1 - BULLY

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

And sometimes I just want to quit.

But I think I was very lucky that I didn't give it all it up.

Maybe I made a mistake yesterday. But yesterday me is still me.

Today I am is who I am with all my faults and my mistakes.

Tomorrow I might be a tiny bit wiser and that would be me too.

Love Yourself, Love Myself.

-Bulletproof Boy Scouts   

*************

BUGH!

"Berani banget lo deketin cewek gue! Baji—"

"Zra! Kamu ngapain ladenin orang semacem dia sih? Buang-buang waktu."

Seorang gadis mencoba menarik tubuh laki-laki sepantarannya. Menghentikan perkelahian—yang takut mengundang guru. Ezra, hanyalah kekasih Andrea. Namun ia tak sudi sedikitpun jika Andrea disentuh oleh laki-laki lain, sekalipun sahabatnya sendiri.

Catat, sekalipun sahabatnya sendiri.

Luka lebam sudah nampak di tubuh sang korban, hingga ia sulit berjalan. Perkelahian itu disaksikan oleh banyak sekali murid SMA Astrapia, mereka menertawakan si pecundang karena yang mereka tahu pecundang itu berusaha mendekati Andrea—seorang gadis yang notabenenya anak populer di sekolah, cantik, pintar, namun saaaangat sombong.

Ezra berdiri sambil menunjuk laki-laki yang terengah-engah dilantai bersama tumpukan buku. "Denger gue, Rey. Sekali lagi lo ngobrol sama Andrea, entah urusan apapun itu, lo gak akan selamat!"

Ezra menginjak-injak buku tulis yang berserakan hingga ada beberapa yang lepas dari sampulnya. Ia juga menuangkan minuman yang daritadi ia bawa keatas tubuh Rey saat itu. Membuat anak laki-laki itu terlihat menyedihkan seperti pengemis.

Ya, Ezra ini tipe laki-laki yang over protektif dengan pasangannya. Tak mau ada yang menyentuh gadisnya sedikitpun.

Padahal sejujurnya, tadi Rey hanya ingin meminjami Andrea buku catatan miliknya.

Meminjami, bukan meminjam.

Andrea memang sudah memperingatkan Rey agar tidak dekat-dekat dengannya diluar kelas—mereka sekelas sementara kelas Ezra ada disebelahnya.

Andrea sendiri merasa ia tidak seharusnya kenal dengan nerd cupu itu. Bahkan cara bicaranya saja menjijikan menurut Andrea. Manusia mana di dunia ini yang berbicara saya-kamu terhadap lawan jenis? Bukankah terdengar sangat kaku? Terlebih Rey adalah seorang introvert. Andrea sangat benci sifat Rey. Karena hal itu bertolak belakang dengan sifat seorang Andrea.

Setelah bel masuk berbunyi, laki-laki itu justru berlari kearah toilet. Toilet yang berada di pojok lingkungan sekolah. Toilet sepi dan katanya angker—bagi murid lain. Tak ada yang berani menginjak toilet itu bahkan di siang hari yang ramai sekalipun. Selain karena sepi, toilet tersebut juga pengap karena ventilasinya sedikit.

Namun disana, seorang Rey dapat bebas mengekspresikan perasaannya. Ia bisa menangis dan tertawa disaat yang bersamaan seperti orang gila. Bahkan jika merasa hatinya sakit, ia akan menghancurkan pintu toilet hinga terkadang petugas kebersihan sendiri merasa takut jika melihat pemuda itu sedang tak terkontrol. Rey berjalan sedikit terseok, membuka bilik kedua sambil menangis dalam diam. Ia kemudian mengambil tisu dari kantung celananya, membasuh tisu dengan air lalu membersihkan luka di telapak tangannya. Sedikit-sedikit ia juga membasuh lebam di dahinya dengan air dingin yang mengalir dari keran wastafel.

Kelompok itu, alebih tepatnya geng. Geng sekolah yang selalu melakukan pemerasan ataupun kekerasan terhadapnya. Memar dan luka sobek sudah pasti ia dapat setiap hari. Bagai hiasan, bagai tato yang selalu saja sulit untuk dihilangkan.

Orang tua? Bahkan Rey tidak tahu dimana orang tuanya sekarang. Yang ia tahu, setelah kematian Mamanya, ia hanya hidup dalam penjara. Penjara aturan yang diciptakan sendiri oleh Sang Ayah. Ayah yang gila. Ayah yang selalu memperlakukan Rey seenaknya, membuatnya depresi dan lama-kelamaan...mengikuti jejaknya. Setelah merasa Ayahnya makin tak waras, Rey berkeras untuk hidup sendiri. Di sebuah apartemen yang letaknya lumayan jauh dari rumah lamanya, juga cukup jauh dari sekolah. Hari-harinya dihabiskan untuk menggunakan jasa transportasi bis sekolah di halte dekat apartemen. Meskipun tak banyak yang tahu, Rey cukup pandai untuk melesat menggunakan mobil pribadi miliknya.

Kepalanya masih sakit, efek terbentur tangga saat menuju toilet tadi. Namun, takut ketinggalan pelajaran, laki-laki itu memutuskan kembali kekelas secepatnya.

Sementara itu, sepulang sekolah, Andrea berusaha agar Ezra tidak langsung kekelasnya untuk menjemput dirinya, ia beralasan ada hal yang perlu dibicarakan dengan Kanya, teman sebangkunya.

Namun ia malah melakukan hal lain.

"Cupu!"

Gadis itu menepuk pundak laki-laki yang berada sebaris di depannya. Mengejek, memang.

Sementara yang dimaksud segera menoleh, memberikan tatapan sedikit linglung kearah Andrea. Tidak biasanya gadis ini mau memanggilnya duluan, apalagi tadi Rey baru saja diserang oleh kekasih Andrea.

"Udah gue bilang kan? Jangan pernah temuin gue diluar jam pelajaran!"

Gadis itu sedikit berbisik namun dengan nada tinggi.

"T—Tapi tadi saya cuma mau kasih buku tulis yang kamu minta..." ujarnya pelan sambil menatap halus gadis itu.

"Dikelas kan bisa, kenapa harus di kantin kayak tadi sih? Alesan banget lo!"

Setelah menghembuskan nafas dan mengelap kacamatanya, ia kembali menoleh kearah Andrea.

"Kenapa sih setiap sikap saya ke kamu selalu salah? Kenapa kamu selalu benci seorang introvert kayak saya? Walaupun niat saya baik sekalipun."

Andrea tertawa keras. Lalu kembali menatap laki-laki dihadapannya.

"Benci? Mau tau kenapa?" ujarnya memelan.

Rey hanya bisa mengangguk-angguk dengan wajah polos.

"Karena kalian, terutama lo..." ia berhenti, menatap sekeliling, lalu melanjutkan bicaranya.

"Cuma seorang nerd yang sama sekali gak punya harga diri!"

DEG!

Rey mematung ditempat. Mendengar ucapan kasar yang mengalir begitu saja dari mulut perempuan itu.

"Kalian gak pernah ngelawan kalo di bully! Lemah."

Andrea berjalan lengang keluar kelas.

Meninggalkan Rey yang mulai terbakar amarah, namun ia tak bisa apa-apa. Rasanya sakit dihina seperti itu, direndahkan oleh seorang perempuan yang bahkan bukan siapa-siapa dihidupnya. Rasanya lebih nyeri daripada ditampar berkali-kali.

***

Seminggu kemudian, saat senja, lapangan sekolah hanya diisi oleh beberapa murid. Saat itu pula terjadi baku hantam antara enam anak geng besar disekolah dengan seorang laki-laki muda.

"CUMA PENGECUT YANG CEPU KE GURU!"

BUGH!

"BISA GAK SEKALI AJA LO JANGAN IKUT CAMPUR URUSAN ORANG?!"

Krak!

Suara tulang yang retak terdengar nyaring. Tubuhnya makin lebam, seperti hancur. Darah segar mengalir dari sudut kanan bibirnya, lama-kelamaan hidungnya juga meneteskan darah seperti mimisan.

Lagi-lagi dia. Lagi-lagi pembullyan. Lagi-lagi hancur.

"T—tapi kemarin itu Pak Leo ngeliat kalian sendiri! Bukan saya yang bilang!" Laki-laki itu masih mencoba berdiri dengan setengah nyawanya.

"BACOT!" Anak lain di geng tersebut, si ketua geng, melayangkan pukulan paling keras karena emosi yang sudah meluap. Setelah selama tiga hari kena discors kemarin, mereka sudah cukup menahan amarah kepada si pecundang, dan hari ini amarah mereka semakin menjadi saat melihat pecundang itu melakukan pembelaan diri.

BUGH!

Pandangannya lama-kelamaan semakin kabur, kacamatanya hancur, tubuhnya terasa patah, ia tersungkur lemah ketanah.

"Rey? Belum pulang nak?"

Anak yang dimaksud menoleh, tersentak karena setelah berbelok sudah ada seorang guru laki-laki tua di hadapannya. Ia mencoba mengontrol kepanikannya. Geng Astrazero—geng besar disekolahnya, sedang berkumpul di koridor belakang, minum-minum dan merokok. Rey sempat mengintip mereka karena keributan yang mereka buat. Jarum jam sudah menunjukkan pukul empat sore, Rey terpaksa menetap dari jam satu karena ia harus menyelesaikan beberapa tugas untuk esok di perpustakaan. Setelah kembali, ia tak sengaja memutar dan melewati koridor belakang, disitulah ia menemukan pusat riuh suara yang sedaritadi menggema di gendang telinganya.

Dan saat ini? Apa lagi ini. Guru itu bahkan belum pulang. Ia sama sekali tidak tahu jika masih ada guru di sekolah saat ini.

"Belum pak, tadi saya habis dari perpustakaan. Ada tugas yang belum selesai."

Ezra melemparkan senyum 'paksa' kearah Pak Leo. Beliau ikut tersenyum bijak. "Bagus, kamu memang pantas dibanggakan. Yasudah, sekarang kamu pulang, bapak mau ngecek koridor belakang, dari tadi kayaknya berisik banget."

'Sial.' Umpat laki-laki itu di dalam hati. Sudah cukup ia dibully oleh Ezra tadi siang. Jangan sampai kena lagi karena korban kesalahpahaman.

Ezra sebenarnya juga seorang ketua geng Astrazero, jadi tidak heran jika ia kejam. Namun, tolong lah, kali ini saja Rey ingin bernapas bebas dengan tenang.

Terlebih Ezra tadi tidak sengaja melihat Rey sedang melintas di depan koridor belakang.

Jika Pak Leo benar-benar menemukan mereka dengan keadaan mereka yang seperti tadi, Rey adalah satu-satunya orang yang akan Ezra salahkan.

Akhirnya, semuanya terjadi. Pak Leo—guru yang ditemui Rey kemarin sore benar-benar menemukan semua anak geng besar itu di koridor, mereka dihukum discoursing selama tiga hari, dan pemanggilan orang tua pada hari ketiga discors mereka. Tentu orang tua mereka kecewa mendengar kabar itu, seluruh fasilitas yang mereka berikan ke anak-anak mereka dicabut. Semuanya. Seluruh anak geng juga diberi nilai 0 untuk pelajaran biologi, fisika, kimia, untuk anak ipa, dan sosiologi, geografi, sejarah untuk anak ips.

Saat ini, Andrea, hanya bisa terkekeh melihat si cupu terkapar tak sadarkan diri. Entah kenapa, rasa malu Andrea kemarin setelah ketahuan berbicara dengan seorang anak cupu itu terbayarkan.

Sekarang sekolah memang sudah sepi. Anak-anak sudah pulang dan tak ada ekskul hari ini. Baku hantam? Tak ada yang membantu? Bukan tak ada, namun tak berani. Bahkan satpam sekalipun bisa babak belur dibuatnya jika berani ikut campur urusan mereka. Saat orang-orang seharusnya memberi tatapan iba, anak-anak geng dan Andrea hanya memberi tatapan bengis kearah laki-laki tadi.

Ezra, si ketua geng, memberi sematan terakhir kepada Rey.

Ia menuangkan segelas minuman bersoda keatas tubuh Rey, menginjaknya dengan sepatu penuh lumpur, lalu tertawa keras.

Meninggalkannya sendiri ditengah kesakitan yang mendera.

"Bukannya dia emang pantes kayak gini?" ujarnya tertawa.

Andrea ikut-ikutan tertawa. Di depan mata Rey yang tadi masih samar.

"Makan tuh cepu." Gadis itu ikut berlalu keluar lapangan menuju gerbang, bersama kelima laki-laki tadi. Sebenarnya disini, mereka terlihat lebih tunduk kepada Andrea—termasuk Ezra. Entah kenapa.

Satpam yang tadi menyaksikan aksi itu dalam diam hanya bisa meringis sedih melihat ada anak-anak dengan sifat seperti mereka.

Terlebih ia tak menyangka jika seorang Andrea yang cantik dan lumayan cerdas bisa berperilaku seperti tak berpendidikan begini. Jika seluruh murid masih ada di sekolah, ia yakin mereka semua juga akan meragukan keemasan Andrea sebagai ratu dan si pintar di sekolah. Kecuali teman-teman sekelas Andrea. Rahasia umum kelas, jika seorang Andrea sangat anti terhadap anak-anak model Rey. Namun entah kenapa tak ada yang berani mengangkat kisah nyata kepribadian Andrea keluar kelas.

***

Cuap-cuap!

Oke, kemarin gak jadi triple up, disuruh bobo hehe.

So, bagi yang tau itu quotes diatas dari mana, dan kenapa aku pake itu, karena aku suka dan cocok sama tokoh Rey di cerita ini.

Segini aja oke. Ohya, jangan lupaaa vote dan komen ya! Terimakasyiii

Purple you,

Icha.

Start on work : July 2018

Start on wattpad : 23 Oktober 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro