36. Menjemput Megan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi-pagi sekali, mobil suruhan Mikail sudah menunggu di depan lobi gedung apartemennya. Jelita mengantarnya sampai di teras gedung. Memeluk dan memastikan semua urusan apartemen berada di tangannya.

"Aku akan menghubungimu dalam waktu dekat mengenai semua kontrak dan berbicara dengan ..."

"Aku sudah mengurusnya." Suara Mikail menyela di antara permbicaran kedua wanita itu. Megan dan Jelita menoleh, dan terkejut menemukan Mikail yang melangkah keluar dari dalam mobil. Melangkah menghampiri mereka.

Megan dan Jelita terpaku dengan kemunculan pria itu yang begitu tiba-tiba. Dan sengaja muncul hanya untuk mengejutkan keduanya.

"Apa yang kau lakukan di sini, Mikail?"

"Tentu saja untuk memastikanmu tidak melarikan diri."

Jawaban Mikail memang disengaja untuk membuat Megan jengkel. "Aku adadi sini, kan? Dengan semua barang-barang kebutuhanku."

"Tidak semuanya," koreksi Mikail. Yang tentu saja menghitung berapa banyak koper yang dibawa Megan. "Aku sudah mengatakan akan mengurusnya, Megan." Tangan Mikail terangkat. Memberikan isyarat pada seseorang.

Megan dan Jelita menoleh ketika muncul orang lain dari dalam salah satu di antara ketiha mobil yang terparkir di halaman gedung. Pria berambut setengah panjang yang disisir rapi ke belakang, mengenakan setelan merah maroon yang begitu mencolok, dengan sepatu hitam mengkilat dan tas hitam di tangan kanan. Pria itu berhenti di hadapan ketiganya.

"Perkenalkan, dia adalah Mike Nilson. Yang akan mengurus pemutusan kontrak apartemenmu."

"A-apa maksudmu, Mikail?" Kedua mata Megan melebar tak mengerti, menatap Mikail dan pria bernama Mike tersebut dengan penuh tanda tanya.

"Aku sudah bicara dengan pemilik unit apartemenmu. Meski sejujurnya tak perlu, karena ini gedungku. Mulai hari ini, kau tak berhak menginjakkan kakimu di apartemen ini. Ganti rugi kesepakatan kontrak, Mike akan bicara dengan Jelita. Karena managermu yang mengurus semuanya. Juga pembatalan semua kontrak kerjamu, aku yang akan membayar biaya pinaltinya."

Mulut Megan membulat, tercengang akan kaki Mikail yang sudah menginjak-injak kehidupan Megan bahkan sebelum mereka sah menjadi suami istri dalam waktu 24 jam. "M-mikail..."

Mikail mengangkat tangannya. "Kau ingat ..."

"Bahwa semua urusanku biarkan kau yang mengurusnya, aku ingat." Megan melanjutkan dengan nada yang dibuat sejengah mungkin dan tak sungkan-sungkan menampilkan kejengkelannya. "Kau tak bisa ..."

"Aku bisa, Megan," tandas Mikail penuh penegasan. "Dan aku sudah melakukannya."

Mulut Megan terkatup rapat. Memilih diam akan sikap dominan Mikail, yang terasa begitu familiar. Tatapan pria itu menguncinya lekat-lekat dan Megan tak lagi mengucapkan sepatah kata pun. Keduanya saling bertatapan selama beberapa saat, membuat Mike dan Jelita merasakan ketegangan udara di antara pasangan baru tersebut memilih ikut membungkam.

"Sekarang masuklah ke dalam mobil, Megan. Biarkan aku menyelesaikan semuanya."

"Ya. Lakukan saja apa pun yang kau inginkan, Mikail." Megan benar-benar tak mampu menahan semburan emosinya meluap menyelimuti kata-kata yanga tepat di depan wajha Mikail. Kemudian wanita itu berjalan melewati Mikail, sengaja menabrakkan pundaknya di lengan Mikail dan berjalan menuju mobil yang pintunya sudah dibukakan sopir pria itu untuknya.

Megan membanting pantatnya di jok belakang, menggigit bibir bagian dalamnya dengan keras menahan kedongkolan hatinya. Ia benar-benar merasa lemah dan tak berdaya. Terasa dikekang dan bahkan cara bernapas pun harus sesuatu dengan peraturan Mikail. Ia benci merasa tersudut seperti ini. Mengingatkannya akan masa-masa kelamnya di masa lalu.

'Aku tak suka kau memotong rambutmu, Megan.'

'Jangan kenakan pakaian itu lagi, Megan.'

'Warna lipstikmu terlalu mencolok dan aku tak menyukainya.'

'Kenapa kau mengganti parfummu, Megan.'

Kata-kata itu selalu terngiang di benaknya. Dan satu-satunya cara untuk mematahkan semua ingatan itu hanyalah dengan bekerja sebagai model. Ia tahu Mikail sangat membenci pekerjaannya tersebut. Yang bisa ia dapatkan setelah mereka bercerai.

"Apa kau sudah mulai memahami pernikahan kita dengan baik, Megan?" Mikail duduk di samping Megan sambil menutup pintu mobil dan mobil langsung melaju meninggalkan halaman gedung aparteman. Yang -sepertinya- tak akan akan pernah Megan injak lagi.

Megan enggan menjawab meski jawabannya ada di ujung lidahnya.

"Aku bertanya padamu, Megan. Apa kau bisu?"

Megan tetap bergeming.

Membuat Mikail geram dan menangkap lengan atas Megan lalu memutar tubuh wanita itu sehingga menghadap ke arahnya. Memberikan seluruh perhatian wanita itu padanya.

Megan menyentakkan tangannya dengan keras, hanya untuk mendapatkan cengkeraman yang lebih kuat dari Mikai. "Aku tak perlu memahami semuanya, Mikail. Kau mendapatkan apa pun yang kau inginkan, apakah semua itu masih belum cukup?"

"Jangan terlihat begitu menderita dengan kesepakatan ini, Megan. Sejak awal kau sudah setuju dengan semua ini," tegas Mikail dengan bibir yang nyaris tak bergerak.

"Ya, itulah sebabnya sekarang aku memilih diam. Kau puas?" Megan sengaja mengangkat dagunya, kedua matanya menajam. Tak kalah tajamnya dengan tatapan menusuk Mikail kepadanya.

Mikail sendiri merasa dongkol dengan penentangan Megan tersebut. Tetapi memutuskan untuk menghentikan perdebatan tersebut. Cengkeramannya melonggar dan Megan menarik lengannya dengan gerakan yang kasar kemudian memutar tubuh dan memunggunginya. Pandangannya turun ke arah lengan wanita itu yang memerah, menciptakan rasa bersalah. Namun, tak mengatakan apa pun dan mempertahankan keheningan di sepanjang perjalanan hingga sampai di kediamannya.

***

Kedua mata Megan menyipit ketika mobil sampai di kediaman Mikail. Semua yang ia lihat, masih sama seperti ketika terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah ini. Kediaman rumah Mikail adalah bangunan berlantai empat dengan taman bunga yang mengeliling air mancur di tengah. Semua terawat dan masih terasa begitu familiar. Sekaligus menciptakan perasaan tak nyaman yang merambat di dadanya. Yang sulit untuk dijelaskan. Seolah dia kembali masuk ke dalam sangkar emasnya.

Dan semua pengamatan Megan terhenti ketika pandangannya menangkap sosok Alicia yang berdiri di teras bersama Kiano.

"Dia tinggal di rumahmu?" Pertanyaan Megan keluar begitu saja tanpa wanita itu sadarai.

Mikail tak menjawab, pandangannya luruh mengarah ke bagian dengap mobil.

"Kenapa kau tidak menikahinya, Mikail? Dia tinggal di rumahmu dan sedang mengandung anakmu. Apakah kalian ..."

Raut wajah Mikail berubah datar dan dingin saat menoleh ke arah Megan dengan tatapan tajamnya. Memenggal kalimat Megan dengan dingin. "Jangan mengatakan apa pun yang tidak kau ketahui, Megan. Aku tak suka kau menerka-nerka sesuatu yang tidak kau ketahui dengan benar tentangku. Apa kau mengerti?"

Megan tersentak dan terpaku dengan reaksi Mikailyang dirasa berlebihan. Dan tak bisa menentukan apakah pria itu tersinggung dengan pertanyaan pertama ataukah keduanya. Megan menutup mulutnya, memilih mengalihkan perhatiannya kepada Kiano yang tampak tak sabaran menyambut kedatangannya. Seolah sudah tahu mobil mana yang ia tumpangi. Kejengkelannya segera teralihkan hanya dengan menatap wajah mungil putranya tersebut. Tangannya bergerak menyentuh pintu mobil bahkan sebelum mobil berhenti di teras rumah.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Megan?" tegas Mikail menahan lengan Megan yang lain.

Megan menoleh, menatap kesal wajah Mikail dan tak ada pilihan selain memberikan anggukan sebagai jawaban dari pertanyaan pria itu.

"Tak ada siapa pun yang tahu tentang kesepakatan sebenarnya pernikahan kita, Megan. Bersikaplah seperti seharusnya seorang istri dan ibu bersikap."

"Hanya di rumah ini, kan?"

Mikail tampak tak setuju.

"Sampai keadaan Nicholas benar-benar pulih, aku tak ingin siapa pun tahu tentang pernikahan ini, Mikail."

"Aku tak mengatakan setuju dengan keinginanmu ini."

Raut wajah Megan seketika berubah. Tampak keras kepala sekaligus diselimuti permohonan. "Kau menyembunyikan pernikahan ini, Mikail. Dari keluarga besarmu. Karena kau tak sanggup menghadapi rasa malu akan diriku yang kembali mencoreng wajahmu. Mereka semua membenciku. Kau tak perlu menambah alasan bagi mereka untuk semakin membenciku."

Kening Mikail berkerut, mencerna kata-kata Megan dengan cermat dan tampak tak memahami kalimat wanita itu. Sejujurnya, alasannya menyembunyikan pernikahan mereka adalah karena ingin pernikahan mereka menjadi acara yang pribadi dan lebih khidmat. Mempersembahkan pernikahan tersebut untuk Kiano. Tak perlu diumbar-umbar di hadapan umum sehingga keintiman dalam pernikahan tersebut berkurang.

"Aku tahu kau setuju dengan keinginanku yang satu ini, Mikail. Demi menjaga wajahmu."

Mikail tak mengatakan apa pun.

"Aku bahkan kesulitan menentukan jawaban akan pertanyaanku sendiri." Pandangan Megan beralih ke arah luar mobil. Yang kecepatannya mulai berkurang ketika semakin dekat ke teras rumah. "Apakah dia mengalami kesulitan berhadapan dengan keluarga besarmu karena memiliki ibu kandung sepertiku?" Suara Megan meluruh dan dipenuhi emosi yang begitu dalam. Kepedihan yang begitu kental menyelimuti suara wanita itu.

Hati Mikail pun dibuat terenyuh dengan pertanyaan tersebut. Tentu saja ia memastikan hal tersebut tidak dialami oleh putranya. Itulah sebabanya tak ada yang berani menyinggung tentang masa lalunya dengan Megan. Di hadapannya, apalagi di hadapan Kiano. Kecuali mereka cukup bodoh dan sengaja mencari masalah dengannya. Mikail akan memastikan mulut mereka tak lagi berani membuka mulut di hadapannya.

Mobil berhenti tepat di teras rumah dan Kiano melepaskan pegangan tangannya dari Alicia. Menuruni anak tangga dengan penuh antusias ketika menghampiri mobil yang ditumpangi oleh Megan dan Mikail.

Megan pun tak membiarkan satu detiknya pun untuk terbuang dan membuka pintu mobil. Kedua lengannya langsung terbuka ketika bocah mungil tersebut menghambur ke arahnya.

"Yeayy, Mama datang."

Megan mengangkat bocah kecil tersebut ke dalam gendongannya. Memeluk putranya erat-erat. Senyum berbinar di seluruh permukaan wajahya dan kebahagiaan di dadanya meluap-luap melihat keantusiasan Kiano dengan kedatangannya. Melepaskan rindu yang seolah -olah sudah menggunung padahal baru kemarin mereka bertemu.

Kiano mengalungkan kedua lengannya di leher Megan, mendaratkan kecupan di pipi kanan dan kiri sang mama dengan penuh kegirangan. "Kiano benar-benar merindukan Mama. Apakah mulai sekarang kita akan tinggal di rumah ini?"

Megan mengangguk, membalas kecupan Kiano dengan ciuman di seluruh wajah bocah mungil tersebut dengan gemas.

Interaksi ibu dan anak itu pun tak lolos dari pengamatan Mikail yang menuruni mobil. Dan tanpa sadar, senyum tersemat di antara celah bibir pria itu. Yang membuat hati Alicia direndam kecemburuan. Menatap Mikai, Megan dan Kiano di hadapannya. Mereka tampak menjadi keluarga kecil yang bahagia. Yang seharusnya menjadi miliknya, batin Alicia dalam hati.

***

Mau double up? Komen yang banyakkkkk, tag author biar author terganggu dan khilaf update next partnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro