Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika semua hal yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan kehidupan Ata belakangan ini terasa salah, tidak ada yang benar, hanya piyama kusut yang menempel di tubuhnya dengan sedikit aroma asam sisa cipratan teh hijau dan sushi-lah yang akhirnya berhasil memberi sensasi kedamaian dan ketenangan. Ditambah rambut yang belum disisir setelah diacak-acak di atas futon.

Kedamaian itu terasa semakin memabukkan ketika menyadari orang yang berdampingan dengannya saat ini tidak lebih baik sama sekali. Wajah pria yang tampan itu diselimuti brewok berantakan. Rambut ikalnya kusut. Matanya cekung dengan lingkar hitam di sekitarnya. Wajahnya tampak lelah. Pria itu tampak tak cukup peduli untuk mengurus dirinya sendiri. Bahkan Ata bisa menemukan sisa kopi menempel di bulu-bulu lembut sekitar kerah shearling jaketnya yang berwarna hitam berlapis kulit.

Ajaibnya lagi, Pria itu bahkan tidak mencuci muka sisa cipratan teh hijau dan sushi dari wajahnya sebelum duduk ganteng di mini bar yang hanya terpisah dua blok dari Ryokan tempat tinggal mereka.

Cling...! suara botol sake mereka adu.

***

Sewaktu masih menjalani masa kuliah di benua Eropa, bertemu dengan seseorang dari Negara yang sama adalah hal yang paling Joby senangi. Entah bagaimana caranya, bisa berbicara menggunakan bahasa ibu di antara keributan orang-orang yang berbahasa asing membuatnya seperti memiliki saudara. Walaupun sebenarnya dirinya dan orang itu tidak memiliki hubungan darah sama sekali.

Sama halnya seperti ketika Joby mendengar rutukan perempuan cantik yang baru saja menyemprotkan sisa-sisa makanan di wajah Joby. Kalau saja bukan karena perempuan cantik itu berasal dari Negara yang sama dengannya, ia mungkin sudah kesal bukan kepalang. Alih-alih marah, ia malah merasa lucu.

Joby pasti sudah terlalu rindu pada tanah airnya, hingga hanya dengan mengetahui perempuan itu berasal dari Indonesia, membuat Joby merasa bebannya sedikit berkurang.

"Ronald," kata Joby, setelah mengadu botol sakenya dengan botol perempuan itu. "Ronaldo tepatnya, Christiano Ronaldo," katanya lagi setelah meneguk sake.

"Christiano Ronaldo? Kayak nama pemain sepak bola?"

"Ya, anggap aja gitu. Supaya kalau tiba-tiba penasaran, kamu nggak akan bisa stalking-in saya di internet, karena yang keluar di hasil pencarian kamu ya pemain sepak bola itu. Atau Ronaldo-Ronaldo lainnya."

Bukan tanpa alasan Joby menyembunyikan jati dirinya. Pengalaman sudah mengajarkan bagaimana perempuan-perempuan berubah agresif dan posesif setelah mengetahui latar belakangnya. Sedangkan di sini ia hanya butuh seorang teman, bukan temen tapi demen.

Perempuan itu menanggapi dengan senyuman kecut, "Sori banget nih ngecewain kamu, tapi saya sama sekali nggak pernah punya niatan buat stalking siapapun tuh. Saya curiga justru kamu yang bakal stalking-in saya. Atau justru kamu sebenarnya udah tahu saya siapa?"

Joby menyipitkan matanya saat memperhatikan wajah lawan bicaranya dengan seksama, ia memang seperti pernah melihat perempuan itu sebelumnya. Tapi tidak ada satu ingatan pun yang mampu membuatnya menjawab kapan dan di mana ia pernah melihat perempuan berambut panjang itu. Hingga Joby memutuskan untuk menganggap perempuan itu mungkin hanya mirip dengan model-model yang sering bekerja sama dengan perusahaan keluarganya.

"Cukup familiar sih. Tapi kalau kamu artis atau semacamnya, saya harus mengecewakan kamu karena saya hampir nggak pernah menonton tayangan lokal sama sekali."

"Setelah kejadian memalukan tadi, saya justru lebih suka kalau kamu nggak kenal saya sama sekali."

"Oh, no worries. Saya orang yang cukup sibuk dan nggak punya waktu untuk membicarakan apalagi menyebarluaskan aib oranglain."

"Glad to hear that," seru perempuan itu sambil menyodorkan botol sake-nya, yang langsung disambut Joby dengan menabrakkan botol miliknya. Lantas keduanya menenggak isi botol masing-masing sekali lagi.

"Lia. Sebut saja saya Lia," kata perempuan itu seusai menenggak minumannya.

"Supaya kalau saya penasaran, dan tiba-tiba pengen stalking-in kamu, yang keluar di internet ada ratusan nama Lia?" tebak Joby.

"Lia Marie Johnson." Perempuan itu menyebut salah satunya.

"Lia Williams?"

"Lia Ferre?"

"Lia enes dan boneka Susan?"

"Itu Ria kali," protes perempuan itu. Menggemaskan.

Lantas tawa mereka pecah bersamaan. Sekali lagi mereka mengadu botol sake, dan meneguk isi botol masing-masing.

***

Ata nyaris mengutuk dirinya saat menyadari ia baru saja melanggar pesan utama Mama sebelum mengizinkannya berlibur sendiri ke Jepang: jaga diri baik-baik, jangan terlalu mudah percaya pada orang asing!

Dan Ata baru saja melanggarnya.

Tapi Hey! Kenapa rasanya tidak ada yang salah dengan semua ini? Orang asing di hadapannya ini menyenangkan. Ata sepertinya tidak salah memercayai orang asing ini sebagai pria baik-baik.

Percakapan ringan dan tak tentu arah yang sudah hampir satu jam lamanya mereka habiskan ternyata menyenangkan. Percakapan itu tidak diatur, tanpa briefing dan tidak ada materi khusus seperti yang biasa ia lakukan. Ata hampir lupa dengan misi pelarian diri ini saking asiknya terbuai dalam obrolan, hingga akhirnya pria itu bertanya.

"Sampai kapan kamu di Kyoto?"

Wajah rileks Ata berubah masam mendengar pertanyaan itu. Sampai kapan, dirinya sendiri pun tidak tahu. Tapi kalau boleh memilih, ia ingin bisa kembali ketika ia sudah bisa merasakan hidup lagi. Hidup selayaknya manusia yang bebas dan bukan seperti benda mati yang bisa diarahkan dengan remote control seperti hidupnya selama ini. Maka Ata menjawab, "Sampai saya nemuin yang saya cari."

"Apa yang kamu cari?"

"Debar di jantung saya," jawab Ata serius, sebegitu seriusnya hingga dia lupa mengedipkan mata. Ia sampai lupa kapan terakhir kali dia merasa exited saat melakukan sesuatu. "Atau mungkin tujuan hidup saya yang sebenarnya?" entahlah yang lebih tepat apa, yang jelas sesuatu membuat dirinya utuh dan nyata.

"Kalo masalahnya di jantung, mungkin kamu bisa coba periksa ke dokter. Kalo masalahnya kehilangan, mungkin kamu bisa cari di kantor polisi," balas pria itu asal.

Anehnya, Ata malah tergelak. Padahal guyonan pria itu sama sekali tidak lucu. "Kamu sendiri? Kenapa ada di sini?"

Pria itu menenggak isi botolnya lagi sebelum menjawab, "Saya capek. Bertahun-tahun saya kejar-kejaran sama udara buat bernapas. Jantung saya berdebar terlalu kencang. Saya pengin jantung ini berirama sewajarnya." Gantian pria itu yang tak berkedip.

Di sini, Ata mulai memahami satu hal. Bahwa bukan hanya dirinya yang sedang melaga dinginnya hati dengan suhu dingin Kyoto. Melainkan ada orang lain yang juga sama bermasalahnya dengan dirinya. Tak lain merupakan orang yang duduk di sampingnya saat ini. Pria yang mengaku bernama Ronaldo ini.

"Kita harus sama-sama menyelamatkan diri!" seruan pria itu, diiringi dengan sentuhan tangannya yang dingin, sontak membuat lamunan Ata buyar, dan refleks membuat kakinya ikut melangkah. Mengikuti jejak pria yang menggandeng tangannya.

***

"Saya nggak ngerti korelasi antara menyelamatkan diri dengan tempat ini, sih," kata Ata sambil menatap nanar tulisan-tulisan kanji di hadapannya.

"Kamu pikir saya nggak ngeh, kamu belum makan apa-apa selain sushi yang kamu muntahin tadi?" tanya Joby, membuat Ata sedikit takjub.

Pasalnya, Ata sendiri nyaris tidak ingat kalau ia belum makan apa-apa sejak tadi. Efek terlalu menikmati obrolan, sepertinya.

Penampakan meja dan kursi-kursi yang ditata rapi di depan meja panjang di balik tulisan kanji tersebut, bau kaldu semerbak yang menusuk hidung, serta pria ber-apron putih dan topi putih mengembang bak bolu kukus di atas kepalanya membuat Ata tak berpikir dua kali saat sekali lagi tangan Ronald menggenggamnya dan mengajaknya masuk ke dalam restoran ramen di hadapannya itu.

"Paling enggak makanan ini lebih mudah dimengerti. Nggak kayak sushi," sambung Joby sebelum menggeser pintu masuk hingga terbuka lebar. Bau yang tadinya tercium samar, semakin kuat menusuk hidung, memanggil-manggil untuk dicicipi.

"Kamu berhak nggak suka sushi, Lia." Joby memulai percakapan di sela-sela nikmatnya menyedot ramen hingga menggulung sempurna memenuhi mulutnya, "Kamu berhak nggak suka terhadap sesuatu. Jadi jangan paksain diri."

Nasihatnya praktis mengingatkan Ata pada kejadian sore tadi.

"Sori, bukannya sok menasihati. Saya cuma heran aja liat muka cantik kamu tiba-tiba keriting banget pas gigit tuh sushi, tapi bukannya dikeluarin, malah kamu paksain nelen. Alhasil, saya malah jadi korban muntahan kamu."

"Dan... sampai sekarang kamu belum cuci sisa muntahan sushi di sudut bibirmu. Dengan nikmatnya kamu malah sedot ramen yang ujung-ujung mienya nempel ke sudut bibirmu. Means, kamu jilat bekas muntahan saya! Wekkkksss!!!! Jorok banget nggak sih!" Ata tidak ingat kapan terakhir kali bicara seakrab ini dengan orang lain.

Tawa Joby berderai mendengar hipotesis Ata.

Alih-alih merasa jijik dan berhenti makan, Joby malah menyedot mie lagi. Menempelkan bibirnya di bibir mangkuk, dan menghirup sisa kuah dengan nikmatnya.

Yang lebih mengherankan dari semua ini adalah Ata yang masih saja bisa menikmati ramen, lantas mengikuti gaya pria yang duduk disampingnya dengan menyedot mie hingga memenuhi mulut. Kenyataan bahwa pembahasan menjijikkan barusan tidak menghilangkan selera makannya benar-benar tidak seperti dirinya selama ini.

Mengingat lagi sepanjang sejarah hidupnya, ini adalah kali pertama Ata melakukan perjalanan tanpa agenda. Tidak dalam liburan akhir tahun tahun, tidak dalam kunjungan mendidik anak-anak di pelosok daerah, tidak dalam mengikuti seminar sebagai pembicara. Tidak ada peraturan yang mengikat, tidak ada waktu yang diatur dan tidak ada ruang yang tidak boleh dilewati batasnya. Hingga akhirnya Ata menyadari satu hal: ini pertama kalinya dia melupakan kata sempurna.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro