2 - TRAGEDI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karena patah hati dapat membutakan isi pikiran seseorang. -athr

************

21.00 P.M.

"Brengsek!"

Seseorang berusaha bangkit ditengah gelapnya malam. Tertatih, dengan tubuh hancurnya. Ia menyeka beberapa darah yang masih sedikit mengalir. Tubuhnya sudah bau tak karuan, kotor, lusuh, tampak seperti peng—pecundang.

"Besok, akan ada sesuatu yang bikin kalian gila setengah mati."

Lalu mengambil kacamata yang kemudian ia masukkan kedalam kantong celana, meraih tas didekatnya, berlari keluar dan melompati pagar.

***

"Kevin?!"

"Iya, Re. Tadi kata orangtuanya dia meninggal di kamarnya. Ada bekas luka tusukan di tujuh titik. Serem serius. Kayak direncanakan." Kanya memperhatikan wajah teman sebangkunya serius. Ia tadi sempat melirik kearah mading didepan kelas. Mading yang dipenuhi anak-anak kelas lain maupun kelasnya sendiri karena disana terpajang berita kematian Kevin.

Andrea tersentak begitu mendengar ucapan Kanya. Kevin, sahabat dari kekasihnya, salah satu anggota geng Astrazero, ditemukan dengan keadaan tak bernyawa.

Siapa pembunuh sadis yang tega melakukan itu terhadap salah satu sahabatnya?

Apa mungkin...

"Ah gak mungkin, berani megang piso aja enggak." Gumam Andrea. Ia sempat mengira bahwa Rey adalah pelakunya. Mengingat Rey adalah orang terakhir yang dibully dengan kasar kemarin. Namun Andrea baru sadar, saat pelajaran tata boga dulu, Rey sama sekali tidak berani memegang pisau karena takut teriris.

Gadis itu benar-benar heran sekaligus takut. Benar-benar tak menyangka bahwa salah satu sahabatnya akan berakhir seperti ini. Memang sih, korban bully anak-anak Astrazero bukan hanya Rey, jadi masih ada kemungkinan bahwa orang lain yang sudah merencanakan hal ini sebelumnya.

Ia sempat melirik kearah Rey, laki-laki itu hanya mencatat pelajaran di papan tulis dan membacanya kembali. Bertingkah normal, tanpa ada raut wajah lain tampak di dirinya. Terlihat acuh pula pada berita yang santer di sekolah pagi ini. Padahal Dean, teman sebangku Rey sudah terlihat sangat panik saat melaporkan kejadian yang menimpa Kevin.

Saat jam istirahat, Andrea dan sisa anggota Astrazero berembuk di hutan mini sekolah. Ezra datang lebih dulu, lalu disusul yang lain. Raut wajah mereka terlihat sangat putus asa. Bagaimana tidak? Kini mereka sudah kehilangan Kevin.

Dua minggu yang lalu, Dyo. Seorang ketua terdahulu geng Astrazero. Dyo adalah mantan kekasih dari Andrea. Dulu ia sempat menghilang selama tiga hari setelah pulang sekolah. Baru kemudian diketahui jika ia mengalami kecelakaan naas yang merenggut nyawanya. Mobilnya menabrak trotoar jalanan saat sedang melaju dengan kecepatan tinggi. Selain karena rem blong, menurut penuturan polisi, saat itu Dyo sedang sakit dan sendirian, begitu ada mobil lain yang melintas, ia membanting stir secara mendadak dan tak bisa di rem. Jadilah mobil itu hancur beserta orang di dalamnya.

Berita itu sudah cukup memukul hati dan batin seluruh anggota Astrazero yang saat itu berjumlah lima belas. Dyo pergi, satu persatu keluar. Tersisa enam orang sebelumnya. Lalu selanjutnya Kevin.

Mereka kembali terpuruk, Astrazero kehilangan satu anggotanya. Lagi. Sisa lima.

DUG!

Ezra menendang batu besar di dekat kakinya. Ia sangat marah, namun juga bingung. Frustasi, namun juga takut. Kevin merupakan sahabatnya sejak lama, bahkan sejak sebelum mereka bergabung kedalam Astrazero. Siapa pula yang berani membunuh sahabat dari si raja bengis di sekolah?

"Tahan. Kalo lo emosi gini, gimana kita mau nyari tau siapa yang udah bunuh Kevin?"

Orland menepuk punggung Ezra, seolah menyalurkan semangat, namun ia juga risau.

Aletta menghembuskan napasnya.

"Sebenernya gue gak ngerti. Dulu Dyo. Sekarang Kevin. Pembunuhnya itu satu orang yang sama atau gimana?" Ia memainkan kuku-kukunya, tanda Andrea sedang panik.

"Terus kenapa harus orang-orang terdekat kita yang kena?" Ia kembali bersandar pada batang pohon.

Ezra langsung menatap Andrea begitu mendengar nama Dyo terucap. "Enggak. Dyo kecelakaan sementara Kevin dibunuh. Jelas beda."

Otomatis, mereka yang ada disana segera menoleh kearah laki-laki itu. "Lah lo tau dari mana? Lo aja gak ada di lokasi kejadian pas Dyo ketabrak, bahkan sampe dia dimakamin lo juga gak keliatan. Kata polisi, mobil yang ngalangin Dyo itu sengaja lewat. Semacam pembunuhan berencana yang di netralisir jadi kecelakaan." Putra memasang pandangan heran kepada Ezra.

Dan ia terlihat gugup.

"M—maksudnya, ya, beda. Ini pembunuhan langsung, kalo Dyo dulu kan...dia gak langsung." Entah kenapa mereka merasa ada hal yang disembunyikan Ezra.

Ya, Ezra agak aneh.

Mungkin karena kehilangan satu sahabat lagi, ia jadi gugup seperti ini.

Mungkin.

Adrian mengadukan sepatunya ke tanah, terlihat berpikir hingga akhirnya ia membuka suara. "Tapi kan gak ada yang tau Zra, siapa tau pembunuhnya emang sengaja bikin motif pembunuhan yang beda biar gak kelacak?"

Satu lagi, seseorang yang sedang duduk di dekat air mancur itu mendecak kesal. Ia sudah muak dengan bualan teman-teman anehnya itu. Mereka yang salah, mereka yang mengeluh. "Udah, yang penting sekarang kita harus jaga satu sama lain. Yang udah pergi, gak akan bisa balik. Jangan sampe ada yang kayak Kevin atau Dyo lagi." Lalu pergi meninggalkan kelima manusia yang masih dirundung kebingungan.

"Segampang itu lo ngomong? Saat kita natar orang bahkan lo gak ikut, jadi jangan bersikap seolah lo bisa ikut campur urusan ini, Dean." Ezra kesal dan langsung menggertak laki-laki yang barusan berbicara.

Langkah laki-laki muda itu terhenti, ia kembali menoleh kebelakang. Kearah teman-temannya berada. Dean meletuskan balon permen karet dari mulutnya, lalu terkekeh. "Yah, kalo kalian gak mau ini terjadi lagi, gue udah bilangin buat jangan sering-sering bully orang lain. Jadi gak akan keulang lagi."

Lalu ia betul-betul pergi. Meninggalkan sisanya yang sedang terlarut dalam pikiran mereka masing-masing.

Namun yah, sebenarnya memang agak membingungkan. Kondisi Dyo saat itu, dan kecelakaan yang merenggut nyawanya. Secara, mana ada mobil yang nekat menerobos lampu lalu lintas berwarna merah, apalagi dengan kecepatan sangat tinggi hingga membuat mobil yang berlawanan arah membanting stir. Benar kata Putra. Seperti rencana pembunuhan yang di netralisir menjadi kecelakaan.

Apalagi, saat itu Astrazero sedang dilanda masalah dalam diantara ketua geng dan wakilnya.

Untunglah, tak lama, bel masuk berbunyi, mereka sepakat untuk bubar, dan mereka sepakat untuk mencari siapa pembunuh bertopeng yang telah mencabut paksa nyawa sahabat mereka. Besok, tepat saat hari libur.

***

Gemerlap lampu warna-warni mendominasi sebuah tempat terlarang di malam hari. Banyak hiburan tak pantas yang disuguhkan didalamnya. Bau alkohol tersebar memenuhi udara malam itu. Asap rokok elektrik dengan berbagai macam rasa ikut membuat sesak hawa disana. Banyak wanita-wanita murahan yang dengan apiknya menawarkan minuman disana-sini. Dentuman musik malam terdengar sangat keras disana. Seolah banyak orang melepaskan penat dengan mencari kesenangan. Memandangi panggung dimana banyak wanita tak senonoh lalu lalang memamerkan lekuk tubuh mereka. Sungguh, gila.

Sungguh, jika bukan karena terpaksa, Putra tak akan mau menemani Ezra 'bermain' ke tempat seperti ini.

"Jangan kebanyakan minum, lo bisa over nanti." Putra menepuk punggung sahabatnya itu, sementara yang diingatkan hanya tertawa gila.

"Lo tau kan...gimana...gila nya...orang yang mau ngehancurin kita...iya kita bakal dihancurin...dia bakal bunuh kita satu-satu! Kita mati nanti! ha ha." Ujarannya tak karuan, nada bicaranya kemana-mana. Ezra benar-benar dibawah pengaruh alkohol. Sedikit ngeri, tapi Putra tahu semua itu hanyalah bualan yang keluar dari mulut gila pemabuk amatir itu.

Perlu diketahui, Ezra baru kedua kalinya ke tempat seperti ini. Ini juga pertama kalinya ia mabuk. Sebelumnya—kira-kira dua tahun lalu, ia kesini hanya sekedar bertemu teman lamanya, itupun Ezra tak berani menyentuh minuman terlarang yang ada disana sedikitpun.

Namun, sepertinya tekanan batin yang sangat kuat membuatnya nekat mencoba hal berdosa macam ini. Apalagi, ini tanpa sepengetahuan Andrea. Karena, Andrea benci bar. Andrea punya pengalaman buruk terhadap tempat seperti ini, dan Andrea kehilangan kasih sayang orang tuanya karena tempat ini. Karena jalang yang berasal dari club malam.

"Udah boy, lo jangan over gini. Semua di geng kita juga tertekan. Bukan cuma lo." Putra tetap memegangi tubuh Ezra yang mulai kehilangan keseimbangan, membantunya duduk di sofa terdekat.

PLAK!

"Tapi lo gak tau rasanya jadi gue!"

Mendadak, Ezra menampar Putra.

Temannya itu sempat kaget dengan perlakuan Ezra. Jika saja saat itu Ezra sedang sadar, mungkin akan terjadi perkelahian kecil diantara mereka.

"Anjir sakit! Gue tau lo lagi collapse, tapi gak usah main tangan gitu aja!"

Ezra hanya tertawa keras. Melampiaskan amarahnya dengan kembali meneguk sebotol alkohol. Putra? Ia bahkan tidak menyentuh minuman yang tadi dipesankan Ezra. Benar-benar tidak nyaman.

Sebrengseknya seorang Putra, ia tak berani merusak tubuhnya sendiri. Yah, walaupun harus diakui bahwa diluar, Putra memang liar. Ia pernah mencuri uang ayahnya sendiri, bahkan hingga sekarang. Selain itu, ia sering membully kaum-kaum lemah yang menurutnya pantas untuk di caci dan di hina, semacam seorang Rey. Lalu, Putra tak pernah segan untuk menghajar siapapun yang mengganggu urusannya. Untuk menghancurkan orang lain, Putra dan Ezra memang jagonya. Bahkan Kevin sendiri dulu tak separah mereka jika membully orang lain.

Tentu saja, dibalik sepengetahuan Andrea. Meskipun terlihat tunduk, namun jika sudah menyangkut urusan 'menghancurkan' mereka melakukannya dibelakang gadis itu. Hal yang dilakukan Ezra terhadap Rey waktu itu belum seberapa, masih banyak sebenarnya yang lebih parah daripada itu. Malah, Putra dan Ezra dulu pernah melayangkan nyawa seseorang karena perlakuan mereka. Tentu saja Andrea tidak tahu. Saat itu, Dyo yang masih ada pun tidak tahu menahu soal kematian orang itu.

"Bentar, gue mau mesen minuman aman dulu. Tunggu sini, jangan nyasar ke dance floor." Putra menepuk pundak kawannya, lalu meninggalkan Ezra sendirian.

Laki-laki itu menuju meja bar, lalu memesan satu minuman. Seorang pelayan dengan masker putih tampak terbatuk-batuk saat menanggapi pesanan Putra. Laki-laki itu tertawa melihatnya.

Aneh, pelayan seperti itu masih saja dipekerjakan.

Seharusnya jika sakit, beristirahatlah dirumah.

Seperti memaksakan jika ia kerja dengan wajah sangat tertutup seperti itu. Memangnya dia siapa? Buron?

"Sakit mas? Ngapain kerja kalo sakit. Di tempat kayak gini lagi." Ujarnya sembari terkekeh, menunggu pelayan itu menuangkan beberapa campuran minuman pesanannya.

Pelayan itu hanya terkekeh tanpa menanggapi ucapan Putra sedikitpun. Ia masih terbatuk-batuk, namun anehnya seperti dibuat-buat.

Tiba-tiba saja, pelayan itu sudah menyodorkan sesuatu ke hadapan remaja delapan belas tahun itu.

"Ini pesanannya. Selamat menikmati."

Putra tak mendengar suara si pelayan, ia hanya menoleh dan tersenyum miring. Membayar minuman itu, lalu pergi kembali ke sofa.

"Nikmatilah."

***

Cuap-cuap!

Gini, sebenernya pengen nge-warn kalo ada bagian yang sedikit 'mature'. Bagian tempat nya sih, tapi gimana ya, hehe. Gitu deh.

Bijak-bijak aja ya kalian, mwa!

JANGAN LUPA VOTE N KOMEN! Love ya~

Purple you,

Icha.

Start on work : July 2018

Start on wattpad : 23 Oktober 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro