3 - BERULANG

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kau, dia, dan mereka membuatku percaya bahwa bumi itu dapat berputar. -Rey

************

"Putra?! Gimana bisa?!"

Gadis itu terdengar sangat-sangat kaget saat menerima telfon yang entah dari siapa.

Tuhan, tolong jangan lagi.

"D—dimana? .... Iya...iya iya gue dateng."

CTAK!

Ia membanting telfon rumahnya. Andrea mengusap kasar wajahnya. Air mata mengalir perlahan lewat pipi mulusnya, tanpa ia sadari, hatinya remuk begitu saja. Bagaimana bisa, seorang Putra dilarikan ke ICU hanya karena mabuk? Tidak mungkin. Pasti ada hal lain.

Andrea segera bergegas, meskipun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, ia tak peduli. Pikirannya berantakan saat itu juga. Kebetulan, Mama sedang ada di luar kota selama satu tahun. Sementara Papa...pahlawannya itu sudah pisah rumah dengannya sejak ia berumur sebelas tahun. Namun status kedua orangtuanya masih belum cerai. Hal itu yang membuat Andrea merasa hanya anak-anak Astrazero-lah keluarga keduanya.

Terombang-ambing dalam hubungan keluarga yang tak jelas ujungnya akan seperti apa.

Sifat buruk Andrea, juga muncul karena hal itu.

"Neng, tadi nyonya nanya—loh mau kemana?"

Suara serak wanita tua dibelakangnya membuat Andrea tersentak. Oh, itu adalah Nenek Mera, salah satu pembantunya dirumah. Nenek? Ya. Meskipun Mamanya dan Papanya dulu sudah sering mengingatkan Andrea untuk memanggilnya dengan sebutan 'Bi', Andrea tetap memaksakan diri memanggil pembantu sekaligus pengurus kesayangannya itu dengan sebutan Nenek. Selain karena Andrea jarang sekali—bahkan hampir tidak pernah—bertemu nenek aslinya, Nenek Mera selalu menyayangi Andrea selayaknya anak sendiri. Neneknya dari Sang Bunda sudah tiada sejak gadis itu berumur sepuluh tahun, sementara dari Ayahnya, sudah tak pernah lagi bertemu sejak kedua orangtuanya bermasalah.

"Nek, kalo Mama telpon lagi, bilang aku udah tidur. Aku mau ke rumah sakit, temen aku sakit."

Setengah jujur, setengah berbohong. Ia tahu tidak seharusnya ia berbohong kepada Nenek Mera yang sudah mengurusnya sejak kecil. Tapi, mau bagaimana lagi?

"Siapa, Neng? Sakit apa? Mau Nenek telfonin Mang Dadang buat dianter? Udah malem nanti kalo sendirian Neng Rea bisa..."

"Nek, aku nanti ketemu temen-temen disana. Udah ya, aku pergi dulu." Seusai memeluk nenek nya, Andrea bergegas pergi menuju rumah sakit saat tahu ojek online dadakan yang dipesannya sudah sampai di depan rumah.

***

Minuman hijau itu memiliki aroma yang sangat aneh. Padahal Putra yakin bahwa tadi minuman yang dipesannya mengandung sedikit sekali kadar alkohol, namun kenapa minuman yang sekarang ada di tangannya berwarna sangat hijau? Baunya juga menyengat.

"Ah, gue gak salah pilih kok."

Tak mau pikir panjang, Putra tetap membawa minuman itu hingga ke sofanya. Ia melihat kearah Ezra yang tertidur di sofa setelah mabuk barusan. Putra memutuskan untuk tidak mengganggu singa tidur itu, maka ia mencicipi minuman itu sendirian.

Baru dua teguk, ada rasa aneh yang tiba-tiba menyerang perutnya. Rasanya perih dan cukup membuat lambungnya seperti diikat mati.

Merasa ada yang tak beres, Putra segera pergi ke toilet. Ia memilih wastafel belakang dimana tempat itu sepi dari para pengunjung. Rasanya saat itu ia ingin muntah.

Tubuhnya terasa memanas, perutnya semakin sakit, kepalanya mendadak pusing dan nyeri disaat yang bersamaan, pandangannya mulai berputar-putar. Sesuatu terasa naik ke tenggorokan laki-laki itu, meskipun Putra berusaha menahan rasa sakit itu mati-matian, jujur saja ia tak sanggup. Seperti ingin mati. Keringat dingin ikut serta mengalir lewat pelipisnya, ia mengerang dan menjambaki rambutnya sendiri, merasa tak tahan dengan rasa sakit yang tiba-tiba muncul saat ini juga.

Tak lama kemudian, isi perut laki-laki itu keluar semua. Sialnya, seperti masih ada yang tertahan di lambungnya dan tidak bisa keluar. Hal itu membuatnya semakin tersiksa. Rasa sakit itu merembet kemana-mana, bahkan sekarang yang keluar dari mulut laki-laki itu bukan hanya isi perut, melainkan darah. Mengotori jaket putih yang ia gunakan. Sebelumnya Putra tak pernah merasa sesakit ini. Ini sangat parah!

Kakinya mendadak lemas, pandangannya buram, lama kelamaan gelap.

BRUK!

***

Seorang gadis menerobos koridor rumah sakit, matanya seolah menelanjangi seluruh sudut rumah sakit demi mencari sebuah ruangan. Disana, didepan ruangan yang dimaksud, sudah ada Kanya, Adrian, Dean, dan Orland. Menunggu dengan wajah cemas. Mereka sama-sama tidak mengerti apa yang terjadi. Hanya satu yang ada di pikiran mereka; apakah kawan mereka berhasil diselamatkan?

"Dimana?" Andrea datang dengan napas terengah-engah. Jelas sekali jika ia buru-buru tadi.

"Di dalem. Tapi kalo Ezra bukan disini." Adrian terdengar sangat lesu saat menjawab pertanyaan Andrea. Ia mendudukan dirinya di kursi tunggu, sama-sama berharap agar hal baik datang kepada mereka.

"Jelasin, kenapa sih ini?" Begitu ia merasa tenang sedikit, Andrea meminta penjelasan dari keempat sahabatnya yang ada disana.

Orland berdiri di dekat Andrea. Ia memelankan suaranya, takut-takut ada orang lain yang mendengar percakapan mereka.

"Tadi, Ezra sama Putra ke club."

Satu kalimat yang meluncur sudah mampu membuat gadis itu tersentak kaget.

"Ezra kalo stress itu nekat, tapi nekatnya dia bawa-bawa Putra. Ya, bukan salah Ezra sih, karena dia mabuk jadi dia ketiduran disana."

Andrea diam menatap si pendongeng, terlihat ingin diceritakan lebih detail. "Katanya Ezra, dia sempet samar-samar denger teriakan orang sekitar club, bilang ada yang pingsan di toilet, tapi karena keadaan dia juga mabuk berat, Ezra ikutan collaps saat itu juga. Jadilah mereka dibawa kesini. Untung Ezra bisa sadar lagi, dia dipindahin ke kamar rawat karena ga parah. Kalo Putra, mukanya pucet banget, badannya dingin kayak mayat, dan kayaknya dia keabisan darah..."

Andrea meringis mendengarnya. Merasa ngilu dengan cerita detail dari Orland. Ia menutupi wajahnya takut. Oh ya, Ezra sekarang sudah sadar, ia ada di kamar inap bersama suster rumah sakit, sementara mereka menyuruh Andrea ke ICU karena saat ini keadaan Putra lebih penting dibandingkan Ezra. Sekalipun Ezra adalah kekasihnya, namun jika hal itu menyangkut nyawa seseorang, maka nyawa lah yang paling berharga daripada hubungan.

Malam semakin larut, keadaan makin sepi, hanya suara jangkrik yang menemani. Merkea semakin takut akan satu hal, takut Putra bisa 'meninggalkan' mereka kapan saja. Bulan purnama malam itu bersinar sangat terang, seolah mengejek kepedihan yang mereka rasakan. Dean bersandar di dinding penopang rumah sakit, menatap pilar-pilar putih disana. Tatapannya lurus dan kosong. Tak ada yang bisa menebak hal apa yang sedang berputar di pikiran Dean saat itu. Begitu juga Orland yang memandangi lampu depan ICU dengan pandangan tanpa arti. Otak mereka semua kini berantakan, pikiran terpecah dan hati yang ikut terbelah.

Tak lama, seorang pria tua dengan jas putih keluar dari ruangan yang ada di dekat mereka. Wajah-wajah putus asa itu terlihat mengharapkan penjelasan dari sang dokter.

"G-gimana dok?" Dean yang sedari tadi terlihat sangat putus asa, diam, dan hanya mendengarkan kini menjadi yang paling pertama bertanya. Karena, Putra itu biasanya membela Dean jika Ezra sedang murka saat Dean 'membolos' ikut membully sasaran baru Ezra.

Pria itu tampak melepas kacamatanya, mengelapnya dengan sapu tangan, lalu menghembuskan napasnya perlahan.

"Sebelumnya, saya pribadi, dan pihak rumah sakit ingin meminta maaf...kami tidak dapat menyelamatkan nyawa pasien. Kami sudah melakukan seluruh prosedur semaksimal mungkin. Tapi Tuhan berkata lain."

DUG!

Tempat sampah yang berada tak jauh dari mereka terjatuh. Dean menendang tempat sampah itu hingga isinya keluar berantakan. Andrea langsung menangis mendengar kabar duka tersebut. Otomatis Kanya yang berada di samping Andrea segera membawa sahabat sekaligus teman duduknya kedalam pelukannya. Meskipun Kanya dekat dengan anak-anak Astrazero, ia masih tak sedekat Andrea. Karena Andrea-lah yang justru mengenalkan Kanya dengan mereka.

Kabar duka itu mampu mengiris hati Kanya. Jujur, Kanya sempat menyukai sosok Putra.

Orland langsung mengelap ujung kedua matanya, berusaha menahan air mata yang sudah membendung di pelupuk mata. Ia ingin terlihat tegar di depan Kanya dan Andrea, namun ia tahu itu mustahil.

Sementara Adrian, satu-satunya yang paling cerdik dan ceria di Astrazero kini mengusap kasar wajahnya berkali-kali. Membiarkan air matanya berbaur dengan keringat. Karena jika ia sedih ataupun frustasi, hanya tindakan seperti itu yang dapat menenangkannya perlahan.

Mereka semua kembali merasakan jatuh sedalam-dalamnya. Terperosok ke jurang yang berisi paku. Mati rasa, hati mereka semakin sakit. Kehilangan satu anggota lagi. Kehilangan satu keluarga lagi.

Setelah salah satu dari mereka mulai menjernihkan pikiran, ia tak mau membuang-buang kesempatan untuk bertanya perihal penyebab kepergian teman mereka. Adrian berjalan mendekat kearah dokter itu, lalu memelankan suaranya.

"Dok, kenapa bisa Putra minum alkohol ringan langsung kayak gini?"

Dokter tersebut mengernyitkan alisnya, mengingat-ingat sesuatu.

"Tadi, setelah saya lakukan check-up, dan berbagai macam pemeriksaan terhadap pasien, sepertinya ia bukan hanya meminum alkohol biasa."

Adrian semakin bingung. "Loh, terus apa dok?" Dean kali ini menyahut, ia tertarik dengan topik pertanyaan Adrian karena ini menyangkut teman dekatnya juga.

"Minuman yang diminum terbuat dari campuran berbagai macam alkohol berat. Bukan lagi alkohol ringan. Didalamnya juga ada semacam racun yang dapat membuat seseorang meregang nyawa dalam beberapa waktu setelah meminumnya. Apalagi jika telat ditangani. Tadi, teman kalian dibawa kesini sepertinya sudah sekitar setengah jam setelah ia pingsan. Karena terlalu lama dibiarkan, maka nyawanya sulit ditolong."

Dokter itu berhenti sebentar untuk bernapas, dan memeriksa catatannya. "Dari cerita yang diberitahukan detail oleh seseorang yang membawanya kesini, ciri-cirinya sangat pas dengan apa yang dialami pasien. Kekurangan darah, kehabisan tenaga, suhu tubuh yang menjadi sangat dingin. Sudah dapat dipastikan gejala yang terjadi sebelumnya adalah muntah darah, perut yang terasa melilit, dan sakit berlebih di bagian kepala. Jadi yang tadi diminum pasien bukan alkohol biasa. Melainkan alkohol berat yang sudah dicampur racun. Jika sudah bawa-bawa racun, rasanya ini pembunuhan berencana."

Mereka merasa makin gila. Apa lagi ini? Setelah Kevin mati mengenaskan, kini Putra menyusul juga.

Tak ada lagi yang kuat disini, mereka sama-sama menangis, harapan mereka hilang sudah.

Astrazero hilang sudah.

***

Sebelum ke ruang rawat Ezra, Adrian dan Orland memutuskan pergi ke toilet. Urusan laporan kepada pihak berwajib akan diurus oleh Dean nanti. Mereka tinggal terima jadi.

Tanpa ada rasa takut, tanpa mereka peduli bahwa itu tengah malam, kaki jenjang kedua laki-laki itu memasuki ruangan yang disebut toilet. Sambil menunggu Adrian di dalam bilik, Orland hanya memandangi kaca toilet.

Ia tertawa bodoh, berkaca dalam dirinya sendiri.

Apa salahnya.

Ia hanya berkiblat kepada Ezra.

Hanya Ezra.

Entah darimana asal-muasalnya. Kini Astrazero menjadi geng terburuk sepanjang masa SMA mereka.

Seingat Orland, dulu saat Dyo masih ada, saat geng itu masih beranggotakan lebih dari lima belas orang, Astrazero adalah geng termakmur di sekolah Astrapia. Geng yang justru selalu membantu kegiatan-kegiatan sekolah. Contohnya, pensi Aerotour milik SMA Astrapia. Lalu membantu OSIS dan DPK/MPK dalam kegiatan kecil seperti donor darah tahunan, beberapa festival seperti festival musik, festival pementasan, festival tari nasional, festival bulan bahasa, dan festival hari kemerdekaan. Mereka adalah pelopor berdirinya itu semua, mereka termasuk panitia inti. Mereka dulu pekerja keras. Mereka melakukan banyak hal berguna. Mereka membantu sekolah meningkatkan taraf pendidikan melalui seminar-seminar sekolah.

Mereka dulu memiliki simpati yang sangat besar terhadap anak-anak introvert. Yang sulit membuka diri diajak untuk ikut berpartisipasi dalam pensi besar sekolah mereka. Hingga usaha mereka berhasil.

Mereka membuat anak-anak itu menjadi lebih terbuka. Anak-anak introvert menjelma menjadi extrovert, diantaranya mungkin masuk geng mereka, diantara lainnya selalu menjadi pelopor kegiatan positif sekolah Astrapia.

Kenangan itulah yang membuat Orland terus terlarut di dalamnya. Senyum sumringah, kekompakan, dan kebahagiaan yang dulu mereka rasakan kini berubah karena kehilangan sosok seorang 'ketua'. Ketua yang sebenarnya.

Orland sangat ingat, terakhir kali mereka merasakan kebersamaan itu, adalah saat diadakannya Aerotour keempat. Dimana acara itu membuat ikatan yang sangat besar diantara anak-anak SMA Astrapia. Bukan hanya laki-laki, perempuannya juga. Mereka mencari dana dari rumah kerumah, terjun ke jalan raya, hingga beberapa anak yang berbakat musik menawarkan diri mereka untuk bernyanyi mengisi malam di beberapa café. Sekalipun saat acara hujan terjadi, seluruh panitia justru berkumpul di lapangan, membuat lingkaran besar, lalu berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Berharap Tuhan berbaik hati menghentikan hujan demi hari bahagia mereka saat itu.

Semua itu mereka lakukan demi menyukseskan pensi sekolah. Pergi gelap pulang gelap, bahkan hingga menginap. Rasa lelah, peluh, dan tangis mereka akhirnya terbayarkan dengan bahagia. Pensi mereka sukses lagi seratus persen. Aerotour sukses.

Aerotour adalah pensi milik angkatan sepuluh, yang diadakan turun temurun hingga angkatan mereka. Dulu, ada geng semacam Astrazero, namun namanya Astour. Mirip, memang. Seluruh nama geng di SMA Astrapia berkiblat kepada nama sekolah mereka sendiri. Entah mungkin bangga.

Saat penutupan, seluruh panitia dikumpulkan dilapangan. Dyo saat itu menjabat sebagai ketua angkatan sekaligus ketua pensi. Sementara Orland adalah wakil. Masih tergambar jelas di pikiran Orland, bagaimana laki-laki itu berterimakasih dan mengucapkan kalimat menyentuh kepada seluruh panitia.

"Selamat malam semuanya! Terimakasih nih sebelumnya karena udah pada mau ngumpul disini. Gue tau ini udah malem banget.Tengah malem malah, pasti pada ngantuk kan? Hahah. Gue disini cuma mau berterimakasih sebanyak-banyaknya sama guru-guru yang udah bantu kita buat nyari izin kesana kemari untuk acara ini, dan untuk kepala sekolah yang bikin acara ini sukses karena ngasih izin sekolah kita dipake untuk pensi. Terus, terimakasih juga yang sebanyak-banyaknya untuk kalian, panitia-panitia terhebat yang pernah gue kenal! Ini pertama kalinya gue jadi ketua angkatan dan kerjasama bareng kalian. Makasih karena udah mau luangin banyak banget waktu, uang, dan tenaga kalian cuma buat pensi ini. Makasih juga untuk anak-anak yang tadinya gamau banget jadi panitia cuma karena alasan malu, tapi akhirnya ikut. Kalian tau kan, kalo urat malu dalam diri kalian itu terus kalian pelihara, kalian justru akan semakin tertutup dan tertinggal. Dunia kalian sendiri memang lebih baik menurut kalian, tapi kalo kalian mau nyoba buat buka dunia baru di kehidupan nyata kalian, kalian pasti bakal lebih bahagia, ya kan?!"

"YOAAA!" Sorakan riuh dari beberapa anak terdengar sangat keras. Termasuk Rey—ya, dia dulu panitia terpandang karena ada Dyo, karena ia berusaha bangkit.

"Makasih buat seluruh panitia yang udah kerja keras buat ini semua. Untuk OSIS, dan DPK/MPK. Termasuk buat anak-anak inti Astrazero, Ezra, Orland, Dean, Adrian, Kevin, dan Putra! Makasih sebanyak-banyaknya karena kalian semua mau membuka diri untuk ngebantu kita disini. Sekolah ini, tanpa kita, gak akan berwarna. Gue bener-bener gak tau harus bilang apa lagi selain terimakasih sama kalian semua. Seluruh rasa capek kalian, air mata kalian, dan rasa sakit kalian malam ini terbayarkan, kan?! Kalian, kita, adalah satu kesatuan yang gak mungkin bisa dipisahin sama apapun. Makasih karena udah mau kompak satu sama lain, makasih karena udah mau berusaha buat jadi yang paling baik dalam acara ini. Lain waktu, gue harap kita semua bisa ketemu lagi, bisa ngumpul lagi, bukan cuma untuk ngomongin pensi, tapi untuk berbagi kebersamaan yang mungkin bakal kalian jarang dapetin lagi di lain waktu. Gue sayang kalian semua, gue cinta sama kekompakan kita semua!"

"When people doubt us, yet we've tried our best!"

Hingga akhirnya, tiga bulan kemudian, Astrezero menemui masa kelam mereka.

Dyo ditemukan tak bernyawa di trotoar jalanan.

Mobilnya ringsek karena menabrak tiang listrik pinggir trotoar. Keadaannya sedang sakit saat itu, hujan deras, dan kaca mobil yang buram membuat fokusnya terbagi. Terlebih saat itu dia sendirian. Yang juga menyedihkan, dua hari lagi adalah anniversary pertama hari jadi Andrea dan Dyo. Seluruh sahabat baik Dyo histeris saat tahu laki-laki itu pergi untuk selamanya dengan jalan yang tidak wajar. Andrea sempat demam seminggu dan menceracau menyebut nama Dyo tiap malamnya. Seluruh pusat kehidupan Astrapia, Astrazero, hilang sudah.

Yang aneh, mereka bahkan tak melihat Ezra tiga hari setelah kepergian Dyo. Di pemakamannya, dirumah sakit, atau ditempat kejadian.

"Orland!"

Yang dimaksud tersentak kaget saat menyadari seseorang menepuk pundaknya. "Eh, udah?"

Adrian mengangguk. "Lo mikirin apaan?"

Orland hanya menggeleng pelan. Ia bingung. Benar-benar bingung. "Kenapa dulu Astrazero kayaknya jadi yang terbaik disekolah ya?"

Orland berjalan keluar toilet disusul oleh temannya—masih merenung. "Karena, dulu kita jaya."

"Kenapa jaya?"

"Karena dulu ada Dyo. Karena dulu kita gak pernah berhenti berbuat positif untuk sekolah. Bukannya sering kelepasan kayak gini. Nge-bully orang yang dulu mati-matian kita bela." Adrian lesu. Terlihat sangat bahwa ia sedikit menyesal, entah apa yang disesali, mungkin wasiat Dyo. Benar juga. Mereka mati-matian menarik benang percaya diri dalam tubuh anak-anak introvert yang justru sekarang kembali mereka kubur dalam-dalam.

Orland kembali memutar mesin waktu dalam otaknya. "Gue inget banget dulu Dyo nitipin Astrapia ke kita kalo sewaktu-waktu dia pergi keluar kota. Kalo bisa selalu bikin mereka bangkit dari keterpurukan, bikin mereka semangat, jangan patahin semangatnya—"

"Dan Dyo bilang itu di hari tepat malamnya dia meninggal, kan? Pas dia mau ke Bandung." Adrian melanjutkan.

Orland mendesah pelan. "Lo pernah kangen masa-masa itu gak?"

Yang dimaksud menoleh lesu. Seperti terbawa suasana sendu dari sahabatnya. "Iya. Kayaknya semua anak kangen sama masa-masa itu. Kita butuh ketua kayak Dyo lagi. Bukan Ezra."

Orland hanya mengangguk. Memang benar perkataan Adrian. Mereka sadar kok, bahwasanya, Astrazero benar-benar menjadi hancur dan nol karena Ezra. Ia menginginkan geng yang sebenarnya. Sebenarnya mereka sadar. Namun mereka terlalu takut. Impian Ezra mendadak nyata. Memiliki geng besar, perusak, penghancur, dan dengan pongahnya Ezra berhasil mewujudkan hal itu.

Masing-masing terlarut dalam lamunan mereka sendiri. Membayangkan hal-hal yang semestinya tidak terjadi.

Baru beberapa langkah keluar toilet, Orland menendang sesuatu ringkih di lantai.

Sebuah kacamata.

Ia membungkuk untuk mengambil kacamata itu. "Ini...punya siapa?"

Adrian yang melihatnya langsung merampas kacamata itu, mengamatinya dengan seksama, sebelum akhirnya mereka tahu, siapa pemilik kacamata asing tersebut.

***

"Bego! Kenapa tadi lo gak bilang ke Ezra? Jelas-jelas itu punya si cupu!" Adrian memaki sahabatnya yang sedang fokus menyetir.

Orland menggeleng keras. "Enggak. Belom tentu. Lagian ngapain sih dia malem-malem gitu dirumah sakit? Gak masuk akal lah." Walau sebenarnya, hati Orland berkata lain. Sebenarnya ia yakin itu juga milik si cupu. Di kacamata itu, ada bekas patahan yang seperti disambungkan kembali. Letak patahan kacamatanya cocok dengan bekas patahan saat mereka terakhir kali membully Rey di lapangan sekolah sore itu.

Tapi untuk apa Rey kesini?

"Gue heran, mungkin gak sih kalo Rey yang ada dibalik semua ini?" Adrian kembali menunjukkan sifat menyelidiknya.

Orland diam saja. Diam-diam mengiyakan.

"Secara, dia bahan bullyan kita yang paling parah. Iya kan?"

"Besok kita omongin lagi, sekarang waktunya ga pas." Orland tetap memfokuskan pandangannya. Saat ini mereka ingin pulang dulu, mengistirahatkan tubuh. Di sisi lain, Dean sedang bersama Ezra dirumah sakit, dan Kanya memutuskan untuk menginap dirumah Andrea untuk satu malam.

Ia melihat panah penunjuk jalan yang mengarah ke kiri. Aneh, sepertinya Orland ingat bahwa seharusnya panah itu mengarah kearah kanan.

Tapi, yasudahlah, mungkin ia mengantuk saat itu. Kemudian meneruskan perjalanannya. Tanpa sadar, Orland mengendarai mobil dengan kecepatan yang semakin lama semakin tinggi, semakin cepat, membuat kawan disampingnya ketakutan.

"Lan pelan..."

"Ini pelan, lebay lo."

Semakin cepat.

"Lan gue serius, jangan bunuh gue disini, gila!"

Orland tidak menggubris, kepalanya sungguh penuh dengan penyebab-penyebab kematian sahabatnya. Membuatnya ditimpa ketakutan dan trauma. Tanpa ia sadar, kawannya juga ikut merasakan trauma yang sama.

Hingga sesuatu kembali menyadarkannya.

"LAN AWAS POHON!"

BRUK!

DUGH!

***

Laki-laki itu menghampiri korbannya. Hanya ingin memastikan mereka sudah berhenti bernapas.

Sebelum tiba-tiba sebuah suara mengejutkan dirinya.

"Dugaan gue ternyata gak salah."

Pemuda itu tersentak mendengar ucapan kecil dari salah satu dari mereka.

Namun ia tetap memutuskan diam tak bersuara.

"Gue minta maaf, karena perlakuan buruk gue dan temen-temen gue ke lo malah membuat kita mati satu persatu. Gue minta tolong, ketua juga harus ngerasain penderitaan kita, penderitaan lo. Kembaliin Astrazero seperti awal. Astrazero yang lo kenal baik. Astrazero yang bikin lo nyaris bangkit."

Sebelum akhirnya tangannya terkulai lemas.

Laki-laki yang berdiri tegap dengan seringainya itu, tahu betul siapa yang dimaksud korbannya.

***

Cuap-cuap!

Udah triple nih ya.

Eh, panjang banget ini, 3000+ words...gak sadar...maaf ya kalo alurnya mungkin rada ngebut hehe, mau ke inti soalnya.

Udah gitu aja. JANGAN LUPA VOTE N KOMEN YA! Don't be a silent readers! Love ya~

Purple you,

Icha

Start on work : July 2018

Start on Wattpad : 23 Oktober 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro