1 - Something Strange

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beberapa bulan sebelumnya.

Putri duduk berselonjor dengan punggung bersandar ke bahu Satya yang tengah fokus membaca buku. Tangan wanita hamil itu masih berselancar di internet untuk mencari apa yang belakangan terus memenuhi pikirannya.

"Mas, kita beneran nggak mau tanya dokter jenis kelaminnya apa?"

Satya menoleh, layar ponsel istrinya masih menampilkan deretan pilihan nama. Padahal mereka sudah membagi tugas. Satya hanya butuh waktu beberapa jam untuk menentukan nama anak perempuan, tapi kelihatannya Putri belum menemukan nama yang tepat jika anak mereka terlahir laki-laki.

"Yang penting kalian sehat, Sayang."

Putri menegakkan tubuhnya, lalu berputar untuk menatap Satya. "Tapi semua peralatan yang dibeli warnanya bosenin. Kalau nggak putih ya abu-abu. Aku juga kan mau beli warna pink atau biru, Mas."

Satya menarik perlahan kaki Putri untuk naik ke atas pahanya. Tangannya mulai memijit kaki istrinya yang sedikit membengkak itu dengan lembut. "Kamu sama mas kan sepakat untuk beli barang yang fungsional. Anak kita juga masih belum kenal warna barang yang dia pakai."

"Tapi--"

Ponsel Satya di atas meja berdering. Akhir-akhir ini, Satya memang lebih sering di rumah untuk menemani Putri yang memasuki bulan ke delapan kehamilan. Tapi di saat yang sama, Satya seperti memindahkan kantornya ke rumah. Meja makan mereka kini beralih fungsi jadi meja kerja Satya.

Kalau aku cek kelamin bayinya sendiri dan nggak bilang mas... Nggak apa-apa, kan?

Tiba-tiba, Satya bergegas masuk kamar. Penasaran, Putri mengikuti suaminya yang terlihat tidak tenang sambil memakai kemejanya dengan ponsel yang menempel di antara bahu dan telinga.

"Tolong tahan dulu, gue ke sana naik ojek. Tiga puluh menit sampai." Satya tersenyum kecil ketika menyadari kehadiran istrinya dengan tatapan penuh tanya.

"Ada apa, Mas?"

Satya mengecup singkat keningnya, "Mas ke kantor dulu, kamu baik-baik ya di rumah. Kalau ada apa-apa, langsung telepon mas."

Belum sempat Putri menjawab, Satya sudah keluar apartemen dengan tergesa-gesa. Putri termenung melihatnya. Tangannya mengusap pelan perutnya yang sudah semakin membuncit.

"Mungkin sebaiknya aku nggak cari gara-gara, aku gak mau nambah beban pikiran mas."

>>>---<<<

Dinda berpikir serius di depan rak set alat makan balita. Rapat tiba-tiba antara Arya dengan pihak investor membuat Dinda dan staf lainnya dipulangkan lebih cepat dari biasanya. Enggan pulang ke rumah, membuat Dinda tanpa sadar melangkah ke sebuah pusat perbelanjaan dan masuk ke dalam toko perlengkapan bayi.

"Aku beli warna apa, ya? Kak Putri kan nggak USG buat lihat jenis kelamin anak mereka..." Dinda kebingungan. Biasanya ia tak pernah ambil pusing jika harus membeli sesuatu untuk dirinya sendiri. Tapi memberi hadiah pada anak pertama atasannya, tentu sangat berbeda.

"Udahlah yang motif dinasaurus aja, Kak. Yang penting niat kita ngasih, terus barangnya bagus. Selesai, kan?"

Suara bariton yang terdengar dingin itu sangat familiar di telinga Dinda, alhasil ia menoleh ke sumber suara. Tepat seperti dugaannya, pria tinggi itu tengah berdiri di depan rak pakaian bayi. Namun, ditemani seorang gadis berparas cantik dengan rambut dikuncir.

Raka... sama siapa?

"Jangan sembarangan gitu dong, Ka. Kalau kasih hadiah, kita juga perlu mikirin perasaan yang nerima barang. Apalagi ini anak atasan yang kamu kagumi, lho."

Dinda memperhatikan telinga Raka yang seketika memerah, pria yang terbiasa berekspresi dingin itu mengalihkan tatapan dari perempuan di depannya. Hal itu membuat Dinda dan Raka jadi saling bertatapan.

"Dinda?" Raka berbisik pelan, namun perempuan di sisinya tetap dapat mendengarnya.

Refleks, Dinda tersenyum tipis saat melihat pria itu menghampirinya tanpa ragu, meninggalkan si perempuan yang melongo tak percaya melihat apa yang Raka lakukan.

Kenapa aku senang ya liat dia begitu?

Dinda mencoba tak memusingkan pertanyaan yang muncul begitu saja di kepalanya. Namun satu hal yang belum ia sadari, senyumnya tak kunjung memudar hingga Raka berdiri tepat di hadapannya. "Hai."

"Lo sendiri?" Raka tidak menjawab sapaan ramah Dinda. Untungnya, gadis itu sudah mulai terbiasa, Dinda mengangguk pelan untuk menjawabnya.

"Gue kira cewek-cewek di kantor bakal patungan beli hadiah. Makanya gue pergi sama kakak gue. Kalau tau lo pergi sendiri, gue sama lo aja tadi."

"Kakak?"

Raka mengangguk sambil menggerakkan dagunya asal ke arah perempuan yang kini menghampiri mereka. "Iya, cewek tua itu kakak gue."

Cubitan seketika mendarat di telinga Raka yang langsung protes kesakitan. "Apa sih, Kak! Malu tau!"

"Gitu caranya kamu ngenalin kakak ke..." Perempuan itu menatap Dinda dengan raut bingung. "Kamu pacarnya adikku yang nyebelin ini?"

Raka diam, sementara Dinda menyanggah dengan cukup heboh. Lalu ia segera menyodorkan tangannya untuk berkenalan. "Aku Dinda, Kak. Rekan kerja Raka di kantor."

Perempuan yang disebut tua oleh Raka itu mengangguk dan menyalami tangan Dinda dengan senyum lembut. Berbeda jauh dengan adiknya yang lebih berbakat dalam merengut. "Halo, Dinda. Aku kakaknya Raka, Dhea."

Setelah berkenalan, Raka mengajak Dinda mengobrol tentang hadiah yang akan mereka berikan pada Putri dan Satya. Sepertinya mereka berniat untuk mengubah barang yang akan mereka jadikan kado melahirkan.

"Kalian keliatan cocok, lho. Kenapa nggak pacaran aja?"

Telinga Raka kembali memerah, di waktu yang bersamaan, wajah Dinda juga terlihat jadi seperti kepiting rebus. Dalam hati, Dhea tertawa puas. Seumur hidup baru kali ini ia melihat ekspresi Raka sekonyol sekarang.

"Tapi kalau dipikir-pikir lagi, kamu layak dapat cowok yang lebih waras sih, Dind. Jangan mau deh sama Raka." Dhea menahan tawa saat mendapati raut adiknya yang kesal setengah mati, tapi kehilangan kata-kata.

"T-tapi.... Kami memang cuma temenan kok, Kak Dhea. Nggak ada hubungan apa-apa."

Dhea tertawa lepas, hingga ia harus menutup bibirnya agar tidak menarik perhatian pengunjung lain. "Ada yang ditolak sebelum nembak, kasihan... Dahlah, aku pamit ya. Kalau aku tetep di sini, bakal ada yang ngamuk nanti. See you, Dinda. Aku titip adikku, ya."

"Gue bukan bocah," balas Raka ketus.

Setelah Dhea menjauh, Dinda menatap Raka yang berjalan menjauh tanpa bicara.

Aku... salah ngomong, kah? Dinda hanya mengikuti Raka dalam diam, persis seperti anak kecil yang ditinggal ayahnya karena baru saja berulah.

Tiba-tiba, Raka berhenti berjalan, membuat Dinda nyaris menubruk punggungnya yang nampak lebih tegap saat dilihat dari jarak yang begitu dekat. Refleks, Dinda melangkah mundur untuk memberi mereka jarak.

"Kita beli car seat aja gimana? Itu pasti terpakai dalam waktu yang lama, jadi nggak mubazir. Daripada cuma baju atau alat makan bayi, udah basi." Raka berbalik dan mendapati Dinda berdiri kaku dengan jarak yang terlalu jauh bagi Raka. "Gimana menurut lo?"

Dinda mengangguk, "Boleh." Wajahnya yang tak berekspresi membuat Raka menatap gadis itu cukup lama. "K-kenapa, Ka?"

Raka mendekat dan menyentuh lengan Dinda dengan pelan, "Jangan begitu, Dind. Pendapat lo juga penting di sini. Lo bener-bener nggak masalah sama ide gue tadi?"

Dinda termenung. Ia mendongak untuk menatap Raka yang berdiri tepat di depannya, dengan jarak yang terlampau dekat. Padahal Dinda sengaja mengalah untuk membuat suasana hati Raka membaik setelah digoda habis-habisan oleh kakaknya tadi, tapi Raka justru membuat Dinda kebingungan... Terlebih dengan sikap dan sentuhan Raka saat ini.

Raka terlalu dekat, hingga membuat pikiran Dinda dipenuhi oleh sesuatu yang tidak ia mengerti. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan selama ini.

🦕🦕🦕

Hellow everyone~

Terima kasih buat yang setia menunggu, apalagi kalau nunggunya dari season 1 dan season 2. Kalian juara satu dalam penantian 🥇

Btw buat yang baru baca kisah ini, biar gak bingung. Bacanya dari Married a Stranger di aplikasi Memories ya. Info lengkapnya bisa kalian lihat di instagram: nnisation

Ini semacam janji + challenge gitu sih, tapi kalau jumlah like chapter ini melebihi ekspektasi aku. Sebelum 7 hari, aku akan publish chapter baru... Dan kemungkinan, udah ada Baby kita semua di situ, yuhuuu🤰

See you and thankyou everyone✨

--4 Juni 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro