatakan padamu, Megan. Kau akan belajar memahami semua ini dengan perlahan." Kata-kata Mikail berubah lebih lembut dan ekspresi pria itu lebih melunak.

Megan terdiam, menarik napas panjang dan dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia akan berusaha sebaik mungkin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro