Drama in Dream : The End..

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah berapa lama yah, aku merasa semua ini mimpi. Aku menikah beberapa tahun kemudian dengan Aprian. Ya, teman pertama ku di sekolah sekaligus sahabat terbaikku. Walaupun kami punya apartemen, tapi kami memilih menjualnya dan membelikan rumah baru untuk kami tinggali. Rumah sederhana di dekat pedesaan, itulah rumah impian kami. Walaupun sedikit jauh dari kantor kami, tapi itu  tak menjadikan beban untuk kami.

Tak lama kami menikah, kami langsung mendapat kabar bahwa aku sedang mengandung seorang bayi perempuan yang pastinya cantik seperti ibunya. Kehamilanku terasa sangat singkat, karena disibukkan dengan berbagai kegiatan. Namun terasa lama ketika aku hanya bersantai dirumah. Sembilan bulan menjadi waktu penantian panjang bagi suamiku, karena ia ingin segera menggendong anak kami.

Kejadian ini terjadi beberapa hari setelah Aprian baru saja pulang dari tugas luar kotanya. Aku merasa saat itu sedang santai mengerjakan tugasku di ruang tengah, bersama dengan Ibu mertuaku dan Aprian. Merasa haus, aku memutuskan untuk mengambil air minum ke dapur, namun entah kenapa bagian bawah tubuhku terasa basah. Ibu mertuaku yang melihat kejadian itu, panik dan berteriak bahwa aku akan melahirkan. Aprian yang ikut panik, langsung menggendongku ke dalam mobil dan meminta ibuku untuk menelepon rumah sakit terdekat. Aku dengan polosnya mengikuti semua perintah Ibu mertuaku. Beliau menanyakan ‘apakah tidak terasa sakit.’ Aku menjawabnya dengan gelengan kepala dan menatapnya bingung.
Saat sampai dirumah sakit, aku langsung dibawa ke ruang bersalin, dengan tatapan khawatir dari Ibu mertuaku dan Aprian.

Aku yang melahirkan hanya diam tak banyak bicara karena memang pada kenyataannya aku memang tak merasakan sakit. Dokter dan para perawat yang membantuku melahirkan, hanya menatapku heran karena bisa-bisanya aku terlihat santai. Namun saat mulai diminta untuk menarik dan membuang nafas, mulai terasa ngilu di daerah bawah bagian tubuhku. Rasanya seperti sakit perut yang tertahan berhari-hari. Aprian yang ikut membantu proses kelahiran, dengan senang hati memberikan tangannya untuk aku genggam. Warna kulit tangannya sudah berubah menjadi putih. Rasanya menyakitkan ketika ada seseorang yang sedang keluar dari tubuhku.

Dokter terus saja selalu mengatakan ‘tarik nafas dan buang’, padahal rasanya sulit sekali seperti itu. Saat masih sibuk menggenggam tangan Aprian, tak lama terdengar suara tangisan bayi menggema diruangan ini. Aprian tak henti-hentinya menghujaniku dengan ciuman dan mengatakan ‘kau hebat’. Aku hanya bisa terbaring lemas karena seperti habis bekerja rodi selama setahun penuh tanpa istirahat. Ibu mertuaku yang tadinya berwajah khawatir, terlihat sangat bahagia di kaca depan pintu ruangan bersalin.
Setelah dibersihkan, anakku diserahkan kepada suamiku untuk digendong lalu ditidurkan di sebelahku agar bisa diberi air susu olehku. Tangannya yang mungil menggenggam erat tangan Aprian dengan senang hati. Tanpa sadar aku menitikkan air mata melihat bayi mungil dihadapanku. Sedih, senang, bahagia, terharu, bangga semuanya perasaan itu rasanya menjadi satu.

¤¤¤¤¤¤¤

Kabar bahagia ini tentu saja tersebar dengan cepat karena kakakku, kak Bakti. Semua teman-teman saling bergantian mengunjungiku, termasuk kak Bakti, kak Zul dan Fikri.

Rasanya kalau melihat Fikri, aku jadi malu sendiri, karena kejadian yang lalu. Tapi aku memang memang pernah mengatakannya, ketika reuni sekolah beberapa tahun yang lalu. Saat itu hanya ada aku dan Fikri, Aprian sedang mengambil beberapa snak di dalam ruangan. Aku mencoba memberanikan diri mengatakan bahwa aku pernah menyukainya namun tak pernah berani mengatakannya, dan ia pun merasakan apa yang aku rasakan. Namun setelah saling mengatakan kami hanya tertawa.
“Kita sama-sama bodoh yah?” ucapnya. Lalu tertawa kecil.
“Iya, padahal di depan mata tapi gak bisa ngungkapin.” Ucapku.
“Setidaknya kita udah saling ngungkapin. Makasih yah, udah pernah suka sama aku.” Ucap Fikri sambil menatap ke arahku.
“Iya, sama-sama. Makasih juga udah pernah suka sama aku.” Ucapku, entah kenapa saat ditatap langsung olehnya perasaanku menjadi biasa saja. Tapi ketika Aprian kembali dari mengambil snak, entah kenapa aku malah menjadi gugup dan jantungku berdetak tak karuan.
“Haduh.. kayanya gue malah ganggu orang kencan deh.” Celetuk Fikri dengan santainya. Ia hanya tersenyum jahil kearahku. ‘baka!’
“Siapa ganggu siapa kali..” celetuk Aprian tak kalah sengit. Ia tahu bahwa aku dulu pernah menyukai Fikri.
“Oke balik duluan yah?” kataku jahil sambil berdiri dari bangku yang kami bertiga duduki. “Eitss.. mau kemana?” kata mereka bersamaan sambil menarik tanganku. Mereka menarikku lagi agar duduk diantara mereka.
“Kalian mau kencan kan? Bilang aja kali gak mau diganggu sama aku. Gak usah pake kode-kodean.” Ucapku dengan nada yang dibuat-buat agar terlihat marah. Padahal rasanya aku ingin tertawa dengan kerasnya karena melihat tingkah kedua temanku seperti sepasang kekasih.
“Anjir dikira kita homo apa!” ucap Aprian dengan nada sedikit kesal.
“Beb, kayanya harus kita akui kalau kita pacaran deh.” Ucap Fikri sambil menatap serius Aprian.
“Kita udah putus please, gue udah gak cinta lagi sama lo.”
“kamu jahat, beb.” Ucap Fikri sambil memelukku berpura-pura menangis. Aku yang berada diantara mereka, menjadi terbawa drama buatan mereka. Berpura-pura mencoba menenangkan Fikri. Aprian malah membuang muka, berpura-pura kesal dengan Fikri. Tapi aku rasa dia cemburu melihat Fikri memelukku.
“Harusnya aku rekam. Drama picisan banget.” Ucapku ditengah –tengah menepuk pundak Fikri.
“Emang yang mulai duluan siapa?” ucap mereka berdua bersamaan. Aku hanya bisa diam, lalu tertawa dengan kerasnya. Sudah kubilang mereka seperti pasangan kekasihkan? Aku tak bisa berhenti tertawa walaupun mereka sudah memohon kepadaku bahwa aku harus diam.

¤¤¤¤¤¤

Cerita lalu yang menyenangkan. Beruntungnya aku bisa mengenal mereka berempat dan teman-teman di sekolahku. Rasanya saat itu, hatiku menjadi lebih hangat. Mencoba menghilangkan kesedihan karena kehilangan ibu sangat tak mudah bagiku. Ditambah ayah yang kadang-kadang pulang ketika aku liburan sekolah. padahal aku sangat merindukannya. Tapi setelah ayah tahu aku ingin menikah ia segera mencari pekerjaan baru yang lebih santai agar bisa dekat denganku dan keluarga baruku.

Hari ini anakku sudah berumur satu tahun. Tingkahnya sangat menggemaskan. Ia mulai bisa berjalan walaupun terkadang masih dengan bantuan dari benda-benda di sekitarnya. Mulai mengoceh, walaupun semua yang diucapkan tak dipahami oleh kami. Dan akan cepat menangis ketika kami tidak memperhatikannya. Ia senang jika dicubit dan digendong, ia akan tertawa dengan bahagia. Apalagi ketika bersama ayahku dan ibu mertuaku. Ia tak akan pernah mau lepas dari mereka. Adik Aprian, Arka, yang jarang ada di kota asalnya bisa cepat akrab dengan anak kami. Rasanya aku sangat bahagia, bisa bertemu dengan keluarga kecilku. Semuanya menjadi terasa lengkap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro