Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yang Ata ingat saat beriringan menuju tempat berteduh adalah dirinya yang sibuk tersenyum-senyum kecil. Bukan karena tubuh Joby yang kukuh hingga membuat tubuhnya terhuyung tapi tidak terjatuh. Bukan juga karena tangan Joby yang melingkar di pinggangnya sigap membentengi tubuhnya. Juga bukan karena hembusan napas Joby yang hangat menyapu wajahnya hingga udara dingin terasa hangat.

Tapi, karena semua ini mengingatkannya akan masa kecil yang tanpa alas sepatu berlari-lari tak tentu arah dengan Lusia di pekarangan rumah. Mama akan mengomel karena telapak kaki mereka yang hitam meninggalkan jejak lumpur di setiap langkahnya, sementara Papa akan selalu membela.

"Namanya juga anak-anak, Ma...."

Ata tersenyum geli mengingatnya. Sudah berapa lama ya kebiasaan buruk itu tidak pernah dilakukannya lagi?

"Saya pangling!" kata Joby membuyarkan lamunan Ata. Mata pria itu tak berhenti memandangi wajah Ata.

Ata cukup paham dengan maksud ucapan itu. Penampilannya hari ini jauh berbeda dengan penampakannya semalam. Tidak ada piyama kusut, rambut acak-acakan atau bahkan sandal bulu yang menempel di tubuhnya, melainkan penampilan modis dan trendy ala perempuan metropolis. Bukan hanya dari segi pakaian, tetapi juga gaya rambut dan makeup.

"Saya takjub!" Ata membalas, mengabaikan pandangan Joby yang terus saja melekat. "Seketika aja, sejauh mata memandang semuanya jadi putih dan bercahaya!" Ata melemparkan pandangan ke luar jendela kaca transparan. Kepulan asap dari kopi yang mereka pesan membuat kaca di sisi tempat duduk mereka berembun, namun tidak menyamarkan indahnya pemandangan di luar sana.

Joby ikut melayangkan pandangnya ke arah yang sama seperti arah pandang Ata. Diam-diam menyetujui pendapat Ata, semuanya terlihat sangat indah karena terselimuti salju yang lembut. Mengapa Joby baru menyadari hal sesepele ini hari ini, padahal ia sudah menyaksikan pemandangan serupa hampir setiap hari?

Mungkin benar yang orang-orang bilang, kalau kita bisa melihat sesuatu dengan perspektif yang berbeda saat mempunyai teman untuk berbagi.

"Saya jadi ingat perkataan kamu saat kita berpisah di depan pintu Ryokan semalam," ujar Joby masih sambil memandangi pemandangan yang sedikit pun tidak tercela meskipun terhalang kaca jendela. "Kalau berjodoh, kita mungkin akan bertemu kembali."

Ata akhirnya mengalihkan wajahnya pada lawan bicaranya yang juga melakukan hal yang sama pada saat yang sama, sehingga pandangan mereka bertemu di tengah, "Apa mungkin kita jodoh?"

Ata bergeming beberapa saat sebelum tawanya pecah. Begitu riang sampai-sampai setitik air menetes dari pelupuk matanya. Ata mengusap matanya hati-hati, takut mascara dan eyeliner-nya ikut luntur, "Andai saja semudah itu bertemu dengan jodoh."

Kali ini justru Joby yang tertawa, "Ya, andai saja semudah itu cara mengetahui siapa jodoh kita sebenarnya." Joby mengedikkan bahunya saat melanjutkan, "You know what, saya selalu berpikir kalau jodoh, pasti semuanya akan dimudahkan. Nyatanya perjalanan kisah cinta saya nggak semudah itu. Sampai-sampai membuat saya bertanya-tanya, apakah saya sudah benar-benar memegang tangan jodoh saya yang sebenarnya?"

Ata mengangkat alisnya setelah mendengar pertanyaan sarat curhat dari pria yang sekarang duduk menyamping untuk bisa menatapnya terang-terangan. "Apa kamu pernah dengar istilah kalau beberapa orang dihadirkan dalam hidup kita bukan untuk kita miliki, tapi untuk singgah mengajarkan kita sebuah pelajaran?"

Joby bergeming sebelum mengangguk, "I got your point. And maybe all I have to do is to figure it out. Apakah dia 'the one' atau ternyata saya menolak menerima kenyataan kalau dia ternyata bukan orang yang diciptakan untuk saya."

Ata menyesap kopinya lagi, dalam tegukan besar karena suhunya tidak sepanas sebelumnya. Suam-suam.

"Thanks, anyway," sambung Joby yang hanya dibalas Ata dengan mengedipkan matanya dari balik cangkir stereofoam yang masih menempel di bibirnya.

***

Guyuran salju tidak berlangsung lama. Hanya beberapa jam. Setelah berhasil meninggalkan jejak serupa selimut tebal berbulu putih yang begitu lembut dan cantik di beberapa titik, guyuran salju pun berhenti.

Tanpa komando maupun kesepatakan secara lisan, Joby dan Ata seolah sepakat untuk menghabiskan sisa hari bersama.

Dimulai dari keluar dari minimarket bersama, mereka meneruskan kegiatan selayaknya wisatawan pada umumnya. Mencoba beberapa jenis makanan baru, memperhatikan cara orang-orang berdoa di kuil, sampai Ata harus berdecak kesal karena kegiatannya harus terganggu deringan telepon yang tidak kunjung berhenti.

"Iya, Ma?" terdengar suara Ata seperti menahan batu sebesar kepalan tangan di tenggorokannya, "Di Kyoto-lah. Emangnya di mana lagi?"

Joby membagi perhatiannya dari kumpulan wisatawan yang sedang membersihkan diri di depan sebuah sumber air suci di depan kuil untuk memastikan telinganya tidak salah saat mendengar nada kesal dari bibir Ata.

"Ma, tolong berhentilah memonitor gerakanku. Aku bukan anak kecil lagi," decak Ata tertahan, sambil mengangkat jari telunjuknya di depan Joby sebagai isyarat meminta waktu untuk menjawab sambungan telepon.

Joby mengangguk bersamaan dengan berbaliknya tubuh Ata menjauh menuju balik pilar terdekat, namun masih dalam jarak pandang Joby.

Diam-diam, Joby memperhatikan cara Ata menjawab telepon yang diduganya berasal dari ibunda perempuan itu sendiri. Tidak lazim adalah kesan yang didapat Joby saat melihat semua keceriaan Ata tiba-tiba tersedot benda pipih yang menempel di telinganya itu. Seolah-olah benda itu adalah mesin penghisap sukacita, karena wajah Ata menjadi berlipat-lipat saat menjawab entah apapun yang ditanyakan orang di seberang sana padanya. Seolah memberengut tidak cukup mewakili kekesalannya, Ata bahkan mengentakkan kakinya beberapa kali ke dasar lantai dengan kasar.

Di akhir percakapan itu, Joby juga mendapati perempuan itu mengeluarkan benda serupa jarum untuk mengeluarkan SIM card dari ponselnya sebelum memasukkan –nyaris mencampakkan—ponsel pintar itu ke dalam tas selempangnya.

"Apa saya terlihat seperti anak kecil?" tanya Ata saat kembali menghampiri Joby. Tanpa perlu repot-repot mengembalikan mood-nya terlebih dahulu, suara Ata bahkan terdengar lantang dan nyaring. Seperti sedang membentak Joby.

Joby memberi jawaban dengan sebuah gelengan kepala.

"Apa saya terlihat seperti orang yang nggak bisa membedakan mana yang benar dan salah?" tanya Ata lagi, konsisten mempertahankan emosinya yang masih meledak-ledak.

"Absolutely no! You look smart."

Ata membuang napas berat mendengar jawaban Joby, "I used to be a smart girl. Tapi sekarang saya sepertinya sudah berubah menjadi orang yang paling tolol sedunia. Sebegitu tololnya sampai-sampai saya kehilangan kendali atas diri saya sendiri." Emosi Ata semakin surut seiring keluarnya unek-unek yang mengganjal di hatinya.

"Hey," Joby menyentuh pundak Ata pelan. "Nggak ada yang boleh mengendalikan kamu selain dirimu sendiri, Lia."

🌸🌸

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro