37. Kembali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bawa barang-barang istriku ke kamar," perintah Mikail pada pelayan yang segera bergegas menghampiri ketika koper-koper Megan diturunkan dari dalam mobil. Dan perintah tersebut sempat mengalihkan perhatian Megan yang sedang sibuk berbincang dengan Kiano.

Megan mengernyit ketika Mikail tak menjawab tanya dalam sorot matanya mengenai perintah pria itu pada para pelayan. Mengamati pelayan yang mulai membawa satu persatu kopernya masuk ke dalam rumah. Dan pria itu malah berjalan masuk ke rumah sambil merogoh ponsel dari dalam saku jas, dan langsung disibukkan oleh panggilan dengan seseorang di seberang.

"Ayo, Ma." Kiano menarik tangan Megan dan membawa wanita itu masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Alicia yang berdiri dengan wajah merah padam. Belum cukup satu jam Megan menginjakkan kaki di rumah ini, dan dengan begitu mudahnya semua orang melupakan keberadaannya.

Kedua tangan Alicia mengepal di sisi tubuhnya, dengan bibir yang menipis keras dan mata yang memicing tajam. Megan Ailee, harus membayar mahal untuk semua perhatian yang didapatkan wanita itu.

***

Setelah mengalihkan perhatian Kiano dengan mengatakan bahwa dirinya harus berganti pakaian, Megan menyelinap ke kamar utama. Melihat Mikail yang berdiri di samping pintu balkon masih dengan ponsel yang menempel di telinga. Pria itu memutar kepala menyadari kemunculan Megan dan segera mengakhiri panggilan tersebut.

"Kenapa wajahmu terlihat begitu kusut?"

Megan menatap koper-kopernya yang berjajar di samping tempat tidur utama. "Aku tidak ingin tinggal di kamar utama."

Salah satu kening Mikail terangkat. "Kau ingin tidur di kamar Kiano? Percayalah, dengan kakimu yang panjang. Tempat tidurnya akan membuatmu sangat tidak nyaman."

"Aku bisa tidur di kamar samping ruang tidur Kiano."

"Itu ruang belajar dan tempat bermain Kiano."

"Sebelah kamar ini."

"Ah, aku berencana menggunakannya untuk anak keduaku."

Raut wajah Megan membeku. Entah apa yang diinginkan Mikail dengan menikahinya, padahal Alicia tengah mengandung anak pria itu.

Mikail pun ikut membeku. Keduanya saling tatap dalam kebisuan untuk beberapa saat. Sebelum kemudian Mikail memilih lebih dulu berbicara. Dengan sikap yang lebih dingin. "Selain kita berdua, tak ada yang tahu apa tepatnya tujuan dan kesepakatan yang kita setujui dalam pernikahan ini, Megan. Kiano, dan juga Alicia berpikir ini adalah pernikahan yang sesungguhnya. Jangan buat pernikahan kita terlihat janggal jika mereka tahu kita pisah kamar. Bahkan di hari pertama kita menjadi pasangan suami istri."

Megan pun terdiam. Dalam hati membenarkan pernyataan Mikail.

"Lagipula, dengan menyetujui pernikahan ini. Kau tak mungkin berpikir pernikahan ini akan menjadi tempat singgahmu, kan? Yang artinya, apa pun yang terjadi di dalam pernikahan ini. Semuanya akan bertahan untuk selamanya."

"Apa maksudmu, Mikail?"

"Kau tahu tepatnya apa yang sedang kubicarakan, Megan," tandas Mikail dengan penuh penegasan. Berikut tatapan pria itu yang menajam.

Megan semakin dibuat terbungkam. Megan pikir, pernikahan ini akan bertahan...

"Kau pikir pernikahan ini akan bertahan hingga Kiano tumbuh besar dan memahami situasi hubungan kedua orang tuanya yang tak bisa bersama?" Mikail melanjutkan pemikiran yang bahkan belum selesai dengan tepat. Membuat Megan tersentak, tuduhan itu tepat mengenai sasaran.

Mikail mendengus tipis akan reaksi yang ditunjukkan oleh Megan. Hatinya serasa dicubit, bahkan dengan Kiano yang masih menyambungkan hubungan mereka berdua. Megan masih juga memikirkan rencana untuk mencampakkan dirinya sekali lagi. Wanita itu benar-benar tak membuang kesempatan untuk menginjak-injak harga dirinya sebagai seorang Mikail Matteo. Lihatlah betapa angkuhnya wanita satu ini. Setelah bertahun-tahun berpisah, rasanya keangkuhan Megan semakin mengakar kuat dan menggunung. Dan Mikail akan memastikan keangkuhan ini tak bertahan lama.

"Rencana apa pun itu kau pikirkan di kepalamu yang mungil itu, kupastikan Kiano akan tetap memihakku, Megan. Kau tak akan mundur dari salah satu kami berdua."

Megan menelan ludahnya. Ikatan pernikahan ini jelas sudah dipatenkan oleh Mikail di hidupnya. Membuat gak berhenti merasa seperti peliharaan yang lehernya diikat.

"Kau akan tinggal di kamar ini. Tak ada bantahan," pungkas Mikail mengakhiri pembicaraan dan berjalan ke arah pintu.

"Aku tidak bisa, Mikail." Suara Megan bergetar hebat. Dengan Mikail yang berjalan melewatinya, membuat posisi keduanya saling memunggungi.

Mikail yang membeku di depan pintu. Tangannya sudah memegang gagang pintu, tetapi tak bergerak untuk memutarnya. Ada amarah yang berusaha ia tekan dalam-dalam di dadanya. Butuh usaha teramat besar demi amarah itu tetap di dadanya tanpa perlu diluapkan pada sang pemicunya.

Juga, Mikail menangkap emosi yang begitu dalam dan pedih menyelimuti suara Megan yang bergetar.

Keheningan yang menegangkan bisa keduanya rasakan berderak di antara udara yang membentang di punggung mereka. Megan memutar tumitnya dengan perlahan, menatap punggung Mikail yang membeku di depan pintu. Beruntung dengan posisi seperti itu, Mikail tak bisa melihat kepucatan di wajahnya yang begitu parah.

"Aku mungkin siap terjebak untuk selamanya dalam pernikahan ini. Atau tetap tinggal di kamar ini. Dan aku akan melakukan segala cara yang kubisa untuk menjadi sosok seorang ibu bagi Kiano. Tapi..." Megan menelan ludahnya, meski gumpalan menyakitkan masih tertahan di tenggorokannya. "Aku tak bisa menjadi istri untukmu. Dengan cara yang seutuhnya. Di atas tempat tidur."

Alis Mikail saling bertaut, mencoba mencerna kalimat Megan yang begitu serius dan emosional. Apakah itu artinya Megan tak ingin dia menyentuh wanita itu? Tak bisa kusentuh, hah? Lalu dia mengijinkan Nicholas menyentuhnya? dengusnya dalam hati. Teringat akan pertemuan mereka di lobi hotel beberapa hari yang lalu. Saat ia menyapa klien istimewa dari Dubai yang bermalam di hotel itu.

Keheningan kembali terbentang di antara keduanya. Hingga kemudian Mikail memutar kepalanya ke samping dan berkata, "Tenanglah, Megan. Kau tahu aku tak pernah menyentuh wanita yang tidak menginginkanku."

Megan tak tahu apakah kalimat itu baik untuk posisinya sebagai istri Mikail ataukah tidak. Ia tak sungguh-sungguh memahami makna yang tersirat dalam kalimat Mikail.

Pintu ditarik terbuka dan Mikail melangkah keluar. Kembali tertutup dan melenyapkan sosok Mikail dari pandangan Megan. Yang masih membeku di tempatnya berdiri.

Bayangan kehamilan yang begitu berat, emosinya yang tak stabil, dan berbagai macam kekacauan lainnya. Sungguh, sebisa mungkin ia menjauhkan diri dari hal-hal yang membawa langkahnya mendekati hal itu. Walaupun tetap saja semua derita itu terasa sepadan dengan keberadaan Kiano di hidupnya. Pun dengan trauma yang masih membekas kuat di ingatan dan dadanya.

***

"Mikail?" Suara memanggil dari arah tangga menghentikan langkah Mikail yang hendak mengarah ke ruang kerjanya di sayap timur.

Mikail memutar kepalanya dan melihat Alicia yang tengah berjalan menghampirinya dengan nampan berisi dua cangkir minuman yang masih mengepulkan asap. Satu berisi kopi hitam miliknya, dan satu lagi berisi coklat panas?

"Aku membawakan minuman untuk kalian berdua." Alicia tersenyum sambil menunjukkan nampan di kedua tangannya.

Mikail mengambil nampan tersebut dari tangan Megan dan berkata, "Kau tak perlu melakukannya, Alicia. Biarkan pelayan yang mengurus hal-hal seperti ini. Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak naik ke lantai dua lagi, kan? Itu akan membahayakan kandunganmu."

Senyum Alicia semakin mengembang akan kekhawatiran dan perhatian yang diberikan Mikail untuknya. Wanita itu mengelus perutnya dengan lembut sambil berkata, "Kami baik-baik saja, Mikail. Hanya naik tangga, tak akan membahayakan kami berdua."

Mikail mengerjap pelan, lagi-lagi tak bisa menahan kekhawatiran yang dirasakannya untuk Alicia. Benaknya memutar kembali ingatan masa lalunya. Pertengkarannya dengan Megan yang entah sudah berapa puluh kali terjadi sejak kehamilan yang berusaha wanita itu sembunyikan terbongkar.

'Seharusnya kita tidak menikah, Mikail. Seharusnya kau tidak menyentuhku. Seharusnya aku tidak hamil,' isak tangis Megan bergema memenuhi seluruh ruang tidur mereka. Wanita itu duduk bersimpuh di lantai dengan punggung bersandar pada sisi tempat tidur. Perutnya sedikit menonjol dengan usia kehamilan yang mencapai enam bulan. Sedangkan dirinya, berdiri di ujung tempat tidur. Menatap dengan kemarahan yang sulit dikendalikan. Entah berapa banyak lagi kesabarannya digerogoti oleh kata-kata Megan yang tak pernah berhenti melemparkan kesalahan pada dirinya.

Wajahnya mengeras dan merah padam. Kemarahan berapi-api di kedua matanya. "Apakah itu artinya kau menyesali pernikahan kita, Megan? Katakan siapa yang begitu menggebu-gebu dengan hubungan ini?"

Air mata Megan mengalir semakin deras, memenuhi seluruh permukaan wajah wanita itu. "Aku hanya belum siap dengan kehamilan ini, Mikail. Aku ... aku..." Megan tersedak dengan keras oleh tangisannya. "Perutku sakit." Mendadak tangisan wanita itu berubah menjadi rintihan. Kedua tangan Megan memeluk perut dan kepalanya bergerak semakin turun.

"Ada apa?" Mikail bergegas berjongkok di depan Megan dan memegang pundak dan perut sang istri.

"S-sakit, Mikail." Megan menangis tersedu saat Mikail mengangkat tubuh wanita itu dan membaringkannya di tempat tidur. Meluruskan kedua kaki Megan dan menyentuhkan telapak tangannya di perut wanita itu yang kaku dan mengelusnya dengan lembut.

"Shhh... Kau ingin aku memanggil dokter?"

Megan menggeleng dengan cepat. "Aku tidak mau ke rumah sakit."

"Dia hanya akan memeriksa dan memastikan kandunganmu baik-baik saja."

"Aku tidak mau!" seru Megan dengan isak tangis yang semakin menjadi.

"Lalu apa yang harus kulakukan untuk meredakan rasa sakitmu, hah?"

Mendengar suara Mikail yang lebih tinggi darinya malah membuat tangisan Megan semakin histeris. Mikail pun bergegas minta maaf dan pada akhirnya, elusan telapak tangannya lah yang meredakan rasa kaku di perut Megan.

"Kenapa perutmu bisa sakit lagi?"

Megan tak menjawab dan malah menghindari tatapan menelisik Mikail.

Mikail menangkap dagu wanita itu dan mengarahkan seluruh tatapan hanya untuknya. "Apa kau turun ke lantai bawah lagi?"

"Mikail? Mikail?!" Panggilan Alicia dan sentuhan wanita itu di pundak Mikail membuat pria itu terbangun dari lamunan.

Mikail mengerjap dan menatap wajah Alicia. "Y-ya?"

Alicia berkerut kening. "Kau melamun?"

Mikail menggeleng. "Aku hanya sedang memikirkan sesuatu."

Alicia merasa aneh dengan jawaban Mikail. Tak biasanya pria itu melamun, apalagi saat mereka terlibat dalam pembicaraan.

"Kau baik-baik saja?"

Alicia tak langsung menjawab. Wanita itu mengangguk dan berkata, "Ya."

"Turunlah. Aku harus ke ruanganku."

Alicia mengangguk lagi. Menatap Mikail yang berbalik. "Mikail?"

Mikail berhenti lagi. "Ya?"

"Ehm. Apa kalian tidak pergi berbulan madu?" tanya Alicia.

Mikail terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Pernikahan ini begitu tiba-tiba, jadi kami tidak sempat merencanakan hal itu."

"Ah, baiklah." Alicia mengangguk. Kali ini membiarkan Mikail berjalan menjauh menuju ruang kerja pria itu.

***

Di kamar tidur, Megan kembali menutup pintu kamar yang tadi sempat dibukanya. Saat hendak mengejar Mikail dan mengatakan bahwa ketidak siapannya menghadapi pernikahan yang ia katakan sama sekali tak ada hubungannya dengan pria itu. Semuanya murni dari dirinya sendiri. Karena ada yang salah dengannya. Bukan Mikail.

Akan tetapi, niatnya seketika tercegah ketika mendengar pembicaraan Mikail dan Alicia.

'Kau tak perlu melakukannya, Alicia. Biarkan pelayan yang mengurus hal-hal seperti ini. Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak naik ke lantai dua lagi, kan? Itu akan membahayakan kandunganmu.'

Perhatian dan kekhawatiran yang diberikan Mikail terhadap Alicia membuat Megan merasakan cubitan kecil dari tangan tak kasat mata. Tangan Megan bergerak menyentuh dadanya. Yang bergetar lembut oleh sebuah emosi yang seharusnya tak lagi ia rasakan untuk pria itu. Perhatian dan kekhawatiran itu bukan miliknya lagi.

Dan lagi, rasa iri ikut memanjat naik ke permukaan ketika melihat senyum di wajah Alicia. Wanita itu terlihat jelas menyukai kehamilannya. Tampak menikmati setiap momennya bersama bayi dalam kandungannya. Jauh berbeda dengan yang Megan rasakan ketika di masa kehamilannya dengan Kiano.

Hati Megan mendadak berubah getir. Dipaksa meluaskan hatinya akan keberadaan Alicia di sisi Mikail. Pun masih mempertanyakan kenapa Mikail tidak menikahi Alicia?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro