Sepuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Demi melanjutkan permainan yang tidak mereka namai, menjadi rekan Truth or Dare, menjadi Ronald dan Lia. Sekaligus menata diri masing-masing dengan segala kerusakannya, atau sekedar menikmati pelarian diri, hari ini Joby dan Ata sepakat untuk memulai dari perjalanan menuju Kinkaku-ji.

Kinkaku-ji adalah sebuah kuil buddist Zen yang sangat terkenal karena pavilionnya dilapisi oleh kertas yang terbuat dari emas murni. Bangunan ini sebelumnya adalah vila peristirahatan bagi shogun Ashikaga Yoshimitsu, Shogun Ashikaga yang ketiga. Namun karena kelestariannya yang dijaga oleh masyarakat Jepang, tempat ini akhirnya terdaftar sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO.

Lantai satu pavilion dinamakan Shinden-zukuri, bertipe istana yang dinamakan Ho-sui-in. Lantai dua adalah Buke-zukuri, bertipe rumah samurai yang dinamakan Cho-on-do. Lantai tiga adalah Karayo atau Zen-style yang dinamakan Kukkyo-cho. Di atap, ada gambar burung phoenix yang dianggap berasal dari China. Secara keseluruhan, bangunan itu mewakili gambaran sebuah paviliun kuno yang megah, unik, dan tertata dalam seni arsitektur yang kaya.

"Kalo pengin nenangin diri, atau jaga jarak sama hiruk pikuk kehidupan kota cocok banget, ya larinya ke sini." Joby berpendapat sambil memandang takjub pavilion emas yang di pagi yang cerah ini memantulkan sinar matahari yang bersinar sempurna. Mereka berdiri di tepi danau yang dipagari kayu, sama-sama sedang terbuai melihat gambaran arsitektur kuil yang antik seperti sedang bercermin di permukaan air danau yang jernih dan tenang.

"Kalo sekedar nenangin diri sih, di Indonesia juga banyak tempat seru." Kali ini mereka berpindah dengan menyusuri rute jalan setapak yang telah tersedia, "Salah satu favoritku, Bukit Wairinding. Itu tuh kayak kepingan surga yang terhampar. Kalau lagi musim penghujan bagus banget, bukit-bukitnya jadi hijau kayak bukit teletubies gitu. Keren deh." Tanpa Ata sadari lawan bicara yang seharusnya mendengarkan ocehannya tertinggal empat langkah di belakang.

"Bukit Wairinding?" tanya Joby ketika Ata menoleh padanya yang berdiri dibelakang. Ata mengangguk. "Sumba?" tanyanya lagi.

"Iya!"

Joby maju empat langkah, berdiri sejajar dengan Ata, "Truth or Dare?" todongnya tiba-tiba.

"Emang boleh ya, gitu? Nggak pake puter-puterin botol, main todong-todong aja?" sergah Ata.

"Bisa. Kamu juga bisa todong aku sesukamu."

Ata berdecak, "Tahu gitu aku todong kamu pake serangan bombardir dari kemaren."

"Jadi, Truth or Dare?" Joby berkeras melanjutkan permainan.

"Truth deh," Ata menyerah.

"Siapa orang yang paling kamu sayangi di dunia ini?"

"Mama!"

Desau angin yang mengembuskan hawa dingin seperti ikut berpartisipasi dalam membekukan gerak tubuh Ata. Pertanyaan Joby seharusnya tidak mengusiknya. Itu hanya pertanyaan sederhana. Tapi jawaban spontan yang terlontar dari bibirnya jelas sekali mengganggu. Bukankah Mama seharusnya menjadi orang yang paling Ata benci sekarang?

**

Setelah diberitahu oleh Jordan bahwasanya Ata adalah orang yang sama dengan perempuan yang mereka dukung pada ajang pencarian Putri Nusantara tiga tahun yang lalu, Joby ingat di mana pernah melihat wanita itu sebelumnya. Di Plennary Hall, Jakarta Convention Centre. Joby yang menjadi desainer yang mengerjakan tiara sang jawara hadir sebagai tamu VIP malam itu.

Mendapat kesempatan untuk memerhatikan Ata dari jarak dekat di undakan tangga di belakang kuil Fushimii Inarii, beberapa ingatan berloncatan keluar dari folder-folder memori yang tersimpan di kepalanya. Mengingatkan Joby betapa ia tidak salah menjagokan Ata di ajang kecantikan itu.

Namun ketika Ata menyebut kata Wairinding, wilayah perbukitan di daerah Sumba, Joby jadi ingat kalau wajah familiar Ata tidak hanya ditemuinya saat perhelatan akbar itu. Bukan sekadar melihat, ia bahkan menjadikan Ata sebagai muse dalam mendesain perhiasan satu tahun silam.

Pertemuan mereka cukup singkat, tapi memberi kesan yang sangat mendalam dalam benak Joby. Pertemuan itu bahkan tidak bisa disebut pertemuan karena hanya Joby yang melihat Ata. Wanita itu sendiri bahkan tidak menyadari keberadaan Joby karena sibuk berdebat dengan seorang wanita paruh baya yang belakangan diketahui adalah ibunda dari Ata sendiri.

Bukit Wairinding, Sumba

Berawal dari diantarkannya Joby ke lokasi perbukitan oleh seorang supir sewaan, mobil yang mereka tumpangi harus pasrah berhenti di badan jalan karena cuaca sedang tidak mendukung. Hujan deras. Joby yang tadinya ingin mencari inspirasi sudah membawa serta segala peralatan sketsa yang diperlukannya sembari menatap pemandangan alam yang indah. Sayangnya, nasib Joby tidak sebaik itu untuk bisa langsung menunaikan keinginannya. Akhirnya, Joby memilih untuk tidur dulu di dalam mobil, menunggu hujan reda.

Entahlah sudah berapa lama Joby tertidur, ia tidak ingat. Ia hanya ingat tiba-tiba terbangun karena mendengar suara perdebatan di dekat mobil terparkir.

Perdebatan itu melibatkan seorang perempuan cantik bersama seorang perempuan paruh baya yang tanpa dilakukan tes DNA pun sudah terlihat berasal dari gen yang sama. Mereka mirip.

"Jadi semua karena perselingkuhan Papa?" tanya perempuan muda dengan nada tinggi, "Hanya karena Mama nggak mau anak perempuan Mama diselingkuhi, jadi Mama menempa anak perempuan Mama jadi perempuan yang tidak tercela?"

"Kamu nggak tahu gimana rasanya dikhianati, Ata. Mama nggak mau kamu sampai merasakan gimana sakitnya perasaan itu. Biar Mama saja," wanita paruh baya itu membalas dengan mempertahankan nada tegas dalam suaranya.

"Apa jaminannya kalau Ata juga nggak akan diduakan hanya karena Ata mengikuti semua yang Mama perintahkan, Ma? Lagipula, perselingkuhan Papa udah lama banget, Ma. Kita udah pisah jalan sama Papa sejak lama. Jadi tolong jangan simpan lagi luka hati itu, Ma ...." Ata menyentuh kedua pundak ibunya, memohon.

"Tolong jangan buat semuanya semakin rumit, Ta." Sang Ibu menepis telapak tangan putrinya yang menempel di bahunya, "Kamu tahu kita bukan sedang membahas luka hati Mama. Kita sedang membahas hubungan kamu dengan jurnalis itu. Kamu tahu betul kan dia suka sama kamu. Dan kamu seharusnya nggak memberi respons positif, Ta. Kamu hanya akan berakhir seperti Mama kalau memilih laki-laki seperti Rudi!"

"Apa salahnya, Ma? Rudi baik, dia pengertian dan bisa membuat Ata ketawa terus."

"Tapi dia jurnalis, Ta. Ditambah lagi, pekerjaan sampingannya adalah sebagai fotografer. Dia pasti banyak berhubungan dengan model-model seksi."

"Astaga, Mama...." Tangan Ata mulai terulur ke atas kepalanya, menarik sejumput rambut yang ketika dilepasnya memberi efek serupa model iklan sampo, "kalau begitu cara pikir Mama, nggak akan pernah ada profesi di dunia ini yang cukup pantas untuk dijadikan suami Ata nantinya. Bukan profesi yang menentukan tingkat kesetiaan seorang pria, Ma."

"Pokoknya bukan Rudi, Ta. Kecuali kamu pengin Mama depresi mikirin kamu?" pungkas sang Ibu, membuat mulut Ata ternganga lebar.

Membiarkan putrinya melongo di tempat, sang ibu pergi menuju mobil yang terparkir di belakang mobil sewaan Joby. Ata sendiri baru bergeser dari tempatnya berdiri sekitar sepuluh menit setelahnya. Ia memilih untuk menyusuri jalan setapak yang menanjak menuju area bukit.

Joby yang secara diam-diam mendengarkan perdebatan itu baru sadar kalau ternyata ia sudah sendiri di dalam mobil. Sopir yang disewanya sepertinya sudah turun lebih dulu karena hujan sudah reda. Syukur pula mobil yang ditumpangi Joby dilapisi kaca film yang gelap hingga sepertinya tidak membuat dua perempuan yang sedang berdebat itu menyadari keberadaannya.

Beberapa saat berikutnya, tepatnya saat Joby memutuskan untuk keluar dari dalam mobil untuk menyaksikan keindahan alam yang sejak tadi diincarnya, ia mendapati perempuan yang sama sedang duduk di tepi perbatasan bukit. Seorang diri, tanpa sang ibu menemani.

Sungguh pemandangan yang dilihat Joby saat itu akan menjadi pemandangan yang tidak dilupakannya seumur hidup. Perempuan yang duduk sambil memeluk lutut itu, tampak begitu memikat perhatian dalam balutan midi-dress putihnya. Dari pelupuk matanya, terjun bulir permata yang berkilau indah diterpa matahari senja.

Pemandangan itu pula yang Joby abadikan dalam sketsanya. Dalam bentuk sebuah perhiasan indah nan menawan.

Mengingat lagi pengakuan singkat Ata tentang kejomloannya semalam, Joby jadi bisa menyimpulkan sendiri kalau Ata pastilah tidak meneruskan hubungannya dengan sang jurnalis. Padahal kejadian itu sudah setahun yang lalu. Joby jadi penasaran juga, bagaimana mungkin seorang perempuan seperti Ata... katakanlah sebagai perempuan dengan paketan komplit, tidak pernah menyicip indahnya cinta? Apakah karena sang ibu?

**

"Kamu jadi lebih diam? Apa aku salah nanya?" tanya Joby saat mereka berdua sudah duduk di dekat air terjun kecil, masih di seputaran area Kinkaku-ji.

"Bukan kamu yang salah nanya, tapi aku merasa salah jawab," balas Ata dengan pandangan mata menerawang.

"Kamu bahkan menjawab pertanyaanku tanpa berpikir, artinya jawaban itu terlalu mudah buatmu, nggak perlu meras otak untuk menjawabnya. Itu pasti jawaban yang udah tertanam dalam alam bawah sadarmu. Jadi aku pikir mestinya itu jawaban yang paling jujur."

Pandangan mata Ata yang menerawang mulai mencari fokus pada salah satu bagian di wajah Joby, lalu ia menemukan fokusnya pada mata cekung yang dinaungi alis tebal milik pria itu, "Kalau karena rasa sayang yang begitu dalam membuat seseorang bisa kehilangan dirinya sendiri, apa masih pantas untuk mempertahankan rasa sayang itu?" gumam Ata.

Karena rasa sayang yang begitu besar pada sang ibu pulalah, maka Ata merasa hatinya seperti diremas saat melihat ibunya menangis pilu sambil menenggak obat-obatan penenang, dulu. Usia Ata yang masih cukup kecil–namun sudah paham tentang perselingkuhan Papa—menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana sang ibu harus berjuang melawan rasa sakit di dalam dadanya karena dikhianati.

Ata sampai rela dan pasrah-pasrah saja mengikuti setiap perkataan ibunya karena setiap kali ditentang, sang ibu akan menangis lagi sambil menenggak obat-obatan itu. Efek buruknya, sang ibu akan tertidur lebih dari seharian dan tidak menyahut setiap kali diajak berbicara. Jadi demi meminimalisir peran serta obat-obatan penenang itu, Ata tumbuh menjadi anak yang paling patuh sedunia.

Syukur Ata punya kemampuan otak yang mumpuni, ia tidak perlu kesusahan untuk menoreh prestasi dan membuat ibunya tersenyum bangga. Itu pulalah yang dianggap Ata sebagai reward dari segala sikap patuhnya; senyuman di wajah sang ibu.

Hari ini, Ata sepertinya baru sadar, kalau ia nyaris kehilangan dirinya sendiri karena terlalu sibuk mengukir senyum di wajah sang ibu.

"Kalau karena rasa sayang yang begitu dalam bisa membuat seseorang bisa kehilangan dirinya sendiri, apa masih pantas untuk mempertahankan rasa sayang itu?" ulang Ata, dengan suara yang lebih lantang.

"Kalau perasaan itu berkaitan dengan orang yang nggak berarti dalam hidup kamu, bunuh saja rasa itu! Tapi kalau perasaan itu berkaitan dengan orang yang terlalu berarti dalam hidup kamu, mungkin kamu cuma perlu membuat batas toleransi dalam dirimu dan mulai negosiasi dengan orang yang kamu sayangi itu," jawab Joby, seperti sedang setengah curhat.

Ata mencoba meresapi kalimat Joby dalam diam.

"Kalau orang itu juga punya kadar rasa sayang yang sama besarnya untukmu, dia juga pasti akan mempertimbangkan segala sesuatu untuk membuat kamu menjadi dirimu sendiri," sambung Joby.

Ata bertafakur.

Tanpa sadar, air matanya lolos.

Angin musim dingin yang sejuk, suara percikan air dari air terjun yang menenteramkan, seperti turut membantu melancarkan peredaran darah ke otak Ata hingga pikirannya menjadi lebih luwes.

Batas toleransi, adalah yang terlupakan Ata hingga saat ini. Ia mungkin bisa terus-terusan menoreh senyum di wajah Mama dengan semua prestasi karena tidak sulit baginya untuk menjadi yang terbaik di antara yang terbaik. Hanya saja, ada hal-hal lain di luar toleransi Ata yang mati-matian dipaksakannya hanya demi membuat senyum ibunya tetap mengembang. Contohnya saja seperti urusan hati. Ata sudah terlalu banyak menyerah pada kisah cintanya demi kebahagiaan sang ibu.

Negosiasi tidak pernah Ata lakukan selama ini. Ata seharusnya cukup paham kalau hal pertama yang seharusnya ia lakukan dengan Mama adalah mengomunikasikan perasaannya. Hingga tidak ada yang tersakiti.

Sudut pandang Joby seperti berhasil membuka celah yang tidak pernah Ata buka sebelumnya. Setelah pembicaraan sepele namun mendalam ini, Ata seperti punya sederet daftar kegiatan yang akan dilakukannya untuk berdamai dengan sang ibu. Ternyata... penampilan asal-asalan pria asing ini tidak serta merta menutupi kejeniusan otaknya. Pepatah itu ternyata benar adanya, don't judge a book by its cover.

Saat Ata memerhatikan sekali lagi rupa Ronald-nya, ia tiba-tiba merasakan perutnya melilit. Apa ada yang salah dengan pancake yang menjadi sarapan Ata tadi pagi?

"Aku yakin kamu cukup bijak untuk membuat batas toleransi dan bernegosiasi, dengan orang yang kamu sayangi itu." Tangan Joby terulur menyentuh pipi Ata, mengusap jejak tetesan air mata yang membasahi pipi mulusnya.

Cepat-cepat Ata memalingkan wajahnya dari Joby. Ata tidak ingin Joby sampai mendapati wajahnya yang menghangat karena perlakuan pria itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro