55. Musuh Dalam Selimut

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tinggalkan Mikail. Atau aku sendiri yang akan membuatmu kehilangannya."

"Kau benar-benar berengsek, Marcel. Sampai kapan kau akan berhenti menggangguku dan Mikail?"

"Sampai aku merasa puas."

"Aku sama sekali tak peduli dengan kepuasan yang akan kau dapatkan dari penderitaanku."

"Jika kau tidak bisa memberiku kebahagiaan yang kuinginkan, maka kau pun tak berhak atas kebahagiaan itu, Megan. Aku akan memastikan kau merasakan hal yang sama. Seperti yang kurasakan. Setiap derita dan setiap kepedihanku, kau akan ikut merasakannya."

"Tidak. Aku tak bertanggung jawab untuk semua itu. Kau sendirilah yang bertanggung jawab pada dirimu sendiri, Marcel."

"Kau tahu, aku dan Mikail terbiasa berbagi. Prestasi, pencapaian, dan harta, aku tak pernah merasa peduli dengan apa yang dimilikinya. Satu-satunya hal yang paling tidak bisa kutahan kecemburuanku adalah dirimu. Hanya dirimu. Jadi"

Megan mendorong tubuh Marcel, tetapi pria itu menangkap pinggangnya dan mendorongnya ke dinding. Punggung membentur tembok dengan keras, membuat Megan memekik oleh hantaman tersebut dan Marcel memang sengaja memberinya rasa sakit tersebut.

Wajah pria itu semakin mendekat, menipiskan jarak di antara wajah mereka dan berbisik dengan kebenginsannya, "Kau meninggalkan kami berdua? Atau aku akan membuatmu kehilangan Mikail untuk selama-lamanya?"

"Pastikan saja tidak ada anak di antara kalian. Atau aku akan membuat kalian semua berada dalam keraguan yang membunuh kita semua secara perlahan."

Megan mengerjap, mengingat dengan jelas kalimat ancaman Marcel yang sudah tertanam kuat di benaknya. Matanya menatap ketajaman tatapan pria itu yang berusaha menggali penjelasan di balik tatapannya. Megan menarik napas perlahan dan berkata dengan suara berusaha keluar setenang mungkin. "Aku tak ingin membahas hal itu, Mikail."

Mikail terdiam. Megan tak pernah pandai menyembunyikan kebohongan ataupun rahasia darinya. Wanita itu seperti buku yang terbuka baginya, tetapi kali ini. Tembok tinggi Megan sama persis dengan saat ia mempertanyakan alasan wanita itu meninggalkannya tujuh tahun yang lalu.

"Marcel?" Mikail mengucapkan nama saudaranya dengan tanda tanya yang mengambang. Mulai memikirkan kemungkinan kekacauan yang wanita itu miliki salah satu sumbernya adalah Marcel.

Seluruh tubuh Megan menegang, membuang pandangannya dari Mikail dan wajahnya seketika terlihat begitu emosional. "Dan aku tak ingin membahas hal apa pun tentang dia, Mikail," desis Megan tajam. Dengan kemarahan yang menggeliat dari dalam dadanya.

"Sekarang. Kau masih ingat aku akan mengetahui apa pun urusanmu dengannya, kan?" Mikail menekan kalimatnya dengan tegas dan penuh penekanan. Memastikan Megan mengingat dan mendengarkan dengan saksama. "Akan jauh lebih baik jika aku mengetahuinya darimu sendiri, Megan."

Wajah Megan yang membeku mulai memucat. Ia sudah menjanjikan hal tersebut pada Mikail, dan berpikir bahwa itu tak akan menjadi sebuah janji. Melainkan sebuah penghindaran. Demi memikirkan cara untuk mengulur pertanyaan tersebut. Dan ia sudah kehilangan satu hari untuknya memikirkan cara tersebut. Ia masih punya waktu.

Mikail beranjak, mengambil remote AC dan menaikkan suhunya sebelum berkata, "Tiduralah. Besok pagi Kiano sudah boleh pulang jika tak ada keluhan apa pun."

Megan tak mengatakan apa pun. Kedua matanya hanya mengamati Mikail yang meletakkan remote di nakas tepat di sampingnya dan mengatur lampu ke mode tidur. Sebelum kemudian berpindah ke kasur khusus penjaga yang diletakkan di sisi lain ranjang Kiano. Berbaring dengan lengan diletakkan di kening dan matanya mulai terpejam.

Sedangkan Megan hanya tertegun menatap sisi wajah Mikail selama beberapa saat, lalu mulai ikut memejamkan mata dan kegelapan perlahan membawanya ke dalam tidur yang nyenyak.

***

Megan terbangun dan menemukan cahaya matahari yang hangat sudah menerangi seluruh ruangan dan terkejut Kiano tak lagi berada dalam pelukannya. "Kiano?!" panggilnya sambil melompat terduduk dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.

"Mama." Suara memanggil dari arah set sofa segera membuat Megan mendesah dengan lega. Meski kelegaan tersebut hanya sejenak melihat sosok lain yang duduk di samping Kiano.

Alicia tengah menyuapkan sesendok nasi ke mulut Kiano yang langsung membuka mulut. Setelah nasi tersebut masuk ke dalam mulutnya, bocah kecil tersebut langsung beranjak dan menghampiri Megan yang baru saja turun dari tempat tidur.

"Mama." Kiano memeluk pinggang Megan dengan senyum semringahnya. Di antara kunyahan makanannya.

Megan mencoba mengabaikan keberadaan Alicia dan ikut tersenyum melihat putranya sudah terlihat kembali ceria. Telapak tangannya merangkum wajah sang putra. "Kiano sudah bangun?"

Kiano mengangguk dengan penuh semangat. Masih mengunyah lalu menelannya dan berkata, "Papa bilang mama sedang sakit. Jadi Kiano tidak boleh membangunkan mama. Apa ini yang membuat mama sakit?" Kiano menyentuh perban yang melilit pergelangan tangan.

"Ya." Megan tak punya jawaban selain mengangguk. Mengingat bagaimana dia mendapatkan luka ini hanya semakin membuat dirinya menjadi menyedihkan.

"Terluka?"

"Y-ya." Sudut matanya melemparkan satu tatapan pada Mikail yang menyesap cangkir kopinya. Membalas tatapannya dari balik cangkir.

"Bagaimana Mama bisa mendapatkan luka ini?" Tangan Kiano bergerak menyentuh pinggiran perbann dengan hati-hati. Kemudian matanya yang bulat bergerak naik. Menatap kedua mata Megan dan menunggu jawaban dari sang mama.

Megan menelan ludahnya. Sekali lagi melemparkan tatapan dengan sudut matanya pada Mikail.

"Kiano," panggil Mikail menyela di antara pertanyaan tersebut berkat permohonan yang dilemparkan Megan padanya. Lagipula ia tak mungkin membiarakan putranya mengetahui hal semacam itu. "Kau harus menghabiskan sarapanmu, Jagoan. Sebentar lagi dokter akan datang dan jagoan papa harus terlihat kuat dan sehat. Benar, bukan?"

Kiano mengangguk patuh, menarik lengan Megan dan duduk di sofa panjang di seberang Alicia. Megan menatap beberapa menu makanan yang jelas bukan dari rumah sakit.

"Aku tak tahu makanan kesukaanmu untuk sarapan. Jadi aku hanya membawa daging panggang kesukaan Mikail," ucap Alicia menunjukkan piring berisi beberapa potong daging yang sudah tersisa setengah.

Megan melirik ke piring Mikail yang sudah kosong. Tak pernah tahu kalau daging adalah makanan kesukaan Mikail. Mikail tak pernah menyukai makanan apa pun secara spesifik. Tapi mungkin saja Mikail suka daging panggang karena Alicia dan itu bukan urusannya. "Aku makan di rumah saja."

"Kau harus makan, Megan," sambar Mikail tepat setelah Megan menyelesaikan penolakannya. Pria itu mengambil piring berisi daging panggang yang tadi sengaja ia sisakan untuk wanita itu dan meletakkannya tepat di hadapan Megan.

Sikap tersebut pun tak luput dari pengamatan Alicia. Sepintas kecewa melintasi wajahnya akan perhatian yang masih didapatkan Megan. Bahkan setelah kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh Megan terhadap Kiano. Apakah semudah itu seorang Mikail memaafkan? Ini jelas bukan sikap Mikail yang telah ia kenal selama ini. Mikail tak pernah mudah memaafkan sebuah kecerobohan.

Bahkan satu piring daging panggang yang sengaja ia bawa dari rumah hanya untuk Mikail. Pria itu malah sengaja memakan setengah porsi dan menyisakan untuk Megan. Yang semakin menumpukkan kecemburuan di dadanya terhadap Megan.

"Aku tak berjanji dokter akan membiarkanmu pulang bersama Kiano jika kau sendiri tak bisa memastikan dirimu baik-baik saja, Megan."

"Ya. Mama harus makan. Agar saat dokter memeriksa nanti, kita sehat dan kuat," tambah Kiano kemudian. Yang membuat Megan mau tak maumengambil makanan yang dibawa oleh Alicia hanya demi putranya tersebut.

Tepat setelah Megan dan Kiano menghabiskan makanan masing-masing, dokter datang dan memeriksa Kiano. Mikail pun keluar untuk menyelesaikan administrasi Megan dan Kiano sedangkan Megan mempersiapkan Kiano sambil mengemas beberapa barang bawaannya dan Alicia sibuk membersihkan meja. Satu-satunya suara hanyalah celoteh Kiano yang terus mengikuti langkah Megan ke mana pun wanita itu berjalan. Semuanya selesai ketika Mikail datang dengan dua orang pria berpakaian serba hitam yang membawa semua barang-barang.

"Perhatikan langkahmu, Megan." Mikail menangkap lengan Megan yang nyaris menabrak seorang perawat yang berlari dengan terburu ke arah belakang mereka. Tubuh Megan membentur dada Mikail, membuat wanita itu tersentak pelan dengan wajah terdongak. Dengan wajah Mikail yang tertunduk, membuat jarak di antara wajah mereka cukup dekat hingga Megan bisa merasakan napas Mikail yang berhembus dan menerpa wajahnya.

Napas Megan tertahan dan untuk beberapa saat keduanya tertegun dan saling pandang. Megan bahkan bisa mendengar debaran jantungnya yang nyaris menembus dadanya.

"Apa mama baik-baik saja?" Suara polos Kiano menyela di antara kertepakuan kedua orang tuanya tersebut.

Megan menggeliat dan menjauhkan tubuhnya dari Mikail dan mengangguk untuk sang putra. "Ya, mama baik-baik saja, Sayang," jawabnya dengan suaranya yang serak. Kemudian kembali menggandeng tangan Kiano dan melangkah lebih dulu.

Megan menelan ludahnya, mengembalikan detak jantungnya yang tak beraturan dengan telapak tangan menepuk pelan dadanya. Seharusnya tidak seperti ini. Hal seperti ini seharusnya tidak terjadi pada dirinya. Ayolah, Megan. Kau bukan remaja labil yang melakukan hal seperti ini. Semua masamu dan Mikail sudah berlalu, Megan.

"Apakah dada mama sakit?" Pertanyaan Kiano lagi-lagi menyela benak Megan yang sibuk melantur.

Kedua mata Megan membelalak, nyaris tersedak ludahnya sendiri oleh pertanyaan tersebut. Kemudian wanita itu menggeleng dengan gugup. "T-tidak, sayang."

Senyum tersemat di ujung bibir Mikail mendengar pembicaraan Megan dan Kiano dari belakang. Dan lagi-lagi hal tersebut tak lepas dari pengamatan Alicia yang berjalan di samping Mikail. Alicia pun sengaja memperlambat langkahnya, dan hanya butuh beberapa saat bagi Mikail untuk menyadari hal tersebut.

"Apa kau baik-baik saja?" Mikail sengaja melambat langkahnya. Teringat akan perut besar Alicia yang membuat langkah wanita itu tidak bisa secepat langkah besarnya.

Kilatan licik melintasi kedua mata Alicia di balik senyum yang dilepaskan untuk Mikail bersama satu anggukan pelannya. "Maaf. Aku memperlambatmu."

"Bukan masalah, Alicia."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro