50. Tersingkirkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sampai di ruang makan, keduanya melihat Alicia yang duduk di kursi samping Kiano. Wanita itu tampak sibuk membujuk Kiano untuk membuka mulut sedangkan Kiano menggeleng. Tampak keras kepala menolak suapan dari tangan Alicia.

“Kiano ingin mama yang melakukannya. Mama sudah berjanji.”

“Ya, tapi mamamu sedang istirahat dan tak bisa …”

Kening Megan berkerut tak suka dengan jawaban yang diberikan Alicia kepada Kiano.

“Mama?” Kalimat Alicia terputus oleh suara memanggil Kiano yang langsung menyadari kedatangan kedua orang tuanya.

Alicia ikut menoleh, dengan kekecewaan yang melintasi kedua matanya. Menatap Mikail dan Megan bergantian, bahkan dengan lengan Mikail yang merangkul pundak Megan. Mengisyaratkan bahwa hubungan pasangan itu tampaknya sudah membaik. Secepat ini? Alicia tak memercayai fakta tersebut. Mikail tak pernah semudah itu diluluhkan, dan lagi-lagi kehadiran Megan di rumah ini hanya untuk mematahkan segala kebiasan yang Mikail dengan telak.

Kiano melompat turun dari kursi dan langsung berlari menghampiri Megan dengan kedua lengan yang terbuka lebar. Memeluk sang mama.

Megan membalas pelukan tersebut. “Maaf, Mama sedikit terlambat.”

Kiano mendongakkan wajahnya sambil menggeleng dan berkata, “Tidak apa-apa. Ayo.” Kiano mengurai pelukannya dan mengambil tangan Megan. Menarik wanita itu menuju kursi di seberang meja tempat duduknya yang sebelumnya karena masih ada Alicia di sana.

Alicia memaksa sebuah senyuman untuk Mikail menutupi kekecewaan dan rasa irinya. “K-kau sudah datang?”

Mikail mengangguk dan memberikan seulas senyum singkat membalas Alicia. Duduk di kepala meja dan pandangannya langsung terpusat pada Megan yang mulai menyiapkan makanan untuk Kiano. Menawarkan menu makanan di meja, dan keduanya memang cocok. Seperti ibu seperti anak, keduanya memiliki makanan favorit yang sama. Roti panggang dengan selai kacang strawberry. Yang Mikail tak pernah rasakan dan tak pernah berminat ingin mencoba perpaduan aneh dua rasa tersebut.

“Kau ingin makan apa?” tanya Alicia, berusaha mengalihkan perhatian Mikail dari Megan dan Kiano. “Roti panggang atau tawar?”

Mikail mengerjap dan tersadar, menoleh ke arah Alicia yang sudah memegang dua macam roti di depan wanita itu. Mikail pun mengambil sepotong roti tawar dan meletakkannya di piringnya sambil mengucapkan, “Terima kasih.”

“Habiskan makananmu, Alicia. Juga susumu,” tambah Mikail. Yang tentu saja langsung mendapatkan lirikan dari Megan yang tengah menyuapkan sepotong roti ke mulut Kiano. Selalu dan selalu, perhatian yang diberikan Mikail untuk Alicia berhasil membuatnya merasa terusik.

Megan kembali mengalihkan perhatiannya pada Kiano. Senyum manis Kiano kembali membuat suasana hati Megan kembali utuh. Dan belum pernah Megan berinteraksi selepas ini bersama seseorang selain dengan Kiano.

“Apa hari ini Mama akan menjemput Kiano?” tanya Kiano. Kedua kakinya yang menggantung bergerak terayun-ayun dengan gerakan yang konstan. Kedua tangannya memegang gelas berisi susu, menyempatkan bertanya sebelum meneguknya.

Megan mengangguk dengan senyum. “Ya, hari ini nanti siang Mama akan menjemput Kiano,” jawabnya sambil mengelus kepala Kiano.

Wajah Alicia seketika diselimuti protes.

“Jadi apa kita bisa makan siang bersama Papa?” tanya Kiano kemudian.

Mikail mengangguk dengan sebuah senyuman.

“Yeayy.” Kedua tangan Kiano naik dan bergerak dengan gembira. Suara tawanya memenuhi seluruh ruang makan. Yang menularkan senyum pada Megan dan Mikail. Sedangkan Alicia, lagi-lagi harus memasang senyum demi menutupi kecemburuannya terhadap Megan yang menjadi alasan kebahagiaan di wajah Kiano.

***                                             

Mobil yang membawa Megan untuk menjemput Kiano sudah sampai di sekolah Kiano. Berhenti di halaman khusus yang disediakan khusus untuk para penjemput. Megan menurunkan topi dan memasang kaca mata hitamnya. Memastikan wajahnya tidak dikenali siapa pun sebelum turun dari dalam mobil. Mengedarkan pandangan ke sekeliling dan seketika ia menjadi pusat perhatian oleh beberapa wali murid yang sudah datang lebih dulu.

Megan menahan napasnya, meyakinkan diri bahwa semua perhatian itu karena penampilannya yang –sedikit- seksi dan jelas mencolok dibandingkan para ibu-ibu lainnya. Karena cuaca panas, Megan hanya mengenakan celana pendek setengah paha dari bahan jeans dan kemeja putih yang ujungnya diselipkan di kancing celana. Lengannya di gelung hingga siku, dengan detail lubang di punggung atas. Yang menampilkan kulit putih dan mulusnya.

Ia sendiri sudah terbiasa menjadi pusat perhatian, tetapi di tempat dan saat yang berbeda. Pandangan penuh ingin tahu dan decak kagum, meski lebih banyak tatapan sinis dari para wanita.

Megan sangat sadar dirinya memiliki kecantikan di atas rata-rata dengan tubuh proposional. Mereka semua hanya melihat kulit yang melapisi tubuhnya, tanpa tahu apa yang dibungkus oleh kesempurnaan tersebut.

Langkahnya berhenti setelah mendapatkan kursi tunggu yang masih kosong di sudut area tunggu. Tepat di samping pot besar dengan tanaman setinggi tubuhnya. Wajahnya turun, menatap jam di tangannya dan jika tidak terlambat. Lima menit lagi Kiano akan muncul di pintu ganda berwarna biru muda dan pink yang sudah dibuka. Berjarak sekitar sepuluh meter dari area tunggu.

Baru saja Megan mendaratkan pantatnya, ponselnya bordering dan menampilkan nama Mikail di layarnya yang berkelap-kelip.

“Ya?”

“Kiano belum keluar?”

“Ya, kau bilang tepat jam satu, kan?”

“Hmm. Aku hanya ingin memberitahumu. Ada sedikit kendala di tempat proyek dan aku akan terlambat kembali kantor. Jadi kita akan makan siang di ruanganku.”

“Kalau begitu aku akan makan siang dengan Kiano.”

Tak ada jawaban selama beberapa detik. Sebelum kemudian suara Mikail berubah dingin dan tegas. “Apa yang sedang coba kau lakukan, Megan?”

Megan menyadari perubahan intonasi suara Mikail dan tersadar ada yang salah dengan kata-katanya. Membuat raut wajahnya seketika membeku, tanpa sepatah kata pun.

“Hanya karena Kiano menginginkanmu, bukan berarti kau bisa berbuat sesukamu, Megan. Apa kau ingin aku mengajari Kiano bahwa apa pun yang dia inginkan, terkadang tak bisa didapatkannya? Seberapa pun kerasnya dia berusaha dan seberapa pun besarnya dia menginginkannya.”

“Maafkan aku, Mikail.” Megan seketika menyadari keegoisan dan keangkuhannya di saat yang bersamaan. Meminta maaf adalah pilihan terbaik yang harus dilakukannya atau Mikail benar-benar akan melakukan ancamannya dengan tegas. Terutama ketika kata-kata itu terdengar begitu familiar di telinganya. Yang membuat napas Megan sempat tercekat.

Mikail tak langsung membalas. “Terlambat sepuluh menit tak akan membuat Kiano kelaparan, Megan. Kau bisa menikmati waktumu lebih banyak bersamanya. Apakah kau masih tak menyadari betapa pemurahnya aku?”

Megan menarik napasnya panjang dan pelan tanpa suara. “Ya.”

“Baguslah jika kau cepat mengerti. Berikan pelukanku untuk Kiano. Aku harus pergi.”

Panggilan terputus, dan rasanya Megan baru saja mendapatkan napasnya ketika pandangannya yang mengarah ke area parkir. Matanya menangkap sebuah mobil berwarna merah yang begitu mencolok sekaligus familiar, terparkir tepat di samping mobilnya.

Seluruh tubuh Megan membeku, ketika kaca jendela belakangnya bergerak terbuka dan wajah Nicholas muncul di sana. Ponsel Megan yang menempel di telinga hampir meluncur terjatuh. Napas Megan tercekat dengan keras, dan butuh beberapa saat bagi wanita itu untuk mencerna situasinya.

“Mama??” Suara memanggil dari arah belakang memutus arah pandangan Megan. Dipenuhi kegirangan dan saat Megan menoleh, kedua lengan Kiano sudah melingkari perutnya. Wajah pucat Megan tertunduk dan menatap wajah mungil Kiano. “Mama datang?”

“Ya, tentu saja, Sayang.” Tangan Megan terulur dan merangkum sisi wajah Kiano. Mengelusnya dengan lembut dan memaksa sebuah senyuman tulus untuk putranya tersebut. Kemudian kembali mengangat wajahnya dan mobil Nicholas menghilang dalam sekejap. Kelegaan sekaligus kegelisahan bercampur aduk memenuhi dadanya.

Keduanya pun berjalan bersama dengan saling bergandengan tangan. Dan tanpa Megan tanya, Kiano langsung bercerita sepanjang ia berada di dalam kelas. Megan berusaha untuk focus mendengarkan kisah putranya, tetapi Nicholas benar-benar mengganggu pikirannya lebih banyak.

Sampai di gedung perkantoran Mikail, Megan dan Kiano langsung ke lantai atas dan dipersilahkan menunggu di dalam ruangan Mikail. Keduanya duduk di sofa panjang, Megan masih mendengarkan celoteh Kiano. Bocah mungil itu terlihat begitu bahagia, lebih bahagia dari hari-hari biasanya karena hari ini Megan yang menjemputnya. Yang entah berapa kali Kiano ungkapkan.

Megan tentu saja tak bisa menahan kebahagiaan yang sama yang mengembang di dadanya. Walaupun pikirannya dipenuhi oleh Nicholas.

Saat sekretaris Mikail masuk untuk membawakan menu makan siang mereka, Mikail datang. Dengan Alicia.

“Kalian di sini?” tanya Alicia menampilkan raut terkejut yang dibuat-buat di hadapan Megan sedangkan Kiano langsung bangkit dan menghampiri Mikail. Naik ke gendongan sang papa untuk mendapatkan kecupan di pipi kanan dan kiri sebagai sambutan.

Pandangan Megan seketika beralih pada Mikail yang segera menjelaskan bahwa  mereka bertemu di lobi. Megan tentu saja menyangsikan alasan tersebut. Meski seharusnya ia tak peduli dengan urusan apa pun antara Mikail dan Alicia. Toh mereka terikat hubungan yang rumit dengan anak dalam kandungan Alicia.

Alicia duduk di seberang meja sedangkan Mikail melepas jas dan menghampiri gantungan di samping kursi pria itu. Dengan sudut matanya yang tak lepas dari ekspresi di wajah Kiano. Senyum tersamar di ujung bibirnya menyadari senyum Kiano yang tak pernah selepas ini. Juga keaktifan anak itu dalam bercerita. Mau tak mau, Mikail menyadari arti keberadaan Megan bagi putranya tersebut.

Setelah Mikail duduk di sofa tunggal, pria itu mulai membuka kotak-kotak menu makanan yang sudah hampir memenuhi seluruh meja. “Udang mentega untuk jagoan papa.”

“Terima kasih, Papa.” Senyum Kiano.

Di antara interaksi papa dan anak tersebut, getaran ringan dari dalam tas mengalihkan perhatian Megan. Megan merogoh tasnya dan wajahnya memucat melihat nama Nicholas yang muncul di layar ponselnya.

Hal tersebut tak luput dari pengawasan Mikail karena Megan yang mendengar panggilan Kiano.

“Ma?” Kiano menyentuh lengan Megan dan menggoyangnya pelan. Yang membuat Megan tersentak pelan dan segera memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas.

“Ya, Sayang?”

“Apa Mama suka ini?” Kiano menawarkan udang mentega yang diberikan oleh Mikail.

Megan mengangguk, meski menatap ragu makanan kesukaannya tersebut. Yang sekali lagi mengingatkan dirinya, betapa miripnya Kiano dengannya.

Tatapan Mikail masih melekat pada raut wajah Megan. Yang terbelah pikirannya antara Kiano dan entah apa. Kecurigaan Mikail semakin menguat, ketika di tengah-tengah mereka berempat makan bersama, tiba-tiba Megan berpamit ke toilet. Membawa serta tas wanita itu. Bahkan wanita itu tidak masuk ke dalam kamar mandi di ruangannya, dan memilih keluar dari ruangannya.

Megan melangkah terburu begitu menutup pintu ruangan Mikail. Bergegas masuk ke toilet wanita yang ada di ujung lorong pendek yang berada di samping kanan ruangan Mikail. Yang hanya digunakan oleh sekretaris Mikail dan anak buah Mikail yang bertugas di lantai khusus ini.

Getaran ponsel itu masih terus dirasakan Megan di dalam tasnya sepanjang perjalanannya masuk ke dalam kamar mandi. Ia segera mengeluarkan ponselnya dan jemarinya sudah mengangkat panggilan tersebut ketika tiba-tiba ponsel tersebut direbut dari arah belakangnya. Tubuh Megan berputar, terkejut menemukan siapa pelakunya.

“M-mikail?”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro