Delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Who the hell are you?" akhirnya Ata menyuarakan pertanyaan yang bersarang di kepalanya.

Tanpa bisa menutupi ketakutannya, Ata akhirnya pasrah saat tangan yang terulur itu menjamah bahunya dan menggiringnya hati-hati menuju salah satu bangku. Anehnya, segala ketakutannya menguap digantikan kenyamanan saat tubuh mereka menempel satu sama lain.

Mengalahkan segala sakit fisik yang tampak jelas membekas di lehernya, Ata merasa kepalanya jauh lebih sakit. Apa yang sedang dilakukannya dengan pria asing ini? Kenapa pria asing itu tampak begitu mengerikan dan nyaman di saat bersamaan? Bagaimana kalau Ata ternyata sedang berurusan dengan seorang residivis? Bagaimana kalau kejadian hari ini justru membuat Ata harus dideportasi? Dan bagian terburuknya... Bagaimana kalau ada awak media yang mengetahui, dan membuat kejadian ini menjadi berita besar?

Apa kata Mama nanti?

Bagaimana Ata harus menghadapi Mama?

Yang ditanyai menundukkan kepala dalam, tidak berkutik.

Tapi bukan itu yang Ata butuhkan sekarang. Ia butuh jawaban. Ide untuk bermain-main dengan orang asing sepertinya benar-benar buruk.

Mama benar.

Mama selalu benar. Ata yang salah.

"Kenapa kamu harus main pukul segala sih? Emangnya masalah bisa selesai dengan main pukul begitu? Emangnya kamu nggak mikir gimana kalau perkelahianmu itu justru membuat kita harus berurusan dengan polisi dan berakhir dideportasi?" cecar Ata terang-terangan. "Asal kamu tahu, saya bukan orang tepat untuk diajak bercanda soal moral ya! Perlu saya ingatkan, kalau-kalau kamu nggak pernah belajar tentang moral di sekolahan dulu, yang barus saja kamu lakukan adalah tindakan kekerasan! Tidak bermoral!!!"

Joby mengangkat kepalanya. Tampang penyesalannya sudah bertransformasi menjadi tampang marah bercampur kecewa, "Jadi maksudnya, kamu lebih suka digerayangi sama laki-laki bajingan itu?"

Ata mengernyit, "Tapi nggak harus pukulin sampai babak belur gitu juga kan?" suaranya masih terdengar sama tingginya seperti sebelumnya.

"Kupikir seharusnya aku mendapat ucapan terimakasih, bukannya diomelin begini," sinis Joby sambil memandangi buku-buku jarinya yang membengkak, lantas menggunakan jari jemari yang bengkak itu untuk memungut handuk basah yang diletakkan pemilik kedai teh di dalam mangkuk air es. Dan tangan yang sama pula, yang akhirnya mendarat di leher Ata. Mengompresnya dengan hati-hati. "Kamu beneran nggak pa-pa?"

Ata harus memijit pelipisnya saat memikirkan siapa yang sebenarnya terluka lebih parah dalam insiden ini. Bukankah wajah itu sedang bonyok, dan tangannya sendiri terluka. Kenapa justru dia yang merawat Ata yang hanya terluka ringan di leher?

"Aku antar ke rumah sakit aja, gimana?"

Ada banyak pertanyaan lainnya yang berebut ingin terlontar dari bibir Ata, tapi hanya satu pernyataan yang berhasil lolos, "Aku?!" Kalau Ata tidak salah mengingat, mereka masih punya jarak santun dengan panggilan "saya-kamu" sebelumnya. Ke mana perginya jarak santun itu?

Lawan bicaranya menyunggingkan senyum, yang mau tak mau harus Ata sebut mematikan, karena di saat bersamaan ada banyak syaraf dalam otak Ata yang mendadak mati. Ata mendadak blank. Senyum itu terlalu mempesona.

"Setelah kejadian hari ini, aku kayaknya nggak bisa menganggap kamu sekadar perempuan random yang bertemu nggak sengaja di sini. I want to be closer."

**

Di seberang ruangan, pemilik kedai teh tampak baru selesai mengobati luka-luka di wajah sang pemabuk. Pemilik kedai teh tampaknya sudah cukup mengenal sang pemabuk karena ada banyak racauan yang meluncur deras dari mulutnya saat mengobati luka-luka itu, namun diterima mentah-mentah oleh sang pemabuk. Hilang sudah segala ke-beringas-an yang melekat di wajahnya sejak awal jumpa tadi.

Pemilik kedai teh itu sepertinya sudah berhasil menjelaskan kepada sang pemabuk tentang situasi yang sebenarnya. Bahwasanya Ata hanyalah wisatawan biasa, bukan Geisha bernama Yoko yang sedang dicarinya. Hingga akhirnya mereka datang menghampiri meja tempat di mana Joby masih setia mengompres luka Ata untuk meluruskan kembali permasalahan.

Sejak tadi Ata harus menahan napas untuk dua alasan. Pertama karena pikiran-pikiran buruknya tentang apa saja yang mungkin terjadi setelah insiden ini. Lalu yang kedua, karena sentuhan-sentuhan tangan pria yang sedang merawatnya ini.

"Gomenasai...," kata pria pembuat onar menundukkan kepalanya di depan Ata dan Joby. Meminta maaf.

Ata akhirnya bisa bernapas lega. Paling tidak salah satu dari dua alasan yang membuat napasnya tertahan berhasil dikendalikan. Ketakutannya tentang buntut pertikaian barusan tidak seperti yang dibayangkannya sebelumnya. Setidaknya tidak ada urusan dengan pihak kepolisian, deportasi, apalagi rusaknya image. Ata masih aman dalam penyamarannya menjadi Lia.

Ata cukup paham arti dari kata 'gomenasai' juga arti dari bahasa tubuh pria Jepang yang membungkuk 900 itu mengisyaratkan perdamaian. Ata sudah bersiap-siap untuk memberikan maafnya dengan menggumamkan kata yang sama. Namun, belum sempat bibirnya mengucap, sebuah tubuh jangkung tiba-tiba menghalangi pandangannya. Pria asing yang sebelumnya duduk di sisinya untuk membantu mengobati lukanya sudah berdiri mewakili dirinya untuk menghadapi pria Jepang itu.

Seolah takut Ata mendapat perlakuan tidak wajar lagi, pria itu membentenginya dengan perlindungan. Membuat dirinya sendiri sebagai perisai yang akan menangkis mara bahaya dari barisan paling depan.

Apapun yang dikatakan pria itu di depan sang pemabuk tidak mampu ditangkap telinga Ata lagi sama sekali, karena lagi-lagi ia harus berurusan dengan kerja tubuhnya yang tidak wajar. Jantungnya berdegup terlalu keras. Sikap heroik pria itu, benar-benar membuatnya semakin kualahan.

***

Benar kata Joby sebelumnya, di depan orang sepertinya, orang yang tidak berpengaruh apa-apa di kehidupan Ata yang sebenarnya, ia berpotensi menjadi berbeda.

Ata mengeluarkan kepribadian yang tidak pernah ia tahu dimilikinya. Ata lupa kapan terakhir kali ia pernah menyuarakan protesnya. Tapi baru saja, tidak lebih dari dua jam yang lalu, ia sudah mengatai Joby sebagai preman pasar.

Padahal semua tindakan kasar itu dilakukan Joby demi keselamatannya.

Ata harusnya berterimakasih.

Untung saja keributan itu tidak berbuntut panjang. Ata tidak bisa membayangkan drama apalagi yang harus ia lewati dengan Mama kalau-kalau ia sampai dideportasi karena keributan itu.

Tapi, apakah Ata benar-benar akan terhindar dari masalah? Bagaimana kalau ternyata pria yang menemani Ata saat ini ternyata benar-benar sumber masalah yang sesungguhnya?

"Kalau kamu sempat berpikir aku ini berandalan atau semacamnya, tolong buang jauh-jauh pikiran itu. Aku pastikan kamu aku ini laki-laki berpendidikan, dan berasal dari keluarga baik-baik." Joby yang sedari tadi mengiring langkah kaki Ata menyusuri jalan protokol di Gion seolah bisa membaca pikiran dan menyuarakan pembelaannya.

"Aku akui aku sedikit kelepasan. Maaf kalau kamu jadi ketakutan," sambung pria itu lagi. "Kalau karena kejadian ini kamu berpikir untuk menghentikan permainan ini, aku bisa-"

"NO!" potong Ata cepat. "Aku justru penasaran dengan kejutan yang terjadi selanjutnya. Aku nggak ngerti ini bagian dari kepribadianku yang mati suri telah bangkit atau bukan, tapi...," Ata memberi jeda untuk tertawa. Tawa yang semakin lama terdengar semakin memanjakan telinga Joby karena kerenyahannya, "Aku baru tahu kalau aku bisa marah-marah nggak jelas begini."

Entahlah karena keputusan Ata untuk tetap menjadi rekan sepermainannya, atau justru karena cara Ata tertawa yang membuat Joby merasa kelegaan merambati hatinya. Yang jelas, perasaan itu pulalah yang membuat tangannya terulur ke atas pucuk kepala Ata dan mengelusnya perlahan. Takut merusak tatanan rambut Geisha-nya.

Ada titik-titik salju yang perlahan turun membelai kulit Ata bersamaan dengan gesekan tangan Joby di atas kepalanya. Setahu Ata, salju selalu membekukan, menusuk tulang. Tapi entah bagaimana caranya, ia merasakan kehangatan yang tak terdefinisikan.

Berusaha menguasai diri, Ata merefleksikan keadaan ini dengan teori Temperatur Efektif.

Temperatur efektif adalah temperatur yang dirasakan oleh kulit kita, dipengaruhi oleh tiga besaran fisis: temperatur terukur (oleh termometer), kecepatan pergerakan udara, dan kelembapan udara. Temperatur efektif biasanya dipakai untuk menentukan zona nyaman. Di pantai, temperatur terukur bisa tinggi, namun karena angin kencang kita masih merasa nyaman. Pada saat salju turun lebat, kelembapan udara naik dan ini memengaruhi temperatur efektif sehingga pada satu kondisi kita merasa hangat.

Kehangatan ini, pasti hanya salah satu bentuk dari keajaiban alam.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro