Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Entahlah berkat teh hijau pemberian Mika, atau justru berkat sake yang ditenggaknya bersama kenalan barunya sebelum tidur semalam, yang turut berjasa membuat tidur Joby lebih nyenyak tadi malam. Yang jelas, Joby tidak pernah merasa bangun dengan kondisi sebugar ini selama tujuh hari sebelumnya.

Joby bahkan bersenandung kecil saat mandi dan bersiap-siap untuk menemui Jordan, sepupunya, yang kebetulan sedang berada di Jepang dalam rangka tugas kemanusiaan.

Kalau Joby harus menyebutkan satu nama orang yang paling dikaguminya di seluruh dunia ini, tanpa ragu dia akan menyebut nama Jordan. Jordan itu paket komplit. Selain tampang yang potensial menjadi artis, latar belakang keluarganya bagus, apalagi karirnya. Jordan dengan segala kebaikan hatinya telah berhasil mendirikan sebuah Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) yang membantu mendidik anak-anak yang kurang beruntung di pelosok nusantara. Tidak sedikit yang tergugah dengan aksinya. Tercatat sampai saat ini, rekening LSM yang dibinanya tidak pernah defisit saking banyaknya donasi yang mereka terima. Tidak bisa dipungkiri otak Jordan yang pintar dalam membuat program-program kegiatan LSM-nya mampu menggerakkan hati para donatur untuk turut membantu.

Menjadi poin ekstra, Jordan akan selalu menjadi pendukung Joby sementara seluruh keluarga menentangnya. Terutama untuk urusan Delia.

"Hei, Bang! Di sini!" Jordan melambaikan tangan saat melihat sosok Joby baru turun dari kereta.

Joby langsung bergerak mendekat, menepukkan tangannya pada telapak tangan Jordan yang menengadah, kemudian saling menubrukkan pundak sebagai salam pertemuan sesama pria.

"Sibuk banget kayaknya, sampai buat ketemuan aja mesti gonta-ganti hari," sindir Joby sambil mengikuti langkah Jordan keluar dari stasiun kereta. Keduanya memang seharusnya bertemu semalam, tapi Jordan harus membatalkannya secara sepihak karena mendapat kabar tentang kedatangan Ata.

"Biasalah, dari pihak UNICEF-nya udah bikin rundown padat, ini juga Jordan nyempet-nyempetin banget, takut nggak bakal keburu ketemuan selama di Kyoto," Jordan beralasan. Tidak sepenuhnya bohong. Jadwalnya memang sudah kepalang padat dengan semua agenda konferensi yang disiapkan panitia. Tapi khusus untuk kasus semalam, Jordan bela-belain mangkir dari salah satu sesi acara demi bertemu Ata. Wanita idaman yang sampai sekarang sulit dijangkaunya.

"Jangankan di negeri orang, di negeri sendiri aja susah ketemu sama kamu," kekeh Joby.

"Sengaja. Kan, biar dikangenin." Jordan menaik-turunkan alisnya.

Tawa Joby kontan meledak, "Minta dikangenin tuh sama pacar, jangan sama sepupu."

"Oh, iya lupa! Abang terlalu sibuk kangen sama Kak Delia ya, sampai lupa sama Jordan." Jordan melirik Joby sekilas, dan menemukan raut wajah sepupunya itu mendadak sendu. Membuat Jordan langsung bisa menarik kesimpulan kalau Joby sedang ada masalah lagi dengan Delia. "Kenapa lagi sama Kak Delia?"

Joby tidak langsung menjawab pertanyaan Jordan. Dia memilih untuk menyicip street food di badan jalan kuil Fushimi Inarii sebelum melanjutkan obrolan. Pilihan makanan Jordan jatuh pada takoyaki, sementara pilihan makanan Joby jatuh pada dorayaki. Keduanya kemudian duduk pada salah satu stall dan menikmati makanan masing-masing.

"Delia mulai menuntut pernikahan." Joby mengembuskan napas berat di akhir pengakuannya.

"Oh ... my ... God!" desis Jordan.

"Yah, dan aku beneran nggak tahu harus gimana," sambung Joby, kemudian mengalihkan pandangannya ke wajah Jordan, mendapati sang sepupu ternyata tidak sedang berkonsentrasi kepada ceritanya, melainkan pada satu sosok lain di depan sana.

Di antara keramaian orang yang lalu lalang, ada penampakan seorang perempuan berbalut coat merah yang sangat familiar di mata Joby. Perempuan yang semalam berkenalan dengannya dengan nama Lia.

Joby melirik lagi kepada sepupunya, mendapati sang adik sepupu masih melongo sempurna. Pandangan yang bisa membuat Joby bisa menebak betapa sepupunya yang satu ini sangat mengagumi sosok yang berada dalam radius sepuluh meter di depan mereka itu. Joby jadi ingat pada dirinya sendiri ketika mengagumi Delia dulu, mungkin seperti Jordanlah caranya menatap Delia. Dulu.

Mengabaikan dadanya yang mendadak terhimpit kala mengingat Delia, Joby menyikut pelan lengan sepupunya, "Samperin dong! Malah diliatin aja."

Jordan akhirnya tersadar, ia ternyata belum mengunyah makanan yang ada di mulutnya, hingga mendadak tersedak makanannya sendiri saat ingin buru-buru menelannya. Cepat-cepat Joby menyodorkan botol air mineral.

"Pelan-pelan, Bro. Nge-gas banget!" Joby menasihati sambil menepuk-nepuk punggung Jordan.

"Tangkapan emas ini, Bang!" jawab Jordan tak sabaran.

"Emang siapa sih?" penasaran Joby.

"Atalia Sabaira, Bang. Putri Nusantara tiga tahun lalu."

Joby berusaha mengingat-ingat sebelum akhirnya berseru, "Oh! Yang kamu bela-belain bujukin keluarga buat ikutan vote dia?"

Jordan langsung mengangguk semangat.

"Pantas aja mukanya familiar," gumam Joby.

Sejak pertemuan pertama kemarin, Joby memang sudah merasa familiar dengan tampang kenalannya itu. Hanya saja ia tidak bisa mengingat di mana dan kapan mereka bertemu. Diingatkan Jordan begini, Joby baru sadar kalau ia juga hadir dalam malam penobatan gadis itu saat dilantik menjadi Putri Nusantara.

Baru saja ingin mengatakan kalau ia menginap di Ryokan yang sama dengan gadis itu, bahkan sudah berkenalan dengan nama samaran kepada Jordan, Joby harus menahan pengakuannya karena Jordan sudah buru-buru meletakkan makanannya di bangku dan bersiap untuk menemui gadisnya.

Joby akhirnya memilih untuk duduk saja menyaksikan sepupunya beraksi.

Sayangnya tontonan itu harus berhenti saat jarak Jordan dengan gadisnya hanya terbentang beberapa langkah lagi. Jordan urung melanjutkan langkahnya karena sebuah panggilan mendadak menginterupsi. Entah apa yang dikatakan orang yang berada di seberang saluran ponsel Jordan hingga membuat pria itu harus memutar balik tubuhnya dan buru-buru menghampiri Joby.

"Bang, sori-sori, Jordan harus cabut dulu. Ada hal penting yang harus Jordan kerjakan," kata Jordan dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. "Ok, I'll be right back," sambungnya pada orang di seberang ponsel.

Tanpa menunggu persetujuan Joby, Jordan melambaikan tangan dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Meninggalkan Joby yang masih terduduk dengan dorayaki yang masih tersisa setengah di tangannya.

**

Hari kedua di Kyoto, Ata memutuskan untuk pergi berwisata ke Fushimi Inarii Taisha. Sendiri.

Ata sempat berpikir alangkah menyenangkannya kalau ia bisa mengajak serta Ronald, sang kenalan misterius yang entah bagaimana caranya berhasil membuatnya nyaman semalam. Pembicaraan tak tentu arah yang mereka lewatkan, candaan garing yang mereka tertawakan, dan tidak lupa salam perpisahan dari pria itu yang kelewat mengganggu menyisakan kesan yang sulit dilupakan.

"Menurut kamu, apakah ada konteks perpisahan yang tidak meninggalkan luka?"

"Ada."

"Yaitu?"

"Perpisahan kita malam ini," jawab Ata mantap dan cepat. "Kita sama-sama tahu kalau dilanjutkan hanya akan menyakiti kita berdua karena jelas-jelas kita harus berjuang melawan kantuk. Dan lagipula, kita punya hari esok. Kalau berjodoh, kita mungkin akan bertemu kembali. Jadi kenapa harus terluka?"

Pria itu tersenyum getir, "Seandainya pola pikir seperti itu bisa dipakai untuk segala konteks perpisahan."

Mengingat percakapan singkat itu, dugaan Ata semakin pekat tentang betapa bermasalahnya pria yang mengaku bernama Ronald itu. Sama seperti Ata. Bermasalah.

Ah, tapi sekarang bukan saatnya untuk memikirkan permasalahan oranglain. Ata sendiri sudah cukup kelimpungan dengan permasalahannya sendiri. Maka ia memutuskan untuk mulai meng-eksplore Kyoto hari ini.

Ata memulai perjalanannya dengan menyusuri jalan menuju stasiun kereta, yang langsung berhenti di dekat pintu masuk kuil. Syukurlah ia tidak salah dalam memilih buku panduan. Hanya mengikuti instruksi yang terpapar di dalamnya, ia bisa tiba di gerbang utama Kuil Shinto yang berwarna merah menyala–sama merahnya dengan trench coat serta sarung tangan kulit yang dikenakannya—dalam waktu dua puluh menit.

Kedatangan Ata disambut dengan sebuah gapura torii raksasa yang berwarna merah menyala. Lalu, disusul dengan sebuah kuil utama yang di belakangnya terdapat ribuan gapura torii selanjutnya dengan ukuran lebih kecil, namun tampak eye catchy karena susunannya yang berderet rapi hingga membentuk terowongan.

Ata ingat telah membaca tentang betapa eksotisnya pemandangan yang disajikan di lokasi ini, tentang betapa mata akan dimanjakan dengan panoramanya yang indah, tentang rumah-rumah tradisional Jepang yang berdiri tepi jalan. Tapi Ata lupa kalau jalan menuju kuil utama dan torii yang berjejer rapi membentuk terowongan kayu adalah tanjakan dan bukit. Alhasil betisnya pegal begitu sampai di ambang torii. Apalagi ia mengenakan sepatu peep toe boots kulit berwarna hitam dengan tumit setinggi 7 cm untuk menemani perjalanan kali ini.

Tidak ada hal spesial yang dilakukan Ata di kuil. Dia hanya ber-selfie dengan ponsel pintar, mengunyah sekantung kacang yang dijajakan pedagang kaki lima, menikmati pemandangan alam, dan beristirahat di atas gundukan batu di bukit. Ini seharusnya menyenangkan. Tidak! Tidak! Ini menyenangkan, bahkan begitu menyenangkan apalagi ketika salju turun. Kristal-kristal es yang lembut jatuh perlahan dari langit.

Mengagumkan!

Ata memandangi setiap kristal salju yang jatuh ke permukaan bumi, mencoba membuktikan fakta bahwa tidak ada satu kristal salju pun yang bentuknya sama. Persis sidik jadi manusia. Tidak ada yang sama. Tapi apalah daya mata telanjang? Kristal salju yang turun dengan anggunnya malah membuat Ata terbuai dengan keindahannya.

Nasib orang yang tidak pernah melewati hari berdampingan dengan musim dingin, Ata tidak menyadari betapa jalanan akan menjadi basah dan licin sampai ia tergelincir di undakan tangga. Celakanya, sol sepatu kirinya lepas dan terlempar ke dasar tangga. Dengan berat hati, Ata pun melepaskan sisa permukaan sepatu kiri yang kehilangan fungsi karena kehilangan sol. Naas.

Saat itu pulalah entah dari mana datangnya, sebuah payung hitam meneduhkan kepalanya dari tetesan salju yang mulai terasa dingin menusuk ubun-ubun. Seseorang dengan sepatu kets berwarna mushroom berbahan suede bertali putih, celana reaped jeans serta shearling jacket berlapis kulit berwarna hitam dengan noda kopi di sekitar kerah.

"Ronald?" tanya Ata takjub saat menengadah dan menemukan sang pemilik payung.

Bukannya menjawab, tangan pria itu meraih pinggang Ata yang menempel di undakan tangga hingga ia berdiri tegak. Tidak sepenuhnya tegak. Tubuh perempuan itu berusaha seimbang dengan kaki kanan beralaskan boot setinggi 7 cm, dan kaki kiri terpaksa beradu dengan dinginnya es yang memenuhi permukaan lantai, hingga sekali lagi ia hampir terjungkal.

Joby menyelamatkannya sekali lagi dengan mengangkat tubuh semampai itu sedikit lebih tinggi. Meletakkan kaki perempuan itu di atas sepatu kets mushroom miliknya.

"Auhhh...!" merintihnya kesakitan ketika tumit sepatu boot sebelah kanan milik Ata menimpa kakinya.

"Ups... maaf-maaf!" kata wanita cepat, secepat melepaskan sepatu kanan, menepiskannya begitu saja, dan kembali lagi menimpa sepatunya dengan kaki telanjang.

Tangan kirinya masih melingkar di pinggang ramping itu. Tangan kanannya memegangi payung untuk meneduhkan. Sementara kedua kaki Ata dibiarkan menapak tepat di atas sepatunya, membuat wajah mereka sejajar. Joby bahkan bisa merasakan hembusan napas Ata yang beruap menyapu wajahnya.

Lalu pria itu memerhatikan wajah Ata sekali lagi. Dari jarak sedekat ini, ia jadi bisa mengingat kembali potongan-potongan memori saat wanita dipelukannya itu mengikuti ajang kecantikan. Tidak salah ia memilih Ata sebagai jagoan-nya waktu itu. Penampakan di depannya saat ini sudah menggenapkan pemikirannya. Cantik, anggun, berkelas adalah beberapa kata yang mewakili sosok wanita ini. Tanpa disadarinya ia sudah menghabiskan waktu lima detik berharga dalam hidupnya hanya untuk memandangi kesempuraan perempuan itu.

Joby mendadak paham mengapa perempuan itu lebih suka ia tidak tahu asal-usulnya. Sebagai jawara ajang kecantikan yang tidak hanya menjual tampang tapi juga kepintaran dan attitude, Ata pasti malu dengan cara makannya sama sekali tidak beretika semalam.

Tapi memangnya kenapa, Putri Nusantara juga manusia biasa kan?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro