Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kakinya melangkah pelan memasuki pekarangan rumah setelah sekian lama tak pulang. Entahlah, semakin hari ia semakin kebingungan untuk mendeskripsikan arti kata pulang dan rumah, karena baginya akhir-akhir ini... Dua hal itu justru seakan erat dengan sosoknya yang memilih pergi.

Pintu rumah terbuka, sang Ibu tersenyum lebar lalu memeluknya hangat, senang melihat kehadiran putrinya setelah sekian lama mencoba untuk tinggal terpisah.

Sementara sang ayah, hanya menatap dari jauh, sambil duduk di sofa dan tanpa melepaskan remot TV di tangannya. Sosok kepala keluarga yang terlihat dingin itu tidak lagi melukai hati. Berkat ia yang selalu ada beberapa bulan terakhir, Dinda mampu memahami segala sesuatu dari sudut yang berbeda.

"Kok datang lebih cepat, Din? Katanya mau ke bandara dulu." Ibu mengajak Dinda duduk di sofa depan TV, bergabung dengan ayahnya yang tidak bersuara sama sekali.

"Nggak jadi, Bu." Sang ibu terlihat sabar menunggu kelanjutan ucapan putrinya. "Dinda nggak mau... bikin dia makin cemas kalau sampai Dinda nangis di bandara."

"Dia pacarmu?" Ayah bertanya dengan lugas, tapi tatapannya tidak beralih dari layar TV. "Kenapa juga kamu harus nangis? Ayah dengar dia dapat tawaran kerja yang lebih bagus dari tempat kalian kerja sekarang. Apanya yang perlu ditangisi?"

Dinda diam. Bukan karena perkataan ayahnya yang terdengar ketus, namun karena ia sendiri pun belum mendapatkan jawaban dari perasaannya yang terasa aneh belakangan ini.

Tiba-tiba, ayahnya menaikkan volume TV hingga begitu kencang. Refleks, Dinda dan ibunya ikut fokus menatap layar datar di depan mereka. Seorang pembawa berita muncul untuk membawakan breaking news. Sebuah pesawat yang belum lama lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta, dikabarkan hilang kontak sebelum akhirnya dinyatakan jatuh.

Ayahnya menoleh ke arah sang putri yang berdiri perlahan dengan tatapan tak percaya. Seumur hidupnya, baru kali ini ia melihat Dinda terlihat begitu syok.

"Nggak mungkin." Dinda langsung mengambil ponselnya dari dalam slingbag dan mencoba menelepon. Satu kali. Dua kali. Sayangnya, nomor itu tetap tidak dapat dihubungi.

Dalam sekejap, kedua kaki Dinda kehilangan kekuatan untuk menopang tubuhnya tetap berdiri. Ia jatuh terduduk dengan ayahnya yang seketika merangkul.

"Dinda." Raut cemas terpancar kuat dari sepasang mata ayahnya, sementara sang ibu bergegas ke dapur untuk mengambilkan putrinya minum.

Mata Dinda memanas, di saat yang sama, dadanya terasa seperti dihantam batu besar. Rasanya sakit dan sesak.

"Raka... Raka ada di pesawat itu. Dia... Dia...."

Air mata pecah, Dinda menangis di pelukan sang ayah setelah sekian lama. Dan itu karena seorang Raka.

🛫🛫🛫

Halo, akhirnya kita bertemu dengan platform yang berbeda.

Tenang, tenang. Meski main character di sini adalah Dinda (+Raka, hm yah... Aku ternyata pendukung mereka meski sekian lama telah berlalu). Porsi cerita Satya-Putri tetap akan ada dan gak bisa dibilang sedikit ya, karena development Dinda-Raka juga masih ada kaitannya sama Satya-Putri.

Jadi kuharap, bagi para Tante-tante yang nunggu ponakan onlen kalian lahir, tetep bisa menikmati cerita ini ya.

Btw, aku juga udah memutuskan jenis kelamin anak Mas apa sih, hehehe. Penasaran?

Aku tunggu like 🌟 dan komentar kalian di part ini ya. Makin banyak respon kalian, aku bakal makin excited buat update part selanjutnya lebih cepat 😉

See you next part!

--Sabtu, 21 Mei 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro