49. Memberi Waktu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tak menemukan Megan di kamar, Mikail pun pergi ke kamar Kiano. Lampu kamar sudah diatur dengan mode tidur. Keheningan menyelimuti seluruh ruangan dan tatapan Mikail langsung mengarah ke tempat tidur. Melihat Megan yang duduk bersandar di kepala ranjang, kepala wanita itu miring ke samping dengan posisi tidak nyaman sedangkan di pangkuan wanita itu ada buku dongeng Kiano yang hampir jatuh ke lantai.

Mikail menghampiri sisi ranjang tempat Megan terduduk. Memperbaiki selimut Kiano dan mengecup kening putranya dengan penuh kasih sayang. Kemudian menyelipkan kedua lengannya di balik punggung dan lutut Megan dan mengangkat wanita itu keluar kamar Kiano tanpa menciptkan suara sekecil apa pun agar istri dan anaknya tidak terbangun.

Sesampai di kamar utama, Mikail membaringkan Megan di tempat tidur. Menarik selimut hingga ke pundak dan duduk di samping Megan. Tangannya terukur, menyelipkan helaian rambut Megan ke balik telinga. Menatap wajah cantik Megan yang rasanya tak pernah berubah. Hidungnya yang mungil dan mancung. Bulu mata yang panjang dan bibir yang merah alami dan tipis. Kerutan tipis terbentuk di antara alis Megan. Ujung jemari Mikail menyentuh di sana dan kerutan tersebut hilang. Senyum tersamar di celah bibir Mikail.

"Berapa banyak lagi rahasiamu, Megan?" gumamnya lirih, nyaris tanpa suara. Ujung jemarinya bergerak lebih turun, ke hidung, bibir, pipi dan dagunya.

Mikail semakin menyadari bahwa ia tak pernah tahu apa pun tentang Megan. Tidak peka akan perubahan sikap Megan. Sepanjang pernikahan mereka.

Entah apa yang dilakukan Marcel terhadap Megan, hanya mereka berdua yang tahu. Megan butuh waktu untuk memberitahunya dan mempertanyakan hal itu pada Marcel adalah hal paling mustahil. Pria itu tak akan melewatkan kesempatan apa pun untuk mengusiknya. Termasuk menggunakan Megan dan Kiano. Dan ia terlalu lemah karena memiliki lebih banyak hal yang tak dimiliki Marcel.

Helaan napas berat Mikail lolos dari bibir dan kedua lubang hidungnya. Matanya terpejam dan satu-satunya hal yang akan dilakukannya adalah menunggu. Menunggu Megan siap. Ia membenci hal itu, tetapi tetap akan melakukannya untuk Megan. Sebagai bentuk penyesalan akan ketidak pekaan dirinya terhadap wanita itu di masa lalu.

*** 

".... Mama? Bangun, Mama?" 

Goyangan pelan membangunkan Megan dari tidurnya yang lelap. Kedua matanya bergerak-gerak dan perlahan membuka. Tersentak pelan ketika seluruh pandangannya menjadi jernih dan wajah mungil Kiano berada tepat di depannya.

"Mama?"

"Kiano?" Megan bergegas bangkit terduduk dan terkejut pelan melihat putranya berdiri di samping tempat tidur. Senyum lebar memenuhi seluruh permukaan wajah Kiano, dengan kedua mata jernih anak itu yang membulat seperti kelereng. Putranya itu sudah rapi dan terlihat begitu tampan. Mengenakan seragam sekolah. Jam berapakah ini?

Kemudian Megan menoleh ke samping, melihat Mikail yang juga sudah rapi dengan setelan kerjanya. Berdiri di depan cermin dan tengah sibuk menyimpul dasi. Pandangan Megan beralih ke jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Apakah memang sepagi ini Mikail dan Kiano memulai harinya? Biasanya ia bangun paling pagi jam Sembilan. Itu pun jika dibangunkan oleh Jelita.

“Selamat pagi, Mama,” sapa Kiano. Berjinjit untuk mendaratkan kecupan di pipi Megan, kanan dan kiri. Yang membuat Megan merasa sungkan untuk membuka mulut dan hanya membalasnya dengan anggukan tipis.

“Kenapa kau di sini?” tanya Megan. Tetapi lebih kepada dirinya sendiri. Seingatnya, tadi malam ia membacakan dongeng untuk Kiano dan tak ingat kembali ke kamar. Pandangannya kembali ke arah Mikail yang sudah selesai menyimpul dasi dan sekarang melangkah ke arah sofa di ujung tempat tidur, mengambis jas. Pandangan Megan mencoba menelisik ke dalam raut wajah Mikail, yang terlihat lebih lunak dan tenang dibandingkan terakhir kalinya mereka saling bertatap muka kemari pagi.

Entah apa yang dilakukan pria itu sepanjang hari kemarin hingga mendapatkan suasana hati yang lebih baik. Megan pikir sesuatu itu ada hubungannya dengan Alicia. Apakah Mikail menceritakan keluh kesah pernikahan mereka pada wanita itu? Hati Megan tak menyukai cara Mikail.

“Mama berjanji akan makan pagi bersama Kiano,” ucap Kiano membangunkan Megan dari lamunan. Membuat wanita itu berpaling dan kembali memberikan perhatian penuhnya pada Kiano.

Megan seketika teringat janjinya. Membelalak sambil memukul keningnya. “Maafkan mama, Sayang. Mama …”

“Tidak apa-apa. Kiano akan menunggu.”

Megan mengangguk sembari menyingkap selimut dan menurunkan kedua kakinya ke lantai. “Tunggu sebentar.”

Kiano mengangguk dan Megan bergegas berdiri. Saat tatapannya bertemu dengan Mikail, wanita itu melemparkan tatapan kesalnya pada Mikail. Bisa-bisanya pria itu tidak membangunkannya dan mempermalukan dirinya di hadapan putra mereka. Yang dibalas kedikan tak bersalah pundak Mikail.

Megan hanya mencuci muka dan mengganti pakaiannya di ruang ganti. Yang bahkan memakan waktu lebih dari sepuluh menit ketika ia berjalan keluar dari ruang ganti. Dan tak menemukan sang putra.

“Ke mana Kiano?” tanya Megan pada Mikail yang duduk menunggu di tengah sofa panjang di depan ranjang. Dengan kedua kaki bersilang, mengamati penampilan Megan dari atas sampai ke bawah sejak wanita itu berjalan keluar dari ruang ganti.

“Aku menyuruhnya menunggu di bawah.”

Megan tak mengatakan apa pun, dan langsung menyeberangi ruang tidur menuju pintu kamar. Yang ternyata dikunci oleh Mikail.

Pandangan Mikail mengikuti langkah Megan. Hanya dengan satu kalimat tentang Kiano, wanita itu langsung berjalan ke pintu. Seolah tak memedulikan keberadaannya di ruangan ini.

“Kenapa pintunya terkunci, Mikail?”

“Kita akan bicara sebelum turun ke bawah.”

“Kiano sudah menungguku. Bisakah kita menunda pembicaraan apa pun itu yang kau inginkan?”

Mikail memberikan satu gelengan mantap dan tegas. Menahan ujung bibirnya yang berkedut tak suka akan penolakan Megan. Satu-satunya hal yang dipikirkan Megan tentang pernikahan ini hanya Kiano. Sepenuhnya hanya tentang Kiano. Dan dirinya hanyalah perantara yang digunakan wanita itu untuk mendapatkan keinginannya. Yang benar-benar mengusi ego dan harga dirinya.

Dengan kesabaran yang berusaha menekan dalam-dalam kejengkelannya, Mikail menarik napas tanpa suara. “Semakin cepat kita bicara, kau akan segera turun ke bawah, Megan,” ucapnya dengan ketegasan yang tak terbantahkan.

Megan yang menangkap ketegasan tersebut pun membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah Mikail dan tatapan mereka bertemu. Yang seketika membekukan raut wajahnya. Keseriusan yang begitu dalam menyelimuti ekspresi wajah Mikail, yang membuat seluruh tulang punggung Megan ikut membeku.

“Aku akan memberimu waktu.”

Napas Megan tertahan. Tak tahu apakah harus merasa benar-benar lega atau ini hanyalah kelegaan yang sementara. Berapa banyak waktu yang akan diberikan oleh Mikail? Megan tak yakin waktu itu akan cukup. Seberapa lama pun Mikail memberikannya. Megan tak akan pernah siap.

“Berapa banyak waktu yang kau inginkan?”

Megan ingin sebanyak mungkin, tetapi tatapan tajam Mikail jelas tak mengijinkan hal itu.

“Satu minggu? Dua? Atau satu bulan?”

Megan tak langsung menjawab. “Aku tidak tahu, Mikail.”

“Dua minggu kalau begitu.”

Mata Megan membelalak. “Tidak mungkin, Mikail.”

Mikail bangkit berdiri. “Buat hal itu mungkin untuk dirimu sendiri, Megan.”

Napas Megan tercekat.

Mikail berjalan menghampiri Megan, dengan langkah yang sangat pelan. Yang setiap langkahnya membuat Megan merasa semakin disudutkan. “Mulai besok, Marcel akan bekerja di kantorku. Cepat atau lambat pernikahan ini akan diendus olehnya.”

Kalimat Mikail membuat dada Megan ditekan, semakin dalam dan dalam seiring Mikail yang semakin menutup jarak di antara mereka.

Mikail menangkap kepucatan di wajah Megan yang semakin pekat. Yang semakin meyakinkan dirinya bahwa rahasia apa pun yang berusaha Megan sembunyikan darinya, ada hubungannya dengan Marcel. “Kupikir kau cukup mengenal karakter Marcel. Dan meski dia saudaraku, aku hanya akan memercayai kalimat yang keluar dari mulutmu.”

“Jadi, sebelum aku mendengarnya dari Marcel, akan sangat bijaksana jika kau yang lebih dulu mengatakan rahasia kalian berdua padaku, Megan. Percayalah, aku akan membantumu. Dan meski aku tidak menyukai ini,  aku lebih memercayai dirimu daripada Marcel.”

Megan tak memiliki keyakinan itu terhadap Mikail. Bukan karena ia tak memercayai Mikail, tetapi dirinyalah yang tak akan bisa dipercaya oleh Mikail. Megan hanya takut, apa pun itu yang diketahui oleh Mikail. Akan membuat hubungan mereka semakin rusak. Dan ia tak sanggup menghadapai kehancuran untuk kedua kalinya.

“Pilihan ada di tanganmu. Kau ingin aku mendengarnya darimu atau dari Marcel?” Mikail berhenti tepat di hadapan Megan, tangan pria itu terulur menyentuh ujung dagu Megan. Mengangkatnya sedikit, menyejajarkan pandangan mereka.

Megan menggigit bibir bagian dalamnya. Mempertimbangkan selama beberapa saat, dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa Mikail lebih bisa dipercaya ketimbang Marcel. Ia pun memberikan Mikail satu anggukan tipis yang singkat. Yang memuaskan Mikail

Mikail tersenyum tipis dengan ujung bibirnya. Menarik dagu Megan lebih dekat dan mendaratkan kecupan singkat di bibir wanita itu yang lembut. Hanya satu kecupan, Mikail menginginkan lebih dan lebih, tetapi ia tahu Megan tak siap dengan interaksi tubuh mereka lebih dari ini. Jadi ia menarik wajahnya menjauh. Kegelisahan dan keresahan yang begitu pekat memenuhi kedua mata wanita itu. Membekukan seluruh tubuh Megan.

“Kita turun. Kiano sudah menunggu.”

Megan tak mengangguk dan tak mengatakan apa pun. Membiarkan tubuhnya dibalik saat Mikail mengeluarkan kunci dari dalam saku celana. Keduanya pun berjalan bersama keluar dari kamar tidur dan turun ke lantai satu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro